Anda di halaman 1dari 10

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.Biologi Penyebab Penyakit


1.1 Biologi
Penyakit

jamur

upas

( Pink disease )

disebabkan

Upasia salmonicolor (B et Br.) Tjokr., meskipun sampai sekarang masih

oleh

jamur

banyak dikenal

dengan nama Corticium salmonicolor (B. et Br). Oleh Burdsall (1985) jamur juga disebut
Erythricium salmonicolor (B et Br.) Burdsall. (Tjokrosoedarmo,1983 ).
Jamur ini di klasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom

: Fungi

Phylum

: Basidiomycota

Kelas

: Basidiomycetes

Ordo

: Stereales

Famili

: Corticiaceae

Genus

: Upasia

Spesies

: Upasia salmonicolor (B et Br.) Tjokr,.

Morfologi pertumbuhan patogen pada tanaman mengalami 4 stadia, yakni stadium


membenang, stadium membintil, stadium kortisium, dan stadium nekator. Stadium
membenang merupakan perkembangan awal patogen yakni pada permukaan ranting atau
cabang tanaman terlihat benang-benang halus. Perkembangan selanjutnya pada permukaan
ranting atau cabang tanaman terlihat adanya bintil-bintil putih. Lapisan miselium yang tipis
berwarna merah jambu merupakan ciri stadium kortisium. Perkembangan selanjutnya adalah
stadium nekator atau teleomorf (III), yaitu terbentuk bintil merah pada kayu yang umumnya

Universitas Sumatera Utara

17
telah mati karena serangan cendawan ini. Bintil-bintil tersebut merupakan tubuh buah
cendawan (Riyaldi, 2004).
Pada Stadium teleomorf (III) yang berwarna merah jambu, jamur upas membentuk
lapisan himenium yang mengandung banyak basidium berbentuk gada. Basidiospora tidak
berwarna, berbentuk buah per (pyriform) dengan ujung runcing, 9-12 x 6-7 m, sterigma
panjang 4-5 m. Pada bagian cabang yang tidak terlindung, kebanyakan pada sisi atas,
stadium rumah laba-laba (I) akan berkembang menjadi stadium bongkol (IV), yang akhirnya
membentuk sporodokium merah, disebut stadium anamorf (V). Sporodokium tadi
membentuk spora yang lain, yaitu konidium (Semangun, 2000). Sporodokium pada stadium
anamorf (V) berwarna merah bata sampai merah tua, 0.5-1.5 mm, menghasilkan konidium
berbentuk jorong tidak teratur, dan ukuranya tidak tertentu
Stadium anamorf

(Semangun, 2000).

jamur upas ini dahulu dikira jamur lain yang diberi nama

tersendiri, yaitu Necator decretus Mass (Semangun, 2000).

Konidia

Gambar 1. Jamur Upasia Salmonicolor (B.et Br) Tjokr.


(Sumber : Foto langsung)

Universitas Sumatera Utara

18

Konidia berkecanbah
Gambar 2.a. (A) Himenium pada stadium teleomorf. (B) Sporodokium pada stadium
anamorf. (C) konidia yang berkecambah.
Sumber : a. Tjokrosoedarmo (1983) dalam Semangun (2000)

1.2 Gejala Serangan


Jamur upas timbul pada batang atau cabang yang kulitnya sudah berwarna cokelat,
tetapi belum membentuk lapisan gabus yang tebal. Umumnya jamur mulai berkembang dari
pangkal cabang atau sisi bawah cabang, karena disini keadaannya lebih lembab ketimbang
di bagian lain (Semangun, 2000).
Pada bagian yang terserang mula-mula jamur membentuk miselium tipis seperti
perak atau sutera. Stadium ini disebut stadium rumah laba-laba (I): pada waktu ini jamur
belum masuk ke dalam kulit. Pada bagian yang terlindung, sebelum masuk ke dalam
jaringan, jamur membentuk gumpalan-gumpalan hifa di depan lentisel: stadium ini disebut
stadium bongkol semu (II), setelah itu jamur membentuk kerak merah jambu (pink) atau
berwarna seperti ikan salem (salmon), stadium ini disebut stadium teleomorf (III), kulit
dibawah kerak merah jambu sudah membusuk. Pembusukan kulit dan kayu yang meluas
sering mengakibatkan kematian. Pada stadium ini jamur membentuk banyak basidium yang
menghasilkan basidiospora (Riyaldi, 2004).

Universitas Sumatera Utara

19
A

Gambar 3. (A) Batang karet yang mati terserang jamur.


(B) Batang karet yang terlihat gejala
Sumber : Tjokrosoedarmo (1983) dalam Semangun (2000)
Kulit yang terinfeksi jamur mengeluarkan lateks yang meleleh, yang setelah
mengering tampak seperti garis-garis hitam. Ini merupakan salah satu tanda yang mudah
terlihat (Semangun, 2000).
Pada tingkat yang lanjut daun-daun pada batang atau cabang yang sakit layu dan
mengering. Mata-mata tidur di bawah bagian yang terserang berkembang menjadi tunas
(Semangun, 2000).

Universitas Sumatera Utara

20
B

Gambar 4. (A) Gejala serangan jamur upas,batang yang telah mati,


(B) Cabang dan daun yang layu yang terkena jamur upas
Sumber : Hohn dan Litsch (1907).

1.3 Perkembangan Penyakit


Iklim
Jamur upas dibantu kelembapan tinggi. Kebun yang mempunyai curah hujan tinggi
mendapat banyak gangguan penyakit ini. Demikian pula kebun yang lembab karena jarak
tanam yang terlalu rapat, terletak di lembah, di dekat rawa atau persawahan, atau yang
tanaman penutup tanahnya tidak terpelihara (Semangun, 2000).
Kondisi iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan terjadinya
epidemik. Kondisi lingkungan dengan kelembaban 96%-100% atau adanya titik air, suhu
28-30 C dan cahaya terang biasa ataupun gelap adalah kondisi yang sangat sesuai dengan
perkecambahan konidia U. salmonicolor. Dan serangan akan terjadi bila kondisi iklim atau
cuaca sangat mendukung yaitu cuaca yang lembab atau mendung dengan curah hujan yang
relatif tidak terlalu tinggi dan merata sepanjang hari (Situmorang, 2004).
Ketinggian Tempat

Universitas Sumatera Utara

21
Kebun yang terletak pada tempat yang lebih tinggi dari 300 m dpl mendapat
serangan jamur yang lebih berat, dibandingkan dengan kebunkebun yang terletak di tempat
yang lebih rendah. Hal ini karena Jamur upas kurang terdapat di kebun karet di tanah
alluvial dekat pantai yang mempunyai kelembapan rendah. Mungkin ini disebabkan karena
adanya pertukaran udara yang baik (Semangun, 2000).

Faktor kesuburan tanah dan tempat


Kebun-kebun yang terdapat pada lahan yang kurang subur atau tanpa diberi pupuk
sehingga kondisi tanaman menjadi lemah (Situmorang, 2004).
Di daerah dekat persawahan atau rawa dan sungai merupakan daerah yang selalu
lembab. Penyakit jamur upas biasanya berjangkit pada musim hujan atau pada keadaan yang
sangat lembab atau berkabut (Semangun, 2000).

1.4 Resistensi Klon Karet


Klon-klon karet mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap jamur upas. Mungkin
ini disebabkan karena perbedaan morfologi klon, yang menyebabkan terjadinya perbedaan
kelembapan dalam kebun, dan karena adanya perbedaan dalam ketebalan jaringan kulitnya.
Di Sumatera Utara klon PR107, AVROS 1734, dan RRIM 600 adalah rentan. GT 1 dan
AVROS 2037 mempunyai ketahanan sedang (Basuki,1982 dan Semangun, 2000).
Penyakit jamur upas banyak dijumpai pada klon-klon yang bertajuk rindang, dan
pada tanaman muda berumur 4-12 tahun yang ditanam pada areal yang selalu lembap
(Semangun, 2000).
1.5 Pengendalian Penyakit
Pengendalian jamur upas dapat dilakukan dengan klon yang peka seperti GT1, PR
255, PR 300, dan PR 107 sebaiknya tidak ditanam di daerah rawan upas (curah hujan dan

Universitas Sumatera Utara

22
kelembapan tinggi). Di daerah ini hendaknya ditanami klon yang tahan, misalnya AVROS
2037. Untuk mencegah terjadinya kelembaban yang tinggi sebaiknya jarak tanam dibuat
tidak terlalu rapat (Pinem dan Yusuf, 2004).
Pengobatan harus dilaksanakan seawal mungkin, yaitu pada saat terlihat gejala awal
atau tingkat sarang laba-laba. Pengobatan untuk tanaman sakit dilakukan dengan
melumaskan fungisida tridemorf (Calixin 5 %) dalam lateks pekat (60 % kadar karet
kering). Calixin RM (ready mixed), Dowco 262 atau bubur bordo pada bagian yang terkena
serangan hingga 30 cm ke atas dan kebawahnya. Namun, pelumas ini juga tergantung pada
berat ringannya serangan. Bubur bordo tidak dibenarkan diberikan pada tanaman yang sudah
disadap karena bisa merusak mutu lateks (Pinem dan Yusuf, 2004). Fungisida lain yang
dapat dipakai untuk jamur upas adalah klorotalonil dan thiram. Klorotalonil 3 % b.a. dapat
disemprotkan setiap dua minggu. Klorotalonil dan thiram dapat juga dicampur dengan
bitumen (ter) atau bahan lain yang dipakai sebagai pelumas (Allen, 1994).
Karena pengobatan dengan cara pelumasan sangat lambat, maka ditempuh cara
pengobatan dengan penyemprotan. Alat semprot yang digunakan harus bertangkai panjang
(Pinem dan Yusuf, 2004).
Bila percabangan sudah terkena serangan lanjut (tingkat kortisium

atau

nekator), maka pengendalianya dilakukan dengan cara mengupas kulit yang busuk.
Kemudian, kulit batang yang tersisa dilumaskan dengan Calixin RM secukupnya (Pinem
dan Yusuf, 2004).
Percabangan yang mati sebaiknya dipotong pada musim kering saat penyakit ini
tidak aktif. Bekas potongan diolesi izal 5 % kemudian ditutup ter. Sedangkan potonganpotongan cabang disingkirkan dan dimusnahkan

(Pinem dan Yusuf, 2004).

Universitas Sumatera Utara

23
Untuk mengurangi bahan kimia yang berbahaya yang ada pada fungisida kimia
seperti sulfat tembaga, yang berbahaya pada kesehatan maka digunakan pengendalian secara
alami dengan menggunakan fungisida alami salah satunya yang ingin dicoba adalah
chitosan, salah satu bahan alami yang telah direkomendasikan sebagai elicitor resistensi
pada produk pasca panen

(Wilson et al., 1994). Yang dihasilkan dari proses deasetilasi

chitin cangkang kepiting atau eksokleleton udang (Wilson and Ell Ghaouth, 1993). Chitosan
melindungi buah dan sayuran melalui dua mekanisme: fisik dan kimiawi. Secara fisik,
chitosan membentuk lapisan film yang membungkus permukaan produk dan mengatur
pertukaran gas dan kelembaban. Secara kimiawi, chitosan bersifat fungisidal dan
merangsang respon resistensi pasca panen pada jaringan tanaman aktifitas antifugal dan
merangsang ketahanan dari chitosan menjanjikan kemungkinan yang baik untuk
pengendalian penyakit tanaman (Pamekas, 2007).

2.Chitosan
chitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Perancis, Ojier, pada tahun 1823.
Ojier meneliti chitosan hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting,
dan serangga (Luthfi, 2006).

chitosan

merupakan

produk turunan dari polymer chitin, yakni produk limbah dari pengolahan industri
perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen
dari total berat udang. chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya
terletak pada gugus rantai C-2 (Bima, 2006).
Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut
dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut
chitosan yang baik adalah asam asetat. chitosan mempunyai muatan positif yang kuat, yang

Universitas Sumatera Utara

24
dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, gugus amino menjadikan chitosan
bermuatan positif kuat dapat mengikat lemak dan protein, serta tidak mudah mengalami
degradasi secara biologis dan tidak beracun (Bima, 2006).
Chitosan mengandung enzim -1.3 glukanase yang dapat menyebabkan penurunan
jumlah kitin pada dinding hifa cendawan sehingga dapat mengurangi pertumbuhan koloni
jamur (El Ghaouth et al.,1992).
Proses pembuatan chitosan pertama-tama kulit udang atau kepiting dicuci dengan
larutan alkali encer untuk menghilangkan protein (deproteinisasi). Selanjutnya bahan dicuci
dengan larutan asam hidroklorik encer untuk menghilangkan kerak kapur (demineralisasi).
Proses deproteinisasi dan demineralisasi usai, yang tersisa adalah zat kerak (crust) (Bima,
2006).
Chitosan ternyata digunakan untuk kesehatan untuk penyakit diabetes dan hipertensi.
Ternyata di dalam zat kerak udang terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh
manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh, zat ini juga mempunyai
muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu,
zat ini tidak mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Linawati,
2008).
Pada penyakit di tanaman chitosan bersifat fungisidal dan merangsang resistensi dari
jaringan tanaman. Aktifitas antifugal dan rangsangan ketahanan dari chitosan menjanjikan
kemungkinan yang baik untuk perlindungan tanaman (Pamekas, 2007).
Fungsi fungisidal pada chitosan yang ada pada ekstrak cangkang udang sebagaimana
yang pernah dilaporkan oleh El Ghaouth et al. (1992), pada pathogen R. stolonifer dan B.
cinerea, dengan menghambat proliferasi

B. cinerea, mengurangi degradasi komponen

Universitas Sumatera Utara

25
dinding sel inang serta menyebabkan kerusakan sel cendawan. Pemeberian chitosan akan
menghambat pertumbuhan hifa cendawan patogen dengan adanya aktifitas dari enzim-enzim
chitinase, glukanase, serta senyawa antifugal yang lain yang didukung oleh chitosan
(Hadwiger et al.,1989)

Chitosan

juga

dijadikan pengawet makanan. Mekanisme yang dilakukan yaitu chitosan ini melapisi bahan
yang diawetkan (menyelubungi), sehingga bahan itu terhindar dari kontaminasi luar
(Anonimous, 2006)

Bubuk
Chitosan

Gambar 5. Bubuk Chitosan


(Sumber : Foto langsung)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai