Anda di halaman 1dari 12

Hama Tanaman Perkebunan

1. Hypothenemus hampei
a. Gambar

b. Nama Umum : Penggerek buah kopi


c. Nama latin : Hypothenemus hampei
d. Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Ordo : Coleoptera
Family : Scolytidae
Genus : Hypothenemus
Spesies : Hypothenemus hampei
(Wiryadiputra, 2007)
e. Tanaman inang : Tanaman kopi
f. Gejala serangan :
Pada umumnya Hypothenemus hampei menyerang buah dengan endosperma yang
telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang
bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan makanan dan selanjutnya
ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang, warnanya berubah menjadi kuning
kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan
berakibat penurunan mutu kopi karena biji berlubang. Gejala yang terlihat yaitu adanya frass
pada permukaan buah kopi sebagai hasil dari gerekan serangga betina saat melubangi buah
kopi (Tobing et al., 2006).
g. Bioekologi
Hama H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa sempurna dengan tahapan
telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa. Kumbang betina lebih besar dari kumbang
jantan. Panjang kumbang betina lebih kurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan panjang
kumbang jantan 1,2 mm dan lebar 0,6-0,7 mm (Wiryadiputra, 2007).
1. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang gerekan dengan diameter lebih kurang
1 mm pada buah kopi dan biasanya pada bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur
pada lubang yang dibuatnya. Telur menetas 5-9 hari.Stadium larva 10-26 hari dan stadium
pupa 4-9 hari. Pada ketinggian 500 m dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk
perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga diperlukan
waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari, sedangkan serangga jantan
maksimal 103 hari.Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50
butir.
2. Telur menetas menjadi larva yang menggerek biji Larva 10 – 21 hari Pupa 4 – 8 hari Imago
103 – 202 hari.Larva menjadi kepompong di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar dari
kepompong.
3. Serangga dewasa atau imago, perbandingan antara serangga betina dengan serangga jantan
rata-rata 10:1. Namun, pada saat akhir panen kopi populasi serangga mulai turun karena
terbatasnya makanan, populasi serangga hampir semuanya betina, karena serangga betina
memiliki umur yang lebih panjang dibanding serangga jantan. Pada kondisi demikian
perbandingan serangga betina dan jantan dapat mencapai 500:1.
4. Umur serangga jantan hanya 103 hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282 hari
dengan rata-rata 156 hari.
h. Pengendalian
Pengendalian hama ini yang efektif dapat dilakukan dengan menerapkan sistem
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) memadukan berbagai cara pengendalian seperti sanitasi
kebun, kultur teknis,pemanfaatan agen pengendali hayati Beauveria bassiana (Wiryadiputra,
2007).
1. Sanitasi Kebun Memangkas semua cabang dan ranting yang tua/kering atau yang tidak
produktif dan mengumpulkan sisa-sisa tanaman kemudian dijadikan bahan pembuatan
pupuk organik (kompos) serta melakukan penyiangan gulma.
2. Kultur Teknis
- Petik Bubuk Memetik semua buah yang berlubang yang dilakukan 15-30 hari menjelang
panen raya. Seluruh buah yang terserang dikumpulkan kemudian disiram dengan air panas
untuk membunuh serangga hama
- Memupuk tanaman dengan pupuk yang seimbang menggunakan jenis dan dosis sesuai
anjuran untuk mempercepat pemulihan tanaman.
3. Biologis (Agen Pengendali Hayati) Aplikasi jamur Beauveria bassiana dilakukan pada saat
buah masih muda. Kebutuhan untuk 1 Ha kebun kopi yaitu 2,5 kg media biakan jamur B.
bassiana selama 3x aplikasi per musim panen. Penyemprotan dilakukan pada sore hari
dengan arah semprotan dari bawah daun.

2. Chilo saccariphagus
a. Gambar

Gambar 1. (a) Serangan Penggerek Batang (b) lubang gerek (b) telur (d) ulat
Sumber: Subiyakto (2016)
b. Nama Umum : penggerek Batang Bergaris pada Tebu
c. Nama Latin : Chilo saccariphagus
d. Klasifikasi :
Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi dari hama penggerek batang tebu bergaris adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Pyralidae
Genus : Chilo
Spesies : Chilo saccariphagus
e. Tanaman Inang :
Tanaman inang dari Chilo saccariphagus merupakan tanaman tebu. Namun dapat pula
ditemukan menyerang pada beberapa tanaman lain diantaranya jagung, sorgum, dan padi
(Deptan, 2013)
f. Gejala Serangan :
Gejala serangan hama ini dimulai dari larva muda yang baru menetas hidup dan menggerek
jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini
nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lubang gerekan yang tidak teratur
pada permukaan daun (Deptan, 2013). Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva
akan keluar dan menuju ke bawah serta menggerek pelepah daun hingga menembus masuk
hingga ke ruas batang. Larva akan masuk ke dalam jaringan tanaman melalui batang muda.
Bila ruas-ruas yang terganggu pertumbuhannya sangat banyak maka tanaman tebu menjadi
kerdil (Way dan Rutherford, 2011). Pada serangan berat menyebabkan tanaman mudah
patah dan apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-
lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik
tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat
lebih dari satu ulat penggerek (Pratama et al., 2010).
g. Bioekologi
Hama ini metamorfosis sempurna menurut Achadian et al. (2011) yakni terdiri dari terur,
larva, pupa dan imago.
1. Telur
Telur diletakkan berkelompok, berderet panjang sekitar 20 mm (Gambar 1c).
2. Larva
Ulat berwarna putih kekuningan, dengan ciri empat garis membujur dengan bintik-bintik
hitam (Gambar 1d). Ulat dapat mencapai panjang 35 mm.
3. Pupa
Pupa berbentuk gilig dan berwarna cokelat dengan panjang 22 mm.
4. Imago
Serangga dewasa atau ngengat panjangnya 1218 mm. Sayap depan berwarna cokelat
terang atau cokelat kusam. Sayap belakang yang jantan berwarna putihcokelat terang,
sedangkan sayap betina berwarna putih sutra.
h. Pengendalian
Sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi, menurut Sunaryo (2003), teknik
pengendalian hama dapat dilakukan dengan berbagai teknik, yaitu
1. Secara kultur teknis yaitu sanitasi lahan
2. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya
3. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat-ulat di tanaman yang terserang
4. Secara biologis yaitu dengan memanfaatkan musuh alami berupa pelepasan parasit telur
Trichogramma spp. dan parasit larva Cotesia flavipes.
5. Secara kimiawi yaitu dengan penggunaan insektisida yaitu Agrothion 50 EC (2 l/ha),
Azodrin 15 WSC (5 l/ha)
i. Intensitas serangan :
Setiap 1% kerusakan ruas tanaman tebu dapat menurunkan bobot tebu 0,5%. Di Lampung,
rata-rata dalam 10 tahun hama ini menyebabkan kerusakan 4,75 11,66% (Goebel 2011).

3. Planococcus citri
a. Gambar

b. Nama umum : Kutu Dompolan


c. Nama latin : Planococcus citri
d. Klasifikasi
Klasifikasi kutu dompolan menurut Ditlinhorti (2012)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hemiptera
Famili : Pseudococcidae
Genus : Planococcus
Spesies : Planococcus citri
e. Tanaman inang :
Kopi, kakao dan jeruk (Susniahti., 2005).
f. Gejala serangan :
Kutu dompolan menyerang tanaman kopi dengan cara menghisap bagian tanaman seperti
bunga, ranting dan daun muda, tangkai buah dan buah kopi. Kutu yang menyerang pada saat
pembungaan akan menyebabkan bunga menjadi kering kemudian gugur. Serangan yang
terjadi pada buah akan menurunkan kualitas buah dan pada serangan berat buah akan rontok.
Pada saat tidak ada buah, kutu dompolan akan mengelompok di daun muda sehingga daun
menjadi bewarna kuning (Susniahti et al., 2005).
g. Bioekologi
1. Kutu dewasa berbentuk oval, datar, berwarna kuning kecoklatan, kuning muda atau
kuning tua, panjang 3- 4 mm, lebar 1,5- 2 mm. Tubuh serangga ditutupi lapisan lilin. Di
sepanjang tepi badan kutu terdapat duri-duri dari bahan semacam lilin sebanyak 14- 18
pasang dan duri pada bagian pangkal panjangnya dua kali dari panjang duri lainnya.
2. Telur berwarna kuning dan diletakkan di dalam kantong yang terbuat dari bahan
menyerupai benang-benang lilin halus yang berada di belakang tubuh kutu betina. Ukuran
kantong-kantong ini kadang-kadang lebih besar dari ukuran kutu betina. Seekor kutu
betina mampu bertelur 300 butir, telur diletakkan pada bagian tanaman dan berlangsung
antara 2 - 17 hari.
3. Nimfa yang baru menetas dari telur berwarna hijau muda atau kuning pucat, atau merah
tua tergantung stadiumnya, bergerak meninggalkan induknya dan mencari tempat di
bagian tanaman lain. Perkembangan nimfa jantan telah sempurna ditandai dengan adanya
sekresi puparium yang berlilin di akhir instar kedua. P. citri betina mengeluarkan sex-
feromon yang khas yang dapat menarik kutu jantan pada jarak dekat.
4. Populasi kutu dompolan meningkat selama musim kemarau, terutama bila kelembaban
nisbi pada siang hari di bawah 75 %. Ledakan populasi akan terjadi bila kelembaban nisbi
turun di bawah 70 % dan berlangsung terus menerus selama 3 - 4 bulan, dan hari hujan di
bawah 10 hari. Penyebaran kutu dibantu oleh angin, hujan dan semut gramang. Kutu ini
memproduksi embun madu yang sangat disukai oleh semut. Bila produksi embun madu
berlebihan biasanya timbul jamur jelaga pada daun, tangkai atau buah sehingga
pertumbuhan bagian-bagian tersebut tidak normal dan kualitas buah turun. Kutu ini
menyukai tempat yang agak teduh tetapi tidak terlalu lembab.
h. Pengendalian
Pengendalian kutu dompolan menurut Ditlinhorti (2012) dapat dilakukan dengan cara sbb :
- Kultur teknis, meliputi cara-cara yang mengarah pada budidaya tanaman sehat yaitu :
terpenuhinya persyaratan tumbuh (suhu, curah hujan, angin, ketinggian tempat, tanah),
pengaturan jarak tanam, pemupukuan,
- Pengendalian mekanis dan fisik, dilakukan dengan menjaga kebersihan kebun dengan
mengadakan sanitasi gulma, cabang-cabang dan buah terserang berat dan
memusnahkannya.
- Pengendalian biologi, dengan memanfaatkan musuh alami :
Predator dari famili Coccinelidae, Scymnus apiciflavus Mits., S. Roepkei DeFl., Brumus
saturalis F., Coccinella repanda (C. Transversalis F.) dan Cocodiplosis smithi De Mey.
Parasitoid Anagrus greeni How. dan Leptomastix trilongifasciatus Gir.
- Pengendalian kimiawi, dengan menggunakan insektisida .
4. Oryctes rhinoceros
a. Gambar

b. Nama Umum : Kumbang Badak


Nama Latin : Oryctes rhinoceros
c. Klasifikasi :
Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi dari kumbang badak ialah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Famili : Scarabaeidae
Genus : Oryctes
Spesies : Oryctes rhinoceros L.
d. Tanaman Inang :
Tanaman inang dari Oryctes rhinoceros L. merupakan sagu, pinang, tebu, dan kelapa
khususnya di area peremajaan kelapa sawit (Siahaya, 2014)
e. Gejala Serangan :
Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian
dalam melalui salah satu ketiak pelepah daun yang paling atas. Gejala khas dari hama ini
adanya kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian
berupa guntingan segitiga seperti huruf V. Kumbang ini menggerek pucuk-pucuk atau umbut
kelapa sawit sejak ditanam dan dapat berlanjut sampai umur 25 tahun. Pelepah di atas bagian
yang diserang akan putus dan mengering atau busuk dan tunas baru keluar dari samping
(Lobalohin et al., 2014).
f. Bioekologi
Hama ini metamorfosis sempurna menurut Suhardiyono (1995) yakni terdiri dari terur, larva,
pupa dan imago.
1. Telur
Telur yang baru diletakkan berukuran 2,3 x 3,5 mm dan lamanya stadia telur 8-12 hari.
Kumbang ini meletakkan telur pada tunggul-tunggul karet, kelapa dan kelapa sawit yang
telah dipotong dan bahan organik lainnya
2. Larva
Stadium larva 4-5 bulan bahkan ada pula yang mencapai 2-4 bulan lamanya. Stadim larva
terdiri dari tiga instar yaitu: Instar I selama 11-12 hari, instar II selama 12-21 hari, dan
instar III 60-165 hari. Larva yang baru menetas berwarnah putih dan setelah dewasa
berwarnah putih kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang 7-10 cm.
Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian depan. Pada permukaan tubuh larva
terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh lebih rapat.
3. Pupa
Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah kecoklatan
dan panjang 5-8 cm yang terbungkus dari kokon dari tanah yang berwarna kuning. Stadia
ini terdiri atas dua fase yaitu: Fase I lamanya satu bulan yang merupakan perubah bentuk
dari larva ke pupa dan fase II lamanya tiga minggu merupakan perubahan bentuk dari
pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon.
4. Imago
Kumbang Oryctes rhinoceros warnanya hitam, permukaan bagian bawah badanya
berwarana hitam kecoklatan, panjang tubuh 34-45 mm dan lebarnya 20 mm. Culanya
yang terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini. Cula kumbang jantan lebih
panjang dari cula kumbang betina. Selain itu kumbang ini mempunyai mandible yang kuat
dan cocok untuk melubangi pohon.
g. Pengendalian
Teknik pengendalian menurut Santi dan Sumaryo (2008) dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu
1. Penggunaan perangkap feromon. Saat ini telah banyak produk feromon yang digunakan
dalam pengendalian hama, terutaman hama kumbang O. rhinoceros. Salah satu contoh
feromon yang dipakai adalah jenis feromon agregat untuk menarik kumbang jantan
maupun betina. Feromon agregat ini berguna sebagai alat kendali populasi hama dan
sebagai perangkap massal. Feromon ini dapat menarik 21-31% imago jantan dan 67-79%
imago betina.
2. Metode mekanis terdiri dari pengutipan larva dan kumbang dari sisa tanaman. Teknik
pengendalian ini untuk mengurangi tempat berkembang biakan hama, aplikasi kimiawi,
3. Penggunaan jamur entomopatogen Metharizium anisoplae.
4. Pengelolaan tanaman penutup tanah (Leguminose cover crop), sistem pembakaran, sistem
pencacahan batang, pengutipan kumbang dan larva, secara kimiawi dan hayati.
5. Secara kimiawi meliputi penggunaan pestisida, dan secara biologi dengan menggunakan
Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana dan Baculovirus oryctes.
h. Intensitas serangan :
O. rhinoceros umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda dan akibatnya dapat
menurunkan produksi tandan buah segar (TBS), bahkan menyebabkan tanaman muda mati
mencapai 25%. Namun akhir-akhir ini, serangan O. rhinoceros tidak hanya pada kelapa sawit
muda tetapi juga pada kelapa sawit tua (Jackson & Klein, 2006).
i. Karakteristik
Karakteristik yang membedakan kumbang badak jantan dan betina ialah terdapat pada
culanya yang terdapat pada kepala menjadi ciri khasnya. Cula kumbang jantan lebih panjang
dari cula kumbang betina, selain itu kumbang ini mempunyai mandibel yang kuat. Mandibel
ini berfungsi untuk melubangi pohon (Pallipparambil, 2015). Dewasa betina dapat hidup
sampai 274 hari, sedangkan kumbang dewasa jantan dapat hidup sampai 192 hari (PPKS,
2010.

9. Empoasca spp.

a. Gambar

b. Nama umum : pengisap pucuk teh

c. Nama latin : Empoasca spp.

d. klasifikasi :

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hemiptera
Famili : Cicadelidae
Genus : Empoasca
Spesies : Empoasca vittis

e. Tanaman Inang
Tanaman Teh, anggur, peach, plum, jarak kepyar, mentha,kentang, padi dan kapas
f. Gejala serangan
Serangga dewasa dan nimfa E. Vitis mengisap cairan pucuk teh, menyebabkan
bagian tepi daun menguning, keriting, layu, seperti terbakar (hopperburn) dan pertumbuhan lambat
lalu kerdil. Daun yang terserang akan timbul noda kemerahan seperti daun terbakar kemudian daun
mengering, tepi daun menggulung ke bawah. Pertulangan daun menjadi cokelat akibat tusukan stilet
dan cairan daun yang diisap.
g. Bioekologi :
Wereng daun Empoasca spp. mengalamimetamorfosis bertahap (paurometabola) yang
terdiri atas stadia telur, nimfa, dan imago. Telurberbentuk silinder agak melengkung seperti pisang,
berwarna putih agak krem dengan panjang rata-rata 0,75 mm, diameter 0,15 mm (Widayat, 2007).
Stadia telur berkisar 8–14 hari. Telur diletakkan satu per satu di dalam jaringan tulang daun pada
permukaan bawah daun atau ketiak daun. Telur lebih banyak diletakkan pada bagian pucuk dan daun
muda teh. Dipilihnya pucuk tanaman sebagai tempat peletakkan telur berkaitan dengan kelembaban
dan ketersediaan cairan tanaman yang mendukung telur. Nimfa terdiri dari lima instar, menyebar di
bawah permukaan daun terutama di bagian pucuk. Nimfa instar ke-1 dan ke-2 hanya dapat bergerak
ke samping sedangkan nimfa instar ke-3 hingga ke-5 dapat bergerak ke samping dan melompat. Lama
hidup nimfa dan mencapai imago 8-22 hari dengan rata-rata 12,5 hari.
h. Pengendalian :
Penggunaan sticky trap. Hasil penelitian Bian et al. (2014) menunjukkan bahwa pemasangan
sticky trap warna emas pada ketinggian 40–60 cm di atas kanopi tanaman teh efektif terhadap
serangga Empoasca vitis. Feromon dapat digunakan sebagai alat monitoring hama di lapangan dan
juga untuk pengendalian pada kepadatan populasi hama rendah, dan kompatibel dengan pengendalian
lainnya. Pemanfaatan musuh alami parasitoid telur E. vitis yaitu Anagrus atomus (Hymenoptera:
Mymaridae) juga dapat digunakan sebagai salah satu metode pengendalian
i. Intensitas serangan :
Kerusakan akibat hama ini diperkirakan dapat mengurangi hasil 15-20% per tahun
DAFTAR PUSTAKA
Acevedo, A.M.T., M.A.J. Torres, M.M.E. Manting, E. Sabado, A.R.C. Alfiler, and G.
Demayo. 2014. Sex ratios of Brontispa longissima (Gestro) infesting coconuts in
selected provinces in the Philippines. Annals of Biological Research 5(2): 111-116.
Achadian, E.M., A. Kristiani, R.C. Magarey, N. Sallam, P. Samson, F.R. Goebel, dan K.
Lonie. 2011. Hama dan Penyakit Tebu. Buku Saku. Kerja Sama P3GI dengan BSES
Limited, Australia dan ACIAR. 154.
Alouw, J.C. 2007. Kemampuan memangsa predator Celisoches morio terhadap hama kelapa
Brontispa longissima. Buletin Palma No. 33. 1-8.
Aulia Nusantara, Y. Andi Trisyono, Suputa , Edhi Martono.2007.Biologi Tungau Merah
Kelapa, Raoiella indica, pada Beberapa Varietas Kelapa. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia, Vol. 21, No. 1, 2017: 23–29.
Deptan, 2013. Informasi Ringkas Komoditas Perkebunan. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian. Jakarta Selatan.
Ditlinhorti. 2012.
Facknath, S. 1989. Pest management and the African farmer biological control of sugarcane
pest in Mauritus: A case study. Int'l. J. Trop. Insect Sci. 10(6): 809–813.
Goebel, F.R. 2011. Report on a Visit to Gunung Madu Plantations (East Sumatra), 1417
November 2011. CIRAD. 19 pp.
Jackson, T. A & M. G. Klein. 2006. Scarabs as Pests: Continuing Problem Coleopteris. J.
Society Monograph, 5: 102 – 119.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar BaruVan Hoeve. Jakarta.
Lobalohin, S., Saartje, H.N. & Jeffij, V.H. 2014. Kerusakan Tanaman Kelapa (Cocos nucifera,
L.) Akibat Serangan Hama Sexava sp dan O.rhinoceros di Kecamatan Teluk Elpaputih
Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Budidaya Pertanian, 10(01): 35-40.
Moore, A., R. Quitugua, M. Siderhurst, and E. Jang. 2014. Improved traps for the coconut
rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros. Cooperative extension service, University of
Guam.
Nuryanti dan Embriani. 2015. Mengenal Penggerek Cabang Hitam (Xylosandrus compactus).
BBPPTP Surabaya
Pallipparambil, G. R. 2015. New Pest Respon (Coconut Rhinoceros Beetle).. Departement of
Agriculture Press. Washington. U.S.
PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) 2010. Layanan Prima Proteksi Tanaman. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 1-55
Santi, I. S. & Sumaryo, B. 2008. Pengaruh Warna Perangkap Feromon Terhadap Hasil
Tangkapan Imago O.rhinoceros di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, 14(02): 76-79.
Siahaya, V.G. 2014. Tingkat Kerusakan Tanaman Kelapa Oleh Serangan Sexava nubila dan
O.rhinoceros Di Kecamatan Kairatu. Jurnal Budidaya Pertanian, 12(02): 93-99.
Singh, S.P dan P. Rethinam. 2005. Coconut leaf beetle B. longissima. APCC, Jakarta. 35 p.
Subiyakto. 2016. Hama Penggerek Tebu dan Perkembangan Teknik Pengendaliannya. J.
Litbang Pertanian Vol 35 (4): 179-186.
Suhardiyono. 1995. Tanaman Kelapa. Kanisius. Yogyakarta.
Sunaryo. 2003. Status hama-hama tanaman tebu di GMP. Publikasi internal R&D PT Gunung
Madu Plantations. Lampung Tengah.
Susniahti N., Sumeno H dan Sudrajat. 2005. Ilmu Hama Tumbuhan. Universitas Padjajaran.
Bandung
Tabugo, S.R.M., M.A.J. Torres, L.F. Olowa, R.M.M. Sabaduquia, A.M. Acevedo, and C.G.
Demayo. 2012. Elliptic Fourier Analysis in describing shape of the mandible of the
larvae of the coconut leaf beetle Brontispa longissima Gestro, 1885 (Chrysomelidaeo:
Hispoinae) collected from Plants with varying degrees of damage. International
Research Journal of Biological Sciences 1(8):19-26.
Tobing, J.D., Bustillo, A.E ., Valelezo, L.F., .Acuna, J. R. dan Benavides. P. 2008.
Alimentary Canal and Reproductive Tract of Hypothenemus hampei (Ferrari)
(Coleoptera: Curculionidae, Scolytidae). Neotropical Entomology 37 (2) : 143-151.
Wiryadiputra, S. 2007. Pengelolaan Hama Terpadu PadaHama Penggerek
BuahKopi,Hypothenemus hampei(Ferr.) dengan Komponen Utama padaPenggunaan
Perangkap Brocap Trap. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember, Jawa
Timur.p.2-9.

Anda mungkin juga menyukai