Disusun Oleh:
Yulianto 150510170066
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANAIN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
nikmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga pada akhirnya kami bisa menyelesaikan Laporan Praktikum
Peningkatan Kinerja Agen Biokontrol (Uji Hayati: Entomopatogen) tepat pada waktunya. Laporan ini
diajukan untuk salah satu tugas praktikum mata kuliah Bioteknologi Pertanian Hama dan Penyakit
Tumbuhan.
Rasa terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerjasama dan memberikan
dukungan sehingga Laporan Praktikum ini dapat disusun dengan baik.
Kami juga menyadari bahwa Laporan Praktikum Biologi ini juga masih memiliki banyak kekurangan.
Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian demi penyusunan
Laporan Praktikum Peningkatan Kinerja Agen Biokontrol (Uji Hayati: Entomopatogen) yang lebih baik
lagi.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I PENDAHULUAN
Salah satu alternatif pestisida sintetik untuk mengendalikan serangga hama yaitu jamur
entomopatogen. Jamur entomopatogen merupakan jamur yang dapat hidup dan berkembang pada tubuh
serangga sehingga serangga tersebut terganggu pertumbuhan dan perkembangannya bahkan dapat
menyebabkan serangga tersebut mati. Kelompok jamur ini dapat dengan mudah menyerang serangga
apabila kondisi lingkungan yang ada mendukung bagi perkembangannya terutama kelembaban udara.
Terdapat berbagai spesies jamur entomopatogen yang berpotensi menggendalikan hama yang ada di
pertanian, diantaranya adalah jamur Beauveria bassiana, Metharizium anisopliae, Verticillium lecanii,
Isaria fumasorosea dan Cordyceps spp. Jamur entomopatogen dapat masuk kedalam tubuh serangga
umumnya lewat kulit tetapi tidak jarang pula lewat oral, luka maupun saluran pernapasan.
Proses infeksi jamur entomopatogen diawali dengan adanya kontak antara spora dengan
kutikula serangga. Seringkali dalam peroses perkecambahannya, spora menghasilkan zat yang dapat
membantunya untuk menempel secara kuat pada kutikula serangga. Setelah berkecambah, spora jamur
akan membentuk apresoria (appresorium) yang darinya keluar hypa dengan struktur khusus (infection
peg) yang berfungsi untuk secara mekanis menembus kutikula serangga. Jamur entomopatogen juga
umumnya memproduksi enzim pendegradasi kutikula serangga seperti enzim lipase, protease, chitinase,
dan lipoxygenases. Dengan adanya aktivitas enzim-enzim ini, selain akan terdegradasinya lapisan
kutikula, hasil degradasinya akan juga menjadi sumber nutrisi bagi jamurnya. Jamur entomopatogen
juga diketahui dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap serangga sasaran.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa virulensi dari suatu jamur entomopatogen sangat
dipengaruhi oleh kemampuanya dalam menghasilkan enzim dan juga toxin.
4
1.3 Tinjauan Pustaka
1.3.1 Taksonomi ulat hongkong
Domain: Eukaryota, Kingdom: Animalia, Phylum: Arthropoda, Class: Insecta, Order:
Coleoptera, Suborder : Polyphaga, Family: Tenebrionidae, Genus: Tenebrio, Species: Tenebrio
molitor.
a. Pollard merupakan hasil ikutan dari penggilingan gandum yang mempunyai potensi untuk
dijadikan sebagai pakan alternative pengganti jagung.
b. Bekatul halus adalah dedak yang diperoleh dari pengayakan hasil ikutan dan penumpukan pada
gelombang kedua dan ketiga atau hasil pengasahan pertama (huller) atau kedua (parakkasi,
1999). Bekatul mengandung karbohidrat cukup tinggi, yaitu 51-55 g/100 g. Kandungan
5
karbohidrat merupakan bagian dari endosperma beras karena kulit ari sangat tipis dan menyatu
dengan endosperma beras karena kulit ari sangat tipis dan menyatu dengan endosperma.
Kehadiran karbohidrat ini sangat menguntungkan karena membuat bekatul dapat digunakkan
sebagai sumber energy alternatif. Kandungan protein pada bekatul juga sangat baik, yaitu 11-
13 g/100 g.
c. Ampas tahu, ampas tahu juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun makro yaitu
untuk mikro; Fe 200-500 ppm,Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co kurang dari 1 ppm, Zn lebih
dari 50 ppm.
d. Pada ulat berusia 1 bulan belum diberi makan sedangkan pada usia 1,5-2 bulan diberi makan
berupa campuran ampas tahu dan bekatul. Ketiak ulat hongkong sudah berubah menjadi
serangga atau kepik diberi makan labu siam setiap 3 hari sekali.
Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang,
masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan
menginfeksi inang baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan,
spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuhserangga inang akan
berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh.
Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada
proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam
tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus
ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari,
serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras
seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih (Trisawa, 2006).
Dalam infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari
bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan
toraks, antara segmen toraks denganabdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor).
Serangga yang telah terinfeksi B.bassiana selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan
cara mengeluarkanspora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang
terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi. Jalur ini dinamakan transmisi horizontal
patogen (inter/intra generasi).
6
BAB II METODOLOGI
Isolat jamur B. bassiana yang akan digunakan merupakan koleksi Departemen Hama dan penyakit
Tumbuhan, Faperta Unpad. Biakan murni dibuat pada media PDA.
Biakan murni jamur entomopatogen B. bassiana (5-7 hari) diberi penyinaran UV selama 15, 30, 45, 60
menit, dan kontrol. Kontrol dibuat tanpa perlakuan penyinaran UV.
1. Spora jamur B. bassiana dipanen dari biakan murni (yang telah diberi perlakuan sinar UV)
dengan cara menuangkan air steril (mengandung 0,05 % Tween 80) ke atas biakan murni
tersebut.
2. Miselium dan spora dipisahkan dari media PDA dengan menggunakan jarum ose.
3. Suspensi spora jamur B. bassiana yang didapatkan dituangkan ke dalam baker glass. Setelah
itu, dihitung jumlah sporanya per ml dengan menggunakan haemasitometer. Kerapatan
spora yang akan diuji adalah 1 x 106 spora/ml air steril.
5. Ulat Hongkong yang telah diberi perlakuan selanjutnya dipindahkan ke petridish atau gelas
plastik dan diberi pakan jagung pecah secukupnya.
7
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
Tabel 1. Data kelas pengamatan mortalitas ulat hongkong dengan berbagai perlakuan
UV 15 menit 0 0 0 0 0 0 20
UV 60 menit 0 0 0 0 40 60 60
Kontrol 0 0 0 0 10 50 90
Berdasarkan hasil praktikum kelas A atau ulangan 1 terlihat bahwa pada perlakuan UV 30 menit
dan 45 menit mampu mencapai mortalitas sebesar 100% pada 5 HSA dibandingan dengan perlakuan
lainnya. Bahkan pada perlakuan UV 30 menit sudah terjadi mortalitas ulat hongkong sebesar 10% pada
2 HSA.
Tabel 2. Data angkatan pengamatan mortalitas ulat hongkong dengan berbagai perlakuan
8
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: MORTALITAS
Total 20,030 35
MORTALITAS
Subset
PERLAKUANUV N 1
UV 30 MNT 7 ,6429
KONTROL 7 ,7286
UV 45 MNT 7 ,7571
UV 15 MNT 7 ,7714
Sig. ,251
b. Alpha = ,05.
Hasil uji lanjut menggunakan duncan pada taraf kepercayaan 5% diperoleh hasil yang
menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berpengaruh nyata dan mampu menyebabkan mortalitas
pada ulat hongkong, akan tetapi perlakuan sinar UV 15 menit merupakan perlakuan yang paling efektif
dan efisien dengan angka normalitas yang lebih tinggi dibandingakan dengan perlakuan lainnya. Bagian
9
cendawan yang berperan dalam proses penetrasi berupa spora atau konidia. Penetrasi cendawan ke
dalam tubuh serangga bisa melalui proses mekanis yaitu melaui saluran pencernaan dan ruas-ruas tubuh
serangga yang lunak, dan proses kimia yaitu dengan menggunakan enzim protease, lipase, kitinase,
esterase, yang membantu menghancurkan kutikula atau kulit luar serangga (Suwahyono 2009).
Penempelan konidia terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air sehingga terjadi kontak
antara konidia dengan permukaan integumen serangga. Selanjutnya konidia berkecambah dan
menginfeksi. Perkecambahan konidia dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi. Konidia
yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah yang kemudian menembus integumen serangga
dan penetrasi ke dalam haemosel. Setelah masuk ke dalam haemosel, cendawan membentuk tubuh hifa
yang kemudian berkembang dalam haemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang
jaringan lain seperti jaringan lemak, trakea, dan saluran pencernaan.
Gejala awal yang terlihat pada serangga yang terinfeksi B. bassiana yaitu serangga menjadi
lemah, kepekaan dan aktivitas makan menjadi berkurang sehingga pada akhirnya serangga akan mati.
Serangga yang mati karena terinfeksi menunjukkan gejala berupa terdapat bercak kehitaman atau
bercak berwarna gelap pada kulit yang disebabkan oleh penetrasi cendawan pada kutikula serangga
(Vega et al. 2007). Bila kondisi lingkungan cukup lembab maka pada permukaan tubuh akan ditumbuhi
misselium cendawan yang berwarna putih sehingga menutupi tubuh serangga.
Pada kelembaban yang cukup tinggi, konidia akan berkecambah dan membentuk appresorium,
kemudian appresorium melakukan penetrasi pada kutikula dengan mengeluarkan enzim pendegradasi
kutikula, seperti lipase, protease, dan kitinase (Deacon 2006). Selanjutnya cendawan menyerang
jaringan lunak dan cairan tubuh serangga kemudian tumbuh untuk bersporulasi. Di dalam tubuh
serangga B. bassiana memperbanyak diri dan memproduksi toksin beauverisin yang dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan sel-sel serangga sehingga mengakibatkan
pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi (Ames et al. 1997, Deciyanto
dan Indrayani 2007). Serangga yang terinfeksi B. bassiana mampu bertahan hidup selama tiga sampai
lima hari setelah penetrasi hifa (Prasad dan Syed 2010). Setelah serangga mati, hifa cendawan
menembus kutikula dari dalam dan berakhir pada pembentukan konidiofor yang menghasilkan spora
aseksual (konidia) yang berfungsi sebagai unit dispersi dan infektif (Shahid et al. 2012).
10
Perusakan jaringan tubuh serangga B. bassiana menghasilkan enzim protease yang dapat
mempercepat degradasi kutikula serangga inang, sehingga miselia B. bassiana lebih mudah masuk ke
rongga tubuh serangga, semakin tinggi enzim protease pada suatu isolat cendawan maka akan lebih
cepat mematikan. Proses infeksi cendawan entomopatogen B. bassiana ke tubuh serangga (Vegaet al.
2008). Selain itu, B. bassiana menghasilkan enzim khitinase yang mampu mendegradasi khitin serangga
inang. Ketersediaan khitinase yang tinggi semakin memudahkan cendawan menguraikan dan
memanfaatkan khitin dari integumen serangga inang (Herlinda et al. 2006). Tanada dan Kaya (1993)
melaporkan bahwa khitin berguna untuk pertumbuhan hifa B. bassiana. Oleh karena itu, semakin tinggi
enzim khitinase suatu isolat semakin memudahkannya memanfaatkan khitin dan selanjutnya
meningkatkan viabilitas spora B. bassiana sehingga proses infeksi akan semakin cepat.
Kematian serangga juga dapat disebabkan adanya tekanan masuknya hifa pada jaringan
serangga, dan peran mikotoksin beauvericin, bassionalide, dan oosporein, yang dihasilkan oleh B.
bassiana serta aksi kombinasi ketiganya akan mempercepat matinya serangga (Inglis et al. 2001).
Menurut Soetopo dan Indrayani (2007), mikotoksin yang dihasilkan B. bassiana juga dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan inti sel serangga, sehingga mengakibatkan
pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain itu, toksin tersebut dapat
menghambat pembusukan yang disebabkan bakteri pada tubuh serangga sehingga cendawan dapat
melakukan mumifikasi dengan baik pada tubuh serangga.
Gambar 1. Ulat Hongkong perlakuan Gambar 2. Ulat Hongkong perlakuan Gambar 3. Ulat Hongkong
UV 15 menit pada 7 HSA UV 30 menit pada 7 HSA perlakuan UV 45 menit pada 7 HSA
Mutagenesis yang diinduksi dengan menggunakan sinar UV diketahui efektif untuk menyeleksi
mikroorganisme dalam menghasilkan zat aktif secara biologis dan peningkatan aktivitasnya (Goodarzi,
2016). Radiasi UV juga digunakan untuk meningkatkan kemampuan Streptomyces griseoaurantiacus
dalam menghasilkan endoglucanase dan β-glucosidase (Kumar, 2015). Dosis iradiasi yaitu jumlah
energi radiasi yang diserap ke dalam bahan. Untuk setiap jenis bahan diperlukan dosis khusus untuk
memperoleh hasil yang diinginkan (Hermana, 1991). Satuan yang digunakan saat ini adalah Gray (Gy).
Satu Gray = 1 Joule/kg (Kustiono, 1994). Penggunaan dosis iradiasi bergantung kepada beberapa hal,
antara lain populasi mikroba (cendawan atau bakteri) sebelum diiradiasi, daya tahan mikroba terhadap
radiasi, lingkungan waktu meradiasi dan tujuan pemakaian dosis iradiasi (Hilmy, 1980). Agar setiap
bahan dapat menerima dosis iradiasi secara tepat, maka dilakukan pengukuran dosis iradiasi dengan
menggunakan dosimetri (Sinaga, 1998). Sinar ultraviolet mempunyai kemampuan sebagai mutagen dan
pada dosis tinggi dapat membunuh sel (Utami, 2014), tetapi tidak menyebabkan 15 kerusakan langsung
pada DNA namun lebih pada hasil proses perbaikan DNA seluler yang terjadi pada DNA yang rusak
sehingga menghasilkan perubahan yang tetap pada urutan dasar DNA (Gumilan, 2001).
12
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengaruh penyinaran UV dan keefektifan terhadap kinerja antagonis B. bassiana yang
dilakukan terhadap mortalitas ulat honking menunjukan hasil uji lanjut menggunakan duncan pada taraf
kepercayaan 5% diperoleh hasil semua perlakuan tidak berpengaruh nyata dan mampu menyebabkan
mortalitas pada ulat hongkong, akan tetapi perlakuan sinar UV 15 menit merupakan perlakuan yang
paling efektif dan efisien dengan angka normalitas yang lebih tinggi dibandingakan dengan perlakuan
lainnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, A., Yasir, H dan Azwana. 2005. Seleksi substrat untuk perbanyakan Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin dan efektivitasnya terhadap hama penggerek bonggol pisang, Cosmopolites
sordidus Germar. J. Hort. 15(2):116-123.
Trisawa, I. M. dan I. W. Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik
Renda Lada (Diconocori hawetti). Buletin Litro XVII (2): 99-106.
Wahyudi, Priyo, Suwahyono, Untung, Harsoyo, Mumpuni, Aris, dan Wahyuningsih, Dwi. ......... 2005.
Pengaruh Pemaparan Sinar Gamma Isotop Cobalt-60 Dosis 0,25–1 Kgy
terhadap Daya Antagonistik Trichoderma Harzianum pada Fusarium Oxysporum. ......... Berk.
Penel. Hayati: 10. 143–151.
14