Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

Disusun Oleh:
Nama : Yoga Adhi Wijaya
NIM 20180210091

PROGRAM STUDI
AGROTEKNOLOGI FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2021
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan gambut seluas 21 juta ha atau 10.8% dari luas
daratan Indonesia, hal ini membuat Indonesia menjadi negara tropis yang memiliki
lahan gamut paling luas. Lahan gambut di Indonesia paling banyak terdapat di
Sumatera 35%, Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi,
Halmaera dan Seram 3%. Lahan gambut adalah lahan yang tersususn dari hasil
dekomposisi bahan organic yang tidak sempurna dari vegatasi tanaman yang
tergenang air sehingga menyebabkan kondisi anaerob (Radjagukguk, 1992; 1995).

Hutan gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal dari
bahan organik dengan tebal ± 50 cm. Lapisan bahan organik ini terdiri atas
tumbukan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan
batang pohon lengkap, yang terakumulasi selama ribuan tahun. Lapisan gambut
terbentuk karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat
mengalami penguraian oleh bakteri dan organisme lainnya. Namun karena sifat
tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur
hara, maka proses dekomposisi berlangsung lambat (Utomo, 2008). Menurut Agus
et al. (2011), hutan gambut yang masih alami berperan sebagai penyerap gas CO2
dan menyimpan cadangan air. Tanah gambut memiliki cadangan karbon dalam
tanah sebesar 300-700 t/ha.
Lahan gambut memiliki beberapa fungsi dan peran yang baik, seperti fungsi
hidrologis, sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiversitas yang penting
untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa (Bellamy, 1995). Lahan gambut
ini sering dipandang sebelah mata karena tergolong kedalam lahan marginal dengan
produktivitas biasanya rendah dan sangat mudah mengalami kerusakan. Sehingga
perlu dilakukan pengelolaan lahan gambut untuk menunjang pembangunan
berkelanjutan, namun diperlukan perencanaan yang cermat dan teliti, penerapan
teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat. Konservasi dan optimalisasi
pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya memerlukan
informasi mengenai tipe, karakteristik, dan penyebarannya (Widjaja Adhi, 1992)

Melihat potensi yang dimiliki lahan gambut dapat dijadikan lahan pertanian
dengan syarat dilakukannya konservasi yang cukup intensif untuk mengubah
kondisi alamiahnya menjadi bentuk lahan pertanian yang menguntungkan. Dalam
proyek-proyek pengembangan lahan gambut perencanaan, pengelolaan dan
pengembangan sumberdaya air selama ini belum banyak mendapat perhatian.
Syarat penting dalam pegelolaan lahan rawa gambut adalah sistem drainase.
Drainase diperlukan dengan tetap menjaga muka air tanah pada batas yang optimum,
untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Andriesse, 1988), serta harus dilakukan
secara sangat berhati-hati. Saluran drainase (pembuang) harus terpisah dari saluran
pemberi dan merupakan suatu pasangan yang harus selalu berdampingan.

Pengelolaan lahan gambut mendapat perhatian besar, terutama untuk budidaya


tanaman perkebunan. Selain itu lahan gambut juga berpotensi besar untuk budidaya
tanaman pangan (Utama&Haryoko, 2009). Sedangkan menurut Sagiman (2007)
pengembangan lahan gambut untuk pertanian tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat
fisika maupun kimia gambut, namun dipengaruhi pula oleh manajemen yang akan
diterapkan.

B. Rumusan Masalah
Apa saja cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui cara pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
II. PEMBAHASAN
A. Proses Pembentukan Lahan Gambut
Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan organic yang tidak sempurna
dari vegatasi tanaman baik yang sudah lapuk maupun belum. Pembentukan tanah
gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh
proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral
yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986 dalam Agus
dan Subiksa, 2008).
Proses pembentukan gambat berawal dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah Tanaman yang mati
dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan
transisi antara lapisan gambut dengan lapisan di bawahnya berupa tanah mineral.
Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini
dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi
penuh (Agus dan Subiksa, 2008).
Tanah gambut juga dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut maupun di
daerah pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut. Di daerah rawa
yang selalu tergenang air proses penimbunan bahan organik lebih cepat
daripadaproses dekomposisinya, karena itu terjadi akumulasi bahan organik.,
Rawa-rawa di Indonesia terbentuk sekitar 5000 tahun yang lalu. Saat itu terjadi
transgresi air laut (muka air laut naik) akibat mencaimya es di kutub, sehingga pada
saat regresi (muka air taut turun) banyak daerah-daerah sekitar pantai Sumatera,
Kalimantan, serta Irian Jaya tergenang menjadi rawa (Hardjowigeno, 1996).
Pembentukan tanah gambut di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan terjadi
antara 2000-6830 tahun yang lalu.

B. Teknis Pengelolaan Lahan Gambut

1. Pengelolaan Untuk Pertanian

Seperti yang dikutip oleh (Limin, 2006) pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian termasuk perkebunan dan tanaman industri tergolong sangat rawan,
terutama jika dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman (disebut gambut
pedalaman). Jika lahan gambut pedalaman dimanfaatkan, maka mengharuskan
adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara
membuat saluran drainase atau kanal. Tanpa pembuatan drainase atau kanal pada
gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat (ramin, meranti
rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air atau daerah
yang dominan basah. Dibalik pembuatan drainase yang menyebabkan penurunan
air tanah, maka terjadi perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut dekat
permukaan, sehingga mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut
semakin menurun.

Menurut Limin et al (2000) bahwa penurunan permukaan lahan gambut di


daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) paling sedikit 1-3 cm tiap tahun.
Selain itu Limin (1998) juga menyatakan walaupun pelapukan bahan organik
tersebut menghasilkan hara bagi tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam
organik yang berpengaruh lebih kuat dan dapat menyebabkan keracunan bagi
tanaman.

2. Pengelolaan Air

Sebelum memulai pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan


berawal dari perencanaan penataan lahan yang disesuaikan dengan karakteristik
lahan gambut setempat, dan komoditas yang akan dikembangkan. Penataan lahan
meliputi aktivitas mengatur jaringan saluran drainase, perataan tanah (leveling),
pembersihan tunggul, pembuatan surjan, guludan, dan pembuatan drainase dangkal
intensif. Ukuran dan kerapatan jaringan drainase harus disesuaikan sebelum
menentukan komoditas apa yang akan ditanam, apakah untuk tanaman pangan,
sayuran, perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI). Sealin itu perlu dilakukan
perataan tanah apabila ingin di tanam tanaman pangan dan sayur. Yang tak kalah
penting juga pembersihan tunggal juga sangat membantu meningkatkan
produktivitas, karena keberadaan tunggul akan membatasi area yang bisa ditanami
dan menjadi sarang hama. Guludan dan drainase dangkal intensif diperlukan jika
dikembangkan tanaman sayuran dan buah-buahan (Agus dan Subiksa, 2008).

Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air
(anaerob), sementara itu tanaman membutuhkan kondisi aerob. Maka dari itu,
Langkah yang perlu dilakukan yaitu dengan pembuatan saluran drainase yang
berfungsi untuk menurunkan permukaan air tanah, menciptakan kondisi aerob di
zona perakaran tanaman, dan mengurangi konsentrasi asam-asam organik.
Meskipun demikian, lahan gambut tidak boleh terlalu kering karena dapat
menyebabkan kerusakan dan menimbulkan emisi GRK yang tinggi. Berbeda
dengan tanah mineral, bagian aktif dari gambut adalah fase cairnya, sehingga
apabila gambut kering akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan menjadi
bersifat hidrofobik (Agus dan Subiksa, 2008).

Setelah mebuat saluran drainase pada lahan gambut akan selalu diikuti
oleh peristiwa penurunan permukaan tanah (subsiden). Hal ini tejadi karena adanya
pemadatan dekomposisi, dan erosi gambut dipermukaan yang kering. Semakin
dalam saluran drainase, maka subsiden semakin besar dan semakin cepat.
Fenomena penurunan permukaan gambut dengan mudah dapat diamati dengan
munculnya akar tanaman tahunan di permukaan tanah. Untuk mengurangi dampak
penurunan tanah terhadap perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman tanaman
tahunan ditunda sampai sampai satu tahun setelah pembukaan saluran. Oleh karena
itu dilakukan untuk menghindari tanaman roboh karena kekuatan penyangga
gambut yang relative rendah.

Hal yang perlu di lakukan yaitu membuat sekat kanal untuk menjaga air
tanah supaya tidak kering, karena kanal-kanal yang sudah ada selama ini fungsinya
adalah untuk mengeringkan tanah pada hutan gambut sehinggi perlu dibuat sekat
pada kanal agar air pada tanah gambut dapat terjaga.
3. Pemilihan komoditas Yang Sesuai

Pemilihan komoditas yang dapat beradaptasi dengan baik dilahan gambut


sangat penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi. Pemilihan
komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman, nilai ekonomi, kemampuan
modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis tanaman sayuran (selada, kucai,
kangkung, bayam, cabai, tomat, terong, dan paria) dan buah-buahan (pepaya, nanas,
semangka, melon) adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
beradaptasi sangat baik di lahan gambut.

4. Pengaturan Pola Tanam

Pola tanaman sangat penting untuk megurangi emisi CO², khususnya


tanaman pangan dan sayuran. Pada prinsipnya pengaturan pola tanam di lahan
gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu tanah dalam keadaan terbuka yang
memicu terjadinya emisi. Relay planting adalah salah satu contoh penerapan pola
tanam yang memungkinkan tanah gambut tidak terbuka saat penggantian tanaman
berikutnya. Menanam tanaman pendukung di sela sela jarak tanam dapat
mengurangi emisi sekaligus meningkatkan sekuestrasi karbon.

5. Gambut Untuk Tanaman Hutan

Lahan gambut dapat dimanfaat untuk menjaga kelestarian habitat ratusan


spesies tanman hutan, tentunya hal ini adalah kebijakan yang sangat tepat.
Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi
manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi
ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan
hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya
tidak berubah (Limin, 2006).

6. Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Lahan gabut menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK)
terbesar dari sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan cadangan karbon
sangat besar yaitu 550 Gt CO2e, setara dengan 75% karbon di atmosfer atau setara
dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007).
Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang mudah mengalami
dekomposisi apabila ada perubahan kondisi lingkungan menjadi aerob. Proses
dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asamasam organik, gas CO 2 dan
gas methan (gas rumah kaca).

Menurut hasil perhitungan Wahyunto et al. (2004), total stock karbon dari
seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt. Tergantung ketebalan gambut,
simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan simpanan
karbon tanah mineral. Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman menjadi
isu lingkungan sangat penting karena konsentrasi karbon di udara berpengaruh
terhadap pemanasan global.

7. Pengendalian Muka Air Tanah

Lahan gambut mempunyai daya hantar hidrolik yang relative tinggi baik
secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase sangat
menentukan kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah
mengatur dimensi saluran drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur pintu
air. Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga kondisi media
perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang terlalu besar
menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Oleh karena muka air tanah harus
dikendalikan agar akar tanaman cukup mendapatkan oksigen, tetapi gambut tetap
lembap untuk menghindari emisi yang besar dan gambut mengering. Pengendalin
air dengan mengatur tinggi air di saluran drainase dengan mengatur pintu air adalah
salah satu tindakan mitigasi emisi CO2 yang terjadi.
Menurut hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan
bahwa laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase. Rieley dan
Page (2005) menunjukkan hubungan linier antara kedalaman muka air tanah dengan
emisi karbon bersifat spesifik lokasi. Agus et al. (2008) menunjukkan bahwa laju
emisi meningkat dengan pola logaritmik dengan makin meningkatnya kedalaman
muka air tanah. Maka dari itu pengaturan muka air tanah pada tingkat yang aman
untuk tanaman dan minimal emisinya merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan
yang sangat efektif.

8. Mempersiapakan Lahan Tanpa Pembakaran

Pada saat kebakaran gambut emisi karbon paling massif terjadi. Jadi
pembakaran lahan menyebabkan hilangnya cadangan karbon, terjadi subsiden, dan
pada akhirnya mengarah pada habisnya lapisan gambut. Penelitian Subiksa et al.
(2009) menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat selalu melakukan
pembakaran lahan sebelum menanam tanaman pangan, khususnya jagung. Setiap
musim, lapisan gambut terbakar sekitar 3-5 cm.Dari gambut yang terbakar selama
2 kali tanam per tahun dapat diperkirakan besarnya emisi karbon yaitu sekitar 110,1
t CO2ha-1tahun-1 (dengan asumsi karbon density gambut sekitar 50 kgm-3 atau 0.05
tm-3).

Pada saat lahan gambut mengalami kebakaran dapat meyebabkan


kehilangan cadangan karbon sehingga dapat membuat lapisan gambut semakin
menipis. Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral berpirit atau pasir
kuarsa maka akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Membakar gambut
terkadang sengaja dilakukan petani untuk memperoleh abu yang untuk sementara
bisa memperbaiki kesuburan tanah. Abu sisa pembakaran memberikan efek
ameliorasi dengan meningkatnya pH dan kandungan basabasa tanah, sehingga
tanaman tumbuh lebih baik (Subiksa et al. 1998). Proses ini harus dihindari dengan
mempertahankan kelembapan gambut agar tidak mudah terbakar dan menerapkan
sistem pengelolaan zero burning. Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di
rumah abu (tempat pembakaran serasah) adalah salah satu usaha mencegah
kebakaran gambut meluas. Tempat khusus ini berupa lubang yang dilapisi dengan
tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan
dengan sangat baik oleh petani sayur di lahan gambut Pontianak, Kalimantan Barat.
Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus
dipastikan bahwa gambut dibawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut
terbakar.

9. Tanaman Penutup Tanah

Tanaman penutup tanah ini tentu sangat penting terlebih lagi pada
perkebunan karena dapat membantu mempertahankan kelembapan tanah dan
mitigasi kebakaran lahan. Tanaman penutup tanah penghasil biomassa tinggi seperti
mucuna atau calopogonium sangat dianjurkan karena bisa meningkatkan
sekuestrasi karbon dan fiksasi N dari udara, sehingga menambah kesuburan
tanaman pokok. Namun demikian tanaman insitu seperti kalakai atau pakis
(Stenochiaena palustris) juga bisa dimanfaatkan dengan biaya murah.
III. KESIMPULAN

Pada pengelolaan lahan gambut memang banyak cara seperti menjadikan


gambut sebagai lahan pertanian, sebagai tanaman hutan, pengendalian muka air
tanah kemudian dengan pengelolaan gambut juga dapat mengurangi emisi gas
rumah kaca, melakukan persiapan lahan tanpa bakar, dan menggunakan tanaman
penutup tanah agar kelembaban tanah tetap terjaga
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center, Bogor. 36 hal.
Agus, F., K. Hiriah, dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon. Balai
Penelitian Tanah. Bogor. 57 hal.
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soil. Soil Researches
Management and Conservation Service. FAO Land and Water Development
Division. Rome.
Bellamy DJ. 1995. The peatlands of Indonesia: They key role in global conservatio-can
they be used sustainably. Dalam: Biodiversity and Biodiversity, Environmental
Imprortance of Trop. Peat and Peatlenads.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian: Suatu Peluang
dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap, Faperta IPB.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943
(2006).
Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In Parish, F., Siri, A., Chapman, D.,
Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M. (Eds.) Assessment on Peatland,
Biodiversity and Climate Change.Global Environmental Centre, Kuala Lumpur
and Wetand International, Wageningen.
Limin, S. H. 1998. Residual Effect of Lime, Phospahate and Manure on Crops
Commodities in Inland Peat. The University of Palangka Raya.
Limin, S. H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya. Disampaikan
pada “Workshop Gambut Dengan Tema : Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk
Pertanian, Tepatkah?. Kerjasama antara Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat di Jakarta,
22 November 2006
Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung, dan Layuniyati.
2000. Konsep Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah.
Disampaikan pada “Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan
ekspose hasil Penelitian di Lahan Basah”, diselenggarakan oleh Balai Teknologi
Reboisasi Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 9 Maret
2000.
Rajaguguk B. 1992. Utilization and management of peatland in Indonesia for
agriculturre and forestry. Dalam: Proc. Int. Symp. On Trop. Peatland, Kuching
Malaysia.
Rieley, J.O dan S.E. Page. 2005. Wise Use of Tropical Peatlands: Focus on Southeast
Asia. Nottingham, UK. 168 p.
Utama, M.Z.H. dan W. Haryoko. 2009. Pengujian Empat Varietas Padi Unggul pada
Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal Akta
Agrosia, 12 (1): 56 – 61.
Wahyunto, Sofyan R., Suparto, dan H. Subagyo. 2004. Sebaran dan kandungan karbon
lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International Indonesia
Programme.
Widjaja Adi IPG. 1995. Developing tropical peatlands for agriculture. in Rieley and
Page (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland. Proceedings of the
International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and
Sustainability of Tropical Peats and Peatlands. Palangka Raya, 4 - 8 September
1995. p 293-300.
Subiksa, IGM., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem Pengelolaan Lahan Eksisting di
Kalimantan Barat serta Implikasinya terhadap Siak Kimia Tanah Gambut dan
Emisi GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan
Kementrian Ristek.

Anda mungkin juga menyukai