Anda di halaman 1dari 65

STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN

HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR


DI LAHAN PASANG SURUT

ACHMAD YOZAR PERKASA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengendalian


Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di
Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Achmad Yozar Perkasa


NIM A252120261
RINGKASAN

ACHMAD YOZAR PERKASA. Studi Pengendalian Gulma dengan


Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang
Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan DWI GUNTORO.

Salah satu masalah dalam budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut
adalah gangguan gulma. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan herbisida
yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air
di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah
mineral di Desa Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari,
Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan
pada bulan Juli sampai Desember 2013.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok satu
faktor yaitu jenis herbisida. Percobaan terdiri atas delapan perlakuan dengan tiga
ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu kontrol (P0), penyiangan manual 4 minggu
setelah tanam (MST) (P1), paraquat 2 l/ha 4 MST (P2), glifosat 3 l/ha 4 MST
(P3), oksifluorfen 2 l/ha 3 hari sebelum tanam (HSbT) (P4), oksifluorfen 2 l/ha
3 HSbT di ikuti aplikasi paraquat 2 l/ha 4 MST (P5), oksifluorfen 2 l/ha 3 HSbT di
ikuti aplikasi glifosat 3 l/ha 4 MST (P6), aplikasi herbisida penoksulam 1 l/ha
2 MST (P7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gulma golongan teki Cyperus iria
adalah gulma paling dominan pada lahan percobaan dengan NJD 37.77% di tanah
mineral sedangkan di tanah mineral bergambut sebesar 26.43%. Herbisida yang
paling efektif menekan gulma di tanah mineral adalah paraquat yang ditunjukkan
dengan hasil bobot kering gulma total paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST.
Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral bergambut adalah
oksifluorfen yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma total paling
rendah pada 4 dan 8 MST. Herbisida yang paling baik untuk produksi kedelai di
tanah mineral adalah glifosat ditunjukkan dengan produktivitas sebesar
3.76 ton/ha. Herbisida yang paling baik untuk produksi kedelai di tanah mineral
bergambut yaitu paraquat yang ditunjukkan dengan produktivitas sebesar
1.5 ton/ha. Aplikasi herbisida pre emergence sebaiknya dilakukan sebelum tanam
kedelai. Aplikasi herbisida post emergence harus dilakukan secara hati-hati
dengan menggunakan sungkup nozzle untuk mencegah keracunan pada tanaman.

Kata kunci: budidaya jenuh air, kedelai, lahan pasang surut, pengendalian gulma.
SUMMARY

ACHMAD YOZAR PERKASA. Study of Weed Control by Herbicides under


Soybean Saturated Culture in Tidal Swamp. Supervised by MUNIF
GHULAMAHDI and DWI GUNTORO

One of the problem on soybean saturated culture in tidal swamp is weed.


The objective of this study was to obtain the most effective herbicide for weeds
control on soybean saturated culture in tidal swamp. The research was conducted
between July - December 2013, in tidal swamp of mineral soil at Banyu Urip and
peaty mineral soil at Muliasari village, Tanjung Lago Districs, Banyuasin,
Palembang, South Sumatera.
The study was conducted using a randomized block design which one factor
were the type of herbicides. The experiment consisted of eight treatments with
three replications. The treatments were: control (P0), manual weeding at 4 weeks
after planting (P1), paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P2), glyphosate
3 l/ha at 4 weeks after planting (P3), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting
(P4), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting followed application of
paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P5), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before
planting followed application of glyphosate 3 l/ha at 4 weeks after planting
(P6), application penoxulam 1 l/ha at 2 weeks after planting (P7).
The results showed that Cyperus iria were the most dominant weeds in the
field with SDR 37.77% on mineral soil whereas 26.43% on peaty mineral soil.
Paraquat herbicide effectively suppressed total dry weight of weeds on mineral
soils at 4, 6, and 8 weeks after planting. Glyphosate herbicide effectively
suppressed total dry weight of weeds on peaty mineral soil at 4 and 8 weeks after
planting. The best herbicide for soybean production on mineral soils was
glyphosate 3.76 tons/ha productivity. Whereas paraquat was the best herbicide for
peaty mineral soil which was indicated by the productivity of 1.5 tons/ha. Pre-
emergence herbicide should be applicated before soybeans planting. Post-
emergence herbicide application must be done carefully by using a nozzle lid to
prevent toxicity in plants.

Keywords: saturated soil culture, soybean, tidal swamp, weed control.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN
HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT

ACHMAD YOZAR PERKASA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli - Desember 2013 ini adalah Studi
Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai
Jenuh Air di Lahan Pasang Surut.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS dan Dr Dwi Guntoro, SP, MSi selaku
komisi pembimbing penelitian yang telah banyak memberikan saran dan
dukungan materi dan nonmateri bagi kesempurnaan penelitian dan karya
ilmiah ini.
2. Dr Ir Iskandar Lubis dan Dr Dewi Sukma, SP, MSi selaku dosen penguji
yang banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah
ini.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana penelitian yang telah
diberikan.
4. Keluarga tercinta Ayah, Ibu, Kakak dan saudara-saudara atas doa, bantuan,
dukungan, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
5. Keluarga Bapak Suaji dan Wakidi serta petani Desa Banyu Urip dan
Muliasari atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian.
6. Teman-teman Pascasarjana AGH atas segala doa dan bantuan yang telah
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan
manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2015

Achmad Yozar Perkasa


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Hipotesis 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut 3
Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai 3
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai 4
Herbisida 4
METODE 8
Tempat dan Waktu 8
Bahan dan Alat 8
Metode 8
Pelaksanaan 9
Persiapan Lahan 9
Penanaman dan Pemupukan 9
Aplikasi Herbisida 9
Pemeliharaan dan Panen 9
Pengamatan 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Hasil 13
Pembahasan 23
KESIMPULAN DAN SARAN 28
Kesimpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28
LAMPIRAN 33
RIWAYAT HIDUP 51
DAFTAR TABEL

1 Perbandingan hasil analisis tanah awal 13


2 Data analisis air 14
3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral 15
4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral 15
5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral 16
6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral 17
7 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral 17
8 Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah
mineral 18
9 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut 19
10 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
bergambut 19
11 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral bergambut 20
12 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut 21
13 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut 21
14 Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah
mineral bergambut 22

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia glifosat 5
2 Struktur kimia paraquat 6
3 Struktur kimia oksifluorfen 7
DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi varietas Tanggamus 33
2 Gambar petakan 34
3 Data curah hujan (mm/bulan) daerah penelitian tahun 2013 35
4 Data suhu 0C daerah penelitian tahun 2013 36
5 Kelembaban nisbi (%) daerah penelitian tahun 2013 37
6 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah
mineral 38
7 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah
mineral bergambut 39
8 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada
tanah mineral 40
9 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada
tanah mineral bergambut 41
10 Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral 42
11 Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral
bergambut 43
12 Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol
(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral 44
13 Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual
di tanah mineral 45
14 Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida glifosat
di tanah mineral 46
15 Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol
(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral bergambut 47
16 Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual
di tanah mineral bergambut 48
17 Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida paraquat
di tanah mineral bergambut 49
18 Perbandingan analisis usahatani/ha untuk masing-masing perlakuan
tanah mineral dan tanah mineral bergambut
50
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun perkembangan luas


areal tanam sangat lambat dan petani lebih mengutamakan menanam padi dan
jagung sehingga kedelai tidak pernah menjadi tanaman utama. Produksi kedelai
Indonesia pada tahun 2013 hanya 851 647 ton biji kering dan produktivitas
1.3 ton/ha, sementara kebutuhan kedelai nasional sebanyak 2.3 juta ton.
Kekurangan kebutuhan kedelai nasional dipasok melalui impor dari Amerika
Serikat dan Brazil sebanyak 1.4 juta ton (BPS 2014).
Peningkatan produksi kedelai harus terus diusahakan melalui upaya
pengembangan lahan pertanian potensial, salah satunya lahan rawa pasang surut.
Kelebihan air di lahan rawa pasang surut merupakan kendala dalam penanaman
kedelai (Sabran et al. 2000). Namun kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air
sesaat apabila dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, dan cepat
memperbaiki pertumbuhannya setelah air berkurang (Stanley et al. 1980).
Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air
secara terus-menerus dan membuat tinggi muka air di bawah permukaan tanah
tetap sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980).
Penelitian Ghulamahdi et al. (2009) membuktikan bahwa produktivitas kedelai
kuning varietas Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan teknik budidaya
jenuh air (BJA). Sagala et al. (2013) juga berpendapat teknologi budidaya jenuh
air dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang
surut salin.
Karakteristik lahan rawa apabila dikeringkan akan mengoksidasi pirit yang
dapat menyebabkan rendahnya pH tanah. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan
produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah yaitu sekitar 800 kg/ha.
Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh
kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi,
serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika dan Sutriadi 2001).
Kendala peningkatan produksi kedelai di lahan pasang surut selain
masalah biofisik tanah yang menyebabkan produksi kedelai rendah juga
disebabkan adanya gulma. Gulma di lahan pasang surut masih menjadi faktor
pembatas produksi dan menjadi penting karena investasinya cukup besar,
pertumbuhannya sangat cepat dan subur. Gulma perlu dikelola dengan baik agar
tidak menimbulkan kerugian. Penelitian Nurjanah (2003) menyatakan terjadi
penurunan jumlah polong dan jumlah polong isi pada kedelai tanpa olah tanah
pada perlakuan tanpa pengendalian gulma.
Pengendalian gulma pada tanaman palawija di Indonesia umumnya
dilakukan secara manual. Faktor yang menjadi kendala dalam pengendalian gulma
yaitu ketersediaan tenaga kerja, biaya dan luasnya pertanaman. Pada areal yang
luas dan tenaga kerja relatif mahal, penggunaan herbisida merupakan cara yang
efektif dan efisien serta mengurangi gangguan terhadap struktur tanah. Herbisida
juga dapat mengurangi biaya produksi dalam sistem usahatani akibat upah tenaga
kerja dalam menyiang gulma yang relatif mahal, selanjutnya herbisida akan
menguntungkan petani kedelai di lahan pasang surut karena dapat menghemat
waktu dan tenaga dalam upaya pengendalian gulma. Penelitian ini penting untuk
2

dilakukan mengingat terdapat beberapa jenis herbisida di lapangan yang


digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman kedelai, tetapi belum
ditemukan jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada
budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan herbisida yang paling
efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan
pasang surut.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Terdapat jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada
budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.
2. Terdapat jenis herbisida yang berpengaruh baik pada pertumbuhan dan
produksi kedelai budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diperolehnya cara pengendalian gulma yang


efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara


sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan
dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan
sungai atau danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh
air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu
yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006).
Menurut Noor (2004), lahan rawa pasang surut dibagi menjadi empat tipe
luapan yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A merupakan daerah yang diluapi baik oleh
air pasang besar maupun kecil. Tipe B merupakan daerah yang hanya diluapi oleh
air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang
namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan
lebih dari 50 cm untuk tipe D.
Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang
dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah
dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut
tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial
mengandung pirit pada jeluk > 50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi
reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat
digunakan untuk pertanian (Suriadikarta 2005).
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut juga
merupakan bagian dari lahan pasang surut. Tanah gambut merupakan lapisan
bahan organik dengan kadar C-organik > 18% serta ketebalan 50 cm atau lebih.
Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang
belum lapuk secara sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara (Agus dan Subiksa 2008).
Lahan pasang surut juga diketahui memiliki permasalahan pada tanah
gambut yang tergolong tanah suboptimal dengan tingkat kesuburan tanah yang
rendah. Gambut jika dikelola dengan sistem sawah juga akan menghasilkan asam-
asam organik meracun terutama derivate asam fenolat seperti p-kumarat,
p-hidroksibenzoat, vanilat, dan asam ferulat (Sabiham 1997). Asam-asam fenolat
tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan
asal kayu-kayuan. Asam-asam organik yang bersifat fitotoksik diduga merupakan
permasalahan utama yang harus ditanggulangi sebelum mengatasi masalah
lainnya seperti pH dan unsur hara essensial bagi tanaman (Tsutsuki dan Kondo
1995).

Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai

Pengelolaan air di lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan air


untuk kebutuhan evapotranspirasi tanaman, membuang kelebihan air, mencegah
terjadinya elemen toksik dan leaching elemen toksik serta mencegah penurunan
muka tanah. Pengelolaan air di lahan pasang surut dapat berupa irigasi, drainase,
konservasi, atau intersepsi. Sifatnya dapat berupa pengelolaan air bawah tanah
atau pengelolaan air permukaan (Sarwani 2001). Menurut Ghulamahdi (2011),
4

pengelolaan air di lahan pasang surut lebih tepat menggunakan budidaya jenuh air
untuk meningkatkan produksi kedelai di lahan pasang surut. Teknik budidaya ini
juga berguna untuk mengatasi kendala di lahan pasang surut seperti adanya pirit.
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi
terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah
permukaan tanah jenuh air. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan
pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai
akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya
(Troedson et al. 1983). Budidaya jenuh air dilakukan dengan membuat kondisi
bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 minggu setelah tanam (MST)
sampai masak fisiologis. Cara pemberian air pada budidaya jenuh air adalah
dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan dengan
tinggi genangan dipertahankan maksimum 20 cm dibawah permukaan tanah
(Sagala, 2010). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih
mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman
30 cm dan 40 cm dibawah permukaan tanah. Oleh karena itu kedalaman 20 cm
merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai
dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat
tinggi (Sagala, 2010).

Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai

Gulma adalah tumbuhan yang merugikan tanaman budidaya melalui


kompetisi ruang, waktu, dan sumber nutrisi. Pengendalian gulma dilakukan
dengan tujuan untuk membatasi investasi gulma sedemikian rupa sehingga
tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien serta tidak merugikan
secara ekonomi. Gulma pada tanaman kedelai menimbulkan persaingan dalam
pemanfaatan faktor-faktor tumbuh seperti cahaya, air, unsur hara, dan ruang untuk
tumbuh serta menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman tertentu (Krauz,
Kapusta, dan Mathews 1994). Pengendalian gulma sudah merupakan suatu
keharusan pada budidaya kedelai di rawa pasang surut. Umumnya petani
mengendalikan gulma secara manual dengan menggunakan tangan sehingga
sangat mahal dan tidak efisien (Sasmita et al., 2005). Kendala yang dihadapi
petani kedelai di lahan pasang surut adalah masih tingginya biaya yang
dikeluarkan petani untuk mengendalikan gulma. Saat ini, metode pengendalian
yang paling banyak dilakukan adalah secara kimiawi dengan menggunakan
herbisida (Barus, 2003). Pengendalian kimia dinilai lebih efektif untuk
mengurangi populasi gulma dibandingkan dengan pengendalian lainnya.
Penggunaan herbisida sebagai salah satu cara dalam usaha pengendalian gulma
mempunyai dampak positif yakni gulma dapat dikendalikan dalam waktu yang
relatif singkat dan mencakup areal yang luas.

Herbisida

Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan


pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan
penurunan hasil (Djojosumarto 2008). Bahan kimia herbisida dapat berupa
senyawa organik maupun anorganik, kandungan senyawa dalam herbisida akan
5

menentukan efektifitas dan daya kerja herbisida tersebut. Herbisida yang


diabsorbsi oleh akar atau masuk melalui organ lain akan ditranslokasikan ke
dalam tumbuhan menuju titik peka dari tumbuhan atau diakumulasikan pada
bagian tertentu dari tubuh tumbuhan.
Penggunaan herbisida pada budidaya tanaman ditunjukkan untuk menekan
pertumbuhan dan perkembangan gulma dan mencegah timbulnya gulma yang
berasal dari biji. Saat ini banyak herbisida yang digunakan memiliki selektivitas
tinggi, tetapi karena tanaman budidaya (padi, jagung, dan kedelai) sangat rentan
terhadap herbisida, maka timbul masalah dalam penggunaanya (De Datta 1995).
Perubahan komposisi jenis gulma terjadi dihampir semua cara pengendalian
gulma. Perubahan yang jelas terjadi karena penggunaan herbisida. Perubahan
spektrum gulma kemungkinan karena kemampuan herbisida yang tinggi terhadap
komunitas gulma jika dibandingkan dengan cara non herbisida (Utomo et al.
1955).
Penggunaan herbisida harus dilakukan secara bijaksana dengan pengertian
tepat, aman, dan benar. Hal ini mengingat bahwa selain dapat memberikan
manfaat, herbisida juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang
ditimbulkan diantaranya timbulnya keracunan pada manusia dan organisme bukan
sasaran, serta resistensi hama, pencemaran lingkungan, dan adanya residu
herbisida terutama di pertanaman (Daryanto 1996).

Glifosat

Glifosat (Etilen diamine), nama kimiawi N-(phosphonomethyl) glycine


merupakan herbisida sistemik non selektif yang diaplikasikan melalui daun,
mempunyai spektrum luas, bersifat translokatif kuat, tidak aktif dalam tanah,
cepat terdegradasi dan mempunyai kemampuan mengendalikan gulma annual,
biennial, dan perennial dari jenis rumput, teki, dan berdaun lebar. Gejala kematian
gulma terlihat pada 2 - 4 minggu setelah aplikasi (Lamid et al. 1998).
Herbisida glifosat bekerja dengan menghambat sintesis protein, yaitu
menghentikan penggabungan asam amino aromatik, fenil alanin, triptofan, dan
tirosin (Ashton and Craft 1981). Moenandir (1990) berpendapat bahwa gejala
umum yang terlihat pada gulma setelah aplikasi glifosat adalah klorosis yang
diikuti dengan nekrosis. Pertumbuhan kembali gulma berdaun lebar dan berkayu
menunjukkan gejala tidak normal pada daun dengan adanya bintik-bintik putih
bergaris.

Gambar 1 Struktur kimia glifosat (Franz 1985)

Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan glifosat


berpengaruh baik terhadap pengendalian gulma dan pertumbuhan serta produksi
tanaman. Mawardi (2005) melaporkan aplikasi herbisida glifosat dengan dosis
1 440 g/ha dan 1 920 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma. Penelitian
6

Suwarni et al. (2000) menyatakan herbisida glifosat sampai dosis 4.5 l/ha
menunjukkan hasil tertinggi pada kacang tanah.

Paraquat

Paraquat atau 1.1-dimethyl-4, 4-bipyridynium (kation) dichloride, termasuk


herbisida pasca tumbuh yang bersifat kontak. Herbisida ini tidak dapat diserap
oleh bagian tumbuhan yang tidak berwarna hijau seperti batang dan akar, serta
hanya mematikan bagian tumbuhan yang terkena butir semprot secara langsung,
sedangkan bagian lain yang tidak terkena semprot akan tetap normal (Moenandir
1990). Menurut Vencill et al. (2002) lipid hidroperoksida yang merupakan cara
kerja herbisida paraquat akan menghancurkan membran sel yang menyebabkan
pecahnya sitoplasma menjadi bagian-bagian interseluler sehingga daun akan
menjadi layu dan menguning dengan cepat. Rao (2000) menjelaskan paraquat
merupakan herbisida kontak dan bila molekul herbisida ini terkena sinar matahari
setelah berpenetrasi ke dalam daun atau bagian lain yang berwarna hijau, maka
molekul ini akan bereaksi menghasilkan hydrogen peroksida yang dapat merusak
membran sel dan seluruh organ tumbuhan.
Penelitian Adnan et al. (2012) menyatakan herbisida paraquat pada
pengamatan 14 hari setelah aplikasi (HSA) pada dosis 0.75, 1.50, dan 2.25 kg
bahan aktif/ha telah mampu mengendalikan gulma pada tanaman kedelai sebesar
100%. Juleha (2002) melaporkan bahwa herbisida pra tumbuh paraquat mampu
meningkatkan jumlah polong isi dan berat kering berangkasan tanaman kedelai
pada penerapan budidaya kedelai dengan teknologi konvensional dan olah tanah
konservasi pada beberapa cara pengendalian gulma.

Gambar 2 Struktur kimia paruquat Vencill et al. (2002)

Penoksulam

Penoksulam merupakan herbisida golongan sulfonilurea yang dapat


digunakan sebagai herbisida pasca tumbuh, setelah mempunyai 3 - 4 daun (Brown
1989; Hay 1990). Herbisida ini mempunyai spektrum yang luas dan mempunyai
sifat yang selektif (Mobreg dan Cross 1990). Penoksulam bekerja menghambat
enzim acetolactate synthase (ALS) merupakan enzim yang terbentuk saat awal
pembentukan rantai cabang asam amino (valin, isolisin dan lisin). ALS
Menghambat sintesis DNA tanaman akibat produksi asam amino terganggu.
Penoksulam memiliki spektrum luas, diabsorbsi oleh gulma terutama melalui
daun dan sebagian kecil melalui akar, kemudian ditranslokasikan. Rumus kimia
dari herbisida penoksulam adalah C16H14F5N5O5S. Penoksulam merupakan
herbisida post emergence yang digunakan pada tanaman gandum, barley, padi,
jagung, dan kedelai untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan gulma air
tertentu (Weed Science 2011). Penelitian Guntoro et al. (2013) menyatakan
bahwa aplikasi herbisida penoksulam mulai dosis 0.60 l/ha hingga 1.125 l/ha pada
7

saat 14 hari setelah transplanting dapat mengendalikan gulma umum pada


budidaya tanaman padi sawah pasang surut pada pengamatan 1 minggu setelah
aplikasi (MSA) hingga 4 MSA. Gulma dominan yang dapat dikendalikan oleh
aplikasi herbisida penoksulam antara lain Fimbristylis littoralis (golongan teki),
Ludwigia octovalvis (gulma golongan berdaun lebar), dan Cyperus iria (gulma
golongan teki).

Oksifluorfen

Oksifluorfen merupakan herbisida pra tumbuh yang bersifat selektif dan


efektif untuk mengendalikan gulma golongan berdaun lebar dan golongan rumput
pada kedelai (Moenandir 1990). Herbisida oksifluorfen ini dapat membunuh biji-
biji gulma yang akan berkecambah, sehingga biji-biji gulma tersebut tidak bisa
tumbuh dan berkembang. Herbisida ini menyebabkan perobekan sel dan
berpengaruh terhadap fotosintesa setelah jaringan layu. Oksifluorfen juga
menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem,
kerusakan jaringan lebih banyak terjadi pada bagian tajuk daripada akar
(Moenandir 1990).

Gambar 3 Struktur kimia oksifluorfen (Moenandir 1990)

Ashton dan Craft (1981) menambahkan bahwa persistensi oksifluorfen


dalam tanah yaitu sekitar 2 - 3 bulan. Herbisida ini sangat kuat diabsorbsi oleh
koloid tanah sehingga pencucian oleh air hujan sangat kecil. Oksifluorfen di
dalam tanah tahan terhadap dekomposisi oleh cahaya matahari, tetapi jika di
dalam air akan lebih cepat terdekomposisi. Oksifluorfen juga tahan terhadap
dekomposisi yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Herbisida oksifluorfen tidak menimbulkan keracunan (0%) pada takaran
satu kg produk/ha pada tanaman kedelai (Yih 1975). Tanggap tanaman kedelai
terhadap herbisida oksifluorfen terlihat pada perbaikan pertumbuhan tanaman
kedelai (tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate, indeks luas daun, nisbah tajuk
akar, laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan
tanaman) dibandingkan dengan kontrol (Soertojo 1992).
8

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah mineral di Desa


Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari, Kecamatan Tanjung
Lago, Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai Desember
2013.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus
(Lampiran 1), herbisida dengan bahan aktif paraquat, glifosat, oksifluorfen, dan
penoksulam. Pupuk Urea, SP-36, KCl, Marshall, insektisida dengan bahan aktif
klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/l air, semi automatic knapsack sprayer
bertekanan 1 kg/cm2 (15 - 20 psi) volume semprot 400 l/ha, nozzel T-jet warna
kuning lebar semprot 0.5 m, sungkup plastik botol air mineral, kuadran berukuran
0.5 m x 0.5 m dan alat penunjang lainnya.

Metode

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor, yaitu jenis


herbisida. Percobaan terdiri dari 8 perlakuan masing-masing diulang sebanyak 3
kali sehingga terdapat 24 petak percobaan (Lampiran 2). Jenis perlakuan yang
diberikan yaitu:
Kontrol atau tanpa pengendalian gulma (P0), penyiangan manual
4 minggu setelah tanam (MST) (P1), aplikasi paraquat 4 MST 2 l/ha (P2), aplikasi
glifosat 4 MST 3 l/ha (P3), aplikasi oksifluorfen 3 hari sebelum tanam (HSbT)
2 l/ha (P4), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/ha diikuti aplikasi paraquat 4 MST
2 l/ha (P5), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/ha diikuti aplikasi glifosat 4 MST
3 l/ha (P6), serta aplikasi penoksulam 2 MST 1 l/ha (P7).

Model rancangan yang digunakan adalah :

Yijk = µ + τi + βj + εij
Keterangan :
Yijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

Data dianalisis menggunakan analisis ragam (Analysis of variance), dengan


uji lanjut jarak berganda Duncan (Duncan multiple range test) pada taraf nyata
5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan yang dicobakan (Gomez dan
Gomez 1995).
9

Pelaksanaan

Persiapan Lahan
Lahan percobaan yaitu lahan pasang surut. Satuan petak berukuran 2 m x
3 m. Setiap ulangan dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan
kedalaman 25 cm, dengan demikian kondisi petakan akan selalu basah pada saat
air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam dengan ketinggian muka air
15 cm di bawah permukaan tanah. Sebelum persiapan lahan, terlebih dahulu
dilakukan analisis vegetasi gulma menggunakan kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m
untuk mengetahui komposisi dan dominansi gulma yang terdapat di areal
percobaan.
Penanaman dan Pemupukan
Benih kedelai yang telah diberi insektisida berbahan aktif karbosulfan
25.53% 15 g/kg (untuk menghindari serangan lalat bibit) dan inokulan
Rhizobium sp. sebanyak 5 g/kg benih ditanam dengan cara ditugal dengan jarak
tanam 40 cm x 12.5 cm dan ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam (populasi
400.000 tanaman/ha) kedalaman tugal dangkal 1 - 2 cm lalu ditutup dengan tanah.
Pada saat tanam diberikan pupuk 200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Pupuk
diberikan pada larikan 5 - 7 cm dari lubang tanam. Urea dengan konsentrasi
10 g/l air dalam volume semprot 400 l/ha diberikan pada 3, 4, dan 6 minggu
setelah tanam (MST).

Aplikasi Herbisida
Herbisida diaplikasikan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Aplikasi
herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 - 08.00 WIB dan
disesuaikan dengan kondisi angin dan curah hujan. Pada saat aplikasi herbisida
pasca tumbuh, sprayer yang digunakan disungkup dengan botol air mineral
plastik yang sudah di modifikasi untuk menghindarkan tanaman kedelai dari
resiko terkena semprotan paraquat dan glifosat. Penyemprotan dilakukan secara
hati-hati dengan jarak rendah dari permukaan tanah pada jalur antar baris tanaman
kedelai. Aplikasi perlakuan herbisida dilakukan dengan mempertimbangkan
keadaan tanah yang cukup kering dan angin yang tenang.

Pemeliharaan dan Panen


Penyulaman dilakukan pada minggu pertama dan kedua setelah tanam.
Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan.
Penyiangan secara manual menggunakan alat bantu berupa sabit atau parang.
Pengendalian hama dilakukan pada saat tanaman terlihat gejala serangan hama
dan adanya kerusakan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif
klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/l air. Tanaman kedelai dipanen saat
berumur 12 minggu setelah tanam ketika daun dan polong sudah berwarna coklat
dan kering.
10

Pengamatan
Pengamatan penelitian terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu :
1. Pengamatan Gulma
Pengamatan terhadap gulma meliputi: analisis vegetasi (jenis gulma, kerapatan,
frekuensi, bobot kering, nilai jumlah dominansi), serta koefisien komunitas.
Pengamatan dilakukan menggunakan metode kuadran dengan petak contoh
berukuran 0.5 m x 0.5 m. Pengambilan sampel gulma dengan cara gulma yang
masih segar dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan
setiap spesies. Bobot kering gulma diperoleh setelah dioven pada suhu 105 0C
selama 24 jam. Pengamatan gulma dilakukan 4 kali yaitu 2, 4, 6, dan 8 MST.
Pengamatan ini bertujuan untuk melihat gulma-gulma yang dominan pada tiap-
tiap pengamatan dan pada setiap perlakuan, dengan rumus sebagai berikut
(Moenandir 1990):

Kerapatan mutlak (KM) = Jumlah individu jenis tertentu dalam petak contoh

KM jenis tertentu
Kerapatan relatif (KR) = Jumlah x 100%
KM semua jenis

Bobot kering mutlak = Bobot kering (biomass) setiap spesies gulma


(BKM)
bobot kering (biomass ) setiap spesies gulma
Bobot kering relatif = Jumlah x 100%
nilai bobot kering mutlak semua jenis
(BKR)
Jumlah petak contoh yang berisi spesies tertentu
Frekuensi mutlak (FM) = Jumlah semua petak contoh yang diambil

Nilai FM jenis tertentu


Frekuensi relatif (FR) = Jumlah x 100%
nilai FM semua jenis

Nilai penting (NP) = KR+BKR+FR

Nilai penting
Nilai jumlah dominansi = 3
(NJD)
2w
Koefisien komunitas (C) = a+b x 100%
dimana :
w = jumlah terkecil dari dua komunitas
a = jumlah total kuantitas dari komunitas 1
b = jumlah total kuantitas dari komunitas 2
Nilai C diambil dari data nilai kerapatan mutlak petak (Moenandir 1990).
11

2. Pengamatan Tanaman Kedelai


Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 2
MST. Variabel pengamatan yang diamati adalah:
1. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik
tumbuh. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai 2
MST.
2. Jumlah daun trifolia yang telah membuka sempurna pada seluruh
tanaman, trifolia daun dihitung sebagai satu unit daun dilakukan setiap
minggu mulai 2 MST.
3. Jumlah cabang yang muncul dari batang utama diamati saat panen.
4. Indeks luas daun (ILD), pengukuran dilakukan pada 2, 4, 6, dan 8
MST luas daun dihitung dengan metode gravimetri.
5. Laju asimilasi bersih (LAB), merupakan hasil asimilasi bersih dari
hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu yang diukur dengan
pengamatan destruktif yaitu pada 2, 4, 6, dan 8 MST. Rata-rata laju
asimilasi bersih dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gardner
et al. 1991):

𝑊2 − 𝑊1 ln 𝐴2 − ln 𝐴1
𝐿𝐴𝐵 = 𝑥
𝐴2 − 𝐴1 𝑡2 − 𝑡1
Keterangan:
LAB = Laju asimilasi bersih (g/cm2/hari)
W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)
W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)
A1 = luas daun total pada waktu t1 (cm2)
A2 = luas daun total pada waktu t2 (cm2)
t1 = waktu pengamatan awal (hari)
t2 = waktu pengamatan akhir (hari)
6. Laju tumbuh relatif (LTR). Rata-rata laju tumbuh relatif (Relative
growth rate/LTR) yang diukur pada pengamatan destruktif yaitu pada
2, 4, 6, dan 8 MST. Perhitungan LTR menggunakan rumus berikut
(Gardner et al. 1991):
ln 𝑊2 − ln 𝑊1
𝐿𝑇𝑅 =
𝑡2 − 𝑡1
Keterangan:
LTR = Laju tumbuh relatif (g/hari)
W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)
W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)
t1 = waktu pengamatan awal (hari)
t2 = waktu pengamatan akhir (hari)
7. Jumlah polong isi, merupakan polong bernas yang dihitung per
tanaman.
8. Jumlah polong hampa, merupakan polong yang tidak ber isi dihitung
per tanaman.
9. Umur 50% berbunga, diamati ketika 50% populasi tanaman mulai
berbunga.
12

10. Umur panen, diamati ketika 85% daun telah menguning dan rontok
serta polong berwarna kecoklatan.
11. Bobot biji per ubinan, dihitung dari hasil ubinan yang berukuran 1 m x
1 m di setiap petak perlakuan.
12. Fitotoksisitas tanaman kedelai
Pengamatan fitotoksisitas terhadap tanaman kedelai pada saat 1 sampai
5 minggu setelah aplikasi dengan cara skoring :
0 = tidak ada keracunan, 0-5% bentuk daun atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman tidak normal;
1 = keracunan ringan, > 5-10% bentuk daun atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman tidak normal;
2 = keracunan sedang, > 10-20% bentuk daun atau warna daun dan
atau pertumbuhan tanaman tidak normal;
3 = keracunan berat, > 20-50% bentuk daun atau warna daun dan atau
pertumbuhan tanaman tidak normal;
4 = keracunan sangat berat, > 50% bentuk daun atau warna daun dan
atau pertumbuhan tanaman tidak normal sampai tanaman mati.
13. Analisis tanah sebelum tanam
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu,
dan liat), pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K,
Na, dan KTK, kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan
Mn, serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet.
Keasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan
H2O dan KCl. C organik ditentukan dengan metode kurmis. N
ditentukan dengan metode Kjeldahl. P2O5 ditentukan dengan metode
Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara
mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi
(Hardjowigeno 1989).
13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Kondisi Umum Penelitian
Kondisi umum tanaman kedelai selama penelitian menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik. Kondisi cuaca dari awal penanaman sampai panen
sangat bervariasi. Pengukuran suhu, kelembaban dan curah hujan dilakukan
selama penelitian. Data pengukuran didapat dari Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Palembang (Lampiran 3, 4, dan 5).
Rata-rata curah hujan selama penelitian yaitu 17 hari hujan/bulan dan
suhu harian rata-rata saat penelitian sekitar 27.42 oC dengan suhu harian rata-rata
maksimum dan minimum masing-masing 32.78 oC dan 24.15 oC. Menurut
Prihatman (2000) selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai
membutuhkan curah hujan antara 100 - 200 mm/bulan atau 3.33 - 6.66 mm/hari.
FAO (2011) melaporkan bahwa suhu rata-rata bulanan pada kedelai berkisar
antara 27.3 oC - 29.35 oC. Suhu minimum pertumbuhan dan produksi tanaman
kedelai sekitar 10 oC - 15 oC, namun pada suhu di bawah 18 oC dapat menurunkan
pertumbuhan kedelai dan apabila suhu lebih dari 37 oC menyebabkan tanaman
kedelai berbunga lebih awal, jumlah polong meningkat namun ukuran biji menjadi
lebih kecil. Penyinaran matahari rata-rata 55.25% dan tekanan udara 1009.27 mb.
Kelembaban di daerah penelitian rata-rata berkisar 83.5%. Arah angin terbanyak
menuju tenggara (SE) dengan kecepatan angin rata-rata 3.75 km/jam yang
termasuk kecepatan angin tinggi (Lampiran 3, 4, dan 5). Berdasarkan data
lingkungan dan syarat tumbuh kedelai, maka lokasi tersebut sesuai untuk
budidaya kedelai.

Tabel 1 Perbandingan hasil analisis tanah awal


Nilai
Parameter
Tanah mineral Tanah mineral bergambut
pH H2O 5.00 (masam) 4.30 (masam)
pH KCl 4.10 (masam) 3.40 (masam)
C-Organik 3.44 % (mineral) 33.18 % (mineral bergambut)
N total 0.22 % (sedang) 0.48 % (sedang)
P tersedia 7.6 ppm (sedang) 23.2 ppm (sangat tinggi)
Ca 4.55 me/100 g (rendah) 3.91 me/100 g (rendah)
Mg 1.83 me/100 g (sedang) 5.40 me/100 g (tinggi)
K 0.28 me/100 g (rendah) 0.10 me/100 g (rendah)
Na 0.60 me/100 g (sedang) 0.70 me/100 g (sedang)
KTK 24.60 me/100 g (tinggi) 30.01 me/100 g (tinggi)
Al 1.06 me/100 g (cukup) 4.12 me/100 g (tinggi)
Zn 1.82 me/100 g (cukup) 5.26 me/100 g (tinggi)
Fe 24.25 me/100 g (tinggi) 17.02 me/100 g (tinggi)
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.

Hasil analisis tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa tanah mineral


bergambut mempunyai pH tergolong masam (4.30) dan pH pada tanah mineral
juga tergolong masam (5.00). Menurut Prihatman (2000), toleransi kemasaman
tanah sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi pada pH 4.5
kedelai masih dapat tumbuh. Kandungan C-organik pada tanah mineral sebesar
14

3.44% sedangkan pada tanah mineral bergambut lebih besar yaitu sebesar 33.18%.
Hasil analisa tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa kapasitas tukar kation
(KTK) pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masing-
masing sebesar 30.01 me/100 g dan 24.60 me/100 g.
Analisis tanah menunjukkan bahwa Al pada tanah mineral bergambut
tergolong tinggi sebesar 4.12 me/100 g sedangkan pada tanah mineral tergolong
cukup sebesar 1.06 me/100 g. Analisis tanah memperlihatkan bahwa kandungan
Fe pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masing-
masing sebesar 17.02 me/100 g dan 24.25 me/100 g (Tabel 1). Tanaman kedelai
pada konsentrasi Al sebesar 8 ppm telah menghambat pertumbuhan akar
(Koecihan 1995). Berdasarkan data analisis tanah, maka dapat disimpulkan
tanaman kedelai cukup sesuai ditanam di areal tersebut.

Tabel 2 Data analisis air


Jenis air
No Parameter
Air mineral Air mineral bergambut
1 C 172.8 ppm 175.6 ppm
2 N 27.86 ppm 27.86 ppm
3 P 1.72 ppm 0.38 ppm
4 K 12.13 ppm 1.63 ppm
5 Ca 2.59 ppm 1.43 ppm
6 Mg 12.69 ppm 0.44 ppm
7 Fe 0.90 ppm 0.76 ppm
8 Cu 0.09 ppm Tr
9 Zn 0.10 ppm 0.04 ppm
10 Mn Tr Tr
11 pH 6.40 ppm 4.30 ppm
12 Na 14.0 ppm 4.0 ppm
13 NH4 1.80 ppm 1.80 ppm
14 NO3 31.0 ppm 31.0 ppm
15 C/N 6.20% 6.30%
Keterangan : Tr = tidak terbaca oleh alat.
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.

Kandungan mineral K dan Mg pada air mineral mempunyai kandungan


yang cukup tinggi yaitu 12.13 ppm dan 12.69 ppm apabila dibandingkan dengan
kandungan K dan Mg pada air mineral bergambut yang hanya mengandung
masing-masing sebesar 1.63 ppm dan 0.44 ppm. Air mineral memiliki kemasaman
yang tinggi dengan pH 4.30 sedangkan untuk air mineral bergambut memiliki
nilai pH 6.40 yang tergolong pH netral (Tabel 2). Menurut Prihatman (2000),
toleransi kemasaman air sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi
pada pH 4.5 kedelai masih dapat tumbuh.
Kecambah kedelai mulai muncul di permukaan tanah pada umur 5 hari
setelah tanam (HST), tetapi pertumbuhan kurang serempak. Daun trifolia pertama
terbentuk sempurna pada umur 14 HST, pada pertanaman di tanah mineral
terdapat tanaman yang terkena pengaruh herbisida namun efek keracunan dalam
skala ringan, begitu juga pada tanah mineral bergambut tanaman kedelai
mengalami sedikit keracunan sehingga terdapat beberapa tanaman yang rusak.
Pada 21 HST mulai terlihat gejala daun menguning, terutama terjadi pada
daun yang muda tetapi pada daun tua tetap berwarna hijau. Gejala daun
15

menguning tersebut berangsur-angsur berkurang setelah pemberian N 100%


melalui daun pada umur 30 HST. Tanaman mulai muncul bunga pada kisaran
umur 40 HST.
Hama yang menyerang tanaman kedelai yaitu ulat grayak (Spodoptera
litura), serta belalang (Valanga nigricornis). Saat dilaksanakan penelitian,
penyakit yang menyerang adalah karat daun (Phakopspora pachyrhizi Syd.). Pada
stadia generatif mulai muncul serangan kepik hijau Nezara viridula. Gulma yang
banyak tumbuh di pertanaman secara keseluruhan adalah gulma golongan teki
yaitu jekeng (Cyperus iria), kemudian golongan rumput yaitu Axonopus
compresus (papahitan), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan gulma golongan
berdaun lebar yaitu Eclipta prostata (urang-aring). Keberadaan penyakit di lahan
pertanaman kedelai yaitu penyakit karat daun pada beberapa tanaman dan bisa
diatasi dengan mencabut beberapa tanaman yang terinfeksi kemudian
membuangnya ke luar areal percobaan.

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral

Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada lahan percobaan


menunjukkan gulma golongan teki yaitu Cyperus iria nilai jumlah dominansi
(NJD) sebesar 37.77% diikuti oleh golongan rumput yaitu Axonopus compressus
15.44% dan Cynodon dactylon 9.56%, jenis gulma yang mendominasi selanjutnya
adalah golongan berdaun lebar diantaranya Borreria alata 13.85%, Phylanthus
urinaria 12.87%, dan Melastoma affine 10.51% (Tabel 3).
Tabel 3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral
No Spesies Golongan NJD (%)
1 Cyperus iria Teki 37.77
2 Axonopus compressus Rumput 15.44
3 Borreria alata Daun Lebar 13.85
4 Phylanthus urinaria Daun Lebar 12.87
5 Melastoma affine Daun Lebar 10.51
6 Cynodon dactylon Rumput 9.56
Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma pada 4, 6, dan 8
MST. Herbisida paraquat paling efektif menekan gulma ditunjukkan dengan bobot
kering gulma paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST (Tabel 4).
Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
Bobot kering gulma total (g/0.25 m2)
Perlakuan
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
Kontrol 46.49a 57.27a 69.34a 50.06a
Penyiangan manual 44.75a 18.92bc 31.25bc 16.05bc
Paraquat 38.23a 13.72c 9.34c 6.67c
Glifosat 47.43a 27.23bc 24.22bc 16.55bc
Oksifluorfen 29.50a 25.07bc 37.40b 23.20b
Oksifluorfen-paraquat 38.42a 11.98c 13.73bc 12.72bc
Oksifluorfen-glifosat 28.77a 21.55bc 27.72bc 18.99bc
Penoksulam 46.95a 39.59ab 34.56bc 19.54bc
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma masing-masing
spesies. Bobot kering gulma spesies Cyperus iria terlihat paling tinggi apabila
16

dibandingkan dengan bobot kering gulma spesies lainnya, penyiangan


menggunakan herbisida paraquat mampu menurunkan bobot kering spesies
Cyperus iria pada akhir pengamatan (Tabel 5).
Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral

compressus

Phylanthus

Melastoma
Axonopus

Cynodon
Borreria

dactylon
Cyperus

urinaria

affine
alata
iria
Waktu
Perlakuan
(MST)
Bobot kering (g/0.25 m2)
Kontrol 0 38.07a 1.33bc 4.34a 3.12a 3.97ab 2.91a
2 32.00a 1.43a 3.69a 3.63ab 3.04a 2.68a
4 39.62a 3.66a 2.16a 3.02a 4.00a 3.12a
6 48.28a 3.65a 1.65a 4.28a 6.72a 4.75a
8 35.19a 2.23a 1.53a 3.43a 4.60a 4.64a
Manual 0 35.00a 3.33a 2.47a 2.41ab 2.67ab 1.97a
2 32.47a 3.14a 1.75ab 2.76ab 2.63a 1.98a
4 14.56ab 0.98bc 0.63b 0.78b 0.71b 1.24ab
6 25.22ab 1.95b 0.62b 1.70b 1.01b 0.74b
8 17.17b 1.22bc 0.53c 1.11b 0.56b 0.47b
Paraquat 0 32.67a 2.66abc 2.29a 2.07ab 2.00ab 2.00a
2 28.56a 2.68a 1.44ab 1.36ab 2.43a 1.75a
4 10.29b 0.52c 0.00b 1.89ab 0.20b 0.81ab
6 5.94b 1.58b 0.07b 1.21bc 0.32b 0.21b
8 3.59b 1.38ab 0.06c 1.20b 0.26b 0.20b
Glifosat 0 41.33a 3.00ab 3.00a 1.23ab 1.97ab 3.96a
2 37.31a 1.67a 2.61ab 1.41ab 1.08ab 3.33a
4 20.28ab 1.05bc 0.78b 1.26ab 1.86b 2.65ab
6 19.80ab 1.03b 0.85ab 0.66cd 0.50b 1.36b
8 14.86b 1.00bcd 0.81b 0.36b 0.40b 1.23b
Oksifluorfen 0 25.33a 1.67abc 1.67a 1.00b 0.74b 3.00a
2 26.74a 1.47a 0.64b 0.41b 0.23b 0.39a
4 22.68ab 0.55bc 0.12b 0.58b 0.53b 0.60ab
6 34.51ab 0.76b 0.00b 0.05d 0.69b 1.38b
8 8.40b 0.40cd 0.00c 0.33b 0.43b 1.20b
Oksifluorfen-paraquat 0 30.33a 0.83c 3.00a 1.33ab 1.41ab 3.80a
2 29.81a 0.82a 1.43ab 2.25ab 1.53ab 2.58a
4 10.08b 0.27c 0.00b 0.43b 0.18b 1.01ab
6 9.98b 0.30b 0.22b 0.70cd 0.80b 1.71b
8 10.52b 0.26d 0.19bc 0.70b 0.97b 0.68b
Oksifluorfen-glifosat 0 51.00a 1.40bc 1.33a 0.87b 1.78ab 2.73a
2 22.21a 1.52a 0.44b 1.45ab 1.10ab 1.67a
4 18.51ab 0.86bc 0.45b 1.05ab 0.38b 0.39b
6 24.87ab 0.28b 0.40b 1.07bc 0.73b 0.37b
8 10.71b 0.23d 0.28bc 0.83b 0.51b 0.27b
Penoksulam 0 34.67a 1.23bc 1.85a 1.97ab 6.00a 2.15a
2 35.14a 0.87a 1.49ab 5.85a 1.89ab 1.47a
4 31.13ab 1.88b 1.24ab 2.44ab 1.90b 1.06ab
6 29.48ab 0.39b 0.63b 1.68b 1.32 2.10b
8 16.66b 0.39cd 0.53bc 1.18b 1.15b 0.78b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Analisis vegetasi pada 2, 4, 6, dan 8 MST menunjukkan jenis herbisida
mempengaruhi nilai jumlah dominansinya pada setiap perlakuan tetapi tidak
17

terjadi pergeseran jenis gulma dominan. Dominasi gulma golongan teki Cyperus
iria lebih tinggi di setiap petak percobaan (Lampiran 6).

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral

Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai


diantaranya tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifolia dan umur
berbunga, tetapi tidak berpengaruh terhadap fisiologi tanaman kedelai yaitu ILD,
LAB, dan LTR. Aplikasi herbisida oksifluorfen yang diikuti dengan aplikasi
herbisida paraquat menghasilkan tinggi tanaman paling rendah. Pengendalian
gulma menggunakan herbisida glifosat berpengaruh meningkatkan jumlah daun
trifolia (jumlah daun trifolia paling banyak). Herbisida oksifluorfen menyebabkan
umur berbunga tanaman kedelai menjadi lebih lama (Tabel 6).
Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral
Perlakuan TT JC JDT UB ILD LAB LTR
cm buah helai hst g/cm2/hari g/m2/hari
Kontrol 72.80ab 5.20abc 27.80ab 39.00bc 0.623a 0.25x10-3a 0.041a
Manual 79.00a 5.60ab 27.40ab 37.66c 0.543a 0.17x10-3a 0.032a
Paraquat 69.20ab 5.73a 29.66a 38.66bc 0.436a 0.14x10-3a 0.026a
Glifosat 74.20ab 4.33c 30.06a 38.66bc 0.540a 0.13x10-3a 0.026a
Oksifluorfen 61.66ab 4.86abc 16.93c 43.33a 0.516a 0.21x10-3a 0.038a
Oksifluorfen-paraquat 58.33b 4.86abc 20.00bc 40.00b 0.596a 0.23x10-3a 0.037a
Oksifluorfen-glifosat 67.53ab 4.40bc 21.40bc 39.66bc 0.646a 0.14x10-3a 0.025a
Penoksulam 72.93ab 4.26c 26.33ab 39.00bc 0.570a 0.21x10-3a 0.037a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur
berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh
relatif), hst (hari setelah tanam).
Analisis data pada Tabel 7 menunjukkan perlakuan berpengaruh terhadap
peubah hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di tanah mineral.
Tabel 7 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral
JPH JPI UP BPPU BPPH BSB
Perlakuan
buah buah hst g /m2 ton/ha g
Kontrol 12.53a 85.00a 105.00a 261.00b 2.16b 10.56a
Manual 8.60ab 93.80a 104.33a 348.67ab 2.90ab 10.30a
Paraquat 8.46ab 105.13a 101.66a 386.67ab 3.23ab 10.19a
Glifosat 4.46b 94.33a 103.66a 453.00a 3.76a 10.80a
Oksifluorfen 5.40b 97.87a 103.66a 262.00b 2.16b 10.85a
Oksifluorfen-paraquat 9.53ab 96.93a 103.66a 352.67ab 2.93ab 10.82a
Oksifluorfen-glifosat 8.60ab 102.87a 104.33a 393.33ab 3.26ab 10.84a
Penoksulam 6.60b 87.13a 101.66a 315.67ab 2.63ab 10.50a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. JPH (jumlah polong hampa), JPI (jumlah polong isi), UP (umur panen), BPPU
(bobot produksi per ubinan), BPPH (bobot produksi per hektar), BSB (bobot seratus
biji), hst (hari setelah tanam).
Perlakuan berpengaruh terhadap peubah jumlah polong hampa, bobot
produksi per ubinan, dan bobot produksi per hektar tetapi tidak berpengaruh
terhadap jumlah polong isi, umur panen, dan bobot seratus biji. Perlakuan
18

menggunakan herbisida glifosat menghasilkan jumlah polong hampa paling


rendah jika dibandingkan dengan kontrol dan herbisida lainnya. Herbisida glifosat
lebih memiliki hasil tertinggi dengan bobot produksi per ubinan 453.00 g/m2 dan
bobot produksi per hektar 3.76 ton/ha.

Tingkat Keracunan Tanaman Kedelai di Tanah Mineral


Tanaman kedelai pada stadia muda sampai fase vegetatif awal mengalami
keracunan yang disebabkan penggunaan herbisida paraquat, glifosat, oksifluorfen
dan penoksulam. Keracunan herbisida oksifluorfen mulai terlihat pada umur 7
HST atau 4 hari setelah aplikasi (HSA), tingkat keracunan masih dalam skala
ringan ditandai dengan pertumbuhan kedelai yang daunya kurang normal.
Penggunaan herbisida paraquat mulai terlihat keracunan dengan skala sedang pada
umur 21 HST atau 7 HSA ditandai dengan adanya beberapa tanaman yang daunya
terbakar. Penggunaan herbisida glifosat mulai menampakkan gejala keracunan
dengan skala sedang pada umur 35 HST atau 21 HSA ditandai dengan adanya
beberapa tanaman yang daunnya mengalami klorosis, sedangkan gejala keracunan
herbisida penoksulam pada tanaman kedelai umur 35 HST atau 14 HSA
ditunjukkan adanya beberapa tanaman kedelai yang daunnya mengalami nekrosis
(Tabel 8).
Tabel 8 Tingkat keracunan tanaman kedelai pada perlakuan jenis herbisida di
tanah mineral
7 HST 14 HST 21 HST 35 HST
Perlakuan jenis herbisida
Skor
Kontrol 0 0 0 0
Penyiangan manual 0 0 0 0
Paraquat - - 2 1
Glifosat - - 1 2
Oksifluorfen 1 1 1 0
Oksifluorfen-paraquat 1 1 2 1
Oksifluorfen-glifosat 1 1 1 2
Penoksulam 0 0 2 2
Keterangan : Skala penilaian kualitatif berdasakan metode scoring yang dikembangkan Truelove
(1977). 0= Tingkat keracunan (bentuk dan warna daun tidak normal 0-5%);
1=Ringan (5-10%); 2=Sedang (>10-20%); 3=berat (>20-50%); dan sangat berat
(>50%).

Analisis Usahatani Kedelai di Tanah Mineral

Produktivitas yang dicapai pada penelitian ini melebihi produktivitas rata-


rata nasional. Pada penelitian ini didapatkan hasil produktivitas sebesar
3.76 ton/ha. Pada tingkat petani, produktivitas yang diperoleh diperhitungkan
sekitar 85% dari produktivitas penelitian. Perhitungan tersebut didasarkan pada
hasil produktivitas ha-1 setelah dikurangi saluran sebesar 15%. Pendapatan petani
didapat dengan mengalikan produktivitas dengan harga jual kedelai. Keuntungan
didapat dengan mengurangi pendapatan dengan total biaya yang dikeluarkan.
Harga jual kedelai di lokasi penelitian yaitu sekitar Rp 7 500/kg (Kementerian
Perdagangan 2014). Perlakuan herbisida glifosat 3 l/ha (P3) menghasilkan
keuntungan tertinggi yaitu Rp 16 141 500 dengan B/C rasio sebesar 3.06
(Lampiran 18). Keuntungan paling rendah di dapat pada perlakuan herbisida
19

oksifluorfen 2 l/ha diikuti aplikasi herbisida paraquat 2 l/ha (P4) dengan


keuntungan mencapai 5 929 000 dan B/C rasio sebesar 1.75 (Lampiran 18).

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral Bergambut

Analisis vegetasi sebelum perlakuan menunjukkan lahan percobaan


ditumbuhi oleh 6 spesies gulma terbagi atas 4 spesies gulma golongan berdaun
lebar dan 2 spesies masing-masing 1 spesies golongan teki dan 1 spesies golongan
rumput (Tabel 9). Nilai jumlah dominansi sebesar 43.71% dari lahan percobaan
didominasi oleh 2 spesies gulma yang mempunyai NJD di atas 15% yaitu Cyperus
iria (26.43%) dan Eclipta prostata (17.28%). Nilai jumlah dominansi kurang dari
15% ditemukan pada 4 spesies lainnya diantaranya Diodia sarmentosa (13.90%),
Borreria alata (11.26%), Chromolaena odorata (11.03%), dan Cynodon dactylon
(10.40%).
Tabel 9 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut
No Spesies Golongan SDR (%)
1 Cyperus iria Teki 26.43
2 Eclipta prostata Daun Lebar 17.28
3 Diodia sarmentosa Daun Lebar 13.9
4 Borreria alata Daun Lebar 11.26
5 Chromolaena odorata Daun Lebar 11.03
6 Cynodon dactylon Rumput 10.40
Terjadi perubahan NJD setelah aplikasi perlakuan jenis herbisida dengan
NJD yang beragam. Aplikasi herbisida penoksulam ternyata mampu menekan
golongan gulma daun lebar yaitu Diodia sarmentosa dan Chromolaena odorata
sehingga gulma tersebut tidak mampu tumbuh kembali. Pada pengamatan 2 MST
penyiangan menggunakan herbisida oksifluorfen juga mampu menekan
pertumbuhan gulma berdaun lebar. Pada akhir pengamatan tidak ditemukan
adanya gulma baru. Secara umum dominasi gulma masih tetap didominasi oleh
Cyperus iria (Lampiran 7).
Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
bergambut
Bobot kering gulma (g/0.25 m2)
Perlakuan jenis herbisida
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
Kontrol 42.12a 19.77a 22.70a 20.85a
Penyiangan manual 28.65bc 18.58a 21.18a 21.25ab
Paraquat 31.22ab 15.85a 23.46a 23.79a
Glifosat 34.87ab 19.82a 21.97a 21.64a
Oksifluorfen 15.68d 5.79b 8.40b 9.07c
Oksifluorfen-paraquat 16.57d 4.98b 9.80b 10.47bc
Oksifluorfen-glifosat 18.24cd 7.41b 8.10b 8.77c
Penoksulam 14.07d 6.61b 10.27b 13.60abc
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total diperlihatkan oleh
aplikasi herbisida penoksulam yang menghasilkan bobot kering gulma total paling
rendah pada umur 2 MST, sedangkan pada umur 4 MST aplikasi menggunakan
herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida paraquat efektif
menghasilkan bobot kering gulma lebih rendah dari perlakuan lainnya.
20

Selanjutnya pada umur 6 dan 8 MST bobot kering gulma total paling rendah
diperlihatkan pada perlakuan herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida
glifosat (Tabel 10).
Tabel 11 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral bergambut

Chromolaena
Cyperus iria

sarmentosa

Cynodon
Borreria

dactylon
prostata

odorata
Eclipta

Diodia

alata
Waktu
Perlakuan
(MST)

Bobot Kering (g/0.25 m2)


Kontrol 0 28.59a 7.33a 6.33a 1.46ab 1.15a 3.66a
2 25.31a 6.03a 5.65a 1.24a 0.74ab 2.68a
4 10.26ab 3.65a 3.35a 1.33a 0.28bc 0.90ab
6 9.15a 5.60ab 4.13a 1.61a 0.83ab 1.37ab
8 7.13a 3.66a 3.66a 1.16a 0.53cd 0.40bc
Manual 0 20.76ab 7.00a 4.54ab 2.00ab 0.23a 2.33a
2 17.76ab 4.47ab 4.21a 0.63a 0.23ab 1.33a
4 10.69ab 2.00ab 3.38a 0.00a 0.61bc 1.74a
6 6.08a 4.98ab 3.20a 0.40a 1.88ab 3.52a
8 5.40ab 4.05b 2.73ab 0.66ab 1.50ab 2.06a
Paraquat 0 24.39a 5.59ab 3.44abc 3.00a 1.25a 3.00a
2 20.71a 5.32a 3.01ab 0.40a 0.40ab 1.36a
4 7.28ab 3.53a 2.02a 0.43a 1.59a 0.46a
6 7.23a 7.57a 3.46a 0.83a 2.07a 0.72ab
8 6.83a 7.23a 2.53abc 0.00c 1.82a 0.60abc
Glifosat 0 24.02a 5.38ab 5.94a 0.33b 2.00a 3.66a
2 23.50a 4.14abc 4.10a 0.11a 0.91a 1.92a
4 11.72a 2.51ab 2.42a 0.00a 2.02a 1.13ab
6 8.80a 4.39b 4.11a 0.00a 2.28a 1.91ab
8 5.40ab 3.23bc 3.43a 0.00c 0.26d 1.73abc
Oksifluorfen 0 12.00c 3.01c 2.33abc 0.00b 0.66a 2.33a
2 9.91b 2.28c 0.68bc 0.00a 0.00b 2.79a
4 2.78b 1.23b 0.00b 0.95a 0.00c 0.76ab
6 4.48a 0.98c 0.00b 1.05a 0.48ab 1.40ab
8 4.42ab 0.93cd 1.05bd 0.00c 0.50cd 0.76abc
Oksifluorfen-paraquat 0 13.00bc 3.02c 1.00bc 0.00b 0.66a 3.33a
2 12.27b 2.16c 0.22c 1.43a 0.41ab 1.71a
4 2.82b 0.60b 0.00b 0.00a 0.82b 0.72ab
6 6.23a 1.19c 0.00b 0.57a 0.55ab 1.25ab
8 4.73ab 1.06cd 0.00d 1.00ab 0.43cd 1.92ab
Oksifluorfen-glifosat 0 12.66bc 3.33bc 1.00bc 0.33b 0.00a 2.00a
2 13.05b 2.21c 0.62bc 0.33a 0.36ab 1.83a
4 5.58ab 0.72b 0.27b 0.42a 0.00c 0.00b
6 4.23a 0.76c 0.63b 1.07a 0.55ab 0.59ab
8 3.20b 0.73d 0.56cd 0.73ab 0.00a 0.23c
Penoksulam 0 12.66bc 5.00abc 0.00d 0.00b 0.00a 0.00a
2 11.18b 2.89c 0.00c 0.00a 0.00b 0.00a
4 5.83ab 0.49b 0.00b 0.29a 0.00c 0.00b
6 7.27a 1.39c 0.00b 0.72a 0.00b 0.43b
8 6.30ab 1.03cd 0.00d 0.53abc 0.00d 0.40bc
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Hasil analisis pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies
di tanah mineral bergambut menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap
21

bobot kering gulma masing-masing spesies. Bobot kering gulma teki yaitu spesies
C. iria terlihat paling tinggi dibandingkan gulma spesies lainnya (Tabel 11).

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral


Bergambut

Jenis herbisida berpengaruh terhadap peubah vegetatif tanaman yaitu pada


jumlah daun trifolia dan umur berbunga tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi
tanaman dan jumlah cabang sedangkan pada peubah fisiologi berpengaruh
terhadap LTR, tetapi tidak berpengaruh terhadap ILD dan LAB. Penyiangan
gulma menggunakan herbisida penoksulam menurunkan jumlah daun kedelai jika
dibandingkan terhadap kontrol, selain itu penyiangan menggunakan herbisida
penoksulam menunjukkan umur berbunga paling lama namun menghasilkan LTR
paling tinggi (Tabel 12).
Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut
Perlakuan TT JC JDT UB ILD LAB LTR
cm buah helai hst g/cm2 /hari g/m2/hari
Kontrol 48.00a 3.26a 22.66a 36.66cd 0.97a 0.36x10-3a 0.069ab
Manual 52.46a 3.26a 23.33a 36.33d 1.06a 0.24x10-3a 0.046bc
Paraquat 53.80a 3.33a 21.60ab 38.33b 0.97a 0.30x10-3a 0.055bc
Glifosat 52.46a 3.00a 21.93a 38.00bc 1.16a 0.22x10-3a 0.043bc
Oksifluorfen 51.93a 2.93a 21.60ab 38.67ab 0.82a 0.21x10-3a 0.040bc
Oksifluorfen-paraquat 53.40a 3.26a 21.60ab 38.00bc 1.28a 0.38x10-3a 0.067ab
Oksifluorfen-glifosat 49.93a 2.46a 21.53ab 38.00bc 0.94a 0.14x10-3a 0.029c
Penoksulam 49.67a 3.26a 18.66b 40.00a 1.16a 0.50x10-3a 0.085a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur
berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh
relatif), hst (hari setelah tanam).
Berdasarkan Tabel 13 pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil
tanaman kedelai terlihat hanya pada peubah jumlah polong isi.
Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut
JPH JPI UP BPPU BPPH BSB
Perlakuan
buah buah hst g /m2 ton/ha g
Kontrol 2.60a 44.73ab 88.00a 150.33a 1.30a 10.23a
Manual 2.26a 40.93ab 87.00a 196.67a 1.67a 10.91a
Paraquat 2.26a 48.67a 88.00a 182.67a 1.50a 10.61a
Glifosat 1.53a 37.60ab 87.00a 168.67a 1.40a 10.63a
Oksifluorfen 1.26a 37.33ab 87.00a 178.67a 1.50a 10.64a
Oksifluorfen-paraquat 1.20a 37.40ab 87.00a 179.33a 1.50a 10.78a
Oksifluorfen-glifosat 2.20a 30.33b 87.00a 120.33a 1.00a 10.50a
Penoksulam 1.53a 34.00ab 87.00a 143.33a 1.20a 10.51a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. JPH (jumlah polong hampa), JPI (jumlah polong isi), UP (umur panen), BPPU
(bobot produksi per ubinan), BPPH (bobot produksi per hektar), BSB (bobot seratus
biji), hst (hari setelah tanam).
Pengendalian gulma menggunakan herbisida paraquat mampu
menghasilkan jumlah polong isi tertinggi yaitu 48.67 buah dan menunjukkan hasil
22

kedelai yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis herbisida lainnya. Hal ini
ditunjukkan oleh variabel bobot produksi ubinan 182.67 g/m2 dan bobot produksi
per hektar 1.5 ton/ha.

Tingkat Keracunan Tanaman Kedelai di Tanah Mineral Bergambut


Penggunaan herbisida paraquat menyebabkan kedelai keracunan pada umur
21 HST atau 7 HSA ditandai dengan daun terbakar skala ringan. Glifosat
menampakkan efek toksiknya pada umur 35 HST atau 21 HSA dengan skala
sedang ditandai dengan beberapa daun tanaman kedelai layu, sedangkan
oksifluorfen menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kedelai pada umur 7
HST atau 4 HSA dengan skala ringan yang ditandai oleh bentuk daun yang
keriput dan warna tulang daun kemerah-merahan, kemudian berangsur pulih
dengan bertambahnya umur tanaman. Penoksulam menyebabkan keracunan pada
tanaman kedelai yang ditandai dengan daun menguning dan kering dengan skala
keracunan sedang namun pada umur 35 HST atau 14 HSA tanaman kedelai
berangsur pulih (Tabel 14).
Tabel 14 Tingkat keracunan tanaman kedelai pada perlakuan jenis herbisida di
tanah mineral bergambut
7 HST 14 HST 21 HST 35 HST
Perlakuan jenis herbisida
Skor
Kontrol 0 0 0 0
Penyiangan manual 0 0 0 0
Paraquat - - 1 0
Glifosat - - 0 2
Oksifluorfen 1 0 0 0
Oksifluorfen-paraquat 1 1 2 1
Oksifluorfen-glifosat 1 1 1 1
Penoksulam 0 0 2 0
Keterangan : Skala penilaian kualitatif berdasakan metode scoring yang dikembangkan Truelove
(1977). 0= Tingkat keracunan (bentuk dan warna daun tidak normal 0-5%); 1=
Ringan (5-10%); 2=Sedang (>10-20%); 3=berat (>20-50%); dan sangat berat
(>50%).

Analisis Usahatani Kedelai di Tanah Mineral Bergambut


Peningkatan produktivitas kedelai akan berpengaruh terhadap pendapatan
jika metode ini diterapkan terhadap petani. Hasil analisis usahatani kedelai di
tanah mineral bergambut memperlihatkan bahwa keuntungan yang didapatkan
petani dengan perlakuan penyiangan manual menghasilkan keuntungan tertinggi
yaitu Rp 2 367 750 dengan B/C rasio sebesar 1.28 (Lampiran 18). Perlakuan
herbisida penoksulam menyebabkan kerugian mencapai - 1 616 000 dan B/C rasio
sebesar 0.79 (Lampiran 18), sedangkan hasil analisis usahatani menunjukkan
apabila menggunakan herbisida paraquat 2 l/ha keuntungan mencapai 1 764 000
dengan nilai B/C rasio sebesar 1.22 (Lampiran 18).
23

Pembahasan

Kondisi Umum Penelitian


Nilai pH pada tanah mineral dan tanah mineral bergambut memiliki pH
rendah yang umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah, berarti kompleks
jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al3+ dan H+
dibandingkan dengan kation-kation basa seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+.
Marchner (1986) menyatakan bahwa tanah masam menjadi faktor penghambat
pertumbuhan tanaman karena 1) tingginya konsentrasi H+ sehingga dapat menjadi
keracunan H+ 2) tingginya konsentrasi Al sehingga dapat terjadi keracunan Al 3)
rendahnya konsentrasi kation unsur makro sehingga menimbulkan defisiensi Mg,
Ca, dan K 4) penurunan kelarutan P dan Mo 5) menyebabkan penghambatan
pertumbuhan akar dan penyerapan air sehingga menyebabkan kekurangan unsur
hara, cekaman kekeringan dan peningkatan pencucian unsur hara.
Kandungan C-organik menentukan klasifikasi jenis tanah, pada percobaan
ini tanah mineral mengandung C-organik 3.44% sedangkan tanah mineral
bergambut 33.8%. Menurut Haridjaja dan Herudjito (1978) mengklasifikasikan
tanah berdasarkan tingkat kematangan tanah menjadi 3 kelompok yaitu: mineral
(C-organik 18%), mineral bergambut (C-organik 18-38%), dan gambut
(C-organik > 38%). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah mineral dan mineral
bergambut tergolong tinggi. Tanah yang mengandung KTK tinggi memerlukan
pemupukan kation tertentu dalam jumlah banyak agar dapat tersedia bagi
tanaman. Apabila diberikan dalam jumlah yang sedikit maka menjadi kurang
tersedia bagi tanaman karena lebih banyak terjerap. Sebaliknya pada tanah-tanah
yang KTK nya rendah, pemupukan kation tertentu tidak boleh banyak karena
mudah tercuci bila diberikan dalam jumlah berlebihan.
Hasil penelitian menunjukkan kandungan Al dan Fe pada kedua jenis tanah
tergolong tinggi. Al tinggi dapat menyebabkan kation dominan pada kompleks
jerapan tanah. Keracunan Al pada tanaman merupakan faktor pembatas utama
bagi pertumbuhan tanaman di lahan masam, Al menghambat pertumbuhan hanya
pada bagian ujung (meristem) akar. Pada tanah sulfat masam pengaruh
penggenangan sangat bervariasi bila dibandingkan dengan tanah jenis lain.
Kecepatan reduksi pada tanah sulfat masam dihambat oleh tingkat kemasaman
yang sangat tinggi, rendahnya status hara, rendahnya bahan organik yang mudah
didekomposisi dan beberapa kombinasi dari kondisi yang tidak menguntungkan
bagi kehidupan mikroba anaerob (Koechian 1995). Sumber air pada penelitian ini
berasal dari drainase yang dipengaruhi pasang surut air laut sehingga berpengaruh
pada kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl.
Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat kimia tanah dan air, maka kedelai tersebut
bisa dikatakan cukup sesuai untuk ditanam di areal tersebut.
Kecambah kedelai mulai muncul ke permukaan pada kisaran umur 5 hari
setelah tanam (HST). Hal ini karena pengaruh perlakuan herbisida yang dicobakan
masih mengendap di dalam tanah dan menyebabkan benih tidak dapat tumbuh
dengan baik khususnya perlakuan dengan herbisida oksifluorfen. Menurut Ngawit
(2007) oksiflourfen daya racunnya lebih kuat dan waktu persistensinya lebih lama
(2 - 6 bulan), karena adanya substitusi atom hydrogen (H) oleh atom flour (F)
pada kedudukan heksa gugus fenilnya.
24

Kerusakan akibat pengaruh herbisida pada tanaman baik di tanah mineral


maupun di tanah mineral bergambut mengalami efek keracunan dalam skala
ringan hal ini disebabkan oleh faktor perlakuan jenis herbisida yang disemprotkan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai.
Gejala daun menguning terlihat pada umur 21 HST, menurut Ghulamahdi
(1999) hal ini karena kedelai beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman
memperbaiki pertumbuhannya. Pada awal aklimatisasi, kandungan N dalam daun
menurun dan tanaman menjadi klorosis. Hal ini disebabkan berkurangnya
penyerapan nitrogen dan terjadinya alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah
tanaman (ke perakaran baru dan bintil akar).
Hama yang menyerang tanaman kedelai pada saat penelitian seperti ulat
grayak (Spodoptera litura) menyerang daun, serta belalang (Valanga nigricornis)
yang menyerang tanaman di bagian daun dengan cara memakan daun dari bagian
tepi daun menuju tengah daun. Saat dilaksanakan penelitian, penyakit yang
menyerang adalah karat daun (Phakopspora pachyrhizi Syd.). Kondisi gulma pada
lahan percobaan sebelum dilakukan aplikasi herbisida menunjukan jenis gulma
yang beragam. Efektivitas herbisida terlihat hingga 6 MST seiring dengan
munculnya gulma secara drastis, pada saat itu juga tanaman kedelai sudah
melewati periode kritis yang artinya tanaman sudah lebih tahan terhadap
gangguan gulma.
Hama kepik hijau yang menyerang daun dan menghisap polong
menyebabkan perkembangan generatif tanaman terganggu. Pengendalian hama
selama penelitian berlangsung antara lain dengan cara mekanis dan kimia.
Pengendalian mekanis yaitu dengan membunuh secara langsung. Pengendalian
secara kimia juga dilakukan dengan penyemprotan insektisida dengan
mempertimbangkan jenis hama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan dan keadaan
lingkungan serta pertumbuhan tanaman.
Pengendalian hama dilakukan dengan penyemprotan insektisida berbahan
aktif klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/l air. Pengendalian gulma
dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Perkembangan hama dan
penyakit pada petakan kedelai tidak terlalu signifikan karena waktu tanam kedelai
ditanam bersamaan dengan komoditas pertanian lain seperti jagung. Menurut
Sukarna dan Harnoto (1985), untuk mengurangi populasi hama dan intensitas
serangga adalah dengan pola bercocok tanam yang tepat, misalnya keserentakan
waktu tanam. Keserentakan bertanam dalam areal yang luas menjadikan daerah
sebaran suatu hama menjadi luas sehingga populasi hama menjadi rendah dan
kerusakan yang ditimbulkannya berada dibawah ambang ekonomi.

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral


Hasil penelitian memperlihatkan nilai koefisien komunitas yang
dibandingkan antar petak sebelum perlakuan menunjukkan nilai yang seragam.
Koefisien komunitas dihitung untuk mengetahui keseragaman komunitas gulma
antar petak percobaan. Dua komunitas dinyatakan homogen apabila nilai C > 75%
dan dinyatakan heterogen jika C < 75% (Numata 1982) (Lampiran 8).
Berdasarkan nilai jumlah dominansi gulma pada Tabel 1 golongan teki
Cyperus iria lebih tinggi terjadi karena gulma tersebut memiliki daya adaptasi
yang luas pada kondisi lingkungan yang beragam. Tingginya tingkat kompetitif
gulma teki menjadi salah satu gulma terburuk di dunia yang sulit di kendalikan
25

baik secara manual atau menggunakan herbisida (Blum et al. 2000; Webster
2004). Kurangnya pengaruh penghambatan perlakuan jenis herbisida terhadap
gulma Cyperus iria juga karena faktor pertahanan dari Cyperus iria secara
morfologi maupun fisiologi terhadap tekanan lingkungan. Adaptasi morfologi
didasarkan pada penghambatan atau pencegahan masuknya senyawa berbahaya ke
dalam tubuh tumbuhan misalnya adanya lignin (Schulz dan Friebe 1999). Adanya
lignin pada dinding sel Cyperus iria mencegah masuknya senyawa kimia pada
membran, sehingga sistem membran tidak mengalami kerusakan.
Perlakuan jenis herbisida pada bobot kering gulma 4 MST (Tabel 4)
menunjukkan aplikasi herbisida glifosat, oksifluorfen, dan oksifluorfen yang
diikuti dengan herbisida glifosat sama-sama efektif dalam menekan gulma dengan
perlakuan penyiangan manual. Penelitian Damalas (2004) menyebutkan bahwa
dengan adanya perbedaan bahan kimia, mode of action, dan pengaruh terhadap
jalur metabolisme, herbisida dapat menghambat kerja enzim atau proses fisiologis
gulma. Pengendalian menggunakan herbisida paraquat mampu menurunkan bobot
kering spesies Cyperus iria pada akhir pengamatan.
Herbisida paraquat efektif menekan pertumbuhan gulma menghasilkan
bobot kering paling rendah karena merupakan herbisida kontak dan cepat
mengendalikan gulma. Menurut Vencill et al. (2002) lipid hidroperoksida yang
merupakan cara kerja herbisida paraquat akan menghancurkan membran sel yang
menyebabkan pecahnya sitoplasma menjadi bagian-bagian interseluler sehingga
daun pada gulma akan menjadi layu dan menguning dengan cepat. Penelitian
Adnan et al. (2012) menyatakan aplikasi dosis herbisida paraquat meningkatkan
persentase pengendalian gulma dan menurunkan bobot kering gulma serta
meningkatkan komponen hasil dan hasil tanaman kedelai.

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral


Penyiangan gulma menggunakan herbisida glifosat menghasilkan jumlah
daun trifolia tertinggi. Herbisida glifosat cukup efektif mengendalikan gulma dan
memberi kesempatan tanaman kedelai untuk mengoptimalkan pertumbuhan
vegetatifnya. Mawardi (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pada
pengamatan 2 MST terlihat bahwa aplikasi herbisida glifosat dengan dosis
1 440 g/ha dan 1 920 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian Nurjanah (2003) yang menyatakan bahwa
pertumbuhan tanaman kedelai secara langsung berkaitan dengan keberadaan
gulma di sekitar tanaman yang telah mendapat perlakuan. Aplikasi herbisida
glifosat 3 l/ha lebih memberi hasil kedelai tertinggi ditunjukkan oleh bobot
produksi ubinan 453.00 g/m dan bobot produksi per hektar 3.76 ton/ha. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Suwarni et al. (2000) yang menyatakan herbisida glifosat
sampai dosis 4.5 l/ha menunjukkan hasil tertinggi pada tanaman kacang tanah.
Tanaman kedelai pada stadia muda sampai fase vegetatif awal mengalami
keracunan yang disebabkan penggunaan herbisida paraquat, glifosat, dan
penoksulam. Terdapat daun yang terkena pengaruh percikan herbisida paraquat
sehingga beberapa daun mengalami kerusakan seperti terbakar. Aplikasi herbisida
glifosat menyebabkan keracunan dengan skala sedang pada tanaman kedelai umur
35 HST atau 21 HSA. Ternyata semakin meningkatnya umur tanaman tingkat
keracunan herbisida glifosat meningkat hal ini diduga efek herbisida sistemik
26

glifosat baru bekerja pada umur 35 HST atau 21 HSA akan tetapi setelahnya
gejala toksik perlahan mulai berkurang. Penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Sprague & Hager (2003) yang menyatakan tanaman kedelai yang masih
muda sangat tinggi tingkat penyerapannya baik dalam menyerap air, unsur hara
maupun herbisida sehingga tingkat toksisitas terhadap tanaman kedelai muda
sangat tinggi.

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral Bergambut


Nilai koefisien komunitas sebelum perlakuan menunjukkan bahwa nilai C
antar perlakuan yang dibandingkan lebih dari 75% yang berarti koefisien
komunitas pada perlakuan yang dibandingkan tersebut memiliki komposisi gulma
yang homogen (Lampiran 9). Nilai koefisien komunitas yang seragam antar petak
yang dibandingkan sebelum perlakuan menunjukkan masing-masing perlakuan
yang dibandingkan memiliki kesamaan komunitas. Tipe komunitas terjadi karena
adanya sifat yang berbeda dalam dominansi jenis, komposisi, jenis dan struktur
lapisan tajuk (Whittaker 1975).
Aplikasi herbisida penoksulam mampu menghasilkan bobot gulma total
paling rendah pada umur 2 MST karena merupakan herbisida selektif pra tumbuh
yang digunakan pada tanaman kedelai. Penelitian Guntoro et al. (2013)
menyatakan bahwa aplikasi herbisida penoksulam mulai dosis 0.60 l/ha hingga
1.125 l/ha pada saat 14 hari setelah transplanting dapat mengendalikan gulma
umum pada budidaya tanaman padi sawah pasang surut pada pengamatan
1 minggu setelah aplikasi (MSA) hingga 4 MSA. Gulma dominan yang dapat
dikendalikan oleh aplikasi herbisida penoksulam antara lain Fimbristylis littoralis
(golongan teki), Ludwigia octovalvis (gulma golongan berdaun lebar), dan
Cyperus iria (gulma golongan teki).
Aplikasi herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida paraquat
memiliki bobot kering gulma paling rendah pada umur 4 MST, sedangkan pada
umur 6 MST bobot kering gulma paling rendah yaitu perlakuan herbisida
oksifluorfen yang diikuti herbisida glifosat. Penyiangan menggunakan herbisida
oksifluorfen yang diikuti herbisida glifosat pada spesies Cyperus iria
menghasilkan bobot kering paling rendah pada akhir pengamatan jika
dibandingkan dengan jenis herbisida lainnya. Hal ini disebabkan racun herbisida
tersebut sudah efektif bekerja sehingga gulma belum mampu mengadakan
regenerasi. Fadhly dan Tabri (2004) berpendapat bahwa herbisida memiliki
efektifitas yang beragam, berdasarkan sifat dan cara kerjanya. Penelitian Adnan et
al. (2012) mendukung hasil penelitian ini dengan menyatakan pada pengamatan
14 hari setelah aplikasi (HSA) perlakuan paraquat pada dosis 0.75, 1.50, dan 2.25
kg bahan aktif/ha telah mampu mengendalikan gulma pada tanaman kedelai
sebesar 100%.

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral


Bergambut
Pengaruh herbisida penoksulam menurunkan jumlah daun trifolia dan
memperlambat umur panen tetapi menghasilkan laju tumbuh relatif (LTR) paling
tinggi, hal ini terjadi karena herbisida penoksulam adalah jenis herbisida pra
tumbuh sehingga dapat menekan pertumbuhan kedelai saat awal pertumbuhan
27

vegetatifnya. Selanjutnya ketika tanaman kedelai sudah melewati fase kritis


perkembangan tanaman menjadi lebih baik. Terkendalinya gulma dengan aplikasi
herbisida penoksulam memberikan kesempatan kepada tanaman kedelai untuk
memanfaatkan sumber daya dan ruang tumbuh menjadi lebih baik.
Aplikasi herbisida paraquat memiliki jumlah polong isi paling tinggi dan
memiliki hasil yang tinggi pula (bobot produksi ubinan 182.67 g/m2 dan bobot
produksi per hektar 1.5 ton/ha). Jumlah polong pada tanaman kedelai merupakan
sifat agronomik penunjang potensi hasil kedelai, makin banyak polong yang
dibentuk sehingga diharapkan menghasilkan biji semakin banyak. Lebih lanjut
Wicks et al. (1994) mengemukakan bahwa peningkatan hasil tanaman merupakan
refleksi penurunan tingkat persaingan dengan gulma, sehingga tanaman kedelai
mengalami pertumbuhan yang lebih baik dengan memanfaatkan faktor tumbuh
yang ada.
Penggunaan herbisida paraquat menyebabkan kedelai keracunan pada umur
21 HST atau 7 HSA ditandai dengan daun terbakar skala ringan, glifosat
menampakkan efek toksiknya pada umur 35 HST atau 21 HSA dengan skala
sedang ditandai dengan beberapa daun tanaman kedelai layu, sedangkan
oksifluorfen menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kedelai pada umur
7 HST atau 4 HSA sementara gejala keracunan penoksulam pada tanaman kedelai
semakin berkurang pada umur 35 HST atau 21 HSA. Menurut Vazquez (2005)
tanaman kedelai mampu menetralisir racun herbisida, diduga terjadi adanya
biotransformasi melalui perubahan struktur kimia yang mengakibatkan deaktivasi
atau penurunan toksisitas herbisida tersebut. Hasil biotransformasi tersebut
kemungkinan besar adalah metabolit lain yang tidak beracun, yang ditunjukkan
makin berkurangnya tingkat keracunan pada 35 HST pada perlakuan herbisida
oksifluorfen dan penoksulam.
Penelitian Jaworski (1976) menguatkan pernyataan tersebut dengan
herbisida metolachor juga menunjukkan bahwa kedelai dapat menetralisir racun
herbisida melalui degradasi kimia menjadi metabolit lain yang tidak beracun
melalui dua lintasan yaitu (1) terjadi reaksi antara dua halogen dengan substrat
yang ada dalam sel tanaman membentuk metabolit asam yang larut dalam air dan
(2) terjadi reaksi pemecahan ikatan amida dan hidrolisis halogen. Tetapi struktur
molekul metabolit yang terbentuk belum diketahui secara pasti, namun diduga
terjadi penggantian gugus chloro (Cl) oleh gugus sulfidril yang berasal dari
peptide dalam sel tanaman.
28

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral adalah


paraquat yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma paling rendah pada 4,
6, dan 8 MST. Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral
bergambut adalah oksifluorfen yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma
paling rendah pada 4 dan 8 MST. Herbisida yang paling efektif mendukung
produksi kedelai di tanah mineral adalah glifosat yang ditunjukkan dengan
produktivitas sebesar 3.76 ton/ha. Herbisida yang paling efektif mendukung
produksi kedelai di tanah mineral bergambut yaitu paraquat yang ditunjukkan
dengan produktivitas sebesar 1.5 ton/ha.

Saran

Aplikasi herbisida pre emergence sebaiknya dilakukan sebelum tanam


kedelai. Aplikasi herbisida post emergence harus dilakukan secara hati-hati
dengan menggunakan sungkup nozzle untuk mencegah keracunan pada tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Hasanuddin, dan Manfarizah. 2012. Aplikasi beberapa dosis herbisida


glifosat dan paraquat pada sistem tanpa olah tanah (TOT) serta pengaruhnya
terhadap sifat kimia tanah, karakteristik gulma dan hasil kedelai. J. Agrista.
16(3):135-145.
Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Bogor (ID).
Ashton FM and Craft AS. 1981. Mode of action of herbicides. A. Willey. Inter Sci
Publ. John Willey and Sons.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Klimatologi Kenten
Palembang. Palembang (ID): BMKG Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas
Palawija di Indonesia. www.bps.go.id [23 Mei 2014].
Barus E. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Blum RR, III J, Isgrigg and Yelverton FH. 2000. Purple (Cyperus rotundus) and
yellow nutsedge (C. esculentus) control in Bermuda grass (Cynodon
dactylon). Weed Technol. 14(2):357-365.
Brown HM. 1989. Mode of action, crop selectivity, and soil relation of
sulfonilurea herbicides. Pesticides Science. 29: 263-281.
Damalas CA. 2004. Herbicide tank mixtures: common interactions. J. Agri. Biol.
6(1):209-212.
Daryanto. 1996. Penetapan batas maksimum residu pestisida dalam kerangka
pengembangan hortikultura nasional. Seminar Sehari Penanganan Gulma
pada Padi, Pusdiklat Bumi Wiyata Depok, Jakarta, 19 Desember 1996. 6
hal.
29

De Datta SK. 1995. Weed management prespective for sustainable agriculture in


rice-based system. Proc. 15th Asia-Pasific Weed Science Society Conferece.
Tsukuba, Japan. July 24-28, 1995. Pp 17-27.
Djojosumarto P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Fadhly dan Tabri. 2004. Pengendalian gulma pada pertanaman jagung. Pusat dan
Pengembangan Tanaman Pangan. 12: 243.
FAOSTAT. 2011. http://.faostat.fao.org. tanggal akses 10 April 2014.
Franz JE. 1985. Discovery, Development and Chemistry of Glyphosate: Herbicide
Glyphosate. Groosbard E, Atkinson D, editor. Butterworths and Co. London
(GB).
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo
S, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Physiology of Crop
Plants.
Ghulamahdi M. 1999. Perubahan fisiologi tanaman kedelai (Glycine max (L.)
Merill) pada budidaya tadah hujan dan jenuh air. [disertasi]. Bogor (ID):
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Ghulamahdi M, Melati M, Sagala D. 2009. Production of soybean varieties under
soil culture on tidal swamps. J. Agron. 37(3):226-232.
Ghulamahdi M. 2011. Best practice dalam budidaya kedelai di lahan pasang surut.
KIPNAS X Tahun 2011 [internet]. [diunduh 2013 Nov 24].
http://www.opi.lipi.go.id/data/1228964432/data/13086710321319865377.
makalah.
Guntoro D, Agustina K, dan Yursida. 2013. Efikasi herbisida penoksulam pada
Budidaya padi sawah pasang surut untuk intensifikasi lahan suboptimal. J.
Lahan Suboptimal 2(2):144-150.
Gurning TM, Clan H, dan Burhan. 1995. Praktek-praktek Pencmpuran Herbisida
Pada Tanaman Pangan Studi Kasus Karawang. Kumpulan makalah
seminar pengembangan aplikasi kombinasi herbisida. HIGI. Jakarta (ID).
Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian
Edisi ke dua. Jakarta (ID): UI-Press.
Hardjowigeno S. 1989. Ilmu Tanah. Jakarta (ID). Mediyatama Sarana Perkasa.
Haridjaja O dan Herujito D. 1978. Kematangan Fisik Tanah Mineral dan Tingkat
Dekomposisi Tanah Gambut dalam Hubungannya dengan Beberapa Sifat
Fisik Tanah Daerah Pasang Surut Karang Agung Sumatera Selatan. Dalam
Prosiding Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut di
Indonesia. Hlm 428-437.
Hasanuddin. 2003. Hasil tanaman kedelai dan pola persistensi akibat herbisida
clomazone dan pendimethalin bervariasi dosis pada kultivar argomulyo
dan wilis. [disertasi]. Bandung (ID): Program Pascasarjana Universitas
Padjajaran.
Hay VJ. 1990. Chemistry of sulfonilurea herbicides. Pesticides Science. (29):
247-261.
Hunter MN, De Fabrun PLM, Byth DE. 1980. Response of nine soybean line to
soil moisture conditions close to saturation. Austral. J.Exp. Agric. Anim.
Husb. 20:339-345.
30

Jaworski EG. 1976. Chloroacetamide. Dalam Kearney PC dan Kaufman DD.


Herbicide Chemistry, Degradation and Mode of Action. Marcel Dekker. Inc.
New York.
Juleha. 2002. Penerapan budidaya kedelai dengan teknologi konvensional dan
olah tanah konservasi pada beberapa cara pengendalian gulma. Skripsi.
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hal.
Lamid Z, Harnel, Adlis, dan Hermawan W. 1998. Pengkajian TOT dengan
herbisida glifosat pada budidaya jagung di lahan kering. Prosiding Seminar
Nasional Budidaya Pertanian OTK VI. Padang (ID): Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia. Hlm 497-500.
Kementerian Perdagangan. 2014. Harga Kebutuhan Pokok Nasional.
www.kemendag.go.id [23 Mei 2014].
Krauz RF, Kapusta G and Mathews JL. 1994. Soybean (Glycine max. L. Merril)
and rotational crops to PPI chlorimuron, chlomazone, imazaquin and
imazetaphyr. Weed Tech. (8):224-230.
Koechian LV. 1995. Cellular mechanisms of aluminium toxicity and resisten in
plant. Annu. Rev. Plant. Physiol. Mol. Biol. 46: 260-273.
Marchner H. 1986. Mineral Nutrition in Higher Plants. Academic press.
Mawardi D. 2005. Efikasi herbisida glifosat untuk persiapan budidaya jagung
tanpa olah tanah. Jurnal Agrotropika X (2):79-84.
Mobreg WK and Cross B. 1990. Herbicides inhibiting branched-chain amino acid
biosynthesis. Pestic. Sci. (29): 241-246.
Moenandir J. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma. Rajawali Press. Jakarta
(ID). 121 hal.
Ngawit IK. 2007. Efikasi beberapa jenis herbisida terhadap tanaman penutup
tanah legumenosa di jalur tanaman kopi muda. Agroteksos. 17 (2):104-113.
Noor M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.
Numata M. 1982. A Methodology of Study of Weed Vegetation. In Holzner W,
Numata M (eds). Biology and Ecology of Weed. W. Junk. The Hauge.
Nurjanah U. 2003. Pengaruh dosis herbisida glifosat dan 2,4-D terhadap
pergeseran gulma pada tanaman kedelai tanpa olah tanah. Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian Indonesia. 5(1):27-33.
Prihatman, K. 2000. Kedelai (Glycine max L.). Dikutip dari
http://www.ristek.go.id [Januari 2014].
Rao VS. 2000. Principles of Weed Science. 2nd. Ed. Science Publisher Inc.
Enfiled NH (US).
Sabiham S. 1997. Penggunaan kation terpilih untuk menurunkan asam-asam
fenolat toksik dalam tanah gambut dari Jambi. J. II Indon. 7(1): 1-4.
Sabran M, William E, Saleh M. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan pasang
surut. Bul. Agron: 28(2)41-48.
Sagala D, Suzanna E, Prihanani, dan Nero J. 2013. Uji adaptasi beberapa varietas
kedelai di lahan salin dengan teknologi budidaya jenuh air. J. Agroqua.
11(1):52-55.
Sagala, D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada
Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Tesis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal.
31

Sarwani M. 2001. Penelitian dan pengembangan pengelolaan air di lahan pasang


surut. Dalam: Murzani, Hairu S, Latif NI, A Humaidi, editor. Pengelolaan
Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut; November 2001; Banjarbaru,
Indonesia. Banjarbaru (ID): Departemen Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.
Hlm 19-25.
Sasmita, ER., Hardiastuti, S. Yuliani, U. 2005. Penggunaan Herbisida Paraquat
pada Budidaya Jagung Sistem Tanpa Olah Tanah. Prosiding Konferensi
Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal VI-46-49.
Soerjani MA, Koestermans JGH and Tjitrosoepomo G. 1987. Weed of rice
Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Hlm 716.
Soertojo. 1992. Tanggap kedelai budidaya basah terhadap herbisida dan
pemupukan urea melalui daun. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 34 hal.
Sprague, C.L., & A.G. Hager. 2003. Herbicide persistence and how to test for
residues in soils. Illinois Agricultural Pest management handbook. University
of Illinois. Urbana, IL.
Stanley CD, Kaspar TC, Taylor HM. 1980. Soybean top and root response to
temporary water tables imposed at three different stages of growth. J.
Agron. 72:341-346.
Suastika IW, Sutriadi MT. 2001. Pengaruh perbaikan tata air mikro terhadap
kualitas air tanah dan hasil tanaman. Seminar Hasil Penelitian
Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumater
Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Juni 2001.
Subagyo H. 2006. Lahan rawa pasang surut. Dalam: Suriadikarta, D.A., U.
Kurnia, Mamat H.S., W. Hartatik, D. Setyorini, editor. Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Ed ke-1. Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Hlm 23-98.
Sukarna D, Harnoto. 1985. Pengendalian hama kedelai. Dalam: Somaatmadja S,
Ismunadji M, Sumarno, Syam M, Manurung SO, Yuswadi, editor. Kedelai.
Bogor (ID): Balitbangtan Puslitbangtan Pangan. Hlm 319-321.
Suriadikarta DA. 2005. Pengelolaan lahan sulfat masam untuk usaha pertanian. J
Litbang Pertanian, 24(1): 36-45.
Suwarni, Guritno B, dan Moenandir J. 2000. Pengaruh herbisida glifosat dan legin
terhadap perilaku nodulasi tanaman kacang tanah (Arachis hypogeal L.). J
Agrosains. 2(2):43-49.
Troedson RJ, Lawn RJ, Byth DF and Wilson GC. 1983. Saturated soil culture an
inovative water management option for Soybean p. 171-180 In S.
Shanmugasundaran and Sulzerbergen EE. (eds) Soybean and Tropical
Cropping System. Proc. Tsukuba. Japan.
Truelove. 1977. Research methods in weed science. Southern. Weed Sci. Society
Alabama. USA.
Tsutsuki and Kondo R. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different
type of peat profiles in Hokkaido. Japan Soil Sci. and Plant Nutr. 41 (3):
515-527.
32

Utomo IH, Bangun P dan Rachman M. 1995. Dinamika populasi gulma di


lapangan akibat penggunaan herbisida sejenis. Prosiding Seminar
Pengembangan Aplikasi Kombinasi Herbisida. Komisi Pestisida dan
Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Jakarta. 28 Agustus 1995.
Vazquez, G.D. 2005. Transformation of Halogenated Pesticides by Versatile
Peroxidase from Bjekandera adusta. Enzyme and Microbial Technology
(36): 223-231.
Vencill, Armbrust WKK, Hancock HG, Johnson D, McDonald G, Kinter D.
Lichtner F, McLean H, Reynolds J, Rushing D, Senseman S, and Wauchope
D. 2002. Herbicide handbook. 8th ed. Weed Science Society of America.
Lawrence Kansas (US).
Webster, TM. 2004. Weed survey-Southern States, grass crop subsection. Proc.
South Weed Sci. Soc. 57(3):420-423.
Weedscience. 2011. Herbicide Resistant Weed Summary Table.
http://www.weedscience.org. [Januari 2014].
Whittaker RH. Communities and Ecosystem. 2nd. Macmillan Publishing
Co.Inc.New York. 1975.
Wicks GA, Crutcfield DA, and Burnside OC. 1994. Influence of wheat (Triticum
aestivum) straw mulch and metolachlor on corn (Zea mays) growth and
yield. Weed Sci. 42:141-147.
Yih RY and Swithenbank C. 1975. New potent diphenyl ether herbicides. J. Agric
Food Chem. 23:592-593.
33

Lampiran 1 Deskripsi varietas Tanggamus

TANGGAMUS

Nama varietas : Tanggamus


Kategori : Varietas unggul nasional (released variety)
SK : 536/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun
2001
Tahun : 2001
Nomor galur : K.3911-66
Tetua : Hibrida (persilangan tunggal) antara varietas Kerinci
dan No.3911
Potensi hasil : 1.22 ton/ha
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil : Hijau
Warna kotiledon : Kuning
Warna daun : Hijau
Warna biji : Kuning
Warna hilum : Coklat tua
W. kulit polong masak : Coklat
Warna bulu : Coklat
Bentuk daun : Lanceolate
Ukuran daun : Sedang
Tipe tumbuh : Determinate
Umur berbunga : 35 hari
Umur polong masak : 88 hari
Rata-rata jumlah polong / tanaman : 47
Tinggi tanaman : 67 cm
Kerebahan : Tahan
Bobot 100 biji : 11 g
Bentuk biji : Oval
Kandungan protein : 44%
Kandungan lemak : 12.9%
Kadar air : 6.1%
Ketahanan penyakit : Toleran karat daun
Keterangan : Wilayah adaptasi lahan masam
Pemulia : Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie, Heru,
Kuswantoro, Purwantoro
Sumber : Balitbang Deptan (2009)
34

Lampiran 2 Gambar petakan

Lahan mineral
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

U
P0 P1 P6

P3 P7 P5

P6 P2 P1

P4 P0 P7 S
Keterangan:
P2 P5 P4 P0= Tanpa pengendalian
P1= Penyiangan manual
P5 P3 P0 P2= Herbisida Paraquat
P3= Herbisida Glifosat
P1 P6 P3 P4= Herbisida Oksifluorfen
P5= Herbisida Paraquat-oksifluorfen
P6= Herbisida Glifosat-oksifluorfen
P7 P4 P2 P7= Herbisida Penoksulam

Lahan mineral bergambut


Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

U
P2 P0 P2

P7 P3 P3

P5 P2 P4

P0 P1 P6 S
Keterangan:
P6 P6 P0 P0= Tanpa pengendalian
P1= Penyiangan manual
P1 P7 P7 P2= Herbisida Paraquat
P3= Herbisida Glifosat
P4= Herbisida Oksifluorfen
P3 P5 P5 P5= Herbisida Paraquat-oksifluorfen
P6= Herbisida Glifosat-oksifluorfen
P4 P4 P1 P7= Herbisida Penoksulam
35

Lampiran 3 Data curah hujan (mm/bulan) daerah penelitian tahun 2013


Tanggal Juli Agustus September Oktober
1 1 0 - 7
2 1 - - 28
3 0 13 - -
4 - 0 4 2
5 9 20 - 4
6 6 0 0 -
7 1 - 3 23
8 0 1 8 13
9 22 6 0 3
10 - 1 - -
11 - 1 6 3
12 11 - - 27
13 - 22 - 13
14 0 - 2 -
15 0 0 - -
16 2 - 13 -
17 - 4 52 -
18 - 3 0 23
19 52 40 - -
20 - 9 1 -
21 - - - -
22 - - - -
23 6 0 - -
24 - 0 - -
25 0 7 32 -
26 1 1 32 -
27 5 0 - -
28 3 28 24 -
29 - - 8 -
30 0 - 0 0
31 1 - - 8
Jumlah 121 156 153,0 154
Hari hujan 20 21 15 13
Maksimum 52,0 40 52,0 28
Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika wilayah Palembang (BMKG 2013)
36

Lampiran 4 Data suhu (oC) daerah penelitian tahun 2013


Tanggal Juli Agustus September Oktober
1 28.0 27.5 28.5 25.5
2 28.4 27.6 28.7 26.2
3 28.1 25.7 27.0 27.4
4 25.7 26.9 28.7 26.3
5 26.1 25.8 28.2 27.6
6 27.2 27.1 28.6 26.7
7 28.6 27.3 28.2 27.5
8 26.7 26.7 29.0 25.6
9 27.8 25.7 29.0 25.8
10 28.6 26.3 27.3 27.2
11 28.3 26.8 28.5 27.8
12 27.4 26.4 28.1 27.7
13 28.3 26.6 29.1 27.5
14 28.3 26.2 28.4 27.9
15 27.3 26.3 29.0 26.0
16 28.6 27.2 28.0 27.4
17 27.9 25.3 26.7 25.9
18 27.5 25.6 29.0 26.7
19 27.3 26.3 27.8 27.7
20 28.9 26.8 27.5 27.4
21 28.9 27.8 28.7 28.2
22 26.4 27.6 29.2 27.8
23 27.8 28.0 29.0 27.4
24 28.0 26.4 29.4 28.1
25 28.1 24.7 29.6 27.6
26 26.2 27.1 27.4 26.7
27 27.1 27.5 28.5 27.3
28 27.7 26.9 27.8 28.2
29 27.7 26.5 27.3 26.8
30 28.1 27.0 26.1 28.2
31 27.3 26.8 - 26.2
Rata-rata 27.7 26.6 28.3 27.1
Maksimum 35.2 34.6 35.2 34.1
Minimum 24.6 23.8 24.5 23.7
Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika wilayah Palembang (BMKG 2013)
37

Lampiran 5 Data kelembaban nisbi (%) daerah penelitian tahun 2013


Tanggal Juli Agustus September Oktober
1 82 83 84 86
2 83 83 85 81
3 83 86 85 82
4 94 82 79 85
5 91 87 80 79
6 88 82 81 89
7 84 85 84 88
8 90 85 82 91
9 85 90 80 87
10 82 86 89 81
11 82 85 79 79
12 86 89 78 83
13 87 87 78 82
14 87 81 82 72
15 89 84 82 83
16 83 86 81 82
17 87 92 86 86
18 88 89 81 82
19 86 86 77 82
20 83 84 77 80
21 83 81 76 79
22 87 81 76 78
23 86 80 77 78
24 86 88 78 75
25 85 91 78 73
26 92 82 80 77
27 86 82 76 75
28 83 82 83 78
29 87 87 82 87
30 83 79 87 84
31 82 82 - 89
Jumlah 2658 2622 2419 2531
Rata-rata 86 85 81 82
Maksimum 94 92 89 91
Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika wilayah Palembang (BMKG 2013)
38

Lampiran 6 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah


mineral

compressus

brasiliensis
Phylanthus
Melastoma

Richardia
Axonopus

Cynodon

Borreria
dactylon
urinaria
Cyperus

affine

alata
iria
Perlakuan Waktu
jenis herbisida
MST .....................Nisbah jumlah dominansi %.................
2 37.36 15.45 10.05 11.82 10.95 14.37 0
Kontrol 4 39.85 14.77 12.71 10.94 10.39 11.34 0
6 41.46 13.09 13.21 10.90 10.68 10.66 0
8 34.68 14.58 15.07 12.15 11.95 11.56 0
Manual 2 41.13 18.06 10.57 11.47 9.07 9.70 0
4 46.65 11.03 11.36 6.83 12.93 11.20 0
6 50.85 12.78 11.78 9.30 6.72 8.57 0
8 31.24 18.17 23.51 10.85 7.26 8.98 0
Paraquat 2 42.07 16.56 9.88 12.98 10.37 8.14 0
4 44.42 11.93 4.67 26.34 12.64 0 0
6 54.61 16.19 7.23 14.39 4.28 3.30 0
8 34.44 21.47 15.96 18.64 5.59 3.91 0
Glifosat 2 46.20 13.99 10.90 8.88 7.83 12.20 0
4 45.52 15.32 11.78 11.50 8.52 7.36 0
6 56.42 9.17 10.51 8.95 6.93 8.02 0
8 30.96 19.29 12.45 10.18 17.33 9.77 0
Oksifluorfen 2 58.19 21.13 3.84 7.61 4.83 4.40 0
4 58.37 20.02 4.29 7.93 4.93 4.28 0
6 54.00 7.28 7.91 11.82 14.29 4.70 0
8 41.37 31.50 11.52 8.34 7.27 0 0
Oksifluorfen-paraquat 2 45.82 15.37 9.45 8.30 10.77 10.29 0
4 58.49 10.64 5.98 10.02 14.87 0 0
6 65.63 18.54 5.67 4.20 5.96 0 0
8 36.50 7.43 7.53 11.91 31.72 4.92 0
Oksifluorfen-glifosat 2 48.33 19.18 7.29 7.17 11.75 3.26 3.02
4 53.24 15.69 6.32 12.14 6.33 6.28 0
6 54.00 7.28 7.91 11.82 14.29 4.70 0
8 40.50 25.22 8.10 13.64 3.76 8.79 0
Penoksulam 2 44.87 14.79 8.62 13.44 8.03 8.05 2.22
4 45.57 15.60 10.54 12.26 6.60 6.43 3.00
6 50.42 12.26 9.41 11.25 6.81 9.85 0
8 33.14 22.81 11.04 13.58 8.13 11.3 0
39

Lampiran 7 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah


mineral bergambut

Chromolaena
sarmentosa

rhomboidea

dactylon
Cynodon
prostata

Borreria
Cyperus

odorata
Eclipta

Diodia

Hyptis
alata
Perlakuan

iria
Waktu
jenis herbisida

MST .....................Nisbah jumlah dominansi %.................


Kontrol 2 39.19 20.45 16.36 5.85 2.80 4.98 10.37
4 38.77 24.96 19.56 8.26 0 3.48 4.97
6 35.47 25.08 19.36 10.80 0 4.25 5.04
8 31.45 28.50 18.68 11.06 0 5.09 5.22
Penyiangan manual 2 42.85 21.59 20.42 6.45 0 3.42 5.27
4 41.80 20.26 19.56 8.26 0 3.48 4.97
6 27.12 22.48 12.71 3.02 7.32 11.76 15.59
8 25.65 20.79 11.17 4.48 9.95 12.00 15.96
Paraquat 2 40.37 24.43 16.41 5.60 0 5.60 7.59
4 33.62 26.27 15.68 3.66 3.84 12.67 4.26
6 28.10 26.48 17.14 4.32 7.80 12.35 3.81
8 27.11 24.87 18.65 4.50 8.03 12.90 3.93
Glifosat 2 43.07 17.75 17.23 2.44 2.49 5.77 11.25
4 40.58 18.92 16.91 0 0 13.16 10.43
6 33.40 20.04 17.96 0 5.46 12.27 10.87
8 27.68 21.72 20.46 0 6.51 9.55 21.79
Oksifluorfen 2 51.25 22.77 7.19 0 0 0 18.79
4 42.65 19.70 0 18.09 0 0 19.56
6 44.46 14.14 14.42 0 0 6.43 20.55
8 33.57 21.33 13.76 0 0 9.55 21.79
Oksifluorfen-paraquat 2 58.02 18.55 4.76 0 0 4.74 13.93
4 52.79 12.74 0 0 0 18.98 15.49
6 50.04 16.84 0 13.51 0 7.37 12.24
8 35.80 15.66 0 18.59 0 13.39 16.56
Oksifluorfen-glifosat 2 54.60 15.03 6.63 4.90 0 4.64 14.20
4 61.49 10.44 10.44 8.49 9.14 0 0
6 41.75 11.04 10.50 15.12 4.99 10.19 6.41
8 26.03 15.94 17.77 13.52 4.60 12.81 9.32
Penoksulam 2 69.00 31.00 0 0 0 0 0
4 76.05 12.49 0 11.46 0 0 0
6 58.04 21.36 0 13.57 0 0 7.03
8 33.68 25.42 0 20.21 0 0 20.69
40

Lampiran 8 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada


tanah mineral

Ulangan 1
KK P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P0 100.00 94.93 85.47 90.91 90.09 92.66 88.18 91.50
P1 100.00 91.06 95.96 95.06 95.89 93.21 97.65
P2 100.00 97.50 96.66 99.15 95.79 90.43
P3 100.00 97.36 96.42 96.46 93.57
P4 100.00 94.64 95.57 94.49
P5 100.00 95.49 95.32
P6 100.00 94.44
P7 100.00

Ulangan 2
KK P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P0 100.00 89.47 87.38 79.42 91.81 84.93 91.78 92.10
P1 100.00 91.26 89.93 85.29 82.75 89.00 82.07
P2 100.00 92.44 88.98 91.91 90.58 89.34
P3 100.00 94.17 82.88 80.95 90.04
P4 100.00 85.83 86.87 91.73
P5 100.00 86.36 85.47
P6 100.00 87.33
P7 100.00

Ulangan 3
KK P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P0 100.00 87.77 76.23 77.22 82.58 81.56 94.56 80.87
P1 100.00 92.00 78.00 85.42 87.00 89.01 78.45
P2 100.00 90.09 86.87 82.41 80.39 88.67
P3 100.00 78.73 83.41 81.37 82.75
P4 100.00 84.84 82.75 82.17
P5 100.00 85.08 77.77
P6 100.00 76.75
P7 100.00
41

Lampiran 9 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada


tanah mineral bergambut

Ulangan 1
KK P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P0 100.00 83.25 81.17 86.63 82.17 95.57 93.16 85.16
P1 100.00 84.54 87.87 83.06 84.05 87.44 86.31
P2 100.00 85.96 78.87 78.48 84.89 80.00
P3 100.00 87.95 86.51 84.30 84.84
P4 100.00 84.00 81.73 90.71
P5 100.00 93.96 86.95
P6 100.00 88.37
P7 100.00

Ulangan 2
KK P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P0 100.00 83.33 86.46 85.05 81.38 83.89 92.24 88.80
P1 100.00 86.20 85.46 87.31 83.16 90.17 86.11
P2 100.00 89.32 82.51 83.33 90.40 91.73
P3 100.00 78.89 76.23 89.79 86.92
P4 100.00 87.04 83.72 86.95
P5 100.00 85.45 85.84
P6 100.00 92.30
P7 100.00

Ulangan 3
KK P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
P0 100.00 88.96 79.38 81.20 83.72 91.42 82.85 84.24
P1 100.00 79.83 80.97 82.84 86.59 88.12 92.12
P2 100.00 84.21 88.18 84.29 82.64 80.00
P3 100.00 96.42 90.24 86.99 91.21
P4 100.00 88.23 82.35 83.11
P5 100.00 90.00 90.11
P6 100.00 91.70
P7 100.00
42

Lampiran 10 Jenis-jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral

a. Cyperus iria b. Axonopus compresus

c. Melastoma affine d. Phylanthus urinaria

e. Cynodon dactylon f. Borreria alata

g. Richardia brasiliensis
43

Lampiran 11 Jenis-jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral


bergambut

a. Cyperus iria b. Eclipta prostata

c. Diodia sarmentosa d. Borreria alata

e. Hyptis rhomboidea f. Chromolaena odorata

g. Cynodon dactylon
44

Lampiran 12 Analisis Usahatani/ha untuk perlakuan kontrol (tanpa pengendalian


gulma) di tanah mineral
Uraian Satuan Volume Harga/satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85% kg 1 836 7 500 13 770 000
produktivitas penelitian
2. Biaya
Sarana Produksi:
a. Sewa Traktor jam 30 7 000 210 000
b. Benih Kedelai kg 50 12 000 600 000
c. Pupuk Urea kg 4 2 000 8 000
d. Pupuk SP-36 kg 2 00 2 000 400 000
e. Pupuk KCL kg 100 7 700 770 000
f. Kapur Dolomit ton 2 600 000 1 200 000
g. Rhizobium sp. g 250 62.5 25 000
h. Insektisida bungkus 3 18 500 55 500
i. Pestisida botol 2 130 000 260 000
j. Solar liter 10 7 000 70 000
k. Sewa mesin potong kali 1 80 000 80 000
l. mesin pompa air unit 1 1 250 000 250 000
Tenaga Kerja:
a. Pengolahan lahan HOK 20 60 000 1 200 000
b. Penanaman HOK 15 60 000 900 000
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan urea HOK 5 60 000 300 000
Panen HOK 15 60 000 900 000
Pascapanen HOK 5 60 000 300 000
Transportasi dan Distribusi 150 000
3. Total Biaya 7 678 500
4. Keuntungan 6 091 500
5. B/C 1.79
45

Lampiran 13 Analisis Usahatani/ha untuk perlakuan penyiangan manual di tanah


mineral
Uraian Satuan Volume Harga/satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85% kg 2 465 7 500 18 487 500
produktivitas
penelitian
2. Biaya
Sarana Produksi:
a. Sewa Traktor jam 30 7 000 210 000
b. Benih Kedelai kg 50 12 000 600 000
c. Pupuk Urea kg 4 2 000 8 000
d. Pupuk SP-36 kg 2 00 2 000 400 000
e. Pupuk KCL kg 100 7 700 770 000
f. Kapur Dolomit ton 2 600 000 1 200 000
g. Rhizobium sp. g 250 62.5 25 000
h. Insektisida bungkus 3 18 500 55 500
i. Pestisida botol 2 130 000 260 000
j. Solar liter 10 7 000 70 000
k. Sewa mesin potong kali 1 80 000 80 000
l. mesin pompa air unit 1 1 250 000 250 000
Tenaga Kerja:
a. Pengolahan lahan HOK 20 60 000 1 200 000
b. Penanaman HOK 15 60 000 900 000
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan HOK 5 60 000 300 000
urea
- Penyiangan gulma HOK 10 60 000 600 000
Panen HOK 15 60 000 900 000
Pascapanen HOK 5 60 000 300 000
Transportasi dan Distribusi 150 000
3. Total Biaya 8 278 500
4. Keuntungan 10 209 000
5. B/C 2.23
46

Lampiran 14 Analisis Usahatani/ha untuk perlakuan herbisida glifosat di tanah


mineral
Uraian Satuan Volume Harga/satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85% kg 3 196 7 500 23 970 000
produktivitas
penelitian
2. Biaya
Sarana Produksi:
a. Sewa Traktor jam 30 7 000 210 000
b. Benih Kedelai kg 50 12 000 600 000
c. Pupuk Urea kg 4 2 000 8 000
d. Pupuk SP-36 kg 2 00 2 000 400 000
e. Pupuk KCL kg 100 7 700 770 000
f. Kapur Dolomit ton 2 600 000 1 200 000
g. Rhizobium sp. g 250 62.5 25 000
h. Insektisida bungkus 3 18 500 55 500
i. Pestisida botol 2 130 000 260 000
j. Herbisida botol 2 75 000 150 000
k. Solar liter 10 7 000 70 000
l. Sewa mesin potong kali 1 80 000 80 000
m. mesin pompa air unit 1 1 250 000 250 000
Tenaga Kerja:
a. Pengolahan lahan HOK 20 60 000 1 200 000
b. Penanaman HOK 15 60 000 900 000
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan HOK 5 60 000 300 000
urea
Panen HOK 15 60 000 900 000
Pascapanen HOK 5 60 000 300 000
Transportasi dan Distribusi 150 000
3. Total Biaya 7 828 500
4. Keuntungan 16 141 500
5. B/C 3.06
47

Lampiran 15 Analisis Usahatani/ha untuk perlakuan kontrol (tanpa pengendalian


gulma) di tanah mineral bergambut
Uraian Satuan Volume Harga/satuan Total
(Rp) (Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85% kg 1 165 7 500 8 737 500
produktivitas
penelitian
2. Biaya
Sarana Produksi:
a. Sewa Traktor jam 30 7 000 210 000
b. Benih Kedelai kg 50 12 000 600 000
c. Pupuk Urea kg 4 2 000 8 000
d. Pupuk SP-36 kg 2 00 2 000 400 000
e. Pupuk KCL kg 100 7 700 770 000
f. Kapur Dolomit ton 2 600 000 1 200 000
g. Rhizobium sp. g 250 62.5 25 000
h. Insektisida bungkus 3 18 500 55 500
i. Pestisida botol 2 130 000 260 000
j. Solar liter 10 7 000 70 000
k. Sewa mesin potong kali 1 80 000 80 000
l. mesin pompa air unit 1 1 250 000 250 000
Tenaga Kerja:
a. Pengolahan lahan HOK 20 60 000 1 200 000
b. Penanaman HOK 15 60 000 900 000
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan HOK 5 60 000 300 000
urea
Panen HOK 15 60 000 900 000
Pascapanen HOK 5 60 000 300 000
Transportasi dan Distribusi 150 000
3. Total Biaya 7 678 500
4. Keuntungan 1 059 000
5. B/C 1.13
48

Lampiran 16 Analisis Usahatani/ha untuk perlakuan penyiangan manual di tanah


mineral bergambut
Uraian Satuan Volume Harga/satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85% kg 1 419.5 7 500 10 646 250
produktivitas
penelitian
2. Biaya
Sarana Produksi:
a. Sewa Traktor jam 30 7 000 210 000
b. Benih Kedelai kg 50 12 000 600 000
c. Pupuk Urea kg 4 2 000 8 000
d. Pupuk SP-36 kg 2 00 2 000 400 000
e. Pupuk KCL kg 100 7 700 770 000
f. Kapur Dolomit ton 2 600 000 1 200 000
g. Rhizobium sp. g 250 62.5 25 000
h. Insektisida bungkus 3 18 500 55 500
i. Pestisida botol 2 130 000 260 000
j. Solar liter 10 7 000 70 000
k. Sewa mesin potong kali 1 80 000 80 000
l. mesin pompa air unit 1 1 250 000 250 000
Tenaga Kerja:
a. Pengolahan lahan HOK 20 60 000 1 200 000
b. Penanaman HOK 15 60 000 900 000
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan HOK 5 60 000 300 000
urea
- Penyiangan HOK 10 60 000 600 000
gulma
Panen HOK 15 60 000 900 000
Pascapanen HOK 5 60 000 300 000
Transportasi dan Distribusi 150 000
3. Total Biaya 8 278 500
4. Keuntungan 2 367 750
5. B/C 1.28
49

Lampiran 17 Analisis Usahatani/ha untuk perlakuan herbisida paraquat di tanah


mineral bergambut
Uraian Satuan Volume Harga/satuan Total (Rp)
(Rp)
1. Penerimaan
a. Kedelai 85% kg 1 275 7 500 9 562 500
produktivitas
penelitian
2. Biaya
Sarana Produksi:
a. Sewa Traktor jam 30 7 000 210 000
b. Benih Kedelai kg 50 12 000 600 000
c. Pupuk Urea kg 4 2 000 8 000
d. Pupuk SP-36 kg 2 00 2 000 400 000
e. Pupuk KCL kg 100 7 700 770 000
f. Kapur Dolomit ton 2 600 000 1 200 000
g. Rhizobium sp. g 250 62.5 25 000
h. Insektisida bungkus 3 18 500 55 500
i. Pestisida botol 2 130 000 260 000
j. Herbisida botol 2 60 000 120 000
k. Solar liter 10 7 000 70 000
l. Sewa mesin potong kali 1 80 000 80 000
m. mesin pompa air unit 1 1 250 000 250 000
Tenaga Kerja:
a. Pengolahan lahan HOK 20 60 000 1 200 000
b. Penanaman HOK 15 60 000 900 000
c. Pemeliharaan
- Penyemprotan HOK 5 60 000 300 000
urea
Panen HOK 15 60 000 900 000
Pascapanen HOK 5 60 000 300 000
Transportasi dan Distribusi 150 000
3. Total Biaya 7 798 500
4. Keuntungan 1 764 000
5. B/C 1.22
50

Lampiran 18 Perbandingan Analisis Usahatani/ha untuk masing-masing perlakuan


tanah mineral dan tanah mineral bergambut

Tanah mineral
Perlakuan Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Keuntungan (Rp) B/C
P0 7 678 500 13 770 000 6 091 500 1.79
P1 8 278 500 18 487 500 10 209 000 2.23
P2 7 798 500 20 591 250 12 792 750 2.64
P3 7 828 500 23 970 000 16 141 500 3.06
P4 7 841 000 13 770 000 5 929 000 1.75
P5 7 881 000 18 678 750 10 797 750 2.37
P6 7 991 000 20 782 500 12 791 500 2.60
P7 7 972 000 16 766 250 8 794 250 2.10

Tanah mineral bergambut


Perlakuan Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Keuntungan (Rp) B/C
P0 7 678 500 8 737 500 1 059 000 1.13
P1 8 278 500 10 646 250 2 367 750 1.28
P2 7 798 500 9 562 500 1 764 000 1.22
P3 7 828 500 8 925 000 1 096 500 1.14
P4 7 841 000 9 562 500 1 721 500 1.21
P5 7 881 000 9 562 500 1 681 500 1.21
P6 7 991 000 6 375 000 - 1 616 000 (rugi) 0.79
P7 7 972 000 7 650 000 - 322 000 (rugi) 0.95
51

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Banjar, Jawa Barat pada tanggal 05 November
1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak H. E.
Suhendi dan Ibu Iis Rosdianti. Pendidikan sarjana sejak tahun 2007 ditempuh di
Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman,
lulus pada tahun 2012. Pada pertengahan tahun 2012, penulis diterima di Program
Studi Agronomi dan Hortikultura pada Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dan menamatkannya pada tahun 2015. Beasiswa Unggulan Calon Dosen
diperoleh dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Selama mengikuti program S2, penulis aktif mengikuti kepanitiaan dalam
kegiatan Forum Pascasarjana IPB.

Anda mungkin juga menyukai