Anda di halaman 1dari 4

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah.

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa,
putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Kakeknya ( Romo RMAA
Sosro ningrat ), Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.

Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama Mas Ajeng
Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama
di Telukawur, Jepara.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi pada tahun 1875 dengan Raden
Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.

Perkawinan dari kedua istrinya itu telah membuahkan putera sebanyak 11 (sebelas) orang.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara kandung
Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa.

Udara segar yang dihirup RA KArtini pertama kali adalah udara desa yaitu sebuah desa di
Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung kota Jepara. Disinilah dia dilahirkan
oleh seorang ibu dari kalangan rakyat biasa yang dijadikan garwo ampil oleh wedono
Mayong RMAA Sosroningrat. Anak yang lahir itu adalah seorang bocah kecil dengan mata
bulat berbinar-binar memancarkan cahaya cemerlang seolah menatap masa depan yang penuh
tantangan.

Hari demi hari beliau tumbuh dalam suasana gembira, dia ingin bergerak bebas, berlari kian
kemari, hal yang menarik baginya ia lakukan meskipun dilarang. Karena kebebasan dan
kegesitannya bergerak ia mendapat julukan “TRINIL” dari ayahnya. Kemudian setelah
kelahiran RA Kartini yaitu pada tahun 1880 lahirlah adiknya RA Roekmini dari garwo
padmi. Pada tahun 1881 RMAA Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara menggantikan
kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kemudian beliau bersama keluarganya pindah ke rumah dinas Kabupaten di Jepara.

Pada tahun yang sama (1881) lahir pula adiknya yang diberi nama RA Kardinah sehingga si
trinil senang dan gembira dengan kedua adiknya sebagai teman bermain. Lingkungan
Pendopo Kabupaten yang luas lagi megah itu semakin memberikan kesempatan bagi
kebebasan dan kegesitan setiap langkah RA Kartini.

Sifat serba ingin tahu RA Kartini inilah yang menjadikan orang tuanya semakin
memperhatikan perkembangan jiwanya. Memang sejak semula RA Kartini paling cerdas dan
penuh inisiatif dibandingkan dengan saudara perempuan lainnya. Dengan sifat kepemimpinan
RA Kartini yang menyolok, jarang terjadi perselisihan diantara mereka bertiga yang dikenal
dengan nama “TIGA SERANGKAI” meskipun dia agak diistimewakan dari yang lain.

Agar puterinya lebih mengenal daerah dan rakyatnya RMAA Sosroningrat sering mengajak
ketiga puterinya tourney dengan menaiki kereta.
Ini semua hanya merupakan pendekatan secara terarah agar puterinya kelak akan mencintai
rakyat dan bangsanya, sehingga apa yang dilihatnya dapat tertanam dalam ingatan RA Kartini
danadik-adiknya serta dapat mempengaruhi pandangan hidupnya setelah dewasa.

Saat mulai menginjak bangku sekolah “EUROPESE LAGERE SCHOOL” terasa bagi RA
Kartini sesuatu yang menggembirakan. Karena sifat yang ia miliki dan kepandaiannya yang
menonjol RA Kartini cepat disenangi teman-temannya. Kecerdasan otaknya dengan mudah
dapat menyaingi anak-anak Belanda baik pria maupun wanitanya, dalam bahasa Belanda pun
RA Kartini dapat diandalkan.

Menjelang kenaikan kelas di saat liburan pertama, NY. OVINK SOER dan suaminya
mengajak ra Kartini beserta adik-adiknya Roekmini dan Kardinah menikmati keindahan
pantai bandengan yang letaknya 7 km ke Utara Kota Jepara, yaitu sebuah pantai yang indah
dengan hamparan pasir putih yang memukau sebagaimana yang sering digambarkan lewat
surat-suratnya kepada temannya Stella di negeri Belanda. RA Kartini dan kedua adiknya
mengikuti Ny. Ovink Soer mencari kerang sambil berkejaran menghindari ombak, kepada
RA Kartini ditanyakan apa nama pantai tersebut dan dijawab dengan singkat yaitu pantai
Bandengan.

Kemudian Ny. Ovink Soer mengatakan bahwa di Holland pun ada sebuah pantai yang hampir
sama dengan bandengan namanya “Klein Scheveningen” secara spontan mendengar itu RA
Kartini menyela “kalau begitu kita sebut saja pantai bandengan ini dengan nama Klein
Scheveningen”.

Selang beberapa tahun kemudian setelah selesai pendidikan di EUROPASE LEGERE


SCHOOL, RA Kartini berkehendak ke sekolah yang lebih tinggi, namun timbul keraguan di
hati RA Kartini karena terbentur pada aturan adapt apalagi bagi kaum ningrat bahwa wanita
seperti dia harus menjalani pingitan.

Memang sudah saatnya RA Kartini memasuki masa pingitan karena usianya telah mencapai
12 tahun lebih, ini semua demi keprihatinan dan kepatuhan kepada tradisi ia harus berpisah
pada dunia luar dan terkurung oleh tembok Kabupaten. Dengan semangat dan keinginannya
yang tak kenal putus asa RA Kartini berupaya menambah pengetahuannya tanpa sekolah
karena menyadari dengan merenung dan menangis tidaklah akan ada hasilnya, maka satu-
satunya jalan untuk menghabiskan waktu adalah dengan tekun membaca apa saja yang di
dapat dari kakak dan juga dari ayahnya.

Beliau pernah juga mengajukan lamaran untuk sekolah dengan beasiswa ke negeri Belanda
dan ternyata dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja dengan berbagai
pertimbangan maka besiswa tersebut diserahkan kepada putera lainnya yang namanya
kemudian cukup terkenal yaitu H. Agus Salim.

Walaupun RA Kartini tidak berkesempatan melanjutkan sekolahnya, namun himpunan


murid-murid pertama Kartini yaitu sekolah pertama gadis-gadis priyayi Bumi Putera telah
dibina diserambi Pendopo belakang kabupaten. Hari itu sekolah Kartini memasuki pelajaran
apa yang kini dikenal dengan istilah Krida dimana RA Kartini sedang menyelesaikan lukisan
dengan cat minyak. Murid-murid sekolahnya mengerjakan pekerjaan tangan masing-masing,
ada yang menjahit dan ada yang membuat pola pakaian.
Adapun Bupati RMAA Sosroningrat dan Raden Ayu tengah menerima kedatangan tamu
utusan yang membawa surat lamaran dari Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat yang
sudah dikenal sebagai Bupati yang berpandangan maju dan modern. Tepat tanggal 12
November 1903 RA Kartini melangsungkan pernikannya dengan Bupati Rembang Adipati
Djojodiningrat dengan cara sederhana.

Kartini pun kemudian hamil, pada saat kandungan RA Kartini berusia 7 bulan, dalam dirinya
dirasakan kerinduan yang amat sangat pada ibunya dan Kota Jepara yang sangat berarti
dalam kehidupannya. Suaminya telah berusaha menghiburnya dengan musik gamelan dan
tembang-tembang yang menjadi kesayangannya, namun semua itu membuat dirinya lesu.

Pada tanggal 13 September 1904 RA Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi
nama Singgih/RM. Soesalit. Tetapi keadaan RA Kartini semakin memburuk meskipun sudah
dilakukan perawatan khusus, dan akhirnya pada tanggal 17 September 1904 RA Kartini
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa
Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Kartinischool (1918)

Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat


yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi
judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah
Terang”.

Berkat kegigihan R.A Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon
dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun


1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Kini RA Kartini telah tiada, cita-cita dan perjuangannya telah dapat kita nikmati. Dan mudah-
mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi
kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita
negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk
memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan
jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan
sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan
saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-
wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah
kebiasan kurang baik itu.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan.
Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing.
Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini
namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia
lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih
hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di
Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah.
Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh
emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah
tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang
untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.

Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas
pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir
nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda
1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama
pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi
Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan
lainnya.

Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di
Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan
Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang
dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi
maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan
bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita
dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu
menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari
pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah
kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah
menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di
era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap
perempuan.

Anda mungkin juga menyukai