Anda di halaman 1dari 16

HAMA TANAMAN TEH

Kepik Penghisap daun teh


Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Subordo : Heteroptera
Famili : Miridae
Genus : Helopeltis
Spesies : Helopeltis spp.
Spesies yang biasa menyerang tanaman teh:
a. H. antonii
b. H. bradyi
c. H. theivora
d. H. theobromae
Inang : Teh, Coklat, Jambu mete, dll.
Gejala
Terdapat lubang- lubang bekas tusukan hama yang terlihat seperti bercak – bercak
hitam, terdapat di batang, tangkai, daun, dan buah. Jaringan yang telah ditusuk dan dihisap
menjadi keriput dan kering. Pada tingkat serangan yang tinggi, dapat menyebabkan kematian
pada tanaman. (Nur Tjahjadi, 2012)
Bioekologi
Mempunyai tipe mulut penghisap sehingga mampu menusuk jaringan tanaman dan
menhisap cairan dalam jaringan tanaman. Siklus hidupnya: telur – nimfa – imago. Fase
menjadi hamanya adalah saat fase nimfa dan fase imago. Bertumbuh dan berkembang dengan
optimal di daerah tropis. (Nur Tjahjadi, 2012)
Ambang Ekonomi
Tingkat ambang ekonomi untuk H. theivora pada pertanaman teh di Bangladesh
adalah serangan 5% (Mamun & Ahmed, 2011) sehingga pada serangan lebih dari 5% perlu
dilakukan tindakan pengendalian hama.
Pengendalian
PHT untuk Helopeltis spp. pada tanaman teh adalah: kultur teknis, pengendalian
hayati, penggunaan varietas resisten, dan pestisida (nabati dan kimia) (Debnath & Rudrapal,
2011; Mamun & Ahmed, 2011).
Tindakan kultur teknis yang dapat dilakukan adalah pemetikan pucuk teh,
pemangkasan, pengelolaan naungan, sanitasi lingkungan, dan tanaman perangkap.
Pemetikan pucuk teh merupakan cara panen tanaman ini yang sangat berpengaruh
untuk mengurangi serangga hama yang menyerang daun seperti Helopeltis spp. Pemetikan
pucuk teh dapat memutus siklus hama tersebut karena Helopeltis spp. meletakkan telurnya
pada jaringan tanaman di pucuk, ranting muda.
Pemangkasan pada tanaman teh bertujuan untuk merangsang pertumbuhan tunas baru
agar menghasilkan pucuk yang banyak dan berkualitas baik. Umumnya tinggi pangkasan
kebun produkstif antara 40-70 cm (Dalimoenthe & Johan, 2009), dan di Unit Perkebunan
Bedakah , Wonosobo 50 – 65 cm (Titisari, 2010). Pemangkasan tanaman juga menjadi salah
satu upaya untuk mengurangi serangan Helopeltis spp. pada pertanaman teh.
Pada tanaman teh, tanaman naungan juga berperan untuk menekan serangan hama.
Oleh karena itu pengelolaan naungan menjadi penting agar naungan yang digunakan tidak
menjadi inang alternatif bagi hama tersebut dan menjadikan kondisi yang mendukung untuk
perkembangan hama.
Selain itu sanitasi lingkungan dengan menghilangkan beberapa jenis gulma yang
menjadi inang alternatif Helopeltis spp. seperti Makania cordata, Bidens biternata, Emilia
sp., Polygonum chinese, Oxalis acetosella, Malastoma malabethricum dan Lantana camara
(Mamun & Ahmed, 2011).
Pemanfaatan tanaman perangkap merupakan tindakan untuk memanipulasi
lingkungan pada agroekosistem teh. Penanaman klon TV1 digunakan sebagai tanaman
perangkap H. theivora pada pertanaman teh di India dan Bixa orellana sebagai tanaman
perangkap H. schoutedenii
Penggunaan musuh alami

Ulat Penggulung Daun Teh


Homona cofferia (Lepidoptera: Tortricidae)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Tortricidae
Subfamili : Tortricinae
Genus : Homona
Spesies : Homona coffearia
Bioekologi
Ngengat Homona mengeluarkan telur yang berbentuk datar. Telur tersebut tersusun
dalam kelompok yang berbarisbaris di atas permukaan daun teh. Larva yang menetas akan
mulai memakan daun teh muda sehingga mengurangi hasil panenan karena daun tersebutlah
yang dimanfaatkan manusia. Larva membuat semacam sarang dengan menyambungkan daun;
lama kelamaan sarang tersebut menjadi campuran potongan daun, sutra dan kotoran ulat.
Beberapa sarang dibuat oleh satu ulat selama dia berkembang. Setelah larva tumbuh hingga
panjangnya 18-26 mm, dia menjadi kepompong dalam sarang terakhir yang dibuatnya.
Kemudian ia keluar sebagai ngengat dewasa. Ngengat aktif hanya malam hari. Betina dapat
mengeluarkan beratusratus telur. Ulat Homona diparasit oleh beberapa jenis tawon parasitoid,
khususnya Macrocentrus homonae yang merupakan tawon Braconidae.
Gejala Serangan
Ulat penggulung daun membuat tempat berlindung untuk diri sendiri dari daun teh;
caranya dengan menyambungkan dua (atau lebih) daun bersama-sama dengan sutra, atau
dengan menggulung satu daun lalu menyambungkan pinggirnya. Daun yang terserang tidak
dapat dipetik sebagai hasil panen teh. Mula-mula ulat memakan epidermis daun sehingga
seluruh daun dimakan. Larva akan makan daun pertama sehingga habis kemudian pindah ke
daun yang lain. Selama perkembangannya, satu ulat dapat menghabiskan lebih dari 1 helai
daun. Pada instar awal, kerusakan yang ditimbulkan sangat kecil karena yang dimakan adalah
permukaan bawah dari daun yang tua. Setelah panjang tubuh mencapai 5 mm, ulat berpindah
ke daundaun muda. Serangan terjadi sepanjang tahun. Apabila kondisi lingkungan yang
mendukung seperti akhir musim kemarau atau awal musim hujan populasi hama dapat
meningkat. Serangan berat mengakibatkan tanaman gundul.
Pengendalian
Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara mekanis, yaitu dengan melakukan
pemetikan daun yang terserang dan pengambilan kelompok telur. Cara hayati dengan
menggunakan musuh alami antara lain Macrocentrus homonae, Elasmus homonae, jamur
penyebab Wilt disease dan bakteri entomopatogenik. Dengan pengendalian kimiawi, yaitu
menggunakan insektisida dengan berbahan aktif Lamda Sihalotrin.
HAMA TANAMAN KOPI

Kumbang Penggerek Buah Kopi


Hypothenemus hampei (Coleoptera: Scolitidae)
Klasifikasi
Menurut Manurung (2011), hama penggerek buah kopi diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Family : Scolytidae
Genus : Hypothenemus
Spesies : Hypothenemus hampei Gambar 1. Hypothenemus hampei

Hama penggerek buah kopi (PBKo) merupakan hama penting pada tanaman kopi.
Hama ini memiliki nama spesies Hypothenemus hampei Ferr, termasuk famili Scolitidae dan
Ordo Coleoptera. PBKo ini sangat merugikan karena mampu merusak biji kopi dan dapat
menyebabkan penurunan produksi dan mutu kopi. Hama penggerek buah kopi (PBKo) ini
berupa kumbang kecil yang berukuran 1,7 mm berwama gelap hampir hitam (Hidayana,
2002).
Bioekologi
Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 31 – 50 butir. Siklus
hidupnya dimulai dari telur, larva, pupa, dan dewasa. Setelah 4 hari telur menetas menjadi
larva yang menggerek biji kopi. 15 hari kemudian larva berubah menjadi kepompong (pupa)
di dalam biji. Setelah 7 hari kepompong berubah menjadi serangga dewasa. Kumbang jantan
dan kumbang betina kawin di dalam buah kopi, kumbang jantan dapat hidup dalam waktu 20
– 87 hari dan kumbang betina dapat bertahan hidup dalam waktu 157 hari. Kemudian
kumbang betina terbang untuk menggerek buah yang lainnya. Kumbang jantan tidak bisa
terbang sehingga sepanjang hidupnya tetap berada di dalam buah.
Hama H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa sempurna dengan tahapan
telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa. Kumbang betina lebih besar dari
kumbang jantan. Panjang kumbang betina lebih kurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan
panjang kumbang jantan 1,2 mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang akan bertelur
membuat lubang gerekan dengan diameter lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya
pada bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya. Telur
menetas 5-9 hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari. Pada ketinggian 500 m
dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m
dpl, untuk perkembangan serangga diperlukan waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina
rata-rata 156 hari, sedangkan serangga jantan maksimal 103 hari (Firdaus, 2015).
Gejala Serangan
Pada umumnya PBKo menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras,
namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang bijinya masih lunak
umumnya hanya digerek untuk mendapatkan makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah
demikian tidak berkembang, warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya
gugur. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi
karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap susunan
senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang merupakan salah
satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh
kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam biji.
Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji keras yang
sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur pada biji di dalam
endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi setelah pemetikan adalah
tempat berkembang biak yang sangat baik untuk penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat
ditemukan sampai 75 ekor serangga per biji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup
selama kurang lebih satu tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup.
PBKo mengarahkan serangan pertamanya pada bagian kebun kopi yang bernaungan,
lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak dikendalikan, serangan dapat menyebar ke
seluruh kebun. Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang sampai
merah, biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada buah. Kumbang
betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk meletakkan telur. Ketika telur
menetas, larva akan memakan isi buah sehingga menyebabkan menurunnya mutu kopi. PBKo
masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat lubang di sekitar diskus. Serangan pada
buah muda menyebabkan gugur buah. Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji
kopi cacat berlubang-lubang dan bermutu rendah. PBKo diketahui makan dan berkembang
biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke dalam buah kopi dengan
membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak dalam buah.
Imago H. hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk endosperma.
Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah memiliki endosperma yang
keras. Betina membuat lubang kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk
meletakkan telur jika buah sudah cukup matang.

Gambar 2. Lubang gerekan H. hampei

Kehilangan Hasil
Akibat dari gerekan PBKo, pada buah muda yang masih memiliki endosperm lunak,
buah muda tersebut tidak dapat berkembang lebih lanjut, bahkan busuk dan gugur.
Pengguguran buah kopi muda dapat mencapai 7 - 14 % dari produksi. Kerusakan berat dapat
terjadi pada saat buah kopi mengeras, karena selain menggerek dan memakan biji kopi,
kumbang ini juga berkembang biak di dalam biji sehingga biji kopi menjadi cacat dan
berlubang-lubang sehingga kopi yang dihasilkan adalah kopi pasar yang berkualitas rendah
dengan kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai 30 - 80 % dari produksi (Junianto,
2000).
Pengendalian
Pengendalian yang dilakukan untuk mencegah meningkatnya luas serangan H. hampei
(Planterandforester, 2012) :
a) Sanitasi bertujuan untuk memutus siklus hidup serangga penggerek buah kopi dengan
cara meniadakan makanannya melalui tindakan petik bubuk, racutan atau rampasan,
dan lelesan. Kopi dari hasil kegiatan tersebut selanjutnya direndam dalam air mendidih
sampai semua stadia serangga mati, dan biji kopi yang masih baik bisa dimanfaatkan.
b) Pengaturan naungan, serangan berat H. hampei umumnya terjadi pada kebun-kebun
dengan intensitas naungan berat. Oleh karena itu pengaturan naungan secara optimal
akan menurunkan intensitas serangan.
c) Pengendalian fisik, terutama ditujukan untuk mempertahankan mutu biji kopi yang
akan disimpan atau dipasarkan, yaitu dengan mengeringkan biji kopi sampai kadar
airnya menjadi di bawah 12,5%. Pada kadar air tersebut hama penggerek buah kopi
tidak mampu lagi untuk berkembang.
d) Pengendalian Biologis, aplikasi jamur Beauvaria bassiana dapat menginfeksi stadia
larva, pupa dan serangga dewasa. Parasitoid Cephalonomia stephanoderis memarasit
serangga stadia larva dan pupa.

Kutu putih/ kutu dompolan


Pseudococcus citri Risso (Hemiptera: Pseudococcidae)

(a) (b) (c) (d)


Gambar 3. Kutu putih (a) telur, (b) nimfa, (c) imago betina, dan (d) imago jantan
Klasifikasi
Kutu putih atau kutu dompolan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Famili Pseudococcidae, Genus
Pseudococcus, Spesies Pseudococcus citri.

Gejala serangan
Kutu dompolan menyerang tanaman dengan cara mengisap, mengisap cairan kuncup
bunga, buah muda, ranting dan daun muda. Akibat seragan hama ini, pertumbuhan tanaman
terhenti, daun-daun menguning, calon bunga gagal menjadi bunga dan buah rontok. Bila buah
yang diserang tidak rontok maka perkembangan akan terhambat dan kulit keriput sehingga
kualitas buah rendah.

Bioekologi
Kutu dompolan biasanya berasosiasi dengan semut. Kotaran banyak mengandung gula
sehingga disukai semut. Sebaliknya, semut menyebarluaskan hama ini untuk mencarikan
tempat terbaik. Selain berasosiasi dengan semut, kutu ini juga menjadi vektor atau pembawa
cendawan atau penyakit lainnya, misalnya cendawan jelaga. Koloni P.citri atau kutu
dompolan memeliki lapisan lilin yang berwarna putih pada tubuhnya, sedangkan kutu
tempurung hijau tidak. Disamping itu semua instar kutu dompolan memiliki kemampuan
menyebar yang lebih baik dibandingkan dengan kutu tempurung hijau (Najiyati dan Danarti
1980). Kerugian terbesar disebabkan karena kutu dompolan menyerang pembuangaan,
kuncup bunga dan buah muda yang baru muncul menjadi kering dan gugur karena kutu
mengisap tangkai bunga dan tangkai buah.

Teknik pengendalian
1. Secara biologis, yaitu dengan melepaskan parasit Anagyrus grenii dan Leptomastix
obyssinica, predator kumbang Symnus apiciflatus, Symnus roepkei, Cryptolaemus
mentrouzieri. Selain melepaskan musuh alami dan juga memperantas semut yang suka
membawa kutu terutama pada musim kemarau.
2. Secara mekanis yaitu memangkas bagian yang terserang, kemudian dibakar. Selain itu,
membuang atau menanam pohon pelindung yang disukai oelh hama tersebut seperti
gamal (Glirisida maculata)
3. Secara kimia yaitu dengan menyemprotkan insektisida. Insektisida yang dianjurkan
antara lain Anthio 330 EC, Hostathion 40 EC, Nogos 50 EC, 17 Orthene 75 SP, Sevin 85
g dan Supracide 40 EC dengan dosis sesuai petunjuk.
HAMA TANAMAN TEBU

Penggerrek Pucuk Tebu


Scirpophaga excerptalis Walker (Lepidoptera: Pyralidae)

(a) (b) (c)


Gambar 4. Penggerek pucuk tebu (a) telur, (b) larva, dan (c) imago
Klasifikasi
Penggerek pucuk tebu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Animalia,
Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Lepidoptera, Famili Pyralidae, Genus Scirpophaga,
Spsesies Scirpophaga excerptalis.

Gejala serangan
Serangan penggerek pucuk dimulai dari tunas umur 2 minggu sampai tanaman dewasa.
Hama ini merusak tanaman melalui tulang daun pupus dengan membuat lorong gerekan
menuju ke bagian tengah pucuk sampai ruas muda, merusak titik tumbuh dan selanjutnya
tanaman mati.

Gambar 5. Gejala serangan S. excerptalis

Kehilangan hasil
Serangan penggerek pucuk pada 5 bulan sebelum tebang dapat menurunkan produksi
gula 52,9 sampai 73,4%.

Bioekologi
Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun dan ditutupi bulu-
bulu berwarna cokelat kekuningan, panjang kelompok telur sekitar 22 mm. Bentuk telur
lonjong, berwarna putih kelabu, ukuram 1 mm. Stadia telur 8-9 hari. Ulat yang baru menetas
menggerek dan menembus daun muda yang masih belum membuka, menuju ke tulang daun
untuk membuat lorong gerekan ke titik tumbuh. Ulat muda berwarna putih dan ulat dewasa
putih kekuningan, panjang sekitar 30 mm. Dalam satu batang tebu biasanya hanya dijumpai
satu ekor ulat. Stadia ulat mencapai 35 hari. Pupa berada di dalam lubang gerekan, berwarna
kuning pucat, panjang sekitar 20 mm. Stadia pupa berlangsung 8-12 hari. Dewasa atau
ngengat berwarna putih, panjang sekitar 20 mm. Ngengat betina ditandai seberkas rambut
merah oranye di ujung abdomen. Ngengat berwarna putih, berukuran 45-50 mm. Ngengat
betina bertelur pada malam hari, satu betina mampu bertelur 60-70 butir. Suhu yang paling
sesuai untuk bertelur ialah 27-35oC, di atas atau di bawah suhu tersebut produksi telur
menjadi berkurang.

Teknik pengendalian

Penggerek Batang Berkilat


Chilo auricilius Dudgeon Ruas (Lepidoptera: Pyralidae)

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 6. Penggerek batang tebu (a) larva, (b) pupa, (c) imago betina, dan (d) imago jantan

Klasifikasi
Penggerek batang tebu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Animalia,
Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Lepidoptera, Famili Pyralidae, Genus Chilo, Spesies
Chilo auricilius.

Gejala serangan
Serangan penggerek batang biasanya dijumpai pada tanaman tebu berumur 5 bulan ke
atas. Gejala serangannya diawali munculnya bercak-bercak transparan berbentuk bulat oval
di daun. Ulat masuk lewat pelepah dan batang tanaman tebu, kadang menyebabkan mati
puser. Lubang gerekan di dalam batang terlihat lurus, sedangkan lubang keluar pada batang
terlihat bulat. Kadang gerekan mengenai mata tunas sehingga tunas menguning dan
mengering, biasanya terjadi pada awal atau akhir musim hujan. Hama ini juga menyerang
tanaman padi dan jagung.

Kehilangan hasil
Serangan hama penggerek batang menyebabkan penurunan hasil gula sekitar 10%.
Jenis hama ini bersama dengan penggerek pucuk menyebabkan kerusakan batang sekitar
14,5%.

Bioekologi
Telur diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun, panjang sekitar 20
mm, bentuk lonjong atau tidak teratur, berwarna putih kelabu 2-5 baris. Ulat setelah menetas
bergerak lewat pelepah dan batang tebu. Ulat berwarna putih kekuningan dengan panjang
sekitar 25 mm. Pupa diletakkan di dalam lubang gerekan, berwarna kuning pucat. Panjang
pupa sekitar 15 mm. Ngengat jantan lebih kecil dibanding ngengat betina. Sayap depan
cokelat terang sampai cokelat kusam. Ngengat jantan memiliki sayap belakang putih-cokelat,
betinanya berwarna putih sutera. Satu betina mampu bertelur 60-70 butir.

Teknik pengendalian Scirpophaga excerptalis dan Chilo auricilius


1. Pengelolaan melalui pengembalian residu tanaman yang meliputi daun dan pucuk
tanaman tebu dan menanam tanaman pupuk hijau Clotalaria juncea di antara barisan
tanaman tebu. Tanaman pupuk hijau ditebang setelah berumur sekitar 2 bulan dan
biomassanya dikembalikan ke lahan. Pengembalian residu tanaman ke lahan dapat
meningkatkan bahan organik tanah, memperkaya keragaman arthropoda, memperbaiki
kinerja mikroba tanah, meningkatkan keragaman hayati tanah, meningkatkan aktivitas
predator, dan memperbaiki kualitas tanah dan produksi tebu.
2. Menanam varietas toleran yaitu daunnya memiliki sedikit bulu sehingga imago sulit
meletakkan telur, daun tua mudah mengelentek sendiri, tulang daun utama keras,
diameter batang relatif besar, dan batang keras. Varietas tebu yang toleran terhadap hama
penggerek antara lain PSJT 941, PS 851, PS 891, PS 921, dan PSBM 88-144
(Achadianet al. 2011).
3. Monitoring hama atau pemantauan hama dimaksudkan untuk mengetahui dinamika
populasi hama sepanjang musim.
4. Pengendalian hayati dengan pelepasan secara rutin parasitoid larva tachinid dan
braconid, parasitoid lalat Jatiroto Diatraeophaga sriatalis, parasitoid telur Trichogramma
chilonis.
5. Pengendalian secara mekanis yaitu pucuk dapat diroges atau dipotong sedikit demi
sedikit, dimulai dari pucuk ke bawah dimulai pada saat tanaman tebu berumur dua bulan
sampai enam bulan. Pengendalian mekanis juga dapat dilakukan dengan memusnahkan
telur dan larva yang dijumpai di tanaman.
6. Pengendalian secara kimiawi dengan insektisida dilakukan apabila cara pengendalian
lain tidak memberikan hasil. Insektisida dapat diaplikasikan apabila telah tercapai
ambang pengendalian. Ambang pengendalian hama penggerek pucuk ialah apabila
tercapai kerusakan 2% untuk kebun bibit dan 4% untuk tebu giling. Insektisida yang
dianjurkan antara lain insektisida berbahan aktif karbofuran 5G dengan dosis 25 40
kg/ha, diaplikasikan di tanah.
HAMA TANAMAN KELAPA SAWIT

Ulat Api
Setora nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae)

Gambar 7. Larva ulat api S. nitens


Klasifikasi
Klasifikasi S. nitens menurut Kalshoven (1981) adalah Kingkom Animalia, Phylum
Arthropoda, Class Insekta, Ordo Lepidoptera, Family Limacodidae, Genus Setora, dan
Species Setora nitens.

Gejala serangan
Ulat muda biasanya bergerombol di sekitar tempat peletakkan telur dan mengikis daun
mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit serta meninggalkan epidermis daun bagian
atas. Bekas serangan terlihat jelas seperti jendela-jendela memanjang pada helaian daun,
sehingga akhirnya daun yang terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar.Mulai
instar ke 3 biasanya ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja dan
sering disebut gejala melidi (Buana dan Siahaan, 2003).
Ambang ekonomi dari hama ulat api untuk S. asigna dan S. nitens pada tanaman kelapa
sawit rata-rata 5 - 10 ekor perpelepah untuk tanaman yang berumur tujuh tahun ke atas dan
lima ekor larva untuk tanaman yang lebih muda (Prawirosukarto, 2003).

Gambar 8. Gejala serangan Ulat Api S. nitens


Bioekologi

Telur hampir sama dengan telur S. asigna hanya saja peletakan telur antara satu sama
lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4 – 7 hari (Susanto, 2005). Larva mula-mula
berwarna hijau kekuningan, kemudian hijau dan biasanya berubah menjadi kemerahan
menjelang masa kepompong. Ulat dicirikan dengan adanya satu garis membujur di tengah
punggung yang berwarna biru keunguan. Perilaku ulat ini sama dengan ulat S. asigna dan
stadia berlangsung sekitar 50 hari (Prawirosukarto, 2003).
Kepompong mirip dengan kepompong S. asigna dan juga terletak di permukaan tanah
sekitar piringan atau di bawah pangkal batang kelapa sawit. Stadia kepompong berkisar
antara 17 – 27 hari (Sipayung, 1991). Ngengat jantan berukuran 35 mm dan yang betina
sedikit lebih besar. Sayap depan berwarna coklat dengan garis-garis yang berwarna lebih
gelap. Ngengat aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada siang hari hinggap di
pelepah-pelepah tua atau pada tumpukan daun yang telah dibuang dengan posisi terbalik
(Desmier de Chenon, 1982).

Gambar 9. Siklus hidup Ulat Api S. nitens

Teknik pengendalian
Beberapa teknik pengendalian ulat api yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pengendalian secara mekanik, yaitu pengutipan ulat ataupun pupa di lapangan
kemudian dimusnahkan
2. Pengendalian secara hayati, dilakukan dengan : - penggunaan parasitoid larva seperti
Trichogramma sp dan predator berupa Eocanthecona sp Universitas Sumatera Utara -
Penggunaan virus seperti Granulosis Baculoviruses, MNPV (Multiple Nucleo
Polyhedro Virus) dan jamur Bacillus thuringiensis
3. Penggunaan insektisida, dilakukan dengan : - Penyemprotan (spraying) dilakukan pada
tanaman yang berumur 2,5 tahun dengan menggunakan penyemprotan tangan,
sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 5 tahun penyemprotan dilakukan dengan
mesin penyemprot - Penyemprotan udara dilakukan apabila dalam suatu keadaan
tertentu luas areal yang terserang sudah meluas yang meliputi daerah dengan berbagai
topografi.
4. Penggunaan feromon seks sintetik efektif untuk merangkap ngengat jantan ulat api S.
asigna selama 45 hari. (Arifin, 1997).
Kumbang Tanduk
Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Gambar : Kumbang Tanduk O. rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Klasifikasi
Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes rhinoceros
adalah Kingkom Animalia, Phylum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Coleoptera, Famili
Scarabaeidae, Genus Oryctes, Spesies Oryctes rhinoceros L

Gejala serangan
Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke
bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang merusak
pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada
tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan
segitiga seperti huruf “V”. Gejala ini merupakan ciri khas serangan kumbang O. rhinoceros
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2008). Kumbang ini menggerek pucukpucuk atau umbut
kelapa sawit sejak ditanam dan dapat berlanjut sampai umur 25 tahun. Pelepah di atas bagian
yang diserang akan putus dan mengering atau busuk dan tunas baru keluar dari samping
(Lubis, 1992).
Pelepah daun terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan dan
pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Pada kelapa sawit yang berumur satu tahun, seekor
kumbang menggerek selama 4-6 hari sebelum pindah ke tanaman lain. Oleh karena itu
populasi O. rhinoceros yang rendah dapat mengakibatkan kerusakan tanaman kelapa sawit
yang berat (Chenon dan Pasaribu, 2005).
Kumbang tanduk O. rhinoceros umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda dan
dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama menghasilkan
hingga 69%. Di samping itu, kumbang tanduk juga mematikan tanaman muda sampai 25%
(Primatani, 2006)
Gambar 10. Gejala serangan Kumbang Tanduk O. rhinoceros

Bioekologi
Kumbang ini meletakkan telur pada tunggul-tunggul karet, kelapa dan kelapa sawit
yang telah dipotong dan bahan organik lainnya (Mangunsoekarjo dan Semangun, 2003).
Imago betina kumbang ini dapat bertelur 3 sampai 4 kali selama hidupnya dengan jumlah
telur 30 butir dalam sekali bertelur. Telur berwarna putih, bentuk oval, diletakkan oleh imago
betina 5-15 cm di bawah permukaan bahan organik. Telur yang baru diletakkan berukuran
2,3 x 3,5 mm dan lamanya stadia telur 8-12 hari (Allorerung dan Hosang, 2003).
Larva yang baru menetas berwarnah putih dan setelah dewasa berwarnah putih
kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang 7-10 cm. Tubuh bagian
belakang lebih besar dari bagian depan. Pada permukaan tubuh larva terdapat bulu-bulu
pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan
bahkan ada pula yang mencapai 2-4 bulan lamanya. Stadim larva terdiri dari tiga instar yaitu:
Instar I selama 11-12 hari, instar II selama 12-21 hari, dan instar III 60-165 hari (Anonimus,
2010).
Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah
kecoklatan dan panjang 5-8 cm yang terbungkus dari kokon dari tanah yang berwarna kuning.
Stadia ini terdiri atas dua fase yaitu: Fase I lamanya satu bulan yang merupakan perubah
bentuk dari larva ke pupa dan fase II lamanya tiga minggu merupakan perubahan bentuk dari
pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon (Anonimus, 2010).
Kumbang Oryctes rhinoceros warnanya hitam, permukaan bagian bawah badanya
berwarana hitam kecoklatan, panjang tubuh 34-45 mm dan lebarnya 20 mm. Culanya yang
terdapat pada kepala menjadi ciri khas kumbang ini. Cula kumbang jantan lebih panjang dari
cula kumbang betina. Selain itu kumbang ini mempunyai mandible yang kuat dan cocok
untuk melubangi pohon (Borror,1971).
Gambar 11. Siklus hidup Kumbang Tanduk O. rhinoceros

Teknik pengendalian
Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap
feromon. PPKS saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat (dengan nama dagang
Feromonas) untuk menarik kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat ini berguna
sebagai alat kendali populasi hama dan sebagai perangkap massal. Pemerangkapan kumbang
O. rhinoceros dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik
(PPKS, 2009). Pengendalian dengan menggunakan feromon untuk mengendalikan populasi
hama O. rhinoceros sudah dilakukan oleh beberapa negara antara lain Filipina, Malaysia,
Srilanka, India, Thailand dan Indonesia (APCC 2006). Hal ini dilakukan mengingat O.
rhinoceros adalah hama yang berbahaya baik pada tanaman kelapa yang masih di pembibitan
sampai tanaman dewasa (Singh and Rethinam, 2005).
Penggunaan feromon dapat menurunkan populasi O. rhinoceros di lapangan, 5-27
ekor kumbang per hektar dapat terperangkap setiap bulan (APCC, 2006). Kumbang O.
rhinoceros berbahaya pada tanaman kelapa, lima ekor kumbang (dalam tahap makan) per
hektar dapat mematikan setengah dari tanaman yang baru ditanam (Balitka, 1989). Oleh
sebab itu penggunaan feromon dapat menyelamatkan tanaman kelapa dari ancaman
kehilangan produksi bahkan kematian tanaman. Penggunaan perangkap feromon dapat
menurunkan populasi hama dan tingkat kerusakan hama sampai batas tidak merugikan serta
menurunkan penggunaan insektisida dan kerusakan lingkungan (Roelofs, 1978). Di samping
itu, feromon dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan penggunaan virus di lokasi-
lokasi pelepasan virus untuk mengendalikan O. rhinoceros (APCC, 2006).
Perangkap Feromon
Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke
lingkungannya yang memampukan organisme tersebut mengadakan komunikasi secara
intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring populasi maupun
pengendalian hama (Nation, 2002). Di samping itu feromon bermanfaat juga dalam proses
reproduksi dan kelangsungan hidup suatu serangga. Keberhasilan penggunaan feromon
dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah dan bahan kimia yang dihasilkan dan
dibebaskan per satuan waktu, penguapan bahan kimia, kecepatan angin dan temperatur
(Klowden, 2002).
Feromon ini mempunyai bahan aktif Ethyl-4 methyloctanoate dimana bahan aktif ini
10 kali lipat lebih efektif dibandingkan feromon terdahulu yang bahan aktifnya Ethyl
chrysanthemumate. Feromon diletakkan dalam ferotrap yaitu menggunakan ember plastik
dan perangkap PVC. Satu ferotrap cukup efektif untuk 2 ha dan kantong feromon sintetik
dapat digunakan selama 60 hari (Utomo dkk, 2007).

Anda mungkin juga menyukai