Anda di halaman 1dari 22

MATERI KE-3

HAMA DAN PENYAKIT PENTING TANAMAN


“PENYAKIT PENTING TANAMAN HORTIKULTURA”
HALAMAN JUDU

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
1. Colletotrichum capsici
a. Gambar

Sumber: Than et al. 2008

b. Nama Umum : Penyakit busuk buah cabai / Antraknos / Patek


c. Nama Latin : Colletotrichum capsici
d. Klasifikasi :

Kingdom : Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Sordariomycetes

Ordo : Glomerellales

Famili : Glomerellaceae

Genus : Colletotrichum

Spesies : Colletotrichum capsici

(UniProt, 2002)

e. Tanaman Inang

Tanaman inang dari cendawan Colletotrichum capsici ialah cabai, tomat,


bawang merah, melon, semangka, buncis, paprika, dan buah naga (Capsicum
sp.) (Semangun, 2007).

f. Gejala Serangan

Gejala awal berupa bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan


sedikit melekuk. Serangan lebih lanjut mengakibatkan buah mengkerut, kering dan
membusuk (Syamsudin, 2007). Pada tahap awal infeksi adalah dimulai dari konidia
Colletotrichum yang berada dipermukaan kulit buah cabai merah akan berkecambah
dan membentuk tabung perkecambahan. Setelah tabung perkecambahan berpenetrasi
ke lapisan epidermis, kulit buah cabai merah akan terbentuk hifa. Kemudian hifa
intra dan interseluler menyebar keseluruhan jaringan dari buah cabai (Photita et al.,
2005).

g. Bioekologi

Fungi Colletotrichum capsici mempunyai konidio yang pendek dan konidia


dibentuk dalam aservulus. Colletotrichum mempunyai stroma yang terdiri dari massa
miselium yang berbentuk aservulus, bersepta, panjang antara 30-90 μm, umumnya
yang berkembang merupakan perpanjangan dari setiap aservulus. Konidia berwarna
hialin, bersel tunggal dan berukuran 5-15 μm (Daniel, 1972).

Aservulus tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila


konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih, kuning,
jingga, hitam atau warna lain sesuai dengan pigmen yang dikandung konidia.
Diantara bangsa Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah Gloeosporium
dan Colletotrichum. Keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan
penciutan di tengah (Dwidjoseputro, 1978).

Siklus hidup dari fungi C. capsici yang terdapat pada tanaman cabai yaitu
berawal dari buah, masuk menginfeksi biji. Pada umumnya fungi tersebut
menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah yang sakit. Fungi C. capsici juga
menyerang daun dan batang, hingga buah tanaman dan dapat mempertahankan
dirinya dalam sisa-sisa tanaman sakit. Konidium dari fungi akan disebarkan oleh
angin (Semangun, 2007).

Spora fungi Colletotrichum dapat disebarkan oleh angin dan percikan air hujan
dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman, 1993).
Pertumbuhan awal fungi Colletotrichum membentuk koloni miselium yang berwarna
putih dengan miselium yang timbul di permukaan, kemudian perlahanlahan berubah
menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus berwarna merah muda
sampai coklat muda merupakan kumpulan massa konidia (Rusli & Zulpadli, 1997).

h. Pengendalian

Pengendalian yang dapat dilakukan sesuai Balit Hortikultura (2014):

1. Gunakan benih sehat. Jangan menggunakan biji cabai yang sudah


terinfeksi, karena spora jamur tersebut dapat bertahan pada benih cabai.
2. Tanamlah varietas cabai yang lebih tahan patek, biasanya rawit lokal
lebih tahan terhadap penyakit patek.
3. Gunakan agensia hayati antagonis atau memanfaatkan mikroba
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis.
4. Gunakan agensia antagonis dengan memanfaatkan Trichoderma spp.
Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa Trichoderma dapat
menghambat laju perkembangan jamur C. acutatum penyebab penyakit
antraknos.
5. Lakukan perendaman biji dalam air panas (sekitar 55oC) selama 30 menit
atau perlakuan dengan fungisida sistemik yaitu golongan triazole dan
pyrimidin (0,05–0,1%) sebelum ditanam atau menggunakan agens hayati.
6. Lakukan penyemprotan dengan fungisida atau agens hayati yang tepat
terutama tanaman berumur 20 hari di persemaian atau 5 hari sebelum
dipindahkan ke lapangan.
7. Perawatan di lingkungan sekitar tanaman mutlak dilakukan, terutama
cabang air (wiwilan), penyiangan gulma, dan pengaliran air yang
tergenang. Semua faktor tersebut merupakan bagian dari tindakan
pencegahan, yang ditujukan agar lingkungan sekitar tanaman tidak
lembab, mengingat patek (antraknos) disebabkan oleh jamur yang
perkembangannya sangat didukung oleh lingkungan yang lembab.
8. Memusnahkan bagian tanaman, baik daun, batang atau buah yang
terinfeksi.
9. Lakukan penggiliran (rotasi) tanaman dengan tanaman lain yang bukan
famili solanaceae (terong, tomat dll.) atau tanaman inang lainnya.
10. Penggunaan fungisida fenarimol, triazole, klorotalonil, dll. khususnya
pada periode pematangan buah dan terutama saat curah hujan cukup
tinggi. Fungisida diberikan secara bergilir untuk satu penyemprotan
dengan penyemprotan berikutnya, baik yang menggunakan fungisida
sistemik atau kontak atau bisa juga gabungan keduanya.
11. Penggunaan mulsa hitam perak, karena dengan menggunakan mulsa
hitam perak sinar matahari dapat dipantulkan pada bagian bawah
permukaan daun/tanaman, sehingga kelembaban tidak begitu tinggi.
Disamping itu penggunaan mulsa plastik untuk menghindari penyebaran
spora melalui percikan air hujan.
12. Gunakan jarak tanam yang agak lebar yaitu sekitar 65–70 cm (lebih baik
70 cm) dan ditanam secara zig-zag ini bertujuan untuk mengurangi
kelembaban dan sirkulasi udara cukup lancar karena jarak antartanaman
semakin lebar, keuntungan lain buah akan tumbuh lebih besar.
13. Tambahkan unsur Kalium dan Kalsium untuk membantu pengerasan
buah cabai.
14. Jangan gunakan pupuk nitrogen (N) terlalu tinggi, misal pupuk Urea, Za,
ataupun pupuk daun dengan kandungan N yang tinggi. Sebaiknya
gunakan pupuk dasar NPK yang rendah kandungan nitrogennya dengan
kocoran karena unsur N akan membuat tanaman menjadi rimbun yang
akan meningkatkan kelembaban di sekitar tanaman.
15. Hindarkan menanam cabai berdekatan dengan tanaman cabai yang sudah
terkena lebih dahulu oleh antraknos / patek, ataupun tanaman inang lain
yang telah terinfeksi.
16. Pengelolaan drainase yang baik terutama di musim penghujan, dengan
cara meninggikan guludan tanah.

2. Fusarium oxysporum
a. Gambar

Sumber: Juniawan, 2015.

b. Nama Umum : Penyakit Layu Fusarium


c. Nama Latin : Fusarium oxysporum
d. Klasifikasi :

Kingdom : Mycetae

Divisi : Mycota

Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Hypomycetes

Ordo : Hyphales (Moniliales)

Famili : Tuberculariaceae

Genus : Fusarium

Spesies : Fusarium oxysporum

(Agrios, 1996)

e. Tanaman Inang

Jamur Fusarium oxysporum merupakan penyebab penyakit layu dan busuk


batang pada berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Inang dari
patogen ini adalah sayuran, bawang, kentang, tomat, kubis, lobak, petsai, sawi, temu-
temuan, semangka, melon, pepaya, salak, krisan, anggrek, kacang panjang, cabai,
ketimun, jambu biji, dan jahe. Tanaman lain yang diketahui menjadi inang patogen
ini adalah kelapa sawit, kelapa, lada, vanili, dan kapas (Semangun, 2004).

f. Gejala Serangan
Gejala serangan yang ditimbulkan meliputi rebah benih, busuk akar, busuk
batang dan busuk tangkai yang terjadi ketika tanaman berada pada kondisi stress
atau ketika terjadi luka pada bagian luar jaringan tanaman. Fusarium sangat
berbahaya bagi tanaman pangan karena menyebabkan kerusakan seperti kematian
bibit, busuk akar dan busuk tangkai (Auliya, 2008).
g. Bioekologi
Jamur Fusarium oxysporum dalam perkembangbiakannya membentuk dua jenis
spora aseksual yaitu spora mikrokonidium dan spora makrokonidium. Spora
mikrokonidium bersel tunggal, tidak bersekat, tidak berwarna, berdinding tipis,
bentuknya bulat telur sampai lurus dengan ukuran 2 – 5 x 2,3 – 3,5 µm.
Spora makrokonidium bentuknya lancip, ujungnya melengkung seperti bulan
sabit, bersekat 3–5, ukurannya 20–46 x 3,2–8 µm. Pada keadaan tertentu
menghasilkan klamidospora berwarna coklat muda, dindingnya tebal, ukuran 6– 10
µm, dibentuk di ujung terminal atau di tengah hifa (Semangun, 2000). Menurut
Auliya (2008), Fusarium oxysporum merupakan fungi berfilamen yang memiliki 3
macam konidia, yaitu klamidiospora, makrokonidia yang berbentuk lengkung seperti
bulan sabit dengan kedua ujung yang lancip dan mikronidia yang berbentuk bulat,
tidak bersekat dan tidak berwarna, berdinding tebal dan sangat resisten terhadap
keadaan lingkungan yang buruk. Spora ini terbentuk dari penebalan bagian-bagian
tertentu dari suatu hifa somatik. Inokulum Fusarium oxysporum terdiri atas
makrokonidium, mikrokonidium, klamidospora dan miselia.
Jamur ini merupakan parasit lemah artinya hanya dapat menyerang tanaman yang
sedang berada pada kondisi lemah (peka) karena kekeringan, kekurangan unsur hara,
terlalu banyak sinar matahari dan tanaman terlalu banyak buah (Semangun, 2000).
Sebagai patogen primer, jamur dapat menginfeksi jaringan inang sebelum ada
serangan jamur patogen lain dan dapat menimbulkan gejala. Sebagai patogen
sekunder bila jamur menginfeksi tanaman inang setelah ada serangan jamur patogen
lain, sehingga tingkat serangan menjadi sedemikian parah (Isnaini, et al., 2004).
Jamur dapat menyebar melalui pengangkutan bibit dan tanah yang terbawa angin
atau air atau alat pertanian. Populasi patogen dapat bertahan secara alami di dalam
tanah dan pada akar-akar tanaman sakit. Apabila terdapat tanaman yang peka maka
bila terdapat luka pada akarnya, Fusarium oxysporum akan segera menginfeksinya.
h. Pengendalian
Beberapa teknik pengendalian penyakit layu fusarium telah direkomendasikan
seperti penggunaan fungisida, rotasi tanaman, perendaman lahan, penambahan bahan
organik, penggunaan varietas tahan dan pengendalian hayati. Penggunaan fungisida
dazomet kurang efektif karena fungisida hanya terserap tanah pada kedalaman
beberapa centimeter (Djatnika et al., 2003). Cendawan Fusarium mampu
menginfeksi perakaran pada daerah yang lebih dalam lagi dari daerah penyerapan
fungisida. Pengendalian dengan rotasi tanaman dan perendaman lahan selama enam
bulan hanya mampu menekan penyakit selama dua tahun (Stover, 1962).
Penambahan bahan organik hanya mampu menghambat perkembangan layu
fusarium dalam jangka waktu yang pendek. Penggunaan kultivar tahan merupakan
salah satu cara yang aman, akan tetapi untuk mendapatkan kultivar yang tanah cukup
sulit karena Fusarium memiliki kisaran inang yang luas (Huang dan Ko, 1990).
Pengendalian Fusarium oxysporum lebih lanjut dapat dilakukan dengan solarisasi
tanah, yaitu pemanasan tanah dengan memanfaatkan matahari (Katan et al., 1976).
Solarisasi tanah merupakan suatu teknik pemanasan dengan menggunakan
polyethylene atau plastik bening sebagai penutup tanah yang menyebabkan
terjadinya pemanasan dalam tanah sehingga terjadi perubahan fisik, biologi dan
kimia (Katan dan Devay, 1991). Selain itu, pengendalian cendawan ini juga dapat
menggunakan agens pengendali hayati seperti Pseudomonas fluorescens dan
Bacillus spp. Bakteri tersebut dapat mengeluarkan antibiotik seperti pyoverdin,
pyrolnitrin dan pyoluteorin (Lynch, 1990).
3. Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)

Gambar 1. Ralstonia solanacearum strain UY031 menggunakan transmisi (a) dan pemindaian (b)
mikroskop elektron, serta (c) mikroskop cahaya untuk memvisualisasikan morfologi koloni di
media padat
Sumber: Guarischi-Sousa et al. (2016)
a. Nama umum : Penyakit Layu Bakteri
b. Nama ilmiah : Ralstonia solanacearum
c. Klasifikasi :
Patogen penyebab penyakit layu adalah bakteri Ralstonia solanacearum
Smith-Yabuuchi. Nama tersebut mengalami beberapa kali perubahan,
sebagai hasil kajian molekuler yang didasarkan pada analis DNA bakteri.
Semula bakteri tersebut dinamakan Bacillus solanacearum, kemudian
menjadi Burkholderia solanacearum, berubah menjadi Pseudomonas
solanacearum dan nama mutakhir menurut Yabuuchi et al. (1995) adalah
Ralstonia solanacearum. Secara taksonomi bakteri tersebut diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Bakteri
Filum : Proteobakteria
Kelas : Betaproteobakteria
Ordo : Burkholderiales
Famili : Burkholderiaceae
Genus : Ralstonia
Spesies : Ralstonia solanacearum

d. Tanaman inang
Menurut Rahayu (2012), R. solanacearum dapat menyerang 450 jenis
inang. Terung, kentang, tomat, pisang, kacang tanah, tembakau, dan cabai
adalah inang utama. Selain itu bakteri mampu menyerang tanaman pupuk
hijau yaitu turi, kencur, jahe tanaman aromatik nilam, dan kemangi. Gulma
yang biasanya tumbuh bersama kacang tanah seperti Ageratum conyzoides,
Crotalaria juncea, Crassocephalum crepidioides, dan Croton hirtus, juga
berperan sebagai inang alternatif.

e. Gejala serangan
Tanaman yang terinfeksi R. solanacearum mengalami penyumbatan
pembuluh pengangkut, sehingga tanaman membentuk akar samping pada
batang bagian bawah yang mengakibatkan tanaman kerdil dan mengalami
klorosis. Pada daerah dengan suhu harian tinggi, gejala serangan akan lebih
cepat terlihat seperti daun termuda layu berlanjut ke bagian lain tanaman, jika
batang dipotong maka akan terlihat warna kecoklatan dan keluar lendir yang
merupakan massa bakteri (Adeputri et al., 2016).

f. Bioekologi
R. solanacearum termasuk kelompok bakteri Gram negatif, morfologi sel
berbentuk batang pendek, sel tunggal berukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,0 μm, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Bakteri dapat bergerak dengan
menggunakan bulu getar (flagela) tunggal atau lebih yang terletak pada salah
satu ujung sel polar. Tans-Kersten et al. (2001) menyatakan bahwa flagela
berfungsi untuk bergerak cepat ke arah rangsangan inang, dan kecepatan
tersebut sangat menentukan virulensi atau keganasan bakteri pada tahap awal
infeksi dan kolonisasinya pada inang. Menurut Anitha et al. (2003) bahwa
isolat virulen pada umumnya tidak memiliki flagel dan tidak mampu bergerak
(non-mobil). Pada isolat avirulen atau tidak ganas, bakteri mampu bergerak
dengan menggunakan 1–4 buah flagel polar.
g. Pengendalian
Pengendalian penyakit layu bakteri oleh R. solanacearum dapat dilakukan
dengan beberapa cara (8Villages, 2018), yaitu dengan cara:
1. Mengusahakan agar lahan tetap bersih dari gulma dan memiliki sistem
drainase yang baik.
2. Mengusahakan agar tanh tidak terlalu lembab dan tidak menampung air
dalam waktu yang lama.
3. Meningkatkan pH tanah dengan penambahan kapur dan memperbanyak
asupan hara mikro kalsium pada tanaman.
4. Menghindari mengocor NPK maupun pupuk kimia lain langsung pada
akar tanaman. Pengocoran pupuk kimia akan menyebabkan luka pada akar
tanaman.
5. Menggunakan pupuk kandang yang telah masak. Pupuk kandang yang
belum masak dapat memacu perkembangan bakteri ini memalui kenaikan
suhu tanah yang disebabkan oleh proses fermentasi pupuk organik.
6. Penanaman kultivar tanaman yang tahan terhadap penyakit layu bakteri.
7. Rotasi lahan dengan tanaman yang bukan merupakan inang penyebaran
bakteri seperti jagung atau kedelai.
8. Penggunaan agensia hayati jamur Trichoderma sp. untuk pencegahan.
9. Pengendalian secara kimiawi dengan bakterisida yang berbahan aktif
Dazomet, Streptomycine sulfat, Asam Oksolinik, Kasugamycine
Hidrokloridadan Oksitetrasiklin.

h. Kehilangan hasil
Kehilangan hasil tanaman kacang tanah karena penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh bakteri R. solanacearum berkisar 10‒30% bahkan mencapai
60% pada tingkat serangan parah seperti yang terjadi di Vietnam dan
Indonesia (Rahayu, 2012).
4. Penyakit Gemini Virus

Ket.: Variasi gejala pada tanaman cabai yang terinfeksi geminivirus, a: daun kuning tetapi masih
ada bagain hijau, b: kuning total, c: daun tebal dan berbentuk kerupuk d: daun hijau kekuningan, e:
daun kuning dan menggulung, f: kuning dan tanaman kerdil.

Sumber: Sudiono et al. (2005)

a. Nama Umum : Gemini Virus


b. Nama Latin : Begomovirus

Virus gemini dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan tanaman


inang, serangga vektor, dan struktur genomnya. Kelompok I adalah virus
gemini yang menginfeksi tanaman monokotil, ditularkan oleh serangga
vektor wereng daun, dan memiliki struktur genom monopartit. Kelompok II
virus gemini yang menginfeksi tanaman dikotil, ditularkan oleh serangga
vektor wereng daun, dan struktur genomnya monopartit. Kelompok III adalah
geminiviurs yang menginfeksi tanaman dikotil, ditularkan oleh serangga
vektor kutukebul, dan struktur genomnya bipartit (Matthews, 1991).

c. Tanaman Inang

Virus gemini memiliki vektor kutu kebul yang mempunyai daerah


persebaran yang luas terutama di daerah-daerah tropik dan subtropik tempat
kutu kebul berkembang dengan baik. Virus gemini dapat menyerang tanaman
tomat, cabai, kacang-kacangan, labu, tebu, singkong, tembakau dan jagung.
d. Gejala Serangan
Pada tanaman yang terserang virus akan terjadi penurunan fotosintesis
yang menunjukkan gejala mosaik atau menguning (yellowing) merupakan
akibat dari menurunnya efisiensi kloroplas. Pada daun yang terinfeksi virus
akan terjadi perubahan bentuk, ukuran, dan penggumpalan kloroplas, serta
penumpukan pati (Akin, 2006).

Variasi gejala yang mungkin timbul pada cabai adalah sebagai berikut:
1. Tipe gejala 1
Gejala penyakit tipe ini diawali dengan pucuk mengkerut dan cekung
berwarna mosaik hijau pucat. Gejala lanjut menampakkan pertumbuhan
tanaman terhambat, daun mengkerut dan menebal, berwarna mosaik hijau
pucat disertai tonjolan berwarna hijau tua.
2. Tipe gejala 2
Gejala diawali dengan mosaik kuning pada pucuk dan daun muda. Gejala
kuning lanjut pada hampir seluruh daun menjadi bulai.
3. Tipe gejala 3
Gejala awal pada urat daun pucuk atau daun muda berwarna pucat atau
kuning sehingga nampak seperti jala. Gejala melanjut menjadi belang
kuning cerah, sedangkan bentuk daun tidak banyak berubah.
4. Tipe gejala 4
Gejala awal daun muda atau pucuk cekung dan mengkerut dengan warna
mosaik ringan. Gejala lanjut dengan seluruh daun berwarna kuning cerah,
bentuk daun berkerut dan cekung dengan ukuran lebih kecil, dan
pertumbuhan terhambat (Kumoro, 2003).

e. Pengendalian
1. Gunakan varietas, antara lain cakra, jatilaba, tit super, TM 999, TM 888,
tonado dan cayenne.
2. Lakukan pengolah lahan dengan baik dan pupuk berimbang yaitu pupuk
kandang 20-30 ton /ha, Urea 100-150 kg, 300-400 kg ZA, 150-200 kg TSP
dan KCl 150-200 kg/ha
3. Gunakan mulsa plastik hitam perak
4. Lakukan Pembibitan dengan cara penyungkupan tempat semaian dengan
kain kasa atau plastik yang telah dilubangi dan ketinggian rak pembibitan
lebih kurang 1 m.
5. Daerah yang baru terkena serangan tanaman muda (sampai 30 hari)
disulam dengan tanaman yang sehat sedangkan daerah yang terserang
berat, dibuang bagian daun tanaman dan disemprotkan pupuk daun.
6. Tanam jagung sebagai penghadang/barrier dengan 5-6 baris rapat (jarak
tanam 15-20 cm) di sekeliling kebun 2-3 minggu sebelum tanam cabai.
Gunakan perangkap kuning untuk memerangkap populasi kutu kebul, dan
dipasang sebanyak 40 perangkap/ha di tengah pertanaman cabai dipasang
dengan ketinggian 30 cm.
7. Atur waktu tanam agar tidak bersamaan dengan tingginya populasi
serangga penular
8. Lakukan sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan gulma berdaun
lebar dari jenis babadotan, gulma bunga kancing, dan ciplukan yang dapat
menjadi tanaman inang virus.
9. Tumpangsari berbagai jenis tanaman untuk mengurangi populasi kutu
kebul. Tumpangsari antara cabai merah dengan kubis atau cabai merah
dengan tomat dapat menekan populasi kutu kebul sebesar 25 – 60%.
(Kumoro, 2003).
f. Kehilangan hasil
Serangan virus gemini pada pertanaman cabai di daerah Segunung, Bogor
mencapai 100% yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi petani
cabai. Tingginya serangan ini diduga berkaitan dengan populasi kutukebul
(Rusli et al., 1999). Persentase tanaman yang terserang akan meningkat
dengan meningkatnya jumlah kutukebul yang viruliferous.
5. Penyakit Busuk Buah

Gambar. 1. Tanda Penyakit, 3. aservulus Gloeosporium, 4. Apresoria, 5. Konidia, 6. Perbesaran


40x10

Sumber: Pangestika, 2015.


a. Nama Umum : Penyakit Busuk Buah
b. Nama Latin : Gloeosporium gloeosporioides
c. Klasifikasi :
Kingdom : Fungi
Divisi : Amastigomycotina
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Coelomycetes
Ordo : Melanconiales
Famili : Melanconiaceae
Genus : Gloeosporium
Spesies : Gloeosporium gloeosporioides Penz. Sacc.

(Agrios, 1997)
d. Tanaman Inang

Penyakit busuk buah yang disebabkan oleh pathogen G. Gloeosporioides


yang merupakan salah satu patogen laten yang dapat menginfeksi tanaman
hortikultura dan juga menginfeksi buah-buahan seperti apel, mangga,
pepaya, jambu biji, markisa, jeruk, alpukat, anggur dan jambu mete
(Tasiwal, 2008).
e. Gejala Serangan
Serangan pada buah bermula dengan timbulnya bercak kecil kehijau-
hijauan, membusuk, berbentuk bulat, selanjutnya bercak berubah warna
menjadi coklat dan terdapat bintik-bintik bewarna hitam. Pada akhirnya
warna buah menjadi orange (Tasiwal, 2008).

f. Bioekologi
Cendawan ini hidup saprofit pada bagian-bagian tanaman yang sudah
mati dan bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit. Cendawan ini adalah parasit
lemah, dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang lemah,
khususnya karena proses penuaan. Cendawan menginfeksi melalui luka atau
lentisel pada buah yang masih mentah dan baru berkembang setelah buah
matang. Saat kondisi lembab dan teduh, cendawan pada bagian yang sakit
akan membentuk konidium dalam jumlah yang besar, yang terikat dalam
masa lendir berwarna merah jambu (Syahnen dan Pinem 2010). Menurut
(Tilaar 2004), kelembaban udara 95% akan sangat membantu inisiasi infeksi
dan perkembangan penyakit. Cendawan akan menghasilkan kumpulan
konidia yang berwarna putih pada daun ketika berada pada kondisi yang
lembab. Konidia yang jatuh pada permukaan daun atau buah akan segera
berkecambah dan mengadakan penetrasi (Syahnen dan Pinem 2010).
g. Pengendalian
Pengendalian dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas penyakit
awal atau dengan memperlambat laju perkembangan penyakit. Biasanya
dengan mengidentifikasi terjadinya periode produksi inokulum, maka harus
dipertimbangkan dalam metode pengendalian penyakit (kimia, budaya, dan
sanitasi) dan waktu aplikasinya (Thomson and Copes, 2009), sebagai
berikut:

1. Menanam klon yang tahan terhadap penyakit.


2. Memperbaiki keadaan tanaman, antara lain dengan menambah pupuk
dan mengatur naungan.
3. Untuk mengurangi sumber infeksi, ranting-ranting dan buah yang sakit
dipotong dan dikubur di dalam tanah.
4. Penggunaan fungisida.
5. Memperbaiki saluran pembuangan air dan drainase, memberantas
gulma secara intensif, dan pemangkasan cabang dan ranting tanaman
yang tidak berguna dan yang dicurigai atau telah terinfeksi penyakit,
serta mengatur jarak tanam agar mengurang kelembapan pada daerah
perkebunan.
6. Menggunakan Bioagent pengendali hayati yaitu bakteri antagonis
dalam menekan populasi jamur G. gloeoeosporioides.

6. Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae)

Gambar 2. Plasmodiophora brassicae yang terinfeksi atau tidak terinfeksi suspensi morfologi
sel lobak. a. sebuah P. brassicae tidak terinfeksisel suspensi. b Silindris sel yang mengandung
plasmodia sekunder (panah). c. Sel-sel berserat yang mengandung plasmodia sekunder (panah). d
Sel yang tumbuh tidak normal mengandung plasmodia sekunder (panah).

Sumber: Kageyama dan Asano (2009).

a. Nama umum : Penyakit Akar Gada


b. Nama ilmiah : Plasmodiophora brassicae
c. Klasifikasi :
Menurut Ditlin Horti (2013), klasifikasi dari patogen P. brasssicae adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Protozoa
Filum : Plasmodiophoromycota
Ordo : Plasmodiophorales
Famili : Plasmodiophoraceae
Genus : Plasmodiophora
Spesies : Plasmodiophora brassicae
d. Tanaman inang
Tanaman inang patogen P. brasssicae yaitu jenis kubis-kubisan. Tanaman
inang lain yang bukan jenis kubis-kubisan antara lain Lolium perenne,
Agrotis alb-stolonifer, Dactalis glomerata dan Trifolium pretense (Ditlin
Horti, 2013).
e. Gejala serangan
Salah satu penyakit yang menjadi masalah utama pada tanaman kubis
adalah penyakit akar gada yang menimbulkan penyakit dengan gejala berupa
bintil-bintil yang bersatu menjadi bengkakan memanjang yang mirip dengan
batang (gada), sehingga dinamakan penyakit (Towaki, 2014). Gejala serangan
P. brassicae tampak jelas pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang
terik. Daun berwarna hijau-biru dan layu seperti kekurangan air, pada malam
hari atau pagi hari akan segar kembali. Pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat hingga kerdil dan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop yang
akhirnya mati. Kalau tanaman dicabut, akarnya tampak membengkak seperti
berumbi. P. brassicae menginfeksi tanaman kubis sejak awal pra
pembentukan krop (0‒49 hst). Infeksi patogen akan meningkat pada kondisi
tanah yang masam. Penelitian di rumah kaca gejala bengkak pada akar sudah
terlihat 10 hari setelah inokulasi (Ditlin Horti, 2013).
f. Bioekologi
Siklus Hidup Plasmodiophora brassicae Wor menghasilkan dua fase
plasmodium yang berbeda yakni plasmodium primer yang selanjutnya
membentuk zoosporangia berdinding sel tipis dan plasmodium sekunder yang
membentuk spora rehat (resting spore) berdinding sel tebal yang tersusun atas
senyawa kitin dan dapat berkecambah dengan zoosporanya, dinding sel tebal
ini menyebabkan spora dapat bertahan lebih lama. Sebagaimana patogen yang
bersifat endoparasit obligat, plasmodium hidup di dalam sel inang dan
menyerang sel tersebut. Siklus penyakit dimulai dengan perkecambahan satu
zoospora primer dari satu spora rehat haploid dalam tanah. Zoospora primer
ini mempenetrasi rambut akar dan menginfeksi isi sel dan masuk ke dalam sel
inang . Setelah penetrasi rambut akar atau sel epidermis inang oleh zoospora
primer, protoplasma yang berinti satu terbawa masuk ke dalam sel inang.
Pembelahan mitosis terjadi dan protoplasma membentuk plasmodium primer
setelah plasmodium primer mencapai ukuran tertentu, membelah menjadi
beberapa bagian yang berkembang menjadi zoosporangia. Setiap
zoosporangium mengandung empat sampai delapan zoospora sekunder yang
dapat terlepas melalui lubang atau pori-pori pada dinding sel inang. Zoospora
sekunder yang lepas bisa masuk ke sel inang yang lain atau keluar dari akar,
dan selanjutnya zoospora sekunder ini dapat menginfeksi kembali rambut-
rambut akar menyebabkan perkembangan aseksual patogen yang cepat
(Pracaya, 2007).
g. Pengendalian
Menurut Ditlin Horti (2013), pengendalian secara bercocok tanam antara
lain meliputi pola tanam, waktu tanaman, penggunaan bibit sehat,
pengelolaan air.
1. Pengapuran tanah pada lahan dengan keasaman (pH) < 5,5 dengan kapur
pertanian (Kaptan) atau Dolomit di lahan yang akan ditanami kubis
sebanyak 2–4 ton/ha yang dilakukan 15 hari sebelum tanam.
2. Perlakuan benih kubis dengan ekstrak umbi bawang selama 2 jam atau
dapat juga dengan menggunakan fungisida yang dianjurkan.
3. Tanah persemaian dan pupuk kandang harus bebas patogen.
4. Penyiraman tanaman di persemaian dengan air bersih.
5. Eradikasi selektif terhadap tanaman terserang kemudian
memusnahkannya.
6. Penggunaan mulsa daun jagung setebal 3–5 cm pada musim kemarau.

h. Kehilangan hasil
Kerugian yang disebabkan patogen tersebut berkisar antara 50–100 %.
Apabila suatu lahan telah terinfeksi oleh penyakit ini, maka dalam waktu
kurang lebih 30 tahun penyakit ini bertahan dalam bentuk spora, walaupun
tidak ditanami kubis-kubisan (Cruciferae) selama kurun waktu tersebut
(Sulastri, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

8Villages. 2018. Ralstonia solanacearum, Penyebab Layu Bakteri pada Tanaman.


(Online). https://8villages.com/petani/article. Diakses pada tanggal 28
Oktober 2019.

Adeputri, E., Rustikawati, D. Suryati, C. Herison. 2016. Penapisan Tiga Puluh


Tujuh Genotipe Tomat dan Seleksi Primer RAPD untuk Toleransi terhadap
Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum). J. Akta Agrosia. 19(1): 28‒42.
Agrios, G. N. 1996. Plant Pathology. Penerjemah Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit
Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4th Ed. San Diego (US): Elsevier Academic
Press.

Akin, H. M. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta. Kanisius.

Anitha, K., G.A. Gunjotikar, S.K. Chakrabarty, S.D. Singh, B. Sarath Babu,
R.D.V.J. Prasada Rao and K.S. Varaprasad. 2003. Interception of Bacterial
Wilt, Burkholderia solanacearum in Groundnut Germplasm Imported from
Australia. J. of Oilseeds Res. 20: 101–104.
Auliya, Nur Hikmatullah, Hikmatul Ilmi, Handa Muliasari, 2008. Pemanfaatan
Alkaloid Lombine dalam Ekstrak Kasar Daun Kumbi (Voacanga foetida) sebagai
Fungisida alami. Makalah tidak dipublikasikan. Universitas Mataram. Mataram.

Direktorat Perlindungan Hortikultura Kementrian Pertanian. 2013. Akar Gada.


(Online). https://ditlin.hortikultura.pertanian.go.id. Diakses pada tanggal 28
Oktober 2019.
Djaenuddin, N : tanpa tahun, Bioekologi dan Pengelolaan Penyakit Layu Fusarium. Balai
Penelitian Tanaman Serealia, Maros.

Djatnika I., Hermanto C. dan Eliza. 2003. Pengendalian Hayati Layu Fusarium pada
Tanaman Pisang dengan Pseudomonas fluorescens dan Gliocladium. J.
Hortikultura 13: 205-211.

Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Bandung. Penerbit Alumni. Hal:123.

Guarischi-Sousa, Rodrigo, Marina Puigvert, Núria S. Coll, María Inés Siri, María
Julia Pianzzola, Marc Valls, and João C. Setubal. 2016. Complete Genome
Sequence of The Potato Pathogen Ralstonia solanacearum UY031. Journal
of Standards in Genomic Sciences, 11: 1‒7.

Harahap, T. F. K., Lahmuddin L., dan Hasanuddin. 2013. Efek Temperatur


Terhadap Virulensi Jamur Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc.
Penyebab Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Kakao (Theobroma Cacao
L.)
Hasyim. 2014. Teknologi Pengendalian Penyakit Antraknos pada Tanaman Cabai.
http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 24 Oktober 2019.

Huang S. C. Dan Ko W. K. 1990. Tissue Culture Plantlets as Source as Resistance to


Fusarial Wilt of Cavendish Banana. Di dalam: Hornby D, editor. Biological
Control of Soil-borne Plant Pathogens. Wallingford: CAB Publisher. Hlm: 345-354

Isnaini, M. Rohyadi, dan Murdan. 2004. Identifikasi dan Uji Patogenitas Jamur-jamur
Penyebab Penyakit Busuk Batang Tanaman Vanili di Lombok Timur.
Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram.

Juniawan 2015. Fungitoksisitas Eugenol terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp.


cubense.Artikel tidak dipublikasikan. Universitas Brawijaya.Malang.

Kageyama, K. dan T. Asano. 2009. Life Cycle of Plasmodiophora brassicae. J.


Plant Growth Regul. 28:203‒211.
Katan J. 1980. Soil Pasteurization for Soil Disease Control: Status and Prospects: Plant
Dis 64: 450-454

Katan P. dan De Vajay J. E. 1991. Soil Solarization. London: CRC Press, Boca Raton
Ann Arbor Boston.

Kumoro, K. 2003. Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN). Balai Pengkajian.


Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara Barat.

Lynch J. M. 1990. Microbial Metabolites. Di dalam: Lynch J.M, editor. The Rizhosphere.
England: John Wiley and Sons Ltd. Hlm 177-206 .

Mathews, R.E.F. 1992. Fundamentasl of plant virology. Academic Press Inc. San
Diego. 403 p.

Pangestika, W. 2015. Keefektifan Pembungkusan Buah Untuk Pengendalian


Penyakit Antraknosa Dan Lalat Buah Pada Jambu Air (Syzygium
samarangense). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Photita, W., Taylor, P.W.J., Fusarium oxysporumrd, R., Lumyong, P. McKenzie, H.C.
and Hyde, K.D. 2005. Morphological and molecular characterization of
Colletotrichum species from herbaceous plants in Thailand. Fungal Divers. 18, 117
-133.

Pracaya. 2007. Hama Dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rahayu, M. 2012. Penyakit Layu Ralstonia solanacearum pada Kacang Tanah


dan Strategi Pengendalian Ramah Lingkungan. J. Buletin Palawija. 24:
69‒81.
Rusli, E.S., S. H. Hidayat, R. Suseno, & B. Tjahjono. 1999. Geminivirus asal Cabai:
Kisaran Inang dan Cara Penularan. Bulletin HPT. 11(1): 126-131.
Syahnen, Pinem SE. 2010. Ancaman penyakit antraknosa (Colletotrichum
gloeosporioides) pada tanaman kakao dan pengendaliannya. Medan: Balai
Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan.

Semangun, H. 2000. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Semangun, H. 2004. Pengantar Penyakit Penting Tanaman Hortikultura di Indonesia.


Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Semangun, H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada


University Press. Yogyakarta.

Sudantha, I M. 2009. Karakterisasi dan Virulensi Jamur Fusarium oxysporum f.sp.


cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang dan Pengendaliannya
Secara Hayati Menggunakan Jamur Saprofit Trichoderma spp. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian. Universitas Mataram. Mataram.

Sudiono, et al., 2005. Penyebaran Dan Deteksi Molekuler Virus Gemini Penyebab
Penyakit Kuning Pada Cabai Di Sumatera. J. HPT Tropika. 2:113-121.

Sulastri, E. 2010. Penurunan Intensitas Akar Gada dan Peningkatan Hasil Kubis
dengan Penanaman Caisin Sebagai Tanaman Perangkap Patogen. (Skripsi).
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Syamsudin, 2007. Pengendalian penyakit terbawa benih (seed born diseases) pada
tanaman cabai (Capsicum annuum L.) menggunakan agen biokontrol dan ekstrak
botani. Agrobio 2 (2).

Tans-Kersten J., H. Huang, and C. Allen. 2001. Ralstonia solanacearum Needs


Motility for Invasive Virulence on Tomato. J. Bacteriology. 183(12): 3597–
3605.
Tasiwal V. 2008. Studies on Gloeosporioides – a Postharvest Disease of Papaya.
Department of Plant Pathology College of Agriculture, Dharwad University
of Agricultural Sciences, Dharwad-580 005.

Than, P. P., Haryudian P., Sitthisack P., Paul W. J. T. dan Kevin D. H. 2008. Chilli
Anthracnose Disease Caused by Colletotrichum species. J. Zhenjiang Univ Sci B 9
(10): 764-778.

Thomson JL & Copes WE. 2009. Modeling Disease Progression of Camellia


Twig Blight Using a Recurrent Event Model. Phytopathology 99:378-384.

Tilaar SV. 2004. Uji ketahanan berbagai genotipa cabai (Capsicum sp.) terhadap
penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides Penz.). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Towaki, F. 2014. Insidensi Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.)
pada Tanaman Kubis di Desa Rurukan dan Kumelembuay Kecamatan
Tomohon Timur Kota Tomohon. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
UniProt Consortium. 2002. Taxonomy-Colletotrichum capsici (Antracnose fungus).
National Institutes of Health.

Yabuuchi, E., Y. Kosako, L. Yano, H. Hotta, and Y. Nishiuchi. 1995. Transfer of


Two Bulkholderia and an Alcaligenes Species to Ralstonia gen. nov.:
Proposal of Ralstonia pickettii (Ralston, Palleroni, and Doudoroff 1973)
comb. nov., Ralstonia solanacearum (Smith 1896) comb. nov. Microbiol.
Immunology. 39:897–904.

Anda mungkin juga menyukai