jamur
upas
( Pink disease )
disebabkan
oleh
jamur
banyak dikenal
dengan nama Corticium salmonicolor (B. et Br). Oleh Burdsall (1985) jamur juga disebut
Erythricium salmonicolor (B et Br.) Burdsall. (Tjokrosoedarmo,1983 ).
Jamur ini di klasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Basidiomycota
Kelas
: Basidiomycetes
Ordo
: Stereales
Famili
: Corticiaceae
Genus
: Upasia
Spesies
17
telah mati karena serangan cendawan ini. Bintil-bintil tersebut merupakan tubuh buah
cendawan (Riyaldi, 2004).
Pada Stadium teleomorf (III) yang berwarna merah jambu, jamur upas membentuk
lapisan himenium yang mengandung banyak basidium berbentuk gada. Basidiospora tidak
berwarna, berbentuk buah per (pyriform) dengan ujung runcing, 9-12 x 6-7 m, sterigma
panjang 4-5 m. Pada bagian cabang yang tidak terlindung, kebanyakan pada sisi atas,
stadium rumah laba-laba (I) akan berkembang menjadi stadium bongkol (IV), yang akhirnya
membentuk sporodokium merah, disebut stadium anamorf (V). Sporodokium tadi
membentuk spora yang lain, yaitu konidium (Semangun, 2000). Sporodokium pada stadium
anamorf (V) berwarna merah bata sampai merah tua, 0.5-1.5 mm, menghasilkan konidium
berbentuk jorong tidak teratur, dan ukuranya tidak tertentu
Stadium anamorf
(Semangun, 2000).
jamur upas ini dahulu dikira jamur lain yang diberi nama
Konidia
18
Konidia berkecanbah
Gambar 2.a. (A) Himenium pada stadium teleomorf. (B) Sporodokium pada stadium
anamorf. (C) konidia yang berkecambah.
Sumber : a. Tjokrosoedarmo (1983) dalam Semangun (2000)
19
A
20
B
21
Kebun yang terletak pada tempat yang lebih tinggi dari 300 m dpl mendapat
serangan jamur yang lebih berat, dibandingkan dengan kebunkebun yang terletak di tempat
yang lebih rendah. Hal ini karena Jamur upas kurang terdapat di kebun karet di tanah
alluvial dekat pantai yang mempunyai kelembapan rendah. Mungkin ini disebabkan karena
adanya pertukaran udara yang baik (Semangun, 2000).
22
kelembapan tinggi). Di daerah ini hendaknya ditanami klon yang tahan, misalnya AVROS
2037. Untuk mencegah terjadinya kelembaban yang tinggi sebaiknya jarak tanam dibuat
tidak terlalu rapat (Pinem dan Yusuf, 2004).
Pengobatan harus dilaksanakan seawal mungkin, yaitu pada saat terlihat gejala awal
atau tingkat sarang laba-laba. Pengobatan untuk tanaman sakit dilakukan dengan
melumaskan fungisida tridemorf (Calixin 5 %) dalam lateks pekat (60 % kadar karet
kering). Calixin RM (ready mixed), Dowco 262 atau bubur bordo pada bagian yang terkena
serangan hingga 30 cm ke atas dan kebawahnya. Namun, pelumas ini juga tergantung pada
berat ringannya serangan. Bubur bordo tidak dibenarkan diberikan pada tanaman yang sudah
disadap karena bisa merusak mutu lateks (Pinem dan Yusuf, 2004). Fungisida lain yang
dapat dipakai untuk jamur upas adalah klorotalonil dan thiram. Klorotalonil 3 % b.a. dapat
disemprotkan setiap dua minggu. Klorotalonil dan thiram dapat juga dicampur dengan
bitumen (ter) atau bahan lain yang dipakai sebagai pelumas (Allen, 1994).
Karena pengobatan dengan cara pelumasan sangat lambat, maka ditempuh cara
pengobatan dengan penyemprotan. Alat semprot yang digunakan harus bertangkai panjang
(Pinem dan Yusuf, 2004).
Bila percabangan sudah terkena serangan lanjut (tingkat kortisium
atau
nekator), maka pengendalianya dilakukan dengan cara mengupas kulit yang busuk.
Kemudian, kulit batang yang tersisa dilumaskan dengan Calixin RM secukupnya (Pinem
dan Yusuf, 2004).
Percabangan yang mati sebaiknya dipotong pada musim kering saat penyakit ini
tidak aktif. Bekas potongan diolesi izal 5 % kemudian ditutup ter. Sedangkan potonganpotongan cabang disingkirkan dan dimusnahkan
23
Untuk mengurangi bahan kimia yang berbahaya yang ada pada fungisida kimia
seperti sulfat tembaga, yang berbahaya pada kesehatan maka digunakan pengendalian secara
alami dengan menggunakan fungisida alami salah satunya yang ingin dicoba adalah
chitosan, salah satu bahan alami yang telah direkomendasikan sebagai elicitor resistensi
pada produk pasca panen
chitin cangkang kepiting atau eksokleleton udang (Wilson and Ell Ghaouth, 1993). Chitosan
melindungi buah dan sayuran melalui dua mekanisme: fisik dan kimiawi. Secara fisik,
chitosan membentuk lapisan film yang membungkus permukaan produk dan mengatur
pertukaran gas dan kelembaban. Secara kimiawi, chitosan bersifat fungisidal dan
merangsang respon resistensi pasca panen pada jaringan tanaman aktifitas antifugal dan
merangsang ketahanan dari chitosan menjanjikan kemungkinan yang baik untuk
pengendalian penyakit tanaman (Pamekas, 2007).
2.Chitosan
chitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Perancis, Ojier, pada tahun 1823.
Ojier meneliti chitosan hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting,
dan serangga (Luthfi, 2006).
chitosan
merupakan
produk turunan dari polymer chitin, yakni produk limbah dari pengolahan industri
perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen
dari total berat udang. chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya
terletak pada gugus rantai C-2 (Bima, 2006).
Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut
dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut
chitosan yang baik adalah asam asetat. chitosan mempunyai muatan positif yang kuat, yang
24
dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, gugus amino menjadikan chitosan
bermuatan positif kuat dapat mengikat lemak dan protein, serta tidak mudah mengalami
degradasi secara biologis dan tidak beracun (Bima, 2006).
Chitosan mengandung enzim -1.3 glukanase yang dapat menyebabkan penurunan
jumlah kitin pada dinding hifa cendawan sehingga dapat mengurangi pertumbuhan koloni
jamur (El Ghaouth et al.,1992).
Proses pembuatan chitosan pertama-tama kulit udang atau kepiting dicuci dengan
larutan alkali encer untuk menghilangkan protein (deproteinisasi). Selanjutnya bahan dicuci
dengan larutan asam hidroklorik encer untuk menghilangkan kerak kapur (demineralisasi).
Proses deproteinisasi dan demineralisasi usai, yang tersisa adalah zat kerak (crust) (Bima,
2006).
Chitosan ternyata digunakan untuk kesehatan untuk penyakit diabetes dan hipertensi.
Ternyata di dalam zat kerak udang terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh
manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh, zat ini juga mempunyai
muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu,
zat ini tidak mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Linawati,
2008).
Pada penyakit di tanaman chitosan bersifat fungisidal dan merangsang resistensi dari
jaringan tanaman. Aktifitas antifugal dan rangsangan ketahanan dari chitosan menjanjikan
kemungkinan yang baik untuk perlindungan tanaman (Pamekas, 2007).
Fungsi fungisidal pada chitosan yang ada pada ekstrak cangkang udang sebagaimana
yang pernah dilaporkan oleh El Ghaouth et al. (1992), pada pathogen R. stolonifer dan B.
cinerea, dengan menghambat proliferasi
25
dinding sel inang serta menyebabkan kerusakan sel cendawan. Pemeberian chitosan akan
menghambat pertumbuhan hifa cendawan patogen dengan adanya aktifitas dari enzim-enzim
chitinase, glukanase, serta senyawa antifugal yang lain yang didukung oleh chitosan
(Hadwiger et al.,1989)
Chitosan
juga
dijadikan pengawet makanan. Mekanisme yang dilakukan yaitu chitosan ini melapisi bahan
yang diawetkan (menyelubungi), sehingga bahan itu terhindar dari kontaminasi luar
(Anonimous, 2006)
Bubuk
Chitosan