Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENTINGNYA PENGELOLAAN PENYAKIT UNTUK PENJAMINAN


PRODUKTIVITAS TINGGI YANG BERKELANJUTAN

Disusun oleh:
Alifa Putri Avreliany (22/503148/PN/17981)
Afifah Rizqina Erda Sahilla (22/504411/PN/18078)
Hepy Handayani (22/506062/PN/18209)
Yhogi Adi Jaya (22/503058/PN/17978)

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh makhluk hidup dapat terserang penyakit, bukan hanya manusia saja.
Penyakit adalah kondisi abnormal pada tubuh akibat gejala atau tanda yang
menyebabkan terganggunya fungsi tubuh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
Pengertian penyakit yang terjadi pada makhluk hidup khususnya tumbuhan yaitu
penyimpangan fisiologis atau sel-sel tidak berfungsi secara normal yang disebabkan
oleh patogen atau faktor lingkungan. Patogen sendiri merupakan organisme pembawa
penyakit. Terserangnya penyakit pada tanaman akan berdampak bagi kelangsungan
hidup tanaman baik dampak kecil maupun dampak besar yang bisa menyebabkan
kematian pada tanaman. Jika tanaman terserang penyakit, dalam pembudidayaan
tanaman tentu akan berdampak pada keberlanjutan produktivitas baik tanaman pangan,
hortikultura, tanaman perkebunan dan lain sebagainya. Hal itu tentu juga akan
berpengaruh pada aspek ekonomi karena tanaman yang biasa diperjualbelikan akan
menurun peminatnya jika kuantitas dan kualitasnya diragukan akibat terserang
penyakit.
Pengelolaan penyakit memegang peranan besar bagi produktivitas tanaman dari
segala komoditas demi tercapainya budidaya tanaman yang berkelanjutan. Oleh karena
itu, makalah ini disusun agar mengetahui solusi yang paling rendah tingkat
kerugiannya pada pengelolaan penyakit tanaman. Penting untuk mengetahui jenis-jenis
penyakit yang menyerang pada suatu komoditas agar dapat dengan mudah mencari
solusinya. Selain itu, dampak dan gejala yang timbul akibat serangan penyakit pada
tanaman juga akan dibahas agar solusi yang diberikan sesuai dengan jenis penyakit
yang dilihat dari gejala tersebut.
B. Tujuan

Adapun tujuan yang melatarbelakangi penulisan makalah ini sebagai berikut :

1. Mengetahui berbagai macam penyakit serta pengaruhnya bagi produktivitas


pertanian yang berkelanjutan.
2. Mengetahui upaya pengelolaan penyakit agar terciptanya produktivitas
pertanian yang berkelanjutan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyakit Pada Pertanian di Indonesia

Negara Indonesia merupakan negara agraris karena memiliki lahan


pertanian yang begitu luas. Luas lahan sawah di Indonesia mencapai 8,19 juta
Ha. dengan potensi pertanian yang besar, banyak masyarakat Indonesia yang
menggantungkan hidupnya pada pertanian. Masing-masing daerah memiliki
potensi pertanian yang berbeda. Dengan adanya keberagaman potensi ini justru
mendukung Indonesia menjadi negara yang kaya akan sumber daya alam nya.
Iklim yang dimiliki Indonesia juga sangat mendukung kemajuan pertanian.

Terlepas dari potensi tersebut, ada beberapa kendala yang menghambat


usaha memajukan pertanian. Untuk mencapai pertanian unggul, ada beberapa
masalah yang harus diatasi di bidang pertanian, yaitu organisme pengganggu
tanaman (OPT). OPT sendiri merupakan faktor pembatas produksi tanaman di
Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. OPT sendiri
dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu hama, hulma, dan penyakit.
Tetapi pada dasarnya penyakit tidak akan ada jika tiga faktor penyakit tidak
terpenuhi. Tiga faktor tersebut antara lain patogen, lingkungan, serta inang
(tanaman) itu sendiri. Selama lingkungan (biotik dan abiotik) terjaga, inang
dalam keadaan sehat (tidak rentan) maka OPT dapat dicegah karena daya
infeksi OPT akan menurun.

1. Penyakit pada Tanaman Cabai

Tanaman cabai rentan terserang penyakit jika kondisi lingkungan pada


saat masa penanaman tidak mendukung. Kondisi iklim di Indonesia yaitu iklim
tropis juga mempengaruhi intensitas serangan penyakit pada tanaman terutama
cabai karena lahan cenderung lembab. Selain itu, akhir-akhir ini terjadi
perubahan iklim yang mana terjadi musim kemarau basah. Hal itu tentu
merugikan bagi petani cabai karena hampir tidak mendapatkan waktu yang
cocok untuk membudidayakan tanaman cabai padahal konsumsi cabai di
Indonesia sendiri terbilang relatif besar. Umumnya penyakit pada tanaman
cabai disebabkan oleh fungi, namun beberapa penyakit juga disebabkan oleh
bakteri atau virus. Terdapat beberapa jenis penyakit yang menyerang tanaman
cabai sebagai berikut :

1.1. Antraknosa atau penyakit busuk buah (Colletotrichum


gloeosporioides)

Ledakan penyakit ini sangat sering ditemukan terutama saat musim


hujan tiba. Pada tanaman cabai yang terserang penyakit ini, muncul
gejala awal seperti adanya bercak mengkilap pada buah, muncul bercak
orange, coklat hingga kehitaman. Bercak berwarna hitam adalah
struktur fungi (mikro skelerotia dan acervulus), sedangkan bercak
berwarna orange menandakan lembabnya kondisi lingkungan. Menurut
Meilin (2014), luka akibat bercak pada penyakit antraknosa ini dapat
melebar dan membentuk sebuah lingkaran dengan diameter kurang
lebih 30mm, kemudian berubah warna menjadi hitam sebelum akhirnya
mengalami pembusukan.
Patogen berupa fungi pada penyakit antraknosa terbawa oleh
benih dan dapat bertahan pada suhu kurang lebih 20-24 derajat.
Penyakit ini penyebarannya melalui percikan air seperti air hujan. Fungi
ini sangat mudah dan cepat dalam penyebarannya seperti pada tangan
sehabis menyentuh tanaman yang terkena penyakit, jika menyentuh
tanaman lain, maka tanaman yang sehat tersebut akan terkontaminasi
penyakit antraknosa. Langkah awal dalam pengendalian penyakit ini
yaitu dengan membersihkan lahan, tanaman atau buah dengan cara
memotong buah atau tanaman yang terserang agar tidak terjadi
penyebaran. Pemilihan benih yang berkualitas juga diperlukan seperti
benih yang tahan terhadap serangan penyakit ini. Perlu dilakukan rotasi
atau pergiliran tanaman agar tidak terjadi ledakan hama. Jika sudah
terdapat beberapa tanaman yang terserang penyakit ini, bisa dilakukan
pengelolaan penyakit dengan cara menggunakan musuh alami fungi
tersebut dan saat penyebaran penyakit ini sudah tidak bisa dikendalikan
sehingga menyebabkan kerugian secara besar-besaran, maka dapat
memilih opsi terakhir yaitu penggunaan fungisida. Penggunaan
fungisida sebagai opsi terakhir diperbolehkan, jika sesuai dosis, tepat
sasaran dan memperhatikan cara penggunaan serta waktu
penggunaannya agar tidak menimbulkan masalah-masalah lain.

1.2. Penyakit Virus Keriting


Penyakit ini menyerang tanaman cabai yang mengakibatkan jumlah
produksi menurun, sehingga para petani cabai mengalami kerugian
secara besar. Virus penyebab penyakit ini ditularkan oleh vektor yaitu
kutu kebul (Bemisia tabacii) atau kutu daun (Aphis gosypii) yang
ditularkan dengan cara pada bagian tanaman yang lunak, vektor akan
menghisap cairan tanaman (Tjahjadi, 1993 cit. Tuhury & Amanupunya,
2013). Menurut Tuhumury (2013), pada tanaman cabai yang terserang
penyakit ini memiliki gejala awal yaitu tanaman berwarna kuning atau
hijau muda mencolok. Gejala selanjutnya yaitu mengeritingnya pucuk
daun dan menumpuk membentuk helaian yang menyempit atau cekung.
Bentuk tanaman secara keseluruhan terlihat lebih kerdil dan tidak
normal.
Penyebaran penyakit virus keriting ini bisa diminimalisir dengan
beberapa cara seperti penggunaan mulsa plastik karena pantulannya
bisa mengurangi keberadaan vektor di lahan tersebut, jarak tanam yang
tidak diperhatikan sehingga tanaman yang telah terinfeksi akan
bersinggungan dengan tanaman yang sehat serta sisa tanaman di lahan
pada penanaman sebelumnya yang tidak dicabut atau dibakar berpotensi
menjadi sumber inokulum dan inang vektor. Selain itu, pengendalian
oleh pestisida yang terlalu sering dengan dosis tidak sesuai aturan juga
akan mempengaruhi resistensi vektor virus keriting tersebut.

2. Penyakit Pada Tanaman Jagung

Jagung termasuk tanaman pangan terbesar ketiga setelah padi dan


terigu. Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik di daerah yang panas
maupun dingin dengan curah hujan dan irigasi yang baik dan cukup. Namun
selama siklus hidupnya jagung sangat peka terserang penyakit sehingga dapat
menurunkan kuantitas dan kualitas pada hasil panen. Penyakit tersebut adalah
hasil dari tiga komponen utama yaitu pathogen, inang, dan lingkungan.
Penyakit yang menyerang tanaman jagung bersifat parasitik (disebabkan oleh
jamur, virus, bakteri, nematoda, mikroorganisme) dan patogenik (disebabkan
oleh kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat untuk tumbuh). Terdapat
beberapa penyakit yang kerap menyerang tanaman jagung:

2.1. Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis)

Bulai merupakan jenis penyakit yang menyerang daun pada


tanaman jagung yang disebabkan oleh jamur patogen
Peronosclerospora maydis, dengan tingkat serangan mencapai 95%.
Penyakit bulai dapat menyerang tanaman jagung berumur 2-3 minggu,
3-5 minggu, dan pada tanaman dewasa (Hamijaya, Asikin, dan Thamrin
2021). Apabila tanaman jagung sudah terkena penyakit bulai maka
produsen dapat terancam kehilangan hasil hingga 100%

Gejala dari penyakit bulai ini ditandai dengan permukaan daun


yang terdapat garis-garis sejajar, tulang daun berwarna putih hingga
kuning diikuti dengan garis-garis kholorotik sampai coklat bila infeksi
tetap berlanjut. Tanaman jagung juga terlihat kerdil dan tidak dapat
berproduksi, tetapi bila masih dapat berproduksi maka hasil infeksi
termasuk lambat dan biji jagung yang dihasilkan sudah terserang
pathogen. Jamur ini menyerang secara sistemik sehingga apabila
pathogen sudah mencapai titik tumbuh maka seluruh daun muda yang
muncul akan mengalami khlorotik dan apabila di bawah permukaan
daun terdapat seperti tepung putih maka spora jamur tersebut akan mati.
Penyakit ini menginfeksi patogen melalui udara. Bulai biasanya
menyerang saat embrio (pada saat biji mulai ditanam) dan masa
vegetatif sehingga sulit untuk memprediksi.

Peronosclerospora maydis dapat dikendalikan dengan cara


menanam varietas jagung tahan bulai seperti Kalingga, Arjuna, Wiyasa,
Bromo, Parikesit dan Hibrida Cl. Tidak menanam jagung dengan benih
yang berasal dari indukan yang sakit. Tanaman jagung secara serempak
pada awal sampai akhir musim kemarau, menanam jagung pada musim
peralihan akan menderita kerugian besar karena bulai. Memberikan
perlakuan benih jagung dengan fungisida sistemik seperti Ridomil 35
SD.

3. Penyakit pada tanaman kopi

Kopi merupakan komoditas perkebunan yang digemari seluruh


masyarakat dan sudah lama dibudidayakan. Terdapat dua jenis kopi yang sangat
umum di kalangan khalayak yaitu Kopi Arabica dan Kopi Robusta. Kopi
arabica lebih digemari oleh masyarakat karena selain kualitas yang baik dan
rasa yang lebih enak. Konsumen kopi arabica dapat mencapai 70% dan kopi
robusta sendiri 26%. Tanaman kopi dapat tumbuh di dataran tinggi (± 1000
mdpl) . Tanaman kopi memiliki waktu tumbuh hingga 3 tahun dari biji hingga
berbunga dan berbuah. Oleh sebab itu, tanaman kopi dapat mudah terserang
penyakit. Berikut adalah penyakit yang dapat menyerang tanaman kopi

3.1 Penyakit Karat Daun Kopi (Hemileia Vastratix)

Penyakit karat daun kopi disebabkan oleh jamur hemileia vastratix


yang dapat menyerang arabica maupun robusta. Penyakit ini sudah
ditemukan sejak tahun 1876 di Indonesia. Penyakit ini dapat menjadi
kerugian bagi petani sebesar 20-70%.

Gejala penyakit ini dapat dilihat pada permukaan atas atau bawah
daun dan ditandai dengan bercak kuning atau jingga seperti bubuk
(powder). Daun yang terinfeksi timbul bercak kekuningan kemudian
akan berubah menjadi coklat. Warna kuning tersebut adalah uredospora
jamur hemileia vastratix yang dimana apabila gejala terus berlanjut
secara terus menerus maka akan menghentikan proses fotosintesis daun
sehingga daun akan layu menguning dan gugur. Penyebab patogen yang
membawa jamur ini adalah lingkungan dan kondisi abiotik (curah
hujan, kelembaban, suhu, dan sinar matahari). Hujan sangat berperan
dalam kelembaban, dan kondisi tersebut sangat cocok untuk
perkembangbiakan jamur uredospora Hemiliea vastratix. Penyakit ini
bersifat sistemik dan sangat umum menyerang tanaman kopi, untuk
pengendalian pun juga sedikit mudah hingga sulit.

Terdapat beberapa cara untuk mengendalikan penyakit karat daun


kopi. Pengendalian secara genetik yaitu dengan menanam varietas
tanaman kopi yang tahan dengan penyakit karat daun kopi, contohnya
varietas S 795 dan USDA 762 dan Penggunaan fungisida pada masa
sebelum tanam dan hendak ditanam.
B. Pengendalian penyakit tumbuhan untuk pertanian berkelanjutan

Pengendalian penyakit pada tumbuhan budaya perlu dilakukan untuk mencapai


produktivitas yang optimal. Sebenarnya masyarakat lokal telah memiliki kebasaan
dalam meningkatkan dan mempertahankan produktivitas pertanian per satuan luas
melalui penggunaan bahan organik yang berasal dari alam (Nugraha, 2013). Bahan-
bahan alami yang banyak digunakan antara lain adalah umbi gadung (Dioscorea
hispida), krinyu (Chromolaena odorata), kulit biji jambu mete (Anacardium
occidentale), daun ketepeng cina (Senna alata), serta daun srikaya (Annona squamosa)
(Batoa et al., 2020). Sayangnya, seiring perubahan waktu pemikiran petani menjadi
pragmatis dengan merubah kebiasaan menggunakan bahan organik alami tersebut
menjadi bahan kimia agar hasil yang didapat lebih cepat tanpa memikirkan dampak
jangka panjang yang akan terjadi.

Pengendalian penyakit di Indonesia sebenarnya sudah diamanatkan dalam UU No.


12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20 yang menjelaskan bahwa
“Perlindungan Tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu”
atau Sistem PHT. Sistem PHT secara komprehensif memadukan berbagai komponen
dan pihak baik dari segi teknis, sumber daya manusia, sumber dana maupun
kelembagaan sehingga dapat mengoptimalkan produktivitas pertanian tanpa merusak
atau membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Guna mencapai hal
tersebut sistem PHT haruslah lentur, dinamis dan khas lokasi atau khas ekosistem lokal
(Engge at al., 2018).
Sebagai landasan kebijakan perlindungan tanaman, UU No. 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman menekankan bahwa penggunaan pestisida kimia sebagai
alternatif terakhir (Sutriadi et al., 2019). Sehingga berbagai teknik pengendalian
penyakit yang kompatibel diperlukan. UU tersebut telah menguraikan komponen PHT
yang meliputi:

1) Cara fisik yakni pengendalian dengan memanfaatkan unsur fisik tertentu


sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kematian dan pengurang
patogen penyakit ataupun vektor pembawa penyakit. Faktor fisik yang dapat
dimanfaatkan seperti suhu, kelembaban, suara yang dikenakan di luar batas
toleransi organisme sasaran.
2) Cara mekanik yakni pengendalian dengan menggunakan alat dan atau
kemampuan fisik manusia. Misalnya dengan menggunakan perangkap untuk
menangkap vektor penyakit tertentu ataupun memisahkan bagian tanaman
terserang.
3) Cara budidaya yakni pengendalian dengan pengaturan kegiatan bercocok
tanam. Misalnya dengan mengatur pergiliran tanaman, mengelola tanah dan air
dengan benar, serta penanaman tanaman perangkap.
4) Cara biologi yakni pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami OPT.
Misalnya penggunaan tanaman refugia sebagai pelindung biologis tanaman
cabai.
5) Cara genetik yakni pengendalian dengan manipulasi gen baik terhadap OPT
maupun tanaman. Misal dengan pemilihan varietas ungggul yang memiliki
daya tahan tinggi terhadap serangan penyakit.
6) Cara kimiawi, melalui pemanfaatan pestisida, dan atau
7) Cara lain sesuai perkembangan teknologi.
Sinergi baik dari masyarakat, penyuluh maupun pihak pemerintah diperlukan
dalam menuntaskan permasalahan penyakit pada tanaman di Indonesia mengingat
urgensi dari sektor pertanian di Indonesia begitu besar. Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan sudah seharusnya menjadi pionir yang mendukung iklim peredaran “obat
penyakit tanaman” yang menggunakan bahan-bahan organik. Sedangkan masyarakat
harus mulai memiliki kesadaran, pengetahuan dan keterampilan petani dalam
melakukan pengelolaan ekosistem pertanian mereka termasuk dalam melakukan
pengendalian penyakit tanaman secara bijak untuk mencapai pertanian berkelanjutan.

Seperti yang telah disinggung diawal bahwa pengendalian penyakit pada tanaman
memerlukan kedinamisan yang disesuaikan oleh potensi wilayah masing-masing maka
diperlukan sosok yang mampu menjadi pionir yang dapat menjadi agent of change
sesuai kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan peran penyuluh sebagai
fasilitator yang menjembatani informasi dari pemerintah kepada masyarakat sekaligus
menjadi edukator dan motivator bagi masyarakat untuk mencapai keberlanjutan
pertanian Indonesia.
BAB III

KESIMPULAN

a. Kesimpulan

Penyakit pada tanaman masih menjadi salah satu penghambat


produktivitas pertanian yang tak kunjung usai. Pemikiran pragmatis petani di
Indonesia yang menyelesaikan permasalahan terkait dengan penyakit
tumbuhan secara instan menggunakan bahan-bahan kimia tanpa memikirkan
dampak jangka panjang menjadi tantangan yang tak kunjung usai dalam
mencapai keberlanjutan pertanian. Pemerintah telah berupaya berkontribusi
melalui pembentukan landasan konstitusional secara gamblang pada UU No.
12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Namun rendahnya
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melakukan
pengelolaan ekosistem pertanian menjadi tantangan tersendiri. Penyuluh
pertanian yang aktif dan informatif menjadi sosok yang sangat dibutuhkan
masyarakat untuk menjadi pionir dalam menyadarkan dan mengajarkan
pentingnya pengendalian penyakit secara bijak untuk mencapai pertanian
berkelanjutan.

b. Saran

Diperlukan sinergi baik dari masyarakat, penyuluh maupun pihak


pemerintah dalam menuntaskan permasalahan penyakit pada tanaman di
Indonesia. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan sudah seharusnya menjadi
pionir yang mendukung iklim peredaran “obat penyakit tanaman” yang
menggunakan bahan-bahan organik. Sedangkan masyarakat harus mulai
memiliki kesadaran, pengetahuan dan keterampilan petani dalam melakukan
pengelolaan ekosistem pertanian mereka termasuk dalam melakukan
pengendalian penyakit tanaman secara bijak untuk mencapai pertanian
berkelanjutan. Adapun penyuluh yang harus memaksimalkan peranannya
sebagai fasilitator yang menjembatani informasi dari pemerintah kepada
masyarakat sekaligus menjadi edukator dan motivator bagi masyarakat untuk
mencapai keberlanjutan pertanian Indonesia yang dimulai dengan
mengendalikan penyakit tanaman secara bijak.
DAFTAR PUSTAKA

Batoa, H., Bande, L. O., Alwi, L. O. 2020. Pengelolaan Hama dan Penyakit Tanaman
dalam Menunjang Pengembangan Pertanian Organik Berkelanjutan
Berdasarkan Analisis Penguatan Kelembagaan Petani di Kabupaten Konawe
Selatan. AGRIMOR, 5(3), 53-56.

Engge, Y. L., Murdiyanto, E., & Juarini, J. (2018). ANALISIS PENERAPAN


PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU
JAMBU METE OLEH KELOMPOK TANI KEMBANG MELATI DI DESA
WATUKAWULA, NUSA TENGGARA TIMUR. In Seminar Nasional Inovasi
Produk Pangan Lokal Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Universitas
Mercu Buana Yogyakarta (pp. 238-244).

Hamijaya, M. Z. S. Asikin dan M. Thamrin. 2001. Musuh Alami Jagung di


lahan Kering Beriklim Basah dan Pasang surut Kalimantan Selatan.
Simposium Pengendalian Hayati. Sukamandi 14-15 Maret 2001

Harni, R. (2018). TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT


TANAMAN KOPI. Jakarta. IAARD PRESS.
Sutriadi, M. T., Harsanti, E. S., Wahyuni, S., & Wihardjaka, A. (2019). Pestisida
nabati: Prospek pengendali hama ramah lingkungan. Jurnal Sumberdaya
Lahan, 13(2), 89-101.

Meilin, A. 2014. Hama dan penyakit pada tanaman cabai serta pengendaliannya. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi.

Nugraha, S. P. 2013. Pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk organik. Asian Journal
of Innovation and Entrepreneurship, 2(03), 193-197.
Rahardjo, P. (2012). Kopi. Depok. Penebar Swadaya.

Sudjono, S. M. (1988). Penyakit Jagung dan Pengendaliannya. Balai Penelitian


Tanaman Pangan Bogor.

Tuhumury, G. N. C dan H. R. D. Amanupunya. 2013. Kerusakan tanaman cabai akibat


penyakit virus di Desa Waimital Kecamatan Kairatu. Agrologia, 2(1): 36-42.

Vintarno, J., Sugandi, Y. S., & Adiwisastra, J. (2019). Perkembangan penyuluhan


pertanian dalam mendukung pertumbuhan pertanian di Indonesia. Responsive:
Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Administrasi, Sosial, Humaniora Dan
Kebijakan Publik, 1(3), 90-96.

Anda mungkin juga menyukai