Anda di halaman 1dari 11

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kubis (Brassica oleracea L.) termasuk ke dalam tanaman sayuran
hortikultura famili Brassicaceae (kubis-kubisan). Tanaman ini memiliki nilai
ekonomis yang sangat tinggi dan mudah dijumpai di pasaran. Kubis memiliki
kandungan gizi yang tinggi, seperti karbohidrat, protein, mineral, vitamin (A dan
C), dan antioksidan sulforaphane yang bermanfaat dalam mencegah kanker.
Kebutuhan masyarakat terhadap kubis akan terus meningkat seiring dengan
penambahan jumlah penduduk dan daya belinya, apalagi sayuran kubis banyak
dimanfaatkan untuk berbagai hidangan kuliner yang ada di Indonesia. Namun,
dalam proses budidaya banyak kendala yang mempengaruhi produksi tanaman
kubis itu sendiri. Salah satu kendalanya ialah meningkatnya serangan penyakit
pada pertanaman kubis, terutama saat pasca panen. Untuk itulah perlu
diaplikasikan cara-cara pengendalian penyakit pasca panen agar komoditas kubis
agar dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Berbagai alternatif
pengendalian penyakit pasca panen pada komoditas kubis dikembangkan secara
intensif di negara-negara maju untuk mengurangi efek negatif yang ditimbulkan
oleh pestisida berbahan kimia.
Secara umum, banyak faktor yang bisa menyebabkan kehilangan produk
hasil pasca panen dari suatu komoditas dan dapat mengakibatkan kerugian yang
cukup besar. Penanganan pasca panen selama proses penyimpanan yang baik akan
dapat mengurangi kerugian tersebut. Selain itu, pengetahuan tentang sifat patogen
dan pengaruh kondisi lingkungan, terutama pada ruang penyimpanan, sangat
diperlukan untuk dapat menentukan tindakan pencegahan ataupun pengendalian
yang tepat.
Kemudian kehilangan hasil saat pasca panen, baik secara kualitatif maupun
kualitatif, dan dalam banyak bentuk, terutama disebabkan oleh agensia hayati,
yaitu jamur dan bakteri patogen. Infeksidari patogen pasca panen kemungkinan
besar dapat dimulai sejak produk pasca panen komoditas kubis masih berada di
lahan sebelum dipanen atau selama periode pasca panen. Bahkan dari persentase
infeksi yang secara relatif kecil dapat menyebabkan kehilangan produk yang
besar, dan mengakibatkan kerugian yang relatif besar.
2

Selain itu, beberapa produk pasca panen yang mudah rusak dapat diperkecil
kehilangan pasca panennya dengan cara pemrosesan, seperti misalnya
pengeringan, pembekuan, atau pengalengan. Akan tetapi, umumnya produk hasil
panen buah dan sayur (terutama kubis) mempunyai masa hidup yang relatif
pendek. Oleh karenanya, perlu dilakukan penanganan pasca panen dengan cepat
dan tepat, dan hal ini akan membutuhkan tambahan biaya, yang nantinya tentu
saja mampu meningkatkan nilai jual produk tersebut.
Penyakit yang menyerang hasil panen dari komoditas kubis, tidak hanya
berasal dari patogen biotik melainkan juga dapat disebabkan oleh patogen abiotik,
yaitu salah satunya akibat pengaruh suhu ekstrem. Beberapa produk pasca panen,
khususnya yang berasal dari daerah tropika, sangat peka terhadap pengaruh suhu
simpan. Suhu yang terlalu rendah akan dapat merusak produk pasca panen yang
disimpan.
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit pasca panen yang
menyerang komoditas kubis, maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut supaya
dapat membantu dalam meminimalisasi kerugian selama masa penyimpanan
maupun setelah dikeluarkan dari gudang penyimpanan yang disebabkan oleh
infeksi patogen pasca panen tersebut. Berat atau ringannya penyakit dapat
diklasifikasikan dalam tiga kriteria utama, yaitu insidensi penyakit
(diseasesinsident), severitas penyakit (diseasesinsident), dan kehilangan hasil
panen (croploss). Kehilangan hasil panen dapat dilakukan dengan cara mengukur
insidensi penyakit dan intensitas penyakit pada tanaman. Kerugian yang
ditimbulkan dari penyakit pasca panen kubis sangat besar nilainya. Terkadang
serangannya sangat hebat sehingga terjadi gagal panen. Oleh sebab itu, diperlukan
pengetahuan lebih lanjut terkait penyakit - penyakit pasca panen pada kubis
sehingga dapat meminimalkan serangan penyakit dan komoditas tersebut masih
segar saat sampai ke tangan konsumen. Untuk mengetahui tentang penyakit-
penyakit yang biasa menyerang komoditas kubis saat pasca panen akan dibahas
lebih lanjut pada makalah ini.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui penyakit-penyakit yang menyerang komoditas kubis saat
pasca panen dan solusi untuk mengendalikan penyakit tersebut.
2. PEMBAHASAN

2.1 Tanaman Kubis


Kubis biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai kol. Berdasarkan tata
nama (sistematika) botani, kubis diklasifikasikan sebagai berikut; kerajaan
Plantae (tumbuhan), divisi Magnoliophyta (Spermatophyta), kelas
Magnoliophyta (Dicotyledonae/berkeping dua), bangsa Brassicales (Rhoeadales),
suku Brassicaceae (Cruciferae), marga Brassica, Jenis Brassica oleracea L.
(Samingan, 1980).
Tanaman kubis merupakan tanaman herba dengan Sistem perakaran
tanaman kubis relatif dangkal, yakni menembus pada kedalaman tanah antara 20
30 cm. Batang tanaman kubis umumnya pendek dan banyak mengandung air
(herbaceous). Di sekeliling batang hingga titik tumbuh terdapat helai daun yang
bertangkai pendek. Tingginya dapat mencapai 30 cm, berbatang pendek, berdaun
tunggal yang bentuknya bulat sampai lonjong, tidak bertangkai daun atau tipe
daun duduk. Letak daun tersusun melingkari batang sedemikian rupa sehingga
batang seolah-olah beruas. Tulang daun menyirip, warna daun hijau keputihan
sampai hijau gelap. Kubis mempunyai bunga sempurna yakni tiap bunga
mempunyai putik dan benang sari (hemaproditus). Tanaman bersifat menyerbuk
silang dan penyerbukan terjadi dengan bantuan lebah madu atau lalat hijau
(Leatemia, 1987).
2.2 Macam penyakit pasca panen pada tanaman kubis
1. Penyakit busuk basah atau busuk lunak
Busuk basah atau busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang merugikan
pada tanaman sayuran, termasuk kubis dan kerabatnya, baik di lapangan
maupun di dalam penyimpanan serta pengangkutan sebagai penyakit
pascapanen (Semangun 1989; Djatnika 1993). Penyakit ini tersebar umum di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Busuk basah merupakan penyakit yang
penting di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
a. Penyebab penyakit
Busuk lunak disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora yang
merupakan bakteri berbentuk batang, bersifat gram negatif, umumnya
berbentuk rantai, tidak berkapsul dan tidak berspora, dapat bergerak aktif
4

dengan 2-5 flagella (Permadi, 1993). Ukuran selnya 1,5-2,0 x 0,6-0,9


mikron. Suhu minimum untuk bakteri ini adalah 5oC, optimum 22oC,
maksimum 37oC dan akan mati pada suhu 50oC (Agrios, 2005).
Ciri-ciri yang ditunjukan pada media NA terlihat ciri-cirinya yaitu
koloni berwarna putih susu, berlendir, mengkilat, cembung dan tampak rata.
(Addy, 2007).

Gambar 1. Penampakan Mikroskopis Erwinia carotovora pada Media (Mandang,


2016).
b. Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit
Menurut Semangun (1989), bakteri E. carotovora dapat menyerang
bermacam-macam tanaman hortikultura. Bakteri ini juga dapat
mempertahankan diri di dalam tanah dan di dalam sisa-sisa tanaman di
lapangan. Pada umumnya, infeksi terjadi melalui luka atau lentisel. Infeksi
dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat
pertanian. Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.) dapat menularkan
bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri di
dalam tubuhnya (Semangun 1989). Di dalam simpanan dan pengangkutan,
infeksi terjadi melalui luka karena gesekan dan sentuhan antara bagian
tanaman yang sehat dengan yang sakit.
Pembusukan karena serangan penyakit ini berlangsung dengan cepat
dalam udara yang lembab dan pada suhu yang relatif tinggi. Dalam
lingkungan demikian, dalam waktu singkat seluruh bagian tanaman yang
terinfeksi membusuk, sehingga mati. Menurut Semangun (1989), kerugian
yang ditimbulkan oleh serangan penyakit ini pada tanaman di dataran
rendah lebih besar daripada di dataran tinggi.
5

c. Gejala penyakit dan akibat serangan


Gejala awal yang mucul pada tanaman berupa lesio gejala basah yang
kecil dan diameter serta kedalamannya melebar secara cepat. Bagian
tanaman yang terkena menjadi lunak dan berubah warna menjadi gelap
apabila serangan terus berlanjut. Warna pada permukaannya menjadi hijau
pucat dan mengkerut. Pada jaringan yang terinfeksi akan berwarna buram
dan kemudian akan berubah menjadi krem dan berlendir (gambar 2). Jika
hal ini terjadi, maka pada permukaan akan tampak cairan berwarna keruh.
Perkembangan penyakit hingga tanaman membusuk hanya butuh waktu 3-5
hari. Tanaman yang terkena busuk lunak kemudian menimbulkan bau yang
khas yang dimungkinkan oleh adanya perkembangan organisme lain setelah
pembusukan terjadi (Agrios, 2005).

Gambar 2. Gejala serangan busuk basah pada kubis (Permadi, 1993).


d. Pengendalian
Menurut semangun (1991) pengendalian terhadap busuk basah ini
antara lain :
1. Sanitasi, yaitu menjaga kebersihan lahan kebun dari sisa-sisa tanamn sakit
sebelum penanaman.
2. Menanam dengan jarak yang tidak terlalu rapat untuk menghindari
kelembaban yang terlalu tinggi, terutama di musim penghujan.
6

3. Pada waktu penyiangan tanaman sejauh mungkin dihindari terjadinya luka


mengenai tanaman kubis.

2. Busuk hitam
Penyakit busuk hitam (bahasa Inggris : black rot) atau busuk coklat atau
bakteri hawar daun atau bakteriosis (Djatnika 1993) merupakan penyakit
penting di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia (Semangun 1989). Di
Indonesia, daerah pencar penyakit ini adalah di Pulau Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi. Tanaman kubis dan hampir semua anggota familia Cruciferae dapat
menjadi tumbuhan inang X. campestris pv. campestris (Semangun 1989).
a. Penyebab penyakit
Penyebab penyakit busuk hitam adalah bakteri Xanthomonas
campestris pv. campestris (Pamm.). Pada waktu ini masih lebih banyak
dikenal sebagai Xanthomonas campestris (Pamm.). Dowson (Semangun
1989). Bakteri ini mempunyai banyak sinonim, yaitu Bacillus campestris
Pamm., Pseudomonas campestris (Pamm.) E.F. Sm., Bacterium campestre
(Pamm.) Chester, dan Phytomonas campestris (Pamm.) Bergey et al.
Bakteri ini berbentuk batang, berukuran (0,7-3,0) m x (0,4-0,5) m,
membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, dan bergerak dengan satu
flagelum polar.
b. Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit
Menurut Semangun (1989), bakteri ini mempertahankan diri dari
musim ke musim pada biji-biji kubis, dalam tanah, pada tumbuhan inang
lain, atau dalam sisa-sisa tanaman sakit. Bakteri ini masuk ke dalam
tanaman kubis melalui pori air (hidatoda, emisaria) yang terdapat pada
ujung-ujung berkas pembuluh di tepi-tepi daun. Bakteri ini terbawa masuk
bersama-sama air gutasi yang terisap kembali ke dalam pembuluh melalui
piri air pada pagi hari. Infeksi melalui mulut kulit jarang terjadi.
c. Gejala penyakit dan akibat serangan
Menurut Semangun (1989), gejala serangan X. campestris pv.
campestris pada tanaman kubis adalah mula-mula terdapat daerah-daerah
yang berwarna kuning dan pucat di tepi-tepi daun, kemudian meluas ke
7

bagian tengah. Di daerah ini tulang-tulang daun berwarna coklat tua atau
hitam. Pada tanaman kubis dewasa, gejala khas yang terserang X.
campestris pv. campestris ialah adanya bercak kuning yang menyerupai
huruf V di sepanjang pinggir daun mengarah ke tengah daun (Djatnika
1993). Pada serangan yang berat, seluruh daun menguning dan mudah luruh
(gugur) sebelum waktunya (Gambar 2).

Gambar 3. Gejala visual serangan penyakit busuk hitam pada tanaman


kubis (Foto : Tonny K. Moekasan).
Menurut Semangun (1989), pada tingkatan yang telah lanjut, penyakit
ini meluas terus melalui tulang-tulang daun dan masuk ke dalam batang.
Pada penampang melintang tulang daun atau batang yang sakit tampak
berkas pembuluh yang berwarna gelap. Jaringan helaian daun yang sakit
mengering, menjadi seperti selaput, dengan tulang-tulang daun berwarna
hitam. Umumnya penyakit menyerang mulai dari daun- daun bawah dan
dapat menyebabkan gugurnya daun satu per satu. Penyakit ini dapat
menyebabkan busuk kering, yang dalam keadaan lembab karena serangan
jasad sekunder, dapat berubah menjadi busuk basah yang mengeluarkan bau
tidak sedap.

d. Pengendalian
8

Ada beberapa alternatif pengendalian yang dapat dilaksanakan secara


terpadu untuk menekan serangan penyakit busuk hitam yaitu :
1. Menanam varietas yang tahan (resisten).
2. Perlakuan benih dengan merendam ke dalam air panas dengan suhu 50 oC
selama 15 -30 menit.
3. Persemaian ditempat yang sudah dilakukan sterilisasi.
4. Rotasi tanaman selama kurang lebih 3 tahun dengan tanaman yang tidak
sejenis/sefamili (dengan sistem ini, siklus hidup patogen dapat terputus
karena patogen kehilangan tanaman inangnya selama beberapa musim
tanam.
5. Penyemprotan dengan menggunakan fungisida yang dianjurkan.

2.3 Review Jurnal


Efektivitas Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Pseudomonas
fluorescens dalam Menghambat Perkembangan Busuk Lunak pada Kubis
Bunga (Brassica oleraceavar. botrytis L). (Mandang, Assa, dan Sualang, 2016)
Kubis bunga merupakan salah satu sayuran yang memiliki prospek
pengembangan karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Permintaannya
semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal tersebut
dikarenakan kubis bunga memiliki kandungan zat gizi yang lengkap dan tinggi
nilainya. Tanaman kubis bunga termasuk tanaman yang dibudidayakan di dataran
tinggi dengan pertumbuhan vegetatif membutuhkan suhu antara 15-20C dan
kelembaban 80-90 %, sedangkan pertumbuhan bunga meningkat pada suhu 17-
18C.
Banyak petani yang mengalami kerugian karena berkurangnya hasil
produksi dari tanaman kubis bunga. Salah satu penyakit utama pada tanaman
kubis adalah busuk lunak. Serangan yang hebat pada busuk lunak, dapat
menyebabkan gagal panen. Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan dalam
jangka waktu lama, berdampak buruk bagi lingkungan dan menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia. Salah satu strategi pengendalian yang
disebabkan oleh Erwinia carotovora dengan menggunakan mikroorganisme
antagonis seperti Plant Growthm Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan
Pseudomonas fluorecens yang telah teruji aman terhadap lingkungan dan
9

kesehatan karena tidak menimbulkan residu yang membahayakan.


Tempat penelitian ditetapkan pada areal pertanaman kubis bunga yang
berumur tiga minggu setelah tanam. Pengamatan dilakukan setiap minggu
sebanyak enam kali. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan
empat perlakukan dan enam ulangan. Perlakukan yang digunakan, yaitu: Kontrol,
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), P. fluorescens dan Kombinasi
PGPR dan P. fluorescens Masing-masing perlakuan terdapat 30 tanaman dan
dalam masing-masing ulangan terdapat 5 tanaman. Umur tanaman yang diberi
perlakuan 3 minggu setelah tanam. Perlakuan dilakukan dua kali pada fase
vegetatif dan dua kali pada vase generatif. Pemberian PGPR dan P. fluorescens
pada tanaman kubis bunga dengan dosis 10 cc per liter air dengan cara
penyiraman dan penyemprotan. Interval pengamatan dilaksanakan setiap minggu.
PGPR dan P. fluorescens diambil dari BPTPH Provinsi Sulawesi Utara.
Pengaruh pemberian perlakuan yaitu kombinasi dari PGPR dan P.
fluorescens lebih efektif karena menunjukan pengaruh yang nyata signifikan
secara statistik dibandingkan dengan pemberian PGPR atau P.fluorescens yang
tidak menunjukan perbedaan yang nyata jika diaplikasikan secara tunggal. Hasil
isolasi dan menunjukkan bahwa bakteri penyebab penyakit busuk basah pada
tanaman kubis bunga di kota Tomohon disebabkan oleh bakteri Erwinia
carotovora terlihat dari ciri-cirinya yaitu koloni berwarna berwarna putih susu,
berlendir, mengkilat, cembung dan tampak rata.

3. KESIMPULAN
3.1 Kesimupulan
10

1. Kubis merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki nilai


ekonomis tinggi di Indonesia, hal ini dikarenakan tanaman kubis banyak
digunakan sebagai bahan baku kuliner indonesia.

2. Masyarakat umumnya mengkonsumsi bagian daun dari kubis yang


bertipe daun duduk, sehingga standarisasi konsumen terhadap kubis cukup
tinggi.

3. Penyakit pasca panen kubis biasanya disebabkan oleh bakteri diantaranya


adalah busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora dan busuk
hitam yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris. Patogen ini sangat
cepat berkembang dan kubis dapat terserang mulai dari musim tanam
hingga terbawa dalam proses pengangkutan bahkan penyimpanan yang
berdampak pada kualitas dan penurunan kuantitas hasil panen.

3.2 Saran
1. Menjaga kondisi tanaman tetap sehat, dapat mengaplikasikan PGPR
sebelum tanam agar terbentuk sistem ketahanan tanaman terhadap berbagai
macam patogen yang menyerang.
2. Menjaga kelembapan tanaman baik dilahan pertanian maupun
lingkungan di gudang penyimpanan.
3. Perlunya sanitasi alat pertanian dan alat pengangkutan yang digunakan
agar patogen yang menyerang tidak mudah menyebar.
4. Diusahakan ketika proses panen menghindari luka pada kubis untuk
mencegah patogen melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman kubis.

DAFTAR PUSTAKA
Addy, H.S. 2007. Pengaruh sumber mineral terhadap penekanan Erwinia
carotovora oleh pseudomonas pendar-fluor secara in vitro. J. Hama dan
Penyakit Tumbuhan Troprika 7(2):117-124.
Agrios, G. W. 2005. Plant Pathology Fourth Edition. New York: Academik Press.
11

Djatnika, I. 1993. Penyakit-penyakit tanaman kubis dan cara pengendalian. Dalam


A.H. Permadi & S. Sastrosiswojo (Penyunting). Kubis. Edisi Pertama : 51-
61. Kerjasama Balithort Lembang dengan Program Nasional PHT,
BAPPENAS.
Leatemia, J. A. 1987. Pengamatan Penyakit Pada Tanaman Kubis (Brassica
oleracea var. capitata L.) di Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Laporan Praktek Lapang. Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. p 45.
Mandang, R., B. H. Assa, D. S. Sualang. 2016. Efektivitas Plant Growth
Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Pseudomonas fluorescens dalam
Menghambat Perkembangan Busuk Lunak pada Kubis Bunga (Brassica
oleraceavar. botrytis L). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Permadi, A. H. dan S. sastrosiswojo.1993. Kubis. Kejasama antara Badan
Penellitian dan Perkembangan Pertanian. Lembang: Balai Penelitian
Holtikultura.
Samingan, M. T. 1980. Dunia Tumbuhan 1. Bagian Ekologi, Depatemen Biologi,
Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. p 93.
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. p 850.

Anda mungkin juga menyukai