Anda di halaman 1dari 21

PROBLEMATIKA HUBUNGAN AIR TANAH TUMBUHAN

PENGELOLAAN DAN SUMBER DAYA AIR

Disusun Oleh :

1. Fajar Dwi Prasojo (20180210060)


2. Asri Tri Wulandari (20180210063)
3. Rizky Syahrul Ramdhani (20180210070)
4. Dewi Mustika Rahmadani (20180210079)
5. Lucky Nurramadhan Putra K (20180210083)
6. Yoga Adhi Wijaya (20180210091)
7. Nur Rifana Rahmi (20180210096)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

TAHUN 2019
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air merupakan bagian paling penting yang membuat kehidupan di bumi .
semua organisme yang hidup tersusun dari sel-sel yang berisi air sedikitnya
60% dan aktivitas metabolik mengambil tempat di larutan air (Enger dan
Smith,2000). Air bersifat sumber daya alam yang terbarukan dan dinamis yang
artinya, sumber utama air yang berupa air hujan akan selalu datang sesuai
dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun.
Mengingat keberadaan air disetiap wilayah dan tempat yang didudukinya
tidak selalu tetap, maka harus dikelola dengan bijak dengan pendekatan terpadu
dan menyeluruh. Terpadu dngan mencerminkan berbagai aspek, berbagai pihak
(stakeholders) dan berbagai disiplin ilmu. Sedangkan menyeluruh mencakup
yang sangat luas, melintas batas antar sumber daya, antar lokasi, antar banyak
aspek, antar para pihak hulu dan hilir, antara multi disiplin, dan berbagai jenis
tata guna lahan.(Imad,2010).
Pengelolaan sumberdaya air merupakan usaha untuk mengembangkan
pemanfaatan, pelestarian dan perlindungan air berserta sumber subernya dengan
perencanaan yang terpadu dan serasi guna untuk mencapai manfaat yang
sebesar besarnya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan pangan pun semakin
meningkat. Maka dari itu pengelolaan sumber daya air untuk meningkatkan
sektor pertanian dengan memanfaatkan lahan dan sungai sungai yang besar
untuk dikelola untuk irigasi. (Robert dan Roestam,2008).
B. Tujuan

Untuk mengetahui kebutuhan air tanaman padi dan mentimun pada lahan
atau wilayah dalam pengelolaan air
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Padi varietas Ciherang
Klasifikasi dan Deskripsi Padi (Oryza sativa L.) Varietas. Padi Ciherang
termasuk dalam padi Indica. Padi ini merupakan kelompok padi sawah yang
sangat cocok ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah. Padi ini dapat
ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian di bawah 500 m
dari permukaan laut (BB Padi, 2010).Menurut Tjitrosoepomo (2002) klasifikasi
tanaman padi yaitu sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub-divisio : Angiospermae
Classis : Monokotil (monocotyledoneae)
Ordo : Glumiflorae (Poales)
Familia : Gramineae (Poaceae)
Sub-familia : Oryzoideae
Genus : Oryza
Species : Oryza sativa L. Varietas Ciherang
1. Morfologi padi varietas ciherang
Morfologi atau bagian-bagian tanaman padi,terdiri dari akar, daun,
tajuk, batang, bunga, malai dan gabah.
a. Akar
Perakaran tanaman padi mempunyai perakaran serabut Akar
tanaman padi terdiri dari dua macam akar yaitu: akar seminal dan akar
adventif sekunder.(Makarim dan Suhartatik, 2010).
Akar berfungsi sebagai penguat atau penunjang tanaman untuk dapat
tumbuh tegak, menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk diteruskan
ke organ lain di atas tanah yang memerlukan (Makarim dan Suhartatik,
2010).
b. Daun dan Tajuk
Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang
berselang seling dan terdapat satu daun pada tiap buku. Daun teratas pada
tanaman padi disebut daun bendera yang posisi dan ukurannya tampak
berbeda dari daun yang lain. Menurut Makarim dan Suhartatik (2010)
menyebutkan, bagian-bagian daun terdiri atas helaian daun,pelepah
daun,telinga daun, dan lidah daun (ligula).
Tajuk merupakan kumpulan daun yang tersusun rapi dengan
bentuk, orientasi, dan besar (dalam jumlah dan bobot) tertentu. Varietas-
varietas padi memiliki tajuk yang sangat beragam (Makarim dan
Suhartatik, 2010).Memiliki tajuk yang sangat beragam (Makarim dan
Suhartatik, 2010).
c. Batang
Batang terdiri atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku, dan tunas
(anakan) yang tumbuh pada buku.Jumlah buku sama dengan jumlah daun
ditambah dua yaitu satu buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang satu
lagi menjadi dasar malai. Ruas yang terpanjang adalah ruas yang teratas
dan panjangnya berangsur menurun sampai ke ruas yang terbawah dekat
permukaan tanah (Yoshida, 1981 dalam Makarim dan suhartatik, 2010).
d. Bunga
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Malai terdiri dari 8–
10 buku yang menghasilkan cabang–cabang primer selanjutnya
menghasilkan cabang–cabang sekunder. Buku pangkal malai umumnya
hanya menghasilkan satu cabang primer, tetapi dalam keadaan tertentu
buku tersebut dapat menghasilkan 2–3 cabang primer (Makarim dan
Suhartatik, 2010).
e. Biji
Butir biji adalah bakal buah yang matang, dengan lemma, palea,
lemma steril, dan ekor gabah (kalau ada) yang menempel sangat kuat.
Butir biji padi tanpa sekam (kariopsis) disebut beras. Buah padi adalah
sebuah kariopsis, yaitu biji tunggal yang bersatu dengan kulit bakal buah
yang matang (kulit ari), yang membentuk sebuah butir seperti biji.
Komponen utama butir biji adalah sekam, kulit beras, endosperm, dan
embrio (Makarim dan Suhartatik, 2010).
2. Koefisien tanaman padi (Kc padi)
Koefisien Tanaman (Kc) adalah nilai yang menyatakan hubungan antara
ETo dan ET tanaman. Nilai-nilai Kc beragam dengan jenis tanaman, fase
pertumbuhan tanaman, musim pertumbuhan, dan kondisi cuaca yang ada.
Nilai koefisien tanaman (Kc) tanaman padi pada berbagai fase pertumbuhan
Fase Kc
Pertunasan 1,05
Generatif 1,20
Akhir 0,90
Sumber: Allen (1998)
B. Varietas padi IR64
Varietas padi sawah yang sering dibudidayakan salah satunya adalah
varietas IR64. Djunainah et al. (1993) menyatakan bahwa varietas IR64 sangat
digemari oleh para petani dan konsumen karena rasa nasi enak, umur genjah
(110–125 hari), dan potensi hasil yang tinggi yaitu mencapai 5 ton/ha. Varietas
IR64 merupakan salah satu varietas padi sawah yang hemat dalam
mengkonsumsi air. Konsumsi air bervariasi dengan kisaran 15.93–24.13
l/tanaman. Sistem budidaya sawah membutuhkan air dalam jumlah sangat
besar. Menurut Bouman et al. (2007), rata-rata pemakaian air untuk padi

sawahmencapai 1300–1500 mm di mana 25–50% dari jumlah tersebut hilang


akibat perkolasi dan perembesan. Berikut merupakan deskripsi varietas padi
IR64 (Suprihatno dkk., 2009).
Di Indonesia, pertanian beririgasi umumnya dilakukan di lahan sawah
yang banyak memerlukan air. Oleh karena itu, dalam upaya memanfaatkan air
secara berdaya guna dan berhasil guna perlu diketahui beberapa keperluan air
bagi pertumbuhan tanaman padi seperti evaporasi, transpirasi, perkolasi, dan
penggenangan. Akan tetapi di lapangan, kendala yang sering dihadapi adalah
dalam menentukan besarnya evapotranspirasi tanaman, karena keterbatasan
kesediaan alat yang akurat seperti lisimeter. Cara menentukan evapotranspirasi
tanaman selama ini dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menentukan
besarnya evaporasi potensial pada lokasi/wilayah pertanian kemudian dikalikan
dengan nilai koefisien tanamannya. Nilai koefisien tanaman yang digunakan
diperoleh dari data sekunder yang bukan dari tanaman yang ditentukan nilai
evapotranspirasinya. Kesulitan lain yang dihadapi di lapangan adalah
memisahkan komponen-komponen kebutuhan air areal tanaman padi secara
rinci, seperti evapotranspirasi, perkolasi, penggenangan, dan rembesan. Untuk

itu perlu kajian awal di laboratorium/rumah kaca untuk menentukan


komponen-komponen kebutuhan air tersebut, secara lebih rinci, khususnya nilai
evapotranspirasi dan koefisien tanaman padi varietas IR64 (Oryza sativa) untuk
setiap tahap pertumbuhannya (Nasution dkk., 2015).
Berikut merupakan salah satu penelitian dari Nasution dkk. (2015) yang
membahas hal tersebut. Nilai evapotranspirasi tanaman (Etc) pada setiap fase
pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat
bahwa nilai evapotranspirasi tanaman yang terbesar terdapat pada fase
pertumbuhan reproduktif yaitu untuk genangan 5 cm sebesar 1,70 mm/hari dan
untuk genangan 10 cm sebesar 2,10 mm/hari dan nilai evapotranspirasi tanaman
yang terkecil terdapat pada fase pertumbuhan awal (vegetatif) yaitu untuk
genangan 10 cm sebesar 1,45 mm/hari dan untuk genangan 5 cm terdapat pada
fase pemasakan sebesar 1,25 mm/hari, sedangkan pada fase pertumbuhan aktif
dan fase pertumbuhan pemasakan nilai evapotranspirasi tanamannya lebih kecil
daripada fase pertumbuhan reproduktif dan lebih besar daripada fase
pertumbuhan pemasakan, karena fase pertumbuhan reproduktif lebih banyak
membutuhkan air dibandingkan dengan fase pertumbuhan yang lain. Hal ini
sesuai dengan literatur Islami dan Utomo (1995) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan vegetatif tanaman maksimal terjadi pada periode tengah
pertumbuhan. Selain itu luas permukaan tanaman pada periode ini sudah
mencapai maksimum sehingga penguapan lebih besar. Sedangkan pada periode

awal, evapotranspirasi lebih rendah karena tanaman masih kecil sehingga luas
permukaan tanaman untuk melakukan penguapan lebih kecil.
Sedangkan dari nilai evaporasi potensial (Eto) pada setiap fase
pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata penurunan


evaporasi potensial yang terbesar terdapat pada fasepemasakan yaitu 2,24
mm/hari, dan nilai evaporasi potensial yang terkecil terdapat pada fase
pertumbuhan awal (vegetatif) yaitu 1,40 mm/hari. Dalam hal ini, nilai evaporasi
potensial pada setiap fase pertumbuhan semakin tinggi hal ini sesuai dengan
suhu rata-rata setiap fase pertumbuhan.
Pengukuran nilai koefisien tanaman padi (Kc) setiap fase pertumbuhan
dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa koefisien
tanaman padi yang lebih besar, baik pada genangan 5 cm dan pada genangan 10
cm yaitu pada fase pertumbuhan vegetatif dan yang terkecil terdapat pada fase
pemasakan sebesar 0,71 dan 0,56. Hal ini sesuai dengan literatur Dep. PU
(1987) dalam Soewarno (2000) yang menyatakan bahwa nilai koefisien
tanaman padi menurut FAO pada periode awal pertumbuhan dan reproduktif
sebesar 1,10, sedang pada periode pemasakan (panen) sebesar 0,95.

Pada hasil pengukuran perkolasi untuk genangan 5 cm dan 10 cm dapat


dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa perkolasi tertinggi
terdapat pada kondisi genangan dengan tinggi 10 cm yaitu 1,58 cm/hari, dan
terendah terdapat pada kondisi genangan dengan tinggi 5 cm yaitu sebesar 1,22
cm/hari. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa tanah yang digenangai dengan tinggi
10 cm menunjukkan nilai perkolasi yang lebih besar karena tekanan air yang
lebih besar daripada tanah yang digenangi dengan tinggi 5 cm (p = ρgh),
dimana p
adalah tekanan air, h adalah tinggi genangan air. Hal ini menggambarkan
bahwa tinggi penggenangan air 5 cm dapat menghemat kehilangan air karena
perkolasi setinggi 36 cm atau dalam satu hektar tanaman padi dapat menghemat
air sebesar 3.600 m3.
Berat Kering Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Berat basah dan berat
kering tanaman padi menunjukkan hasil produksi tanaman yang diperoleh
dengan menimbang berat keseluruhan tanaman padi yang dipanen (daun,
batang, dan buah). Serta berat kering tanaman padi setelah dikeringovenkan.
Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa berat basah untuk genangan 5 cm lebih
besar daripada berat basah utuk genangan 10 cm. Begitu juga dengan berat
kering untuk genangan 5 cm lebih besar daripada berat kering untuk genangan
10 cm. Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa produksi tanaman padi
yang tertinggi terdapat pada genangan 5 cm yaitu 746,7 biji/polibeg, sedangkan
yang terendah terdapat pada genangan 10 cm yaitu 723,1 biji/polibag. Secara
statistik dapat dilihat bahwa produksi tanaman padi pada genangan 5 cm tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan genangan 10 cm. Perbedaan
yang tidak signifikan tersebut dapat dilihat dari hasil uji-t, dimana nilai t-hitung
1,03, sedangkan nilai t-tabel dengan df = 18 adalah 2,10 sehingga t-hitung < t-
tabel. Dengan penggenangan air 5 cm dapat dihemat air setinggi 5 cm atau
untuk luasan satu hektar tanaman padi bisa menghemat air sebanyak 0,05 m x
10.000 m2 = 500 m3 atau 500.000 liter air. Bila ditambah dengan kehilangan
air karena perkolasi, maka dengan penggenangan air 5 cm dapat menghemat air
sebesar 4.100 m3 atau 41 x 105 liter dibandingkan dengan tinggi penggenangan
10 cm.
C. Padi Varietas Mekongga

Varietas Padi Mekongga merupakan persilangan antara padi jenis Galur


A2970 yang berasal dari Arkansas Amerika Serikat dengan varietas yang sangat
populer di Indonesia yaitu IR64. Secara fisik, bentuk tanamannya tegak dengan
tinggi tanaman berkisar antara 91 sampai 106 cm. Varietas padi Mekongga ini
baik ditanam di sawah dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl, memiliki
umur tanaman 116-125 hari. Padi Mekongga peka terhadap hama wereng coklat
biotipe 2 dan 3 (BB Padi, 2015).

Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis maupun


subtropis pada 45°LU sampai 45°LS, cuaca panas dan kelembaban tinggi
dengan musim hujan 4 bulan. Curah hujan yang baik, rata-rata 200 mm per
bulan atau 1.500 - 2.000 mm/tahun, dengan distribusi selama 4 bulan. Suhu
optimum untuk pertumbuhan tanaman padi adalah 23 °C dan ketinggian tempat
yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0–1500 m dpl. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi
pasir, debu, lempung dalam perbandingan tertentu dan air dalam jumlah yang
cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan
atasnya antara 18–22 cm dengan pH antara 4–7 (Siswoputranto, 1976), dapat
dilihat bahwa nilai evapotranspirasi tanaman yang terbesar terdapat pada umur
pertumbuhan 56 - 90 hari yaitu untuk varietas Makongga sebesar 1,76 mm/

hari,
Hasil pengukuran nilai evapotranspirasi tanaman (Etc) pada setiap fase
pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat
bahwa nilai evapotranspirasi tanaman yang terbesar terdapat pada umur
pertumbuhan 56 - 90 hari yaitu untuk varietas Makongga sebesar 1,76 mm/
hari, untuk varietas Situ Bagendit sebesar 1,83 mm/hari dan untuk varietas
Ciherang sebesar 1,72 mm/ hari. Hal ini dikarenakan bahwa kebutuhan air pada
fase reproduktif memiliki kebutuhan air yang lebih besar dibandingkan fase
awal, kemudian menurun kembali memasuki fase pemasakan. Hal ini sesuai
dengan Literatur Islami dan Utomo (1995) yang menyatakan bahwa pada
periode awal, evapotranspirasi lebih rendah karena tanaman masih kecil
sehingga luas permukaan tanaman untuk melakukan penguapan lebih kecil,
sedangkan pada fase reproduktif merupakan fase pertumbuhan maksimal dan
pada fase pemasakan tanaman sudah mulai masa tua yang kurang produktif dan
proses metabolisme sudah mulai melambat yang sudah berkurang akan
kebutuhan airnya. Hal ini sesuai dengan Literatur Andoko (2002) yang
menyatakan bahwa fase reproduktif yaitu pada tahap masa bunting sampai pada
tahap pembungaan air sangat dibutuhkan dalam jumlah banyak, sedangkan pada
fase pemasakan yaitu pada tahap gabah matang penuh dimana setiap gabah
matang, keras dan berwarna kuning ditandai dengan daun bagian atas mulai
mengering dengan cepat sehingga kebutuhan air pada tahap ini semakin
berkurang.

Koefisien tanaman padi (kc padi) nilai koefisien tanaman padi setiap fase
pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat
bahwa koefisien tanaman padi yang lebih besar, baik pada varietas Makongga,
Situ Bagendit maupun Ciherang yaitu pada umur pertumbuhan 0 – 55 hari yaitu
sebesar 1,21, 1,20 dan 1,20 secara berturut-turut. Dan pada umur pertumbuhan
91 – 118 hari dapat dilihat bahwa nilai koefisien tanaman padi varietas
Makongga sebesar 1,05, varietas Situ Bagendit sebesar 1,05 dan pada varietas
Ciherang sebesar 1,03. Hal ini sesuai dengan Literatur Sosrodarsono dan
Takeda (1976) menyajikan data beberapa nilai Kc pada tanaman padi sawah
yang besaran nilainya bervariasi bergantung pada lokasi, musim, varietas,
pengelolaan tanaman, cuaca, dll. Namun umumnya mempunyai kecenderungan
yang sama dalam hal besarnya nilai koefisien tanaman sesuai dengan proses
pertumbuhannya, dimana pada awal pertumbuhannya (0-30 hari) nilai Kc lebih
kecil, kemudian meningkat pada pertengahan pertumbuhan dan kembali
menurun di akhir masa pertumbuhannya (umur > 120 hari). Hal yang sama
disampaikan Dept. PU (1987 dalam Suwarno, 2000) dari hasil penelitian
Nedeco, baik untuk padi lokal maupun padi unggul.

D. Mentimun

Mentimun (Cucumis sativus L.) adalah tanaman menjalar yang memiliki


batang yang berwarna hijau, lunak, berbulu dan panjangnya dapat mencapai 1.5
meter. Daun mentimun berbentuk bulat dan lebar dengan bagian ujung
meruncing, sehingga daun ini menyerupai bentuk jantung. Buah mentimun
berbentuk bulat pendek hingga memanjang. Buah ini tumbuh di ketiak daun
dengan posisi menggantung. Kulit buah berwarna hijau keputihan hingga hijau
gelap, ada yang berbintil dan ada yang tidak (Samadi, 2002).

Kebutuhan air tanaman (consumptive use) atau kebutuhan air konsumtif


(evapotranspirasi) adalah gabungan dari 2 (dua) istilah, yaitu evaporasi adalah
air yang menguap dari tanah yang berdekatan, permukaan air, atau dari
permukaan daun-daun tanaman, dan transpirasi adalah air yang memasuki
daerah akar tanaman dan dipergunakan untuk membentuk jaringan tanaman
atau dilepaskan melalui daun-daun tanaman ke atmosfir (Hansen dkk, 1986).
Penggunaan konsumtif penggunaan air untuk kebutuhan tanaman (consumptive
use) dapat diketahui dengan menghitung:

1. Evapotranspirasi tanaman,

2. Jenis tanaman,

3. Umur tanaman,

4. Faktor klimatologi

Kebutuhan air tanaman dapat dihitung dengan persamaan (1) berikut ini.

ETc = kc x ETo .....(1)

Keterangan:

ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Eto = Evapotranpirasi tetapan/tanaman acuan (mm/hari)

kc = Koefisien tanaman

Nilai koefisien pertumbuhan tanaman ini tergantung jenis tanaman yang


ditanam harga- harga koefisien tanaman padi dengan varietas unggul dan
varitas biasa menurut Nedeco/Prosida dan FAO (Milza dkk., 2017). Berikut
nilai Kc untuk beberapa jenis tanaman dan tingkat pertumbuhannya.
Tabel 1. Nilai Kc untuk Beberapa Jenis Tanaman dan Tingkat
Pertumbuhannya

Kebutuhan air tanaman (ETc) diperoleh dari perhitungan nilai koefisien


tanaman (kc) dengan evapotranspirasi acuan (ETo). Data klimatologi yang
digunakan adalah 5 tahun (2009-2013) yang diperoleh dari Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang. Berdasarkan hasil
pengolahan data diperoleh nilai evapotranspirasi acuan (ETo) terdapat pada
Tabel 2 berikut ini.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai ETo tertinggi terdapat pada bulan
Agustus dan terendah pada bulan Desember. Oleh sebab penanaman dilakukan
pada bulan Oktober sampai dengan bulan November. Nilai ETo yang
digunakan berturut-turut adalah 3.89 mm/hari dan 3.29 mm/hari. Untuk
menentukan kebutuhan air tanaman, selain nilai evapotranspirasi acuan (ETo),
juga harus diketahui nilai Kc (coefficient of crop) dari jenis tanaman yang akan
dihitung kebutuhan air irigasinya (ETc). Nilai kc beberapa jenis tanaman dapat
dilihat pada Tabel 1. Untuk tanaman mentimun nilai kc pada periode awal,
perkembangan, pertengahan dan akhir berturutturut adalah 0.45, 0.70, 0.90, dan
0.75.

Nilai kebutuhan air tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) dapat dilihat
pada Tabel 3 dan Gambar 1 di bawah ini.

E. Letak Geografis Kota Batu

Kota Batu merupakan daerah otonom yang di termuda di provinsi jawa


timur.kota batu terdiri dari (3) tiga kecamatan,yaitu: Kecamatan
Batu,Kecamatan Junrejo dan Kecamatan Bumiaji.Luas Kota Batu secara
Keseluruhan adalah sekitar 19.908,72 ha atau sekitar 0,42 persen dari total luas
Jawa Timur.Daerah lereng dan bukit memiliki proposi lebih luas di bandingkan
dengan daerah daratan.Secara geografis kota Batu terletak pada posisi antara
7’’44,55,11’ sampai dengan 8’’26’,35,45’ Lintang Selatan dan 122’’17’,10,90’
sampai dengan 122’’57,00,00’ Bujur Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Irnad. 2010. Menuju Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Berkelanjutan : Integrasi
Ekonomi dan Kelembagaan. Riau: Universitas Andalas.
Robert Kodoatie. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Edisi 2). Jakarta:
Index.Sentra
Allen, RG. Pereira, L. Raes, D. dan Smit, M. (1998) Crop Evapotranspiration -
Guidelines for Computing Crop Water Requirements - FAO Irrigation and
Drainage Paper 56. FAO - Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome. 321 hlm.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
http://www.litbang.pertanian.go.id/varietas/130/ di akses pada 8 desember
2019

Pinem revita R , 2016 https://docplayer.info/63022120-Kajian-beberapa-metode-


pemberian-air-padi-sawah-oriza-sativa-l-varietas-ciherang-di-rumah-
kaca.html di akses pada 8 desember 2019
Bouman BAM, Humphreys E, Tuong TP, Barker R. 2007. Rice and water. Advances
in Agronomy. 92:187–237.

Djunainah, Suwanto TW, Husni K. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Jakarta
(ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Islami, T., dan W.H. Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan tanaman. IKIP.

Nasution, Y., Sumono, Rohanah, A. 2015. Penentuan Nilai Evapotranspirasi dan


Koefisien Tanaman Padi Varietas IR64 (Oryza Sativa L.) di Rumah Kaca
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara . J Rekayasa Pangan dan Pert.,
Vol.3 No. 3 Th. 2015.

Asmawati. 2009. Analisi Kesetimbangan Massa pada Pabrik Penggilingan Gabah


UD. Sumber Hidup di Kec. Bantimurung Kab. Maros. Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin. Makassar

Tjitrosoepomo, Gembong. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta

Simanjuntak, Linus. 2010. Usaha Tani Terpadu PATI (Padi, Azolia, Tiktok, dan
Ikan) Agromedia Pustaka. Depok.

Sugeng HR, 1998. Bercocok Tanam Padi. Aneka Ilmu. Semarang.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Blang Bintang. 2014.


data.bmkg.go.id

Hansen, V. E, O. W. Israelsen dan G. E. Stringham. 1986. Dasar-dasar dan Praktek


Irigasi. Diterjemahkan oleh Endang P. Tachyan. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Milza, F., Chairani, S., dan Syahrul. Analisis Pengaruh Pemberian Irigasi Secara
Defisit Terhadap Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.) Melalui
Sistem Irigasi Tetes. Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017. ISBN: 978-
602-60401-3-8.

Samadi, B. 2002. Teknik Budidaya Mentimun Hibrida. Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai