Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM 2

Peningkatan Kinerja Agen Biokontrol (Uji Hayati: Entomopatogen)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas MK Bioteknologi Pertanian (HPT)

Disusun Oleh:

Anisa Puspita Rachman 150510170030

M. Abid Najmuddin 150510170046

Yulianto 150510170066

Kansa Dianti Putri 150510170083

M. Fayyadh Chaidar M. 150510170163

Ajeng Putri Kusuma Dewi 150510170205

AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANAIN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
nikmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga pada akhirnya kami bisa menyelesaikan Laporan Praktikum
Peningkatan Kinerja Agen Biokontrol (Uji Hayati: Entomopatogen) tepat pada waktunya. Laporan ini
diajukan untuk salah satu tugas praktikum mata kuliah Bioteknologi Pertanian Hama dan Penyakit
Tumbuhan.

Rasa terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerjasama dan memberikan
dukungan sehingga Laporan Praktikum ini dapat disusun dengan baik.

Kami juga menyadari bahwa Laporan Praktikum Biologi ini juga masih memiliki banyak kekurangan.
Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian demi penyusunan
Laporan Praktikum Peningkatan Kinerja Agen Biokontrol (Uji Hayati: Entomopatogen) yang lebih baik
lagi.

Sumedang, Desember 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................. 4
1.2 Tujuan Praktikum ......................................................................................................................... 4
1.3 Tinjauan Pustaka .......................................................................................................................... 5
BAB II METODOLOGI ......................................................................................................................... 7
2.1 Waktu Pelaksanaan Praktikum...................................................................................................... 7
2.2 Alat dan Bahan.............................................................................................................................. 7
2.3 Metode atau Langkah Kerja .......................................................................................................... 7
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 8
BAB IV PENUTUP .............................................................................................................................. 13
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 14

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Serangan hama merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produktivitas pertanian.
Untuk megendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal
akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian
lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur
penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana.

Salah satu alternatif pestisida sintetik untuk mengendalikan serangga hama yaitu jamur
entomopatogen. Jamur entomopatogen merupakan jamur yang dapat hidup dan berkembang pada tubuh
serangga sehingga serangga tersebut terganggu pertumbuhan dan perkembangannya bahkan dapat
menyebabkan serangga tersebut mati. Kelompok jamur ini dapat dengan mudah menyerang serangga
apabila kondisi lingkungan yang ada mendukung bagi perkembangannya terutama kelembaban udara.
Terdapat berbagai spesies jamur entomopatogen yang berpotensi menggendalikan hama yang ada di
pertanian, diantaranya adalah jamur Beauveria bassiana, Metharizium anisopliae, Verticillium lecanii,
Isaria fumasorosea dan Cordyceps spp. Jamur entomopatogen dapat masuk kedalam tubuh serangga
umumnya lewat kulit tetapi tidak jarang pula lewat oral, luka maupun saluran pernapasan.

Proses infeksi jamur entomopatogen diawali dengan adanya kontak antara spora dengan
kutikula serangga. Seringkali dalam peroses perkecambahannya, spora menghasilkan zat yang dapat
membantunya untuk menempel secara kuat pada kutikula serangga. Setelah berkecambah, spora jamur
akan membentuk apresoria (appresorium) yang darinya keluar hypa dengan struktur khusus (infection
peg) yang berfungsi untuk secara mekanis menembus kutikula serangga. Jamur entomopatogen juga
umumnya memproduksi enzim pendegradasi kutikula serangga seperti enzim lipase, protease, chitinase,
dan lipoxygenases. Dengan adanya aktivitas enzim-enzim ini, selain akan terdegradasinya lapisan
kutikula, hasil degradasinya akan juga menjadi sumber nutrisi bagi jamurnya. Jamur entomopatogen
juga diketahui dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap serangga sasaran.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa virulensi dari suatu jamur entomopatogen sangat
dipengaruhi oleh kemampuanya dalam menghasilkan enzim dan juga toxin.

1.2 Tujuan Praktikum


Praktikum ini bertujuan untuk membuat dan menguji mutan jamur entomopatogen Beauveria
bassiana dengan menggunakan sinar UV dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja aktivitas
biologinya terhadap ulat hongkong Tenebrio molitor.

4
1.3 Tinjauan Pustaka
1.3.1 Taksonomi ulat hongkong
Domain: Eukaryota, Kingdom: Animalia, Phylum: Arthropoda, Class: Insecta, Order:
Coleoptera, Suborder : Polyphaga, Family: Tenebrionidae, Genus: Tenebrio, Species: Tenebrio
molitor.

1.3.2 Siklus hidup ulat hongkong


Kumbang ulat hongkong mempunyai siklus hidup yang terdiri dari empat tahap yaitu telur, larva, pupa,
dan serangga dewasa atau yang dikenal dengan metamorphosis sempurna.
a. Telur T. molitor L. berbentuk oval,berukuran panjang 1 mm dan sangat sulit dilihat.
Kebanyakan telur serangga diletakkan dalam satu situasi dimana mereka memberikan sejumlah
perlindungan sehingga pada waktu menetas akan mempunyai kondisi yang cocok bagi
perkembangannya. kumbang betina meletakkan telur satu-satu atau dibungkus dengan
substansi yang dapat mengeras menjadi masa telur atau di dalam suatu kantong yang dikenal
sebagai ooteka.
b. Larva: Bentuk larva kumbang sangat bervariasi, namun pada umumnya mempunyai kepala
yang mudah dibedakkan dari toraks. Larva merupakan bentuk siklus hidup kedua dan
mempunyai 13-15 segnmen berwarna coklat kekuning-kuningan pada bagian tubuh.
c. Pupa: Pupa merupakan tahapan siklus hidup ulat hongkong yang tidak makan dan tidak minum,
berwarna kuning dan mirip mumi kumbang dewasa. Pupa T.molitor L. ini dapat mencapai
panjang sekitar 15 mm, lebar 5 mm dan berwarna putih ketika pertama kali terbentuk kemudian
berubah menjadi berwarna coklat kekuningan).
Serangga dewasa: setelah pupa berumur sekitar 7 hari, kulit pupa pecah dan keluar kumbang. Pada
saat baru keluar kumbang. Pada saat baru keluar dari pupa, tubuh kumbang masih lunak dan pucat,
sering disebut sebagai “teneral’. kumbang ulat hongkong dewasa berwarna coklat gelap denagn
panjang mulai dari 17 sampai 25 mm. Kumbang betina yang telah dewasa akan bertelur.

1.3.3 Makanan Ulat Hongkong


Makanan yang diperlukan oleh ulat hongkong yaitu: Makanan yang diperlukan serangga meliputi 10
asam amino esensial yang juga esensial bagi manusia (arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin,
fenilalanin, treonin, triptofan dan valin), sejumlah vitamin B, sterol, beberapa turunan asam nukleat dan
beberapa mineral.

a. Pollard merupakan hasil ikutan dari penggilingan gandum yang mempunyai potensi untuk
dijadikan sebagai pakan alternative pengganti jagung.
b. Bekatul halus adalah dedak yang diperoleh dari pengayakan hasil ikutan dan penumpukan pada
gelombang kedua dan ketiga atau hasil pengasahan pertama (huller) atau kedua (parakkasi,
1999). Bekatul mengandung karbohidrat cukup tinggi, yaitu 51-55 g/100 g. Kandungan

5
karbohidrat merupakan bagian dari endosperma beras karena kulit ari sangat tipis dan menyatu
dengan endosperma beras karena kulit ari sangat tipis dan menyatu dengan endosperma.
Kehadiran karbohidrat ini sangat menguntungkan karena membuat bekatul dapat digunakkan
sebagai sumber energy alternatif. Kandungan protein pada bekatul juga sangat baik, yaitu 11-
13 g/100 g.
c. Ampas tahu, ampas tahu juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun makro yaitu
untuk mikro; Fe 200-500 ppm,Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co kurang dari 1 ppm, Zn lebih
dari 50 ppm.
d. Pada ulat berusia 1 bulan belum diberi makan sedangkan pada usia 1,5-2 bulan diberi makan
berupa campuran ampas tahu dan bekatul. Ketiak ulat hongkong sudah berubah menjadi
serangga atau kepik diberi makan labu siam setiap 3 hari sekali.

1.3.4 Beauveria bassiana


Beauveria bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan
jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu,
kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum,
suhudi atas 30 °C, kelembapan tanah yang berkurang dan adanya antifungal ataupestisida dapat
menghambat pertumbuhannya.(Hasyim, 2005)

Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang,
masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan
menginfeksi inang baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan,
spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuhserangga inang akan
berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh.
Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada
proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam
tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus
ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari,
serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras
seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih (Trisawa, 2006).

Dalam infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari
bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan
toraks, antara segmen toraks denganabdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor).
Serangga yang telah terinfeksi B.bassiana selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan
cara mengeluarkanspora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang
terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi. Jalur ini dinamakan transmisi horizontal
patogen (inter/intra generasi).

6
BAB II METODOLOGI

2.1 Waktu Pelaksanaan Praktikum


Praktikum dilaksanakan di laboratorium pembelajaran Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Gedung Ex-FTIP Lt.2, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Praktikum dilaksanakan
selama 3 minggu yaitu dari tanggal 20 November 2019 hingga 4 Desember 2019.

2.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu cawan petridish, bunsen, pinset, gelas plastic,
sprayer dan jarum ose. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu media PDA, isolat jamur Beauveria
bassiana, sinar UV, ulat hongkong, jagung pecah dan aquadest.

2.3 Prosedur Kerja


2.3.1 Penyiapan Biakan Murni Jamur Entomopatogen

Isolat jamur B. bassiana yang akan digunakan merupakan koleksi Departemen Hama dan penyakit
Tumbuhan, Faperta Unpad. Biakan murni dibuat pada media PDA.

2.3.2 Pembuatan Mutan Jamur Entomopatogen

Biakan murni jamur entomopatogen B. bassiana (5-7 hari) diberi penyinaran UV selama 15, 30, 45, 60
menit, dan kontrol. Kontrol dibuat tanpa perlakuan penyinaran UV.

2.3.3 Uji Hayati Jamur Entomopatogen

1. Spora jamur B. bassiana dipanen dari biakan murni (yang telah diberi perlakuan sinar UV)
dengan cara menuangkan air steril (mengandung 0,05 % Tween 80) ke atas biakan murni
tersebut.

2. Miselium dan spora dipisahkan dari media PDA dengan menggunakan jarum ose.

3. Suspensi spora jamur B. bassiana yang didapatkan dituangkan ke dalam baker glass. Setelah
itu, dihitung jumlah sporanya per ml dengan menggunakan haemasitometer. Kerapatan
spora yang akan diuji adalah 1 x 106 spora/ml air steril.

4. Suspensi spora B. bassiana disemprotkan ke ulat hongkong sebanyak 10 ekor yang


ditempatkan pada petridish dan dialasi dengan kertas tissue secukupnya. Untuk kontrol, ulat
hongkong disemprot dengan air steril mengandung tween 0,05%.

5. Ulat Hongkong yang telah diberi perlakuan selanjutnya dipindahkan ke petridish atau gelas
plastik dan diberi pakan jagung pecah secukupnya.

7
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

Tabel 1. Data kelas pengamatan mortalitas ulat hongkong dengan berbagai perlakuan

Mortalitas Ulat Hongkong (%) Hari Ke-


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7

UV 15 menit 0 0 0 0 0 0 20

UV 30 menit 0 10 - - 100 100 100

UV 45 menit 0 0 0 0 100 100 100

UV 60 menit 0 0 0 0 40 60 60

Kontrol 0 0 0 0 10 50 90

Berdasarkan hasil praktikum kelas A atau ulangan 1 terlihat bahwa pada perlakuan UV 30 menit
dan 45 menit mampu mencapai mortalitas sebesar 100% pada 5 HSA dibandingan dengan perlakuan
lainnya. Bahkan pada perlakuan UV 30 menit sudah terjadi mortalitas ulat hongkong sebesar 10% pada
2 HSA.

Tabel 2. Data angkatan pengamatan mortalitas ulat hongkong dengan berbagai perlakuan

Mortalitas Ulat Hongkong (%) Ulangan Ke-


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7

UV 15 menit 20 80 80 100 100 100 80

UV 30 menit 100* 40 20 100 70 100 20

UV 45 menit 100* 50 70 100 20 100 90

UV 60 menit 60 10 60 10 100 40 100

Kontrol 90 40 40 100 60 100 80

8
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: MORTALITAS

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model ,255a 4 ,064 ,602 ,664

Intercept 16,595 1 16,595 156,553 ,000

PERLAKUANUV ,255 4 ,064 ,602 ,664

Error 3,180 30 ,106

Total 20,030 35

Corrected Total 3,435 34

a. R Squared = ,074 (Adjusted R Squared = -,049)

MORTALITAS

Subset

PERLAKUANUV N 1

Duncana,b UV 60 MNT 7 ,5429

UV 30 MNT 7 ,6429

KONTROL 7 ,7286

UV 45 MNT 7 ,7571

UV 15 MNT 7 ,7714

Sig. ,251

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,106.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 7,000.

b. Alpha = ,05.

Hasil uji lanjut menggunakan duncan pada taraf kepercayaan 5% diperoleh hasil yang
menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berpengaruh nyata dan mampu menyebabkan mortalitas
pada ulat hongkong, akan tetapi perlakuan sinar UV 15 menit merupakan perlakuan yang paling efektif
dan efisien dengan angka normalitas yang lebih tinggi dibandingakan dengan perlakuan lainnya. Bagian

9
cendawan yang berperan dalam proses penetrasi berupa spora atau konidia. Penetrasi cendawan ke
dalam tubuh serangga bisa melalui proses mekanis yaitu melaui saluran pencernaan dan ruas-ruas tubuh
serangga yang lunak, dan proses kimia yaitu dengan menggunakan enzim protease, lipase, kitinase,
esterase, yang membantu menghancurkan kutikula atau kulit luar serangga (Suwahyono 2009).

Penempelan konidia terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air sehingga terjadi kontak
antara konidia dengan permukaan integumen serangga. Selanjutnya konidia berkecambah dan
menginfeksi. Perkecambahan konidia dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi. Konidia
yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah yang kemudian menembus integumen serangga
dan penetrasi ke dalam haemosel. Setelah masuk ke dalam haemosel, cendawan membentuk tubuh hifa
yang kemudian berkembang dalam haemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang
jaringan lain seperti jaringan lemak, trakea, dan saluran pencernaan.

Gejala awal yang terlihat pada serangga yang terinfeksi B. bassiana yaitu serangga menjadi
lemah, kepekaan dan aktivitas makan menjadi berkurang sehingga pada akhirnya serangga akan mati.
Serangga yang mati karena terinfeksi menunjukkan gejala berupa terdapat bercak kehitaman atau
bercak berwarna gelap pada kulit yang disebabkan oleh penetrasi cendawan pada kutikula serangga
(Vega et al. 2007). Bila kondisi lingkungan cukup lembab maka pada permukaan tubuh akan ditumbuhi
misselium cendawan yang berwarna putih sehingga menutupi tubuh serangga.

Sebelum cendawan membentuk hifa (proliferasi) dalam haemosel, serangga mengembangkan


sistem pertahanan diri. Setelah proliferasi terjadi perubahan biokimia dalam haemolimfa terutama
kandungan protein, defisiensi nutrisi, serta toksin yang dikeluarkan oleh cendawan sehingga terjadi
kerusakan jaringan dalam tubuh serangga yang akan menyebabkan paralisis dan kematian pada
serangga (Inglis et al. 2001). Selain itu, miselium cendawan akan mengeluarkan senyawa aktif yang
bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat proses metabolisme di dalam tubuh
serangga (Suwahyono 2009).

Pada kelembaban yang cukup tinggi, konidia akan berkecambah dan membentuk appresorium,
kemudian appresorium melakukan penetrasi pada kutikula dengan mengeluarkan enzim pendegradasi
kutikula, seperti lipase, protease, dan kitinase (Deacon 2006). Selanjutnya cendawan menyerang
jaringan lunak dan cairan tubuh serangga kemudian tumbuh untuk bersporulasi. Di dalam tubuh
serangga B. bassiana memperbanyak diri dan memproduksi toksin beauverisin yang dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan sel-sel serangga sehingga mengakibatkan
pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi (Ames et al. 1997, Deciyanto
dan Indrayani 2007). Serangga yang terinfeksi B. bassiana mampu bertahan hidup selama tiga sampai
lima hari setelah penetrasi hifa (Prasad dan Syed 2010). Setelah serangga mati, hifa cendawan
menembus kutikula dari dalam dan berakhir pada pembentukan konidiofor yang menghasilkan spora
aseksual (konidia) yang berfungsi sebagai unit dispersi dan infektif (Shahid et al. 2012).

10
Perusakan jaringan tubuh serangga B. bassiana menghasilkan enzim protease yang dapat
mempercepat degradasi kutikula serangga inang, sehingga miselia B. bassiana lebih mudah masuk ke
rongga tubuh serangga, semakin tinggi enzim protease pada suatu isolat cendawan maka akan lebih
cepat mematikan. Proses infeksi cendawan entomopatogen B. bassiana ke tubuh serangga (Vegaet al.
2008). Selain itu, B. bassiana menghasilkan enzim khitinase yang mampu mendegradasi khitin serangga
inang. Ketersediaan khitinase yang tinggi semakin memudahkan cendawan menguraikan dan
memanfaatkan khitin dari integumen serangga inang (Herlinda et al. 2006). Tanada dan Kaya (1993)
melaporkan bahwa khitin berguna untuk pertumbuhan hifa B. bassiana. Oleh karena itu, semakin tinggi
enzim khitinase suatu isolat semakin memudahkannya memanfaatkan khitin dan selanjutnya
meningkatkan viabilitas spora B. bassiana sehingga proses infeksi akan semakin cepat.

Kematian serangga juga dapat disebabkan adanya tekanan masuknya hifa pada jaringan
serangga, dan peran mikotoksin beauvericin, bassionalide, dan oosporein, yang dihasilkan oleh B.
bassiana serta aksi kombinasi ketiganya akan mempercepat matinya serangga (Inglis et al. 2001).
Menurut Soetopo dan Indrayani (2007), mikotoksin yang dihasilkan B. bassiana juga dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan inti sel serangga, sehingga mengakibatkan
pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain itu, toksin tersebut dapat
menghambat pembusukan yang disebabkan bakteri pada tubuh serangga sehingga cendawan dapat
melakukan mumifikasi dengan baik pada tubuh serangga.

Gambar 1. Ulat Hongkong perlakuan Gambar 2. Ulat Hongkong perlakuan Gambar 3. Ulat Hongkong
UV 15 menit pada 7 HSA UV 30 menit pada 7 HSA perlakuan UV 45 menit pada 7 HSA

Gambar 4. Ulat Hongkong perlakuan Gambar 5. Kontrol


UV 60 menit pada 7 HSA
11
Penggunaan sinar UV sebagai mutagen telah banyak dilaporkan keberhasilannya. Sinar UV
memiliki keunggulan yaitu murah, mudah dilakukan, aman dan efektif. Secara alamiah, mutasi dapat
terjadi secara spontan oleh sinar ultraviolet. Hanya saja perlu pengaturan radiasi yang ketat untuk
memperoleh karakter mutan yang dikehendaki pada rentang waktu penyinaran tertentu sehingga dapat
menyebabkan perubahan fungsi metabolisme. Sinar ultraviolet merupakan salah satu mutagen yang
efektif. Sebagai mutagen yang dihasilkan dari perlakuan fisik, sinar ultraviolet memiliki daya penetrasi
lebih rendah dibandingkan dengan sinar gamma dan sinar X. Namun, sinar ultraviolet dapat diserap
maksimal oleh subtansi dalam DNA. Mutagen sinar ultraviolet memiliki spektrum yang luas tentang
peubah mengenai mutasi selain mengakibatkan perubahan susunan pasangan DNA (Hardianto et al.,
2015, terbentuknya dimer timin dan pertautan satu rantai polimer dengan polimer lainnya (cross links)
(Parekh et al., 2000), dan replikasi serta delesi (Britt, 1995).

Mutagenesis yang diinduksi dengan menggunakan sinar UV diketahui efektif untuk menyeleksi
mikroorganisme dalam menghasilkan zat aktif secara biologis dan peningkatan aktivitasnya (Goodarzi,
2016). Radiasi UV juga digunakan untuk meningkatkan kemampuan Streptomyces griseoaurantiacus
dalam menghasilkan endoglucanase dan β-glucosidase (Kumar, 2015). Dosis iradiasi yaitu jumlah
energi radiasi yang diserap ke dalam bahan. Untuk setiap jenis bahan diperlukan dosis khusus untuk
memperoleh hasil yang diinginkan (Hermana, 1991). Satuan yang digunakan saat ini adalah Gray (Gy).
Satu Gray = 1 Joule/kg (Kustiono, 1994). Penggunaan dosis iradiasi bergantung kepada beberapa hal,
antara lain populasi mikroba (cendawan atau bakteri) sebelum diiradiasi, daya tahan mikroba terhadap
radiasi, lingkungan waktu meradiasi dan tujuan pemakaian dosis iradiasi (Hilmy, 1980). Agar setiap
bahan dapat menerima dosis iradiasi secara tepat, maka dilakukan pengukuran dosis iradiasi dengan
menggunakan dosimetri (Sinaga, 1998). Sinar ultraviolet mempunyai kemampuan sebagai mutagen dan
pada dosis tinggi dapat membunuh sel (Utami, 2014), tetapi tidak menyebabkan 15 kerusakan langsung
pada DNA namun lebih pada hasil proses perbaikan DNA seluler yang terjadi pada DNA yang rusak
sehingga menghasilkan perubahan yang tetap pada urutan dasar DNA (Gumilan, 2001).

12
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pengaruh penyinaran UV dan keefektifan terhadap kinerja antagonis B. bassiana yang
dilakukan terhadap mortalitas ulat honking menunjukan hasil uji lanjut menggunakan duncan pada taraf
kepercayaan 5% diperoleh hasil semua perlakuan tidak berpengaruh nyata dan mampu menyebabkan
mortalitas pada ulat hongkong, akan tetapi perlakuan sinar UV 15 menit merupakan perlakuan yang
paling efektif dan efisien dengan angka normalitas yang lebih tinggi dibandingakan dengan perlakuan
lainnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afifaturrahmah, I. 2017. Penggunaan iradiasi sinar ultraviolet untuk M]menghasilkan


mutan fungi mikoriza arbuskular Entrophospora Sp. Isolat Mv 5 tahan N tinggi, P
tinggi, dan pH rendah. Diakses pada 08 Desember 2019, dari
http://digilib.unila.ac.id/29134/3/Skripsi%20tanpa%20bab%20pembahasan.pdf.

Hasyim, A., Yasir, H dan Azwana. 2005. Seleksi substrat untuk perbanyakan Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin dan efektivitasnya terhadap hama penggerek bonggol pisang, Cosmopolites
sordidus Germar. J. Hort. 15(2):116-123.

Tantawizal, Inayati, Alfi, dan Prayogo, Yusmani. 2015. Potensi cendawan


entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) vuillemin untuk
mengendalikan hama boleng Cylas Formicarius F. pada tanaman ubi jalar.
Buletin Palawija No. 29: 46–53.

Trisawa, I. M. dan I. W. Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik
Renda Lada (Diconocori hawetti). Buletin Litro XVII (2): 99-106.

Wahyudi, Priyo, Suwahyono, Untung, Harsoyo, Mumpuni, Aris, dan Wahyuningsih, Dwi. ......... 2005.
Pengaruh Pemaparan Sinar Gamma Isotop Cobalt-60 Dosis 0,25–1 Kgy
terhadap Daya Antagonistik Trichoderma Harzianum pada Fusarium Oxysporum. ......... Berk.
Penel. Hayati: 10. 143–151.

14

Anda mungkin juga menyukai