Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Glomerellales
Famili : Glomerellaceae
Genus : Colletotrichum
(UniProt, 2002)
e. Tanaman Inang
f. Gejala Serangan
g. Bioekologi
Siklus hidup dari fungi C. capsici yang terdapat pada tanaman cabai yaitu
berawal dari buah, masuk menginfeksi biji. Pada umumnya fungi tersebut
menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah yang sakit. Fungi C. capsici juga
menyerang daun dan batang, hingga buah tanaman dan dapat mempertahankan
dirinya dalam sisa-sisa tanaman sakit. Konidium dari fungi akan disebarkan oleh
angin (Semangun, 2007).
Spora fungi Colletotrichum dapat disebarkan oleh angin dan percikan air hujan
dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman, 1993).
Pertumbuhan awal fungi Colletotrichum membentuk koloni miselium yang berwarna
putih dengan miselium yang timbul di permukaan, kemudian perlahanlahan berubah
menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus berwarna merah muda
sampai coklat muda merupakan kumpulan massa konidia (Rusli & Zulpadli, 1997).
h. Pengendalian
2. Fusarium oxysporum
a. Gambar
Kingdom : Mycetae
Divisi : Mycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Hypomycetes
Famili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
(Agrios, 1996)
e. Tanaman Inang
f. Gejala Serangan
Gejala serangan yang ditimbulkan meliputi rebah benih, busuk akar, busuk
batang dan busuk tangkai yang terjadi ketika tanaman berada pada kondisi stress
atau ketika terjadi luka pada bagian luar jaringan tanaman. Fusarium sangat
berbahaya bagi tanaman pangan karena menyebabkan kerusakan seperti kematian
bibit, busuk akar dan busuk tangkai (Auliya, 2008).
g. Bioekologi
Jamur Fusarium oxysporum dalam perkembangbiakannya membentuk dua jenis
spora aseksual yaitu spora mikrokonidium dan spora makrokonidium. Spora
mikrokonidium bersel tunggal, tidak bersekat, tidak berwarna, berdinding tipis,
bentuknya bulat telur sampai lurus dengan ukuran 2 – 5 x 2,3 – 3,5 µm.
Spora makrokonidium bentuknya lancip, ujungnya melengkung seperti bulan
sabit, bersekat 3–5, ukurannya 20–46 x 3,2–8 µm. Pada keadaan tertentu
menghasilkan klamidospora berwarna coklat muda, dindingnya tebal, ukuran 6– 10
µm, dibentuk di ujung terminal atau di tengah hifa (Semangun, 2000). Menurut
Auliya (2008), Fusarium oxysporum merupakan fungi berfilamen yang memiliki 3
macam konidia, yaitu klamidiospora, makrokonidia yang berbentuk lengkung seperti
bulan sabit dengan kedua ujung yang lancip dan mikronidia yang berbentuk bulat,
tidak bersekat dan tidak berwarna, berdinding tebal dan sangat resisten terhadap
keadaan lingkungan yang buruk. Spora ini terbentuk dari penebalan bagian-bagian
tertentu dari suatu hifa somatik. Inokulum Fusarium oxysporum terdiri atas
makrokonidium, mikrokonidium, klamidospora dan miselia.
Jamur ini merupakan parasit lemah artinya hanya dapat menyerang tanaman yang
sedang berada pada kondisi lemah (peka) karena kekeringan, kekurangan unsur hara,
terlalu banyak sinar matahari dan tanaman terlalu banyak buah (Semangun, 2000).
Sebagai patogen primer, jamur dapat menginfeksi jaringan inang sebelum ada
serangan jamur patogen lain dan dapat menimbulkan gejala. Sebagai patogen
sekunder bila jamur menginfeksi tanaman inang setelah ada serangan jamur patogen
lain, sehingga tingkat serangan menjadi sedemikian parah (Isnaini, et al., 2004).
Jamur dapat menyebar melalui pengangkutan bibit dan tanah yang terbawa angin
atau air atau alat pertanian. Populasi patogen dapat bertahan secara alami di dalam
tanah dan pada akar-akar tanaman sakit. Apabila terdapat tanaman yang peka maka
bila terdapat luka pada akarnya, Fusarium oxysporum akan segera menginfeksinya.
h. Pengendalian
Beberapa teknik pengendalian penyakit layu fusarium telah direkomendasikan
seperti penggunaan fungisida, rotasi tanaman, perendaman lahan, penambahan bahan
organik, penggunaan varietas tahan dan pengendalian hayati. Penggunaan fungisida
dazomet kurang efektif karena fungisida hanya terserap tanah pada kedalaman
beberapa centimeter (Djatnika et al., 2003). Cendawan Fusarium mampu
menginfeksi perakaran pada daerah yang lebih dalam lagi dari daerah penyerapan
fungisida. Pengendalian dengan rotasi tanaman dan perendaman lahan selama enam
bulan hanya mampu menekan penyakit selama dua tahun (Stover, 1962).
Penambahan bahan organik hanya mampu menghambat perkembangan layu
fusarium dalam jangka waktu yang pendek. Penggunaan kultivar tahan merupakan
salah satu cara yang aman, akan tetapi untuk mendapatkan kultivar yang tanah cukup
sulit karena Fusarium memiliki kisaran inang yang luas (Huang dan Ko, 1990).
Pengendalian Fusarium oxysporum lebih lanjut dapat dilakukan dengan solarisasi
tanah, yaitu pemanasan tanah dengan memanfaatkan matahari (Katan et al., 1976).
Solarisasi tanah merupakan suatu teknik pemanasan dengan menggunakan
polyethylene atau plastik bening sebagai penutup tanah yang menyebabkan
terjadinya pemanasan dalam tanah sehingga terjadi perubahan fisik, biologi dan
kimia (Katan dan Devay, 1991). Selain itu, pengendalian cendawan ini juga dapat
menggunakan agens pengendali hayati seperti Pseudomonas fluorescens dan
Bacillus spp. Bakteri tersebut dapat mengeluarkan antibiotik seperti pyoverdin,
pyrolnitrin dan pyoluteorin (Lynch, 1990).
3. Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)
Gambar 1. Ralstonia solanacearum strain UY031 menggunakan transmisi (a) dan pemindaian (b)
mikroskop elektron, serta (c) mikroskop cahaya untuk memvisualisasikan morfologi koloni di
media padat
Sumber: Guarischi-Sousa et al. (2016)
a. Nama umum : Penyakit Layu Bakteri
b. Nama ilmiah : Ralstonia solanacearum
c. Klasifikasi :
Patogen penyebab penyakit layu adalah bakteri Ralstonia solanacearum
Smith-Yabuuchi. Nama tersebut mengalami beberapa kali perubahan,
sebagai hasil kajian molekuler yang didasarkan pada analis DNA bakteri.
Semula bakteri tersebut dinamakan Bacillus solanacearum, kemudian
menjadi Burkholderia solanacearum, berubah menjadi Pseudomonas
solanacearum dan nama mutakhir menurut Yabuuchi et al. (1995) adalah
Ralstonia solanacearum. Secara taksonomi bakteri tersebut diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Bakteri
Filum : Proteobakteria
Kelas : Betaproteobakteria
Ordo : Burkholderiales
Famili : Burkholderiaceae
Genus : Ralstonia
Spesies : Ralstonia solanacearum
d. Tanaman inang
Menurut Rahayu (2012), R. solanacearum dapat menyerang 450 jenis
inang. Terung, kentang, tomat, pisang, kacang tanah, tembakau, dan cabai
adalah inang utama. Selain itu bakteri mampu menyerang tanaman pupuk
hijau yaitu turi, kencur, jahe tanaman aromatik nilam, dan kemangi. Gulma
yang biasanya tumbuh bersama kacang tanah seperti Ageratum conyzoides,
Crotalaria juncea, Crassocephalum crepidioides, dan Croton hirtus, juga
berperan sebagai inang alternatif.
e. Gejala serangan
Tanaman yang terinfeksi R. solanacearum mengalami penyumbatan
pembuluh pengangkut, sehingga tanaman membentuk akar samping pada
batang bagian bawah yang mengakibatkan tanaman kerdil dan mengalami
klorosis. Pada daerah dengan suhu harian tinggi, gejala serangan akan lebih
cepat terlihat seperti daun termuda layu berlanjut ke bagian lain tanaman, jika
batang dipotong maka akan terlihat warna kecoklatan dan keluar lendir yang
merupakan massa bakteri (Adeputri et al., 2016).
f. Bioekologi
R. solanacearum termasuk kelompok bakteri Gram negatif, morfologi sel
berbentuk batang pendek, sel tunggal berukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,0 μm, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Bakteri dapat bergerak dengan
menggunakan bulu getar (flagela) tunggal atau lebih yang terletak pada salah
satu ujung sel polar. Tans-Kersten et al. (2001) menyatakan bahwa flagela
berfungsi untuk bergerak cepat ke arah rangsangan inang, dan kecepatan
tersebut sangat menentukan virulensi atau keganasan bakteri pada tahap awal
infeksi dan kolonisasinya pada inang. Menurut Anitha et al. (2003) bahwa
isolat virulen pada umumnya tidak memiliki flagel dan tidak mampu bergerak
(non-mobil). Pada isolat avirulen atau tidak ganas, bakteri mampu bergerak
dengan menggunakan 1–4 buah flagel polar.
g. Pengendalian
Pengendalian penyakit layu bakteri oleh R. solanacearum dapat dilakukan
dengan beberapa cara (8Villages, 2018), yaitu dengan cara:
1. Mengusahakan agar lahan tetap bersih dari gulma dan memiliki sistem
drainase yang baik.
2. Mengusahakan agar tanh tidak terlalu lembab dan tidak menampung air
dalam waktu yang lama.
3. Meningkatkan pH tanah dengan penambahan kapur dan memperbanyak
asupan hara mikro kalsium pada tanaman.
4. Menghindari mengocor NPK maupun pupuk kimia lain langsung pada
akar tanaman. Pengocoran pupuk kimia akan menyebabkan luka pada akar
tanaman.
5. Menggunakan pupuk kandang yang telah masak. Pupuk kandang yang
belum masak dapat memacu perkembangan bakteri ini memalui kenaikan
suhu tanah yang disebabkan oleh proses fermentasi pupuk organik.
6. Penanaman kultivar tanaman yang tahan terhadap penyakit layu bakteri.
7. Rotasi lahan dengan tanaman yang bukan merupakan inang penyebaran
bakteri seperti jagung atau kedelai.
8. Penggunaan agensia hayati jamur Trichoderma sp. untuk pencegahan.
9. Pengendalian secara kimiawi dengan bakterisida yang berbahan aktif
Dazomet, Streptomycine sulfat, Asam Oksolinik, Kasugamycine
Hidrokloridadan Oksitetrasiklin.
h. Kehilangan hasil
Kehilangan hasil tanaman kacang tanah karena penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh bakteri R. solanacearum berkisar 10‒30% bahkan mencapai
60% pada tingkat serangan parah seperti yang terjadi di Vietnam dan
Indonesia (Rahayu, 2012).
4. Penyakit Gemini Virus
Ket.: Variasi gejala pada tanaman cabai yang terinfeksi geminivirus, a: daun kuning tetapi masih
ada bagain hijau, b: kuning total, c: daun tebal dan berbentuk kerupuk d: daun hijau kekuningan, e:
daun kuning dan menggulung, f: kuning dan tanaman kerdil.
c. Tanaman Inang
Variasi gejala yang mungkin timbul pada cabai adalah sebagai berikut:
1. Tipe gejala 1
Gejala penyakit tipe ini diawali dengan pucuk mengkerut dan cekung
berwarna mosaik hijau pucat. Gejala lanjut menampakkan pertumbuhan
tanaman terhambat, daun mengkerut dan menebal, berwarna mosaik hijau
pucat disertai tonjolan berwarna hijau tua.
2. Tipe gejala 2
Gejala diawali dengan mosaik kuning pada pucuk dan daun muda. Gejala
kuning lanjut pada hampir seluruh daun menjadi bulai.
3. Tipe gejala 3
Gejala awal pada urat daun pucuk atau daun muda berwarna pucat atau
kuning sehingga nampak seperti jala. Gejala melanjut menjadi belang
kuning cerah, sedangkan bentuk daun tidak banyak berubah.
4. Tipe gejala 4
Gejala awal daun muda atau pucuk cekung dan mengkerut dengan warna
mosaik ringan. Gejala lanjut dengan seluruh daun berwarna kuning cerah,
bentuk daun berkerut dan cekung dengan ukuran lebih kecil, dan
pertumbuhan terhambat (Kumoro, 2003).
e. Pengendalian
1. Gunakan varietas, antara lain cakra, jatilaba, tit super, TM 999, TM 888,
tonado dan cayenne.
2. Lakukan pengolah lahan dengan baik dan pupuk berimbang yaitu pupuk
kandang 20-30 ton /ha, Urea 100-150 kg, 300-400 kg ZA, 150-200 kg TSP
dan KCl 150-200 kg/ha
3. Gunakan mulsa plastik hitam perak
4. Lakukan Pembibitan dengan cara penyungkupan tempat semaian dengan
kain kasa atau plastik yang telah dilubangi dan ketinggian rak pembibitan
lebih kurang 1 m.
5. Daerah yang baru terkena serangan tanaman muda (sampai 30 hari)
disulam dengan tanaman yang sehat sedangkan daerah yang terserang
berat, dibuang bagian daun tanaman dan disemprotkan pupuk daun.
6. Tanam jagung sebagai penghadang/barrier dengan 5-6 baris rapat (jarak
tanam 15-20 cm) di sekeliling kebun 2-3 minggu sebelum tanam cabai.
Gunakan perangkap kuning untuk memerangkap populasi kutu kebul, dan
dipasang sebanyak 40 perangkap/ha di tengah pertanaman cabai dipasang
dengan ketinggian 30 cm.
7. Atur waktu tanam agar tidak bersamaan dengan tingginya populasi
serangga penular
8. Lakukan sanitasi lingkungan, terutama mengendalikan gulma berdaun
lebar dari jenis babadotan, gulma bunga kancing, dan ciplukan yang dapat
menjadi tanaman inang virus.
9. Tumpangsari berbagai jenis tanaman untuk mengurangi populasi kutu
kebul. Tumpangsari antara cabai merah dengan kubis atau cabai merah
dengan tomat dapat menekan populasi kutu kebul sebesar 25 – 60%.
(Kumoro, 2003).
f. Kehilangan hasil
Serangan virus gemini pada pertanaman cabai di daerah Segunung, Bogor
mencapai 100% yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi petani
cabai. Tingginya serangan ini diduga berkaitan dengan populasi kutukebul
(Rusli et al., 1999). Persentase tanaman yang terserang akan meningkat
dengan meningkatnya jumlah kutukebul yang viruliferous.
5. Penyakit Busuk Buah
(Agrios, 1997)
d. Tanaman Inang
f. Bioekologi
Cendawan ini hidup saprofit pada bagian-bagian tanaman yang sudah
mati dan bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit. Cendawan ini adalah parasit
lemah, dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang lemah,
khususnya karena proses penuaan. Cendawan menginfeksi melalui luka atau
lentisel pada buah yang masih mentah dan baru berkembang setelah buah
matang. Saat kondisi lembab dan teduh, cendawan pada bagian yang sakit
akan membentuk konidium dalam jumlah yang besar, yang terikat dalam
masa lendir berwarna merah jambu (Syahnen dan Pinem 2010). Menurut
(Tilaar 2004), kelembaban udara 95% akan sangat membantu inisiasi infeksi
dan perkembangan penyakit. Cendawan akan menghasilkan kumpulan
konidia yang berwarna putih pada daun ketika berada pada kondisi yang
lembab. Konidia yang jatuh pada permukaan daun atau buah akan segera
berkecambah dan mengadakan penetrasi (Syahnen dan Pinem 2010).
g. Pengendalian
Pengendalian dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas penyakit
awal atau dengan memperlambat laju perkembangan penyakit. Biasanya
dengan mengidentifikasi terjadinya periode produksi inokulum, maka harus
dipertimbangkan dalam metode pengendalian penyakit (kimia, budaya, dan
sanitasi) dan waktu aplikasinya (Thomson and Copes, 2009), sebagai
berikut:
Gambar 2. Plasmodiophora brassicae yang terinfeksi atau tidak terinfeksi suspensi morfologi
sel lobak. a. sebuah P. brassicae tidak terinfeksisel suspensi. b Silindris sel yang mengandung
plasmodia sekunder (panah). c. Sel-sel berserat yang mengandung plasmodia sekunder (panah). d
Sel yang tumbuh tidak normal mengandung plasmodia sekunder (panah).
h. Kehilangan hasil
Kerugian yang disebabkan patogen tersebut berkisar antara 50–100 %.
Apabila suatu lahan telah terinfeksi oleh penyakit ini, maka dalam waktu
kurang lebih 30 tahun penyakit ini bertahan dalam bentuk spora, walaupun
tidak ditanami kubis-kubisan (Cruciferae) selama kurun waktu tersebut
(Sulastri, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4th Ed. San Diego (US): Elsevier Academic
Press.
Anitha, K., G.A. Gunjotikar, S.K. Chakrabarty, S.D. Singh, B. Sarath Babu,
R.D.V.J. Prasada Rao and K.S. Varaprasad. 2003. Interception of Bacterial
Wilt, Burkholderia solanacearum in Groundnut Germplasm Imported from
Australia. J. of Oilseeds Res. 20: 101–104.
Auliya, Nur Hikmatullah, Hikmatul Ilmi, Handa Muliasari, 2008. Pemanfaatan
Alkaloid Lombine dalam Ekstrak Kasar Daun Kumbi (Voacanga foetida) sebagai
Fungisida alami. Makalah tidak dipublikasikan. Universitas Mataram. Mataram.
Djatnika I., Hermanto C. dan Eliza. 2003. Pengendalian Hayati Layu Fusarium pada
Tanaman Pisang dengan Pseudomonas fluorescens dan Gliocladium. J.
Hortikultura 13: 205-211.
Guarischi-Sousa, Rodrigo, Marina Puigvert, Núria S. Coll, María Inés Siri, María
Julia Pianzzola, Marc Valls, and João C. Setubal. 2016. Complete Genome
Sequence of The Potato Pathogen Ralstonia solanacearum UY031. Journal
of Standards in Genomic Sciences, 11: 1‒7.
Isnaini, M. Rohyadi, dan Murdan. 2004. Identifikasi dan Uji Patogenitas Jamur-jamur
Penyebab Penyakit Busuk Batang Tanaman Vanili di Lombok Timur.
Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram.
Katan P. dan De Vajay J. E. 1991. Soil Solarization. London: CRC Press, Boca Raton
Ann Arbor Boston.
Lynch J. M. 1990. Microbial Metabolites. Di dalam: Lynch J.M, editor. The Rizhosphere.
England: John Wiley and Sons Ltd. Hlm 177-206 .
Mathews, R.E.F. 1992. Fundamentasl of plant virology. Academic Press Inc. San
Diego. 403 p.
Sudiono, et al., 2005. Penyebaran Dan Deteksi Molekuler Virus Gemini Penyebab
Penyakit Kuning Pada Cabai Di Sumatera. J. HPT Tropika. 2:113-121.
Sulastri, E. 2010. Penurunan Intensitas Akar Gada dan Peningkatan Hasil Kubis
dengan Penanaman Caisin Sebagai Tanaman Perangkap Patogen. (Skripsi).
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Syamsudin, 2007. Pengendalian penyakit terbawa benih (seed born diseases) pada
tanaman cabai (Capsicum annuum L.) menggunakan agen biokontrol dan ekstrak
botani. Agrobio 2 (2).
Than, P. P., Haryudian P., Sitthisack P., Paul W. J. T. dan Kevin D. H. 2008. Chilli
Anthracnose Disease Caused by Colletotrichum species. J. Zhenjiang Univ Sci B 9
(10): 764-778.
Tilaar SV. 2004. Uji ketahanan berbagai genotipa cabai (Capsicum sp.) terhadap
penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides Penz.). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Towaki, F. 2014. Insidensi Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.)
pada Tanaman Kubis di Desa Rurukan dan Kumelembuay Kecamatan
Tomohon Timur Kota Tomohon. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
UniProt Consortium. 2002. Taxonomy-Colletotrichum capsici (Antracnose fungus).
National Institutes of Health.