Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PROBLEMATIKA AGROEKOSISTEM SAWAH

Disusun Oleh :
Gugun Gunawan (20210210155)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta pertambahan penduduk menuntut
perlunya penyediaan sumber daya untuk memenuhi konsumsi pangan dan area pemukiman.
Untuk merealisasikannya perlu tindakan yang bijaksana agar tidak menimbulkan dampak
perubahan terhadap lingkungan. Masalah lingkungan yang terjadi seperti erosi tanah, longsor,
banjir dan kekeringan merupakan tanda-tanda terancamnya keseimbangan ekosistem.
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak
terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem merupakan
penggabungan dari setiap unitbiosistem yang melibatkan interaksi timbal balik
antarorganisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur
biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari
sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas
berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan
beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan
fisik unuk keperluan hidup.
Agroekosistem terbentuk sebagai hasil interaksi antara sistem sosial dengan sistem
alam, dalam bentuk aktivitas manusia yang berlangsung untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Dalam mengambil manfaat ini masyarakat dapat mengambil secara
langsung dari alam, ataupun terlebih dahulu mengolah atau memodifikasinya. Jadi suatu
agroekosistem sudah mengandung campur tangan masyarakat yang merubah keseimbangan
alam atau ekosistem untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Pentingnya pengamatan
dan analisis untuk sistem dan perlakuan pertanaman di suatu hamparan lahan untuk menilai
seberapa besarnya keseimbangan agroekosistem maka akan bisa menjadi dasar dalam
perlakuan selanjutnya, baik dalam pemeliharaan, perawatan dan sebagainya sehingga
pertanian yang dikelola dapat terus di budidayakan dan berkelanjutan baik dari segi ekonomi,
sosial maupun budaya.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka penting dibuat makalah tentang
identifikasi makalah tentang pada agroekosistem sawah dan perencanaan penataan
agroekosistem menuju pertanian berkelanjutan.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja permasalahan pada lahan sawah sesuai dengan aspek yang telah ditentukan.
2. Bagaimana analisis agroekosistem sawah.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui beberapa macam permasalahan pada lahan sawah sesuai dengan
aspek yang telah ditentukan.
2. Bagaimana analisis agroekosistem sawah?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Permasalahan pada lahan sawah
lahan sawah merupakan lahan pertanian yang umum dijumpai di daerah dataran
dengan topografi landai. Biasanya lahan pertanian yang berupa hamparan sawah yang luas
ditemukan di daerah pedesaan yang diselingi perkampungan para petani. Bagi masyarakat
pedesaan, lahan sawah telah menjadi sumber pendapatan utama dan pemenuhan kebutuhan
pangan sehingga banyak rnasyarakat yang membuka lahan untuk pertanian lahan sawah, baik
secara berpindah maupun menetap. Pada masa lalu, lahan sawah . di beberapa pedesaan di
Indonesia masih cukup luas dengan sistem pertanian.
Pada lahan sawah tersendiri juga memiliki permasalahan didalamnya, berikut
merupakan beberapa permasalahan yang muncul pada aspek-aspek yang telah ditentukan,
diantaranya.
a) Produktivitas Sawah
peningkatan produksi padi di Kabupaten Muaro Jambi yaitu tahun 2004 produksi
15.559 ton, tahun 2005 produksi 23.552 ton, tahun 2006 produksi 25.591 ton, tahun 2007
produksi 31.595 ton, dan tahun 2008 produksi sebesar 35.454 ton. Dengan jumlah penduduk
Kabupaten Muaro Jambi sampai dengan tahun 2008 + 306.754 jiwa maka membutuhkan
beras + 35.176 ton per sehingga masih kekurangan beras + 15.322 ton yang harus
didatangkan dari luar daerah. Luas panen padi sawah di Kabupaten Muaro Jambi tahun 2009
seluas 8.350 Ha dengan tingkat produktivitas rata-rata 4,26 ton per ha sedangkan
produktivitas nasional sudah mencapai di atas 8 ton per ha, dengan masih rendahnya tingkat
produktivitas padi sawah di daerah ini menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani dan
penerapan teknik budidaya belum dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat petani. Disisi
lain potensi lahan tidur di daerah ini mencapai 12.400 ha yang belum dikelola menjadi lahan
produktif, hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan petani dalam mengelola lahan tersebut
yang harus memerlukan modal yang cukup baik untuk pembukaan.
b) Stabilitas Sawah
Lahan sawah irigasi di Indonesia memberikan kontribusi lebih dari 95% produksi
beras nasional yang tersebar pada type iklim, jenis tanah dan kesuburan tanah serta
ketinggian tempat yang beragam. Hal yang sama juga ditemui pada karakteristik sosio-
kultural preferensi konsumen beras. Kondisi yang cukup beragam tersebut menyebabkan sulit
mendapatkan suatu varietas dengan penampilan produktivitas tinggi, serta memiliki kualitas
mutu produk yang sesuai dengan selera konsumen disetiap tipe agroekologi wilayah
pertanaman padi.
c) Kemerataan Sawah
Pemanfaatan lahan untuk budidaya padi sawah merupakan salah satu teknologi
usahatani yang efektif untuk dilakukan. Sumatera Selatan dengan curah hujan yang tinggi
sepanjang tahun dan aliran sungai yang lambat dan tersebar merata merupakan wilayah
potensial untuk pengembangan padi sawah. Dengan dukungan sarana irigasi, sistem produksi
padi dapat diatur merata sepanjang waktu dengan pola pertanaman berantai. Pemborosan
biaya produksi akibat pendekatan jual tunda, penggunaan alsintan yang idle, dan
keterbartasan tenaga kerja dapat dihindari.
Namun masalah yang masih dihadapi pada lahan sawah irigasi ini antara lain adalah
(1) intensitas pertanaman (IP) masih rendah, (2) pada saat penyiapan lahan dan panen raya
yang berlangsung serentak mengalami kekurangan tenaga kerja dan sulit memperoleh
saprodi, (3) penggunaan alat mesin pertanian (traktor, RMU, box drier), tenaga kerja maupun
infrastruktur tidak efektif, karena dalam 1 tahun hanya digunakan ± 3 bulan saat tanam dan
panen, (4) harga jual gabah merosot saat panen raya dan penyediaan benih sangat kurang saat
tanam serentak, dan (5) sistem tunda jual hasil padi tidak memberikan nilai tambah yang
layak dan bahkan membutuhkan biaya tambahan, karena pemerintah menetapkan harga dasar
sebagai penyangga sehingga harga gabah relatif sama.
d) Keberlanjutan Sawah
Agar pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka praktek usaha dalam sektor
pertanian harus memperhatikan daya dukung dan kesesuaian lahan untuk komoditi yang akan
diusahakan, supaya lahan tidak cepat terdegradasi. Untuk itu perlu manajemen yang spesifik
dengan memperhatikan karakteristik lahannya.

Masalah yang sering menjadi kendala pada lahan pertanian sendiri adalah curah hujan
yang tinggi pada musim hujan, yang dapat berdampak pada kerusakan lahan sawah seperti,
banjir dan erosi pada permukaan tanah sehingga mengakibatkan kehilangan lapisan olah dan
unsur hara tanah. Hal ini juga berlaku pada lahan sawah yang juga menjadi salah satu
pertanian yang berkelanjutan, akan tetapi Jika petani membuat sarana irigasi akan dapat
mengatasi permasalahan tersebut dan bisa juga dijadikan sebagai bahan untuk melakukan
sistem produksi merata sepanjang waktu dan lahan sawah terkoordinasi dengan baik, dan
adaptif.
2. Analisis Agroekosistem Sawah
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak
terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga
suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup
yang saling mempengaruhi.
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi
timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada
suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan
anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem,
organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai
suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme
juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada
hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan
lingkungan fisik menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok
untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan
bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain di tata surya.
Komponen Pembentuk Ekosistem
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
Komponen tak hidup (abiotik)
Komponen abiotik yaitu komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat
tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen
abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik,
senyawa anorganik, dan faktor yang mempengaruhi distribusi organisme, yaitu:
1. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk
meregulasi temperatur dalam tubuhnya.
2. Air. Ketrsediaan air mempengaruhi distribusi organisme. Organisme di gurun beradaptasi
terhadap ketersediaan air di gurun.
3. Garam. konsentrasi garam mempengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui
osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan
garam tinggi.
4. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Air
dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar
permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang besar
membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.
5. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan
komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber
makanannya di tanah.
Komponen heterotrof
Terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan
oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen
makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong
heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari
organisme mati.[4] Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang
dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian
tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh
produsen. Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula detritivor yaitu hewan
pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe
dkomposisi ada tiga, yaitu:
1. secara aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan
2. secara anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron
/oksidan
3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima
elektron.

Semua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk
suatu kesatuan ekosistem yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem
ini terdiri dari ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof,
plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk
komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.
Konsep Produktivitas
Energi bersifat kekal, namun pada setiap pertukaran energi dari satu bentuk ke bentuk
lainnya akan mengalami kehilangan energi. Produktivitas primer suatu ekosistem adalah laju
penyimpanan energi melalui proses fotosintesa oleh produsen dalam bentuk senyawa organik
yang dapat dipakai sebagai bahan makanan. Produktifitas sekunder adalah laju penyimpanan
energi pada tingkat konsumen.
Produktivitas primer kotor adalah hasil seluruh fotosintesa, termasuk yang terpakai
untuk respirasi. Produktivitas primer bersih adalah hasil bersih fotosintesa. Produktivitas
komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh
heterotrof per satuan waktu. Produktivitas setiap jenis ekosistem berbeda-beda.
Kebergantungan
Kebergantungan pada ekosistem dapat terjadi antar komponen biotik atau antara
komponen biotik dan abiotik.
Kebergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui:
1. Rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi melalui proses makan dan
dimakan dengan urutan tertentu. Tiap tingkat dari rantai makanan disebut tingkat trofi atau
taraf trofi. Karena organisme pertama yang mampu menghasilkan zat makanan adalah
tumbuhan maka tingkat trofi pertama selalu diduduki tumbuhan hijau atau produsen. Tingkat
selanjutnya adalah tingkat trofi kedua, terdiri atas hewan pemakan tumbuhan yang biasa
disebut konsumen primer. Hewan pemakan konsumen primer merupakan tingkat trofi ketiga,
terdiri atas hewan-hewan karnivora.
2. Jaring- jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang saling berhubungan satu
sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan
terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup
lainnya.
Kebergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi melalui siklus
materi, seperti:
1. siklus karbon
2. siklus air
3. siklus nitrogen
4. siklus sulfur
Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk pada suatu
tempat. Kegiatan manusia telah membuat suatu sistem yang awalnya siklik menjadi
nonsiklik, kegiatan “pembangunan” yang dilakukan oleh manusia cenderung mengganggu
keseimbangan lingkungan alam.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:


1. Permasalahan dari 4 aspek tersebut didapatkan dari beberapa sumber penelitian.
2. Analisis yang di ambil dari berbagai macam aspek yang mencakup tentang
agroekosistem sawah secara detail mampu memberi pemahaman lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana MO. 2001. Pengembangan Sistem Pertanian Berkelanjutan. FAE. 19(2):38-49


Charina A, Rani ABK, Agriani HS, Yosini D. 2018. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Petani dalam Menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Sistem Pertanian
Organik di Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Penyuluhan. 14(1):68-78
Anwar, A., and A. Pakpahan. 1990. The Problem of Sawah-Land Conversion to Non
Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture 1(2):101
108.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada
berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian
Puslitbangtan 15 (2): 5-12.
Dinas Pertanian. 2006. Statistik Pertanian Kabupaten Muaro Jambi. Distan. Kabupaten
Muaro Jambi.
Dinas Pertanian. 2006 Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pertanian Kabupaten Muaro Jambi
2006 s/d 2011 . Distan Kab.Muaro Jambi
Dinas Pertanian 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Muaro Jambi . Distan.
Kab.Muaro Jambi.
Fauzan. 2001. Analisis Pendapatan Petani Padi Sawah Studi Kasus di Kelurahan Sridadi
Kabupaten Batanghari. Jurnal Penelitian. Unja (Tidak di publikasikan)
Handewi, dkk. 2004. Struktur dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani Lahan
Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Abbas dan a . Abdurachman. 1985. Pengaruh pengelolaan air dan pemngolahan tanah
terhadap efisiensi penggunaan air padi sawah di Cihea, Jawa Barat.
Pemb.Pen.TanahdanPupuk,4:1 -6.

Anda mungkin juga menyukai