MATA KULIAH
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN PASANG SURUT (1)
DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Ir. SALAMPAK DOHONG, MS
OLEH:
ETHELBERT DAVITSON PHANIAS
CFA 217 040
PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2017
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga saya mendapat
kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini dengan judul “Lahan Gambut
Secara Berkelanjutan” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan
Lahan Gambut dan Pasang Surut (1).
Ucapan terima kasih yang dalam tak terhingga saya sampaikan kepada
seluruh komponen yang memberikan bantuan kepada saya sehingga makalah ini
tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih kami terutama disampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. SALAMPAK DOHONG, MS sebagai dosen
pengampu mata kuliah Pengelolaan Lahan Gambut dan Pasang Surut
yang telah memberikan tugas beserta pengasuhan dalam pembuatan
makalah ini.
2. Teman-teman PSAL angkatan 2017 yang telah memberikan dukungan
baik itu berupa moril maupun materil.
Banyak komponen yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu saya dalam mendapatkan ide dalam penyusunan makalah ini, mudah-
mudahan Tuhan Yang Maha Esa membalasnya dengan yang lebih baik.
Dalam penulisan makalah ini, saya sebagai penyusun tidak menutup
kemungkinan adanya membuat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu saya
berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih bagus lagi kedepannya.
Atas perhatian dan partisipasinya saya selaku penyusun makalah ini
mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan berguna sehingga dapat menambah pengetahuan bagi kita semua.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul..................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................. iii
Daftar Gambar ..................................................................................................... iv
Daftar Tabel ........................................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 4
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................... 4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Tanah Gambut ............................................................................... 5
2.2 Sifat Fisika Tanah Gambut ........................................................... 8
2.2.1 Ketebalan Gambut ............................................................. 8
2.2.2 Kedalaman Muka Air Tanah ............................................. 9
2.2.3 Warna Tanah ...................................................................... 9
2.2.4 Kematangan Gambut (Kadar Serat %) .............................. 10
2.2.5 Bobot Isi (BD) ................................................................... 10
2.2.6 Kadar Air ........................................................................... 11
2.3 Sifat Kimia Tanah Gambut ........................................................... 11
2.4 Pengelolaan Lahan Gambut .......................................................... 14
2.4.1 Gambut Untuk Pertanian ................................................... 14
2.4.2 Gambut Untuk Tanaman Hutan ......................................... 19
2.4.3 Pengurangan Emisi GRK ................................................... 20
2.4.4 Pengendalian Muka Air Tanah .......................................... 21
2.4.5 Persiapan Lahan Tanpa Bakar ........................................... 23
2.4.6 Tanaman Penutup Tanah ................................................... 25
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 27
3.2 Saran ............................................................................................. 27
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
v
BAB I
PENDAHULUAN
sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut
sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%, Kalimantan
32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmaera dan Seram 3%(
Hutan gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal dari
bahan organik dengan tebal ± 50 cm. Lapisan bahan organik ini terdiri atas
tumbukan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan
batang pohon lengkap, yang terakumulasi selama ribuan tahun. Lapisan gambut
terbentuk karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat
mengalami penguraian oleh bakteri dan organisme lainnya. Namun karena sifat
tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur
hara, maka proses dekomposisi berlangsung lambat (Utomo, 2008). Menurut Agus
et al. (2011), hutan gambut yang masih alami berperan sebagai penyerap gas CO2
dan menyimpan cadangan air. Tanah gambut memiliki cadangan karbon dalam
komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan
tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses
1
mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami
yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya,
tergolong lahan marginal dan ”fragile” dengan produktivitas biasanya rendah dan
yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang
tepat. Konservasi dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan
setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di
hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut.
Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang
dengan syarat adanya perbaikan yang cukup intensif untuk mengubah kondisi
2
alamiahnya menjadi bentuk lahan pertanian yang menguntungkan. Penguasaan
belum banyak mendapat perhatian. Hal yang mendasar dalam pengelolaan lahan
rawa gambut adalah sistem drainase. Drainase diperlukan dengan tetap menjaga
muka air tanah pada batas yang optimum, untuk mendukung pertumbuhan tanaman
drainase (pembuang) harus terpisah dari saluran pemberi dan merupakan suatu
tldak mampu menyerap air kembali, karena adanya sifat kering tidak balik
proses kering tidak balik dapat di hubungkan dengan kerapatan lindak tanah (bulk
density). Kering tidak balik dapat terjadi pada gambut dengan kerapatan lindak
yang rendah, sedangkan gambut dengan kerapatan lindak yang tinggi relative
budidaya tanaman perkebunan. Selain itu lahan gambut juga berpotensi besar untuk
(2007) pengembangan lahan gambut untuk pertanian tidak hanya ditentukan oleh
sifat-sifat fisika maupun kimia gambut, namun dipengaruhi pula oleh manajemen
3
1.2 Rumusan Masalah
sebagai berikut:
mengenai sifat fisika dan kimia tanah gambut, serta tentang bagaimana cara
terjaga kelestariannya.
4
BAB 2
PEMBAHASAN
Tanah gambut adalah tanah yang secara dominan tersusun dari sisa-sisa
jaringan tumbuhan (Subagyo et al., 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju
sehingga bahan organik berakumulasi makin tebal sampai suatu saat mengalami
diendapkan pada suatu kawasan yang lingkungannya bersifat salin. atau payau,
yang biasanya berada dl laut dangkal. Bahan induk ini kaya akan sulfur karena
bercampur pada 'keadaan salin atau payau, baik yang berasal dari bahan mineralnya
maupun dari bahan organiknya. Adanya proses kimia, fisika, serta biologis
berbahaya, bagi tanaman apabila teroksidasi, tetapi tidak berbahaya dalam keadaan
reduksi, yaitu berada di bawah muka air (Pandjaitan dan Hardjoamidjojo, 1999).
daerah pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut. Di daerah rawa
yang selalu tergenang air proses penimbunan bahan organik lebih cepat
Rawa-rawa di Indonesia terbentuk sekitar 5000 tahun yang lalu. Saat itu terjadi
transgresi air laut (muka air laut naik) akibat mencaimya es di kutub, sehingga pada
5
saat regresi (muka air taut turun) banyak daerah-daerah sekitar pantai Sumatera,
Pembentukan tanah gam but di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan terjadi
1993):
- kategori A: lahan dapat diairi melalui air pasang, baik pada waktu pasang besar
(spring tid e) maupun pasang rendah (neap tide), pada Musim Hujan (MH)
- kategori B: lahan dapat diairi selama pasang besar saja dan berlangsung antara
- kategori C: lahan tidak dapat diairi seeara reguler melalui air pasang, namum
air tanah dapat dikendalikan pada kondisi muka air tanah atau pada zona
perakaran;
- kategori D: lahan tidak dapat diairi melalui air pasang, dan air tanah sering
Tanah gambut menurut definisi dari Sistem Klasifikasi Tanah dalam Taksonomi
6
b. mengandung 12% atau lebih C-organik jika fraksi mineralnya tidak
mengandung liat;
antara 12-18%.
lahan gambut;
c. vegetasi asli yang membentUk gam but: dihubungkan dengan bahan gam
but yang berasal. dari JeOls vegetasi tertentu yang membentuknya, sehingga
dikenal adanya gam but yang berasal dari lumut (moss peat),
7
e. sifat fisik gambut: dihubungkan dengan tingkat dekomposisi bahan gambut,
bahan organik 113 - 2/3), dan saprik (kandungan bahan organik < 113);
pembentukan dan perkembangan gam but, sehingga dikenal istilah gam but
daerah tropika (tropical peat), dan gambut daerah sedang (temperate peat).
Sifat fisik gambut sangat penting didalam usaha reklamasi dan pengelo1aan
air pada tanah gambut. Kajian sifat fisik gambut sangat berhubungan dengan aspek
sesuai dengan keputusan presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan oleh semakin
gambut tebal lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya
rendah dan daya dukung tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan
pengangkutan sarana pertanian dan hasil panen (Agus & Subiksa, 2008). Semakin
tanaman sulit mencapai lapisan mineral yang berada di lapisan bawahnya. Hal ini
8
mudah condong dan roboh khususnya pada tanaman tahunan atau tanaman
Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh pembukaan saluran
drainase juga dipengaruhi oleh factor iklim, terutama curah hujan. Ketinggian muka
Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air makro
maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi
muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak
Informasi tentang jumlah air yang di retensi oleh tanah sangat penting bagi
pengelolaan. usaha pertanian. Secara umum, air yang diretensi tanah yang dapat
dlpergunakan untuk tanaman (air tersedia bagi tanaman) adalah antara kapasitas
lapang (field capacity) pada pF 2,2 (0,33 bar) dengan titik layu permanen
bahan organik maka warna tanah akan semakin gelap. Darmawijaya (1997) pada
umumnya bahan organik memberi warna kelam pada tanah, artinya jika tanah
menyebabkan warna lebih cenderung kearah coklat kelam. Makin stabil bahan
organik makin tua warnanya, sedangkan makin segar maka makin cerah warnanya.
9
2.2.4 Kematangan Gambut (Kadar Serat %)
kedalaman memiliki kadar serat yang berbeda pada setiap titiknya, tetapi pada
kedalaman yang sama pada setiap titik yang berbeda memiliki kadar serat yang
hampir sama dan memiliki kematangan gambut yang sama. Secara umum tingkat
dekomposisi pada lapisan gambut pada lapisan atas dan di atas muka air tanah lebih
tinggi atau lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah.
ekologis yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi adalah tinggi muka air
kepadatan tanah, semakin tinggi nilai bobot isi maka semakin padat suatu tanah dan
bobot isi yang rendah antara 0,05-0,25 gr/cm3, semakin rendah nilai bobot isi maka
rendah, karena masih banyak mengandung bahan organik. Sehingga daya topang
terhadap beban diatasnya seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin
pertanian adalah rendah. Sedangkan gambut yang sudah direklamasi akan lebih
padat dengan bobot isi antara 0,1-0,4 gr/cm3. Selanjutnya Noor (2001), menyatakan
bahwa bobot isi gambut yang rendah mengakibatkan daya dukung tanah rendah
10
sehingga tanaman mengalami kendala dalam menjangkarkan akarnya, akibatnya
relatif sangat tinggi atas dasar berat kering. Kapasitas mengikat air maksimum
untuk gambut fibrik adalah 580-300 %, untuk gambut hemik 450-850 % dan untuk
gambut saprik < 450 % . Gambut akan berubah menjadi hidrofob (menolak air)
Kemampuan tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik
lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari
air tanah bukan hanya berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga
oleh curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi,
dan tinggi muka air tanah. Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh
kepadatan tanah, karena tanah akan lebih sedikit memegang air (Mardina, 2006).
ketebalan, dan jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat
dekomposisi gambut.
11
Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan
sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat
sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa,
hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Komposisi
Tabel 1. Perbedaan sifat kimia dari gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik.
Tingkat Kadar (% bobot kering)
Kesuburan N K2O P2O5 CaO Abu
Eutropik 2,50 0,10 0,25 4,00 10,0
Mesoprik 2,00 0,10 0,20 1,00 5,00
Oligotropik 0,80 0,03 0,05 0,25 2,00
Sumber: Driessen and Supraptohardjo (1974)
Berbeda dengan tanah mineral, bagian yang aktif dari tanah gambut adalah
fase cairnya, bukan padatan yang terdiri dari sisa tanaman. Fase cair dari gambut
terdiri dari asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus
fungsional yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine. Karakteristik dari
asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut. Sebagai akibat
dari tingginya asam organik, maka reaksi tanah pada umumnya masam. Namun
karena karena asam organik adalah asam lemah, maka pH tanah biasanya berkisar
antara 4 - 5. pH tanah bisa lebih rendah bila ada lapisan sulfidik yang teroksidasi
atau gambut yang terbentuk di atas lapisan tanah yang sangat miskin seperti pasir
Sebagian dari asam organik bersifat racun bagi tanaman yaitu dari golongan
senyawa fenolat. Asam-asam fenolat serta turunannya dan juga senyawa benzen
karboksilat merupakan "building block" utama dari susunan asam humat dan fulvat.
Building block tersebut bergabung melalui berbagai ikatan seperti ikatan H, gaya
12
vander Wall, ikatan C-O dan ikatan C-C (Schnitzer, 1977 dalam Sabiham, 1999).
Beberapa turunan asam fenolat yang bayak dijumpai pada bahan organik adalah
gentisat, galat, kafeat, protokatekuat dan syringat (Hartley and Whitehead, 1984
komplek/khelat (Schnitzer, 1969; Kerndorff and Schnitzer, 1980). Kation Fe, Al,
Kadar asam fenolat pada gambut di Indonesia sangat tinggi. Sabiham (1995)
mengemukakan kadar asam p-hydroxy benzoat, asam kumarat dan asam ferulat
masing-masing sebesar 32,4 ppm, 34,6 ppm dan 35,2 ppm pada gambut Air
dari ketiga asam fenolat tersebut adalah 467,5 ppm, 140,73 ppm dan 15,18 ppm.
Dengan demikian kadar asam-asam fenolat pada gambut Indonesia jauh di atas
ambang batas, terutama gambut Kalimantan. Tanah gambut mengandung hara yang
bahwa K-dd pada gambut Jambi umumnya rendah sampai sedang (0,13-0,70
cmol.kg1), (Salampak, 1999 dalam Rutmini, 2012) melaporkan K-dd pada gambut
gas metan dapat ditekan dengan penambahan lumpur laut, payau maupun sungai
13
(Sabiham, 1993). Penggunaan kation polivalen seperti Al, Fe dan Cu dapat
pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi (Salampak, 1999
termasuk perkebunan dan tanaman industri tergolong sangat rawan, terutama jika
menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara membuat
saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai di daerah pasang
surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air ke bagian
dalam (beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut). Tanpa membuat saluran
drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli
setempat (ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam
kondisi jenuh air atau daerah yang dominan basah. Dibalik pembuatan drainase
yang menyebabkan penurunan air tanah, maka terjadi perubahan suhu dan
14
melaporkan bahwa penurunan permukaan lahan gambut di daerah Kalampangan
(eks UPT Bereng Bengkel) paling sedikit 1-3 cm tiap tahun. Limin (1998)
tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam organik yang berpengaruh lebih kuat
yang dikembangkan apakah untuk tanaman pangan, sayuran, perkebunan atau hutan
tanaman industri (HTI). Perataan tanah penting jika akan dikembangkan tanaman
produktivitas, karena keberadaan tunggul akan membatasi area yang bisa ditanami
dan menjadi sarang hama. Pembuatan surjan hanya mungkin dilakukan pada
gambut dangkal dan lahan bergambut. Guludan dan drainase dangkal intensif
Subiksa, 2008).
Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air
(anaerob), sementara itu sebagian besar tanaman memerlukan kondisi yang aerob.
Oleh karenanya, langkah pertama dalam reklamasi lahan gambut untuk pertanian
15
adalah pembuatan saluran drainase untuk menurunkan permukaan air tanah,
asam-asam organik. Namun demikian, gambut tidak boleh terlalu kering karena
gambut akan mengalami kerusakan dan menimbulkan emisi GRK yang tinggi.
Berbeda dengan tanah mineral, bagian aktif dari gambut adalah fase cairnya,
sehingga apabila gambut kering akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan
jaringan saluran drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk mengendalikan
muka air tanah di seluruh kawasan. Dimensi saluran primer, sekunder, dan tersier
Tanaman pangan dan sayuran pada umumnya memerlukan drainase yang dangkal
tetapi tetap memerlukan sirkulasi air seperti halnya tanaman padi. Tanaman karet
memerlukan saluran drainase mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa dan kelapa
sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-70 cm (Agus dan Subiksa, 2008).
dekomposisi, dan erosi gambut dipermukaan yang kering. Semakin dalam saluran
drainase, maka subsiden semakin besar dan semakin cepat. Penurunan permukaan
gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya akar tanaman tahunan di
16
perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman tanaman tahunan ditunda sampai
sampai satu tahun setelah pembukaan saluran. Hal ini dilakukan untuk menghindari
Sekat kanal berfungsi untuk menjaga air tanah gambut agar tidak kering,
karena kanal-kanal yang sudah ada selama ini fungsinya adalah untuk
mengeringkan tanah pada hutan gambut sehinggi perlu dibuat sekat pada kanal agar
air pada tanah gambut dapat terjaga.
17
2.4.2.2 Pemilihan Komoditas Yang Sesuai
modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis tanaman sayuran (selada, kucai,
kangkung, bayam, cabai, tomat, terong, dan paria) dan buah-buahan (pepaya, nanas,
semangka, melon) adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
2.4.2.3 Pemupukan
mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan adalah
pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro Cu,
karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk
mudah tercuci. Penggunaan pupuk lepas lambat (slow release) seperti fosfat alam
dan Pugam lebih baik dibandingkan dengan SP-36, karena akan lebih efisien,
harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Pugam
dengan kandungan hara utama P, juga tergolong pupuk lepas lambat yang mampu
Tanah gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat)
oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur
18
sulfat 7 kg.ha-1, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kgha1tahun-1.
Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan bunga jantan steril sehingga terjadi
kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa
pada kacang tanah. Pugam sebagai amelioran dan pupuk, juga mengandung unsur
mikro yang diperlukan tanaman, sehingga pemupukan unsur mikro tambahan tidak
diperlukan lagi.
khususnya tanaman pangan dan sayuran. Pada prinsipnya pengaturan pola tanam di
lahan gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu tanah dalam keadaan terbuka
yang memicu terjadinya emisi. Relay planting adalah salah satu contoh penerapan
pola tanam yang memungkinkan tanah gambut tidak terbuka saat penggantian
ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.
manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi
ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan
19
Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon
adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis
tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH yang berlokasi
di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi
volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83%
Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi harus dipaksa untuk melakukan perubahan
Lahan gambut dikenal merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK)
terbesar dari sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan cadangan karbon
sangat besar yaitu 550 Gt CO2e, setara dengan 75% karbon di atmosfer atau setara
dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007).
Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang mudah mengalami
dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asamasam organik, gas CO2 dan
antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase dan pengelolaan
lahan. Kebakaran lahan bisa terjadi saat pembukaan hutan gambut, persiapan lahan
20
sebelum musim tanam atau musim kemarau ekstrim. Kebakaran yang terjadi pada
waktu pembukaan hutan dan persiapan lahan seringkali terjadi karena kesengajaan,
sedangkan kebakaran di saat tanaman sudah ditanam bisa terjadi karena keadaan
petani untuk mendapatkan abu yang memperbaiki pH dan kejenuhan basa tanah.
karbon dari seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt. Tergantung ketebalan
gambut, simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
simpanan karbon tanah mineral. Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman
Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik secara
vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase sangat menentukan
kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur
Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media
perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar
menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Oleh karena muka air tanah harus
dikendalikan agar akar tanaman cukup mendapatkan oksigen, tetapi gambut tetap
lembap untuk menghindari emisi yang besar dan gambut mengering. Pengendalian
21
air dengan mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah
laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase. Rieley dan Page
(2005) menunjukkan hubungan linier antara kedalaman muka air tanah dengan
emisi karbon bersifat spesifik lokasi. Agus et al. (2008) menunjukkan bahwa laju
muka air tanah. Oleh karena mengatur muka air tanah pada tingkat yang aman untuk
tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang
sangat efektif.
jenis tanaman dengan emisi. Hal ini tentu berkaitan dengan kedalaman air tanah
yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis tanaman. Salah satu komponen penting
dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu
air atau canal blocking di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka
daya hantar hidrolik yang tinggi, maka dalam satu saluran diperlukan beberapa
daerah, menunjukkan bahwa jaringan saluran drainase tidak terawat dengan baik
sehingga saluran menjadi sangat dangkal dan tertutup rumput. Pintu air dengan
cepat mengalami kerusakan karena sistem pemasangan kurang baik, sehingga air
mengalir melalui pinggir pintu air. Oleh karena itu, perlu digalakkan program
22
rehabilitasi lahan, pembuatan saluran, pintu air, dan canal blocking di lahan gambut
untuk menghindari perubahan kondisi lahan yang drastis, seperti pengeringan. Pintu
air harus berfungsi secara optimal agar permukaan air tanah stabil.
Emisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, baik karena
lapisan gambut terbakar sekitar 3-5 cm.Dari gambut yang terbakar selama 2 kali
tanam per tahun dapat diperkirakan besarnya emisi karbon yaitu sekitar 110,1 t
CO2ha-1tahun-1 (dengan asumsi karbon density gambut sekitar 50 kgm-3 atau 0.05
tm-3).
Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau dari
data hot spot (titik api)yang dihasilkan dari interpretasi citra satelit. Jumlah titik api
antara bulan Januari – Mei 2010, Provinsi Riau dan Kalimantan Timur memiliki
titik api paling banyak, dan puncaknya terjadi pada bulan Februari - Maret. Hal ini
23
pengenalan alternatif lain dalam pembukaan lahan. Selain itu fasilitas pemantauan
hilangnya cadangan karbon sehingga lapisan gambut semakin tipis bahkan habis.
Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral berpirit atau pasir kuarsa maka
dilakukan petani untuk memperoleh abu yang untuk sementara bisa memperbaiki
baik (Subiksa et al., 1998). Proses ini harus dihindari dengan mempertahankan
kelembapan gambut agar tidak mudah terbakar dan menerapkan sistem pengelolaan
zero burning. Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di rumah abu (tempat
pembakaran serasah) adalah salah satu usaha mencegah kebakaran gambut meluas.
Tempat khusus ini berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api
tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan sangat baik oleh petani
sayur di lahan gambut Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus
tanpa membakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa diterima masyarakat.
alternatif yang baik, namun alatnya masih tergolong mahal. Sementara untuk lahan
pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya ameliorasi dan pemupukan agar
24
pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh karena itu, kebijakan subsidi pupuk dan
amelioran untuk petani di lahan gambut penting untuk dikeluarkan agar kebiasaan
membakar yang menghasilkan emisi CO2 tinggi bisa dihindari. Ditjen Perkebunan
emisi CO2 sampai 0,284 Gt CO2 atau 25% dari proyeksi BAU 2025.
Emisi GRK berkorelasi positif dengan suhu, dimana makin tinggi suhu
udara dan tanah maka emisi GRK semakin tinggi. Warna gambut yang gelap
cenderung menyerap suhu, sehingga gambut yang terekspos akan terasa sangat
panas. Suhu yang panas menyebabkan gambut cepat kering dan rawan kebakaran.
Oleh karena, untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian, maka tanah
demikian tanaman insitu seperti kalakai atau pakis (Stenochiaena palustris) juga
25
Gambar 3. Tanaman penutup tanah kelakai (Stenochiaena palustris) untuk
mempertahankan kelembapan tanah gambut
26
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
sebagai berikut:
1. Sifat fisika dan kimia pada tanah gambut adalah beberapanya seperti
2. Untuk melakukan pengelolaan lahan gambut banyak sekali hal yang dapat
gambut juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, melakukan persiapan
3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Lahan gambut harus selalu dijaga dengan memperhatikan sifat fisika dan
kimia yang tepat agar ekosistem gambut dapat selalu terjaga kelestariannya.
matang, baik dari segi teknis, sosial ekonomis maupun analisis dampak
lingkungannya.
27
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Subiksa I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 36 hal.
Agus, F., K. Hiriah, dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon. Balai
Penelitian Tanah. Bogor. 57 hal.
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. Soil
Researches Management and Conservation Service. FAO Land and Water
Development Division. Rome.
Bell, F.G. 1992. Engineering Properties of Soils and Rocks. 3rd Ed. Butterworth,
Heinemann.
Bellamy DJ. 1995. The peatlands of Indonesia: They key role in global
conservatio-can they be used sustainably. Dalam: Biodiversity and
Biodiversity, Environmental Imprortance of Trop. Peat and Peatlenads.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan
Pelaksanaan Pertanian Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta. 19 hal.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan
Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian: Suatu
Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap, Faperta IPB.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of
CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report
Q3943 (2006).
Indonesia Climate Change Trust Fund (2017). Program Tata Kelola Hutan dan
Lahan Gambut Untuk Mengurangi Emisi di Indonesia Melalui Kegiatan
Lokal. Jakarta: Kementerian PPN
Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In Parish, F., Siri, A., Chapman,
D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland,
Biodiversity and Climate Change.Global Environmental Centre, Kuala
Lumpur and Wetand International, Wageningen.
28
Las, I., K. Nugroho, dan A. Hidayat.2008. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut
untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian, 2(4): 295-298.
Noor, M., 2010. Hubungan nilai emisi gas rumah kaca dengan teknologi
pengelolaan lahan gambut. Makalah Seminar Workshop Pelaksanaan
Perhitungan dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Lahan Gambut, 4
Mei 2010 di Kementerian Lingkungan Hidup R.I., Jakarta.
Pandjaitan, Nora H. dan Hardjoamidjojo, Soedodo. 1999. Kajian Sifat Fisik Lahan
Gambut Dalam Hubungan Dengan Drainase Untuk Lahan Pertanian.
Buletin Keteknikan Pertanian, Volume 13. No 3 Tahun 1999
Puslittanak, 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian tanah dan
Agroklimat Kerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian
Nasional badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian
29
Ratmini, Sri. 2012. Characteristics and Management of Peatland for Agricultural
Development. Jurnal Lahan Suboptimal. ISSN: 2252-6188 Vol. 1, No.2: 197-
206
Rieley, J.O dan S.E. Page. 2005. Wise Use of Tropical Peatlands: Focus on
Southeast Asia. Nottingham, UK. 168 p.
Sabiham S. 1993. Pemanfaatan lumpur daerah rawa pasang surut sebagai salah
satu alternatif di dalam menurunkan gas metana dan asam fenol pada gambut
tebal. p. 267-277 dalam Tri Utomo et al (Eds) Prosiding Seminar Nasional
Gambut II. Jakarta, 14-15 Januari 1993. p 267-277
Saribun. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan Lereng
Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan Kadar Air Tanah pada Sub-DAS
Cikapundung Hulu. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian.
Universitas Padjajaran. 61 hal.
Soil Survey Staff. 1994. Keys to Soil Taxonomy. Pocahontas, Inc. Blacksburg.
Virginia.
Subagyo, H., D.S. Marsoedi dan A.S. Karama. 1996. Prospek Pengembangan
Lahan Gambut untuk Pertanian. Seminar Pengembangan Teknologi
Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian Lahan Gambut. Bogor, 26
September 1996.
Subagyono, K., T. Vadari., dan I.P.G. Widjaja Adhi. 1997. Strategi Pengelolaan
Air dan Tanah pada Lahan Rawa pasang Surut : Prospek dan Kendala.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat Tanggal 4 s/d 6 Maret.
Subiksa, IGM., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem Pengelolaan Lahan Eksisting
di Kalimantan Barat serta Implikasinya terhadap Siak Kimia Tanah Gambut
dan Emisi GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan
Kementrian Ristek.
30
Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja Adhi, 1991. Pembandingan pengaruh
P-alam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquent) Karang Agung
Ulu Sumatera Selatan. DalamProsiding Pertemuan Pembahasan Hasil
Penelitian Tanah, Cipayung 3-5 Juni 1991.
Utama, M.Z.H. dan W. Haryoko. 2009. Pengujian Empat Varietas Padi Unggul
pada Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal
Akta Agrosia, 12 (1): 56 – 61.
Wahyunto, Sofyan R., Suparto, dan H. Subagyo. 2004. Sebaran dan kandungan
karbon lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International
Indonesia Programme.
Widjaja Adi IPG. 1995. Developing tropical peatlands for agriculture. in Rieley
and Page (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland.
Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental
Importance and Sustainability of Tropical Peats and Peatlands. Palangka
Raya, 4 - 8 September 1995. p 293-300.
31