Anda di halaman 1dari 28

PENGENALAN PENYAKIT TANAMAN UTAMA DI LAMPUNG

(Laporan Praktikum Pengendalian Penyakit Tanaman)

Oleh
Rizki Afriliyanti
1314121155
Kelompok 2

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Tujuan manusia melakukan budi daya tanaman semula adalah untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk yang semakin cepat. Namun, tanaman dapat berfungsi sebagai penyedia
oksigen bagi sistem pernapasan manusia, serta secara estetika, keindahan dan
keasriannya dapat dinikmati. Penelitian penelitian terhadap budi daya tanaman
terus dilakukan untuk mendapatkan tanaman unggul, yakni berproduksi tinggi,
responsif terhadap pemupukan, dan mempunyai ketahanan terhadap penyakit
tanaman (Endah, 2002).
Organisme pengganggu tanaman (OPT) mencakup semua bentuk hidup yang
dapat merusak tanaman. Wujudnya dari virus atau bakteri yang tidak dapat dilihat
hingga tikus atau bahkan manusia itu sendiri. OPT digolongkan menjadi tiga
golongan, golongan pertama adalah hama, yakni hewan atau binatang pengganggu
dan perusak tanaman, misalnya serangga. Golongan kedua adalah penyakit yang
disebabkan oleh jasad mikro, seperti jamur, bakteri, dan virus. Golongan ketiga
adalah gulma, yaitu tanaman yang tidak diinginkan kehadirannya pada suatu area
pertanian. Teknik pengendalian OPT berbeda menurut jenis pengganggu tersebut
atau dengan melindungi tanaman inangnya. Pengendalian serangan OPT
khususnya penyakit tanaman selanjutnya menjadi salah satu masalah yang penting
dalam teknis budi daya tanaman, selain pemilihan benih atau bibit tanaman
(Endah, 2002).
Tanaman utama yang ditanam di Lampung diantaranya adalah kelapa sawit, karet,
kakao, pisang, lada, jagung, padi, dan kopi. Perlu diketahui macam macam
penyakit yang menyerang serta gejala yang ditimbulkan oleh adanya penyakit

tersebut. Maka dari itu dilaksanakan praktikum yang berjudul Pengenalan


Penyakit Tanaman Utama di Lampung ini agar dapat diketahui bagaimana cara
untuk mengendalikan penyakit tersebut.
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya praktikum kali ini adalah :
1. Mengetahui tanaman utama yang ditanam di Lampung.
2. Mengetahui berbagai macam penyakit yang menyerang tanaman tersebut.
3. Mengetahui patogen penyebab penyakit pada tanaman tersebut.
4. Mengetahui cara pengendalian penyakit tersebut.

II. METODOLOGI PERCOBAAN

II.1Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis,
kamera, spesimen busuk pangkal batang sawit, tanaman karet yang terserang
jamur akar putih, buah kakao yang terserang penyakit busuk buah, tanaman
pisang yang terserang Buncy top, layu fusarium, dan layu bakteri, busuk pangkal
batang lada, tanaman jagung yeng terserang karat daun, tanaman kopi yang
terserang penyakit blas, hawar daun bakteri, dan virus tungro, lalu tanaman kopi
yang terserang karat daun kopi.

II.2Prosedur Praktikum
Adapun prosedur yang dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Pertama tama disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Diperhatikan dan dicatat penjelasan tentang pengenalan penyakit tanaman
utama di Lampung oleh asisten.
3. Diamati dan difoto spesimen yang telah disiapkan.
4. Dikumpulkan kertas catatan untuk diacc oleh asisten.

III.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

III.1 Tabel Hasil Pengamatan


Adapun tabel hasil dari pengamatan yang telah dilakukan adalah :

N
o.
1.

Foto/gambar

Gambar
Tangan

Keterangan
Penyakit:Busuk
pangkal
batang sawit
Patogen :
Ganoderma
boninense
Gejala

2.

: warna daun
menjadi hijau
pucat dan
busuk pada
batang
tanaman,pen
guningan
tanaman dan
nekrosis.
Penyakit:Jamur akar
putih pada
karet
Patogen :
Rigidoporus
lignosus
Gejala

: daun layu,
menguning,
kemudian
gugur, dan
pada akar
busuk dan
kemudian
kering.

Penyakit: Kanker
batang
kakao
Patogen :
Phytophthora
palmivora
Gejala

3.

: Bagian
batang /
cabang
menggembun
g berwarna
lebih gelap /
kehitaman,
permukaan
kulit retakretak.

Penyakit: Busuk buah


kakao
Patogen :
Phytophthora
palmivora
Gejala

: mula-mula
terdapat
bercak
berwarna
coklat
kehitaman
kemudian
buah menjadi
busuk.

4.

Penyakit:Layu
fusarium
pisang
Patogen : Fusarium
oxysparum
Gejala

5.

: terdapat
bercak pada
pelepah, daun
menguninga
dari bagian
bawah,
batang semua
akan pecah
dan
menghitam

Penyakit:Layu
bakteri
pisang
Patogen : Ralstonia
sp.
Gejala

: terdapat
bercak pada
empulur atau
hati, pada
tandan akan
muncul ose
bakteri. Daun
mongering
dari atas

6.

Penyakit:Bunchy Top
Virus
Patogen : Pentalonia
nigonervosa
Gejala

7.

: bagian daun
tegak keatas
dan sempit,
terdapat
banyak
pelepah, daun
tidak
membuka
Penyakit:Busuk
pangkal lada
Patogen :
Phytophtora
capsici
Gejala : terdapat
bercak daun
dan pangkal
membusuk
Penyakit: Bulai
Jagung
Patogen :
Peronoscleros
pora maydis
Gejala

: Ada bercak
berwarna
klorotik
memanjang
searah tulang
daun dengan
batas yang
jelas,
biasanya
terdapat
tepung pada
daun

Penyakit :Hawar
Daun
Bakteri pada
Padi
Patogen :
Xanthomonas
campestris
Gejala : Daun
berwarna
kuning dan
bagian
pinggir
daun
berwarna
coklat. Daun
mengering
dan kropos
apabila
dipegang.

10
.

Penyakit:Tungro pada
padi
Patogen : rice tungro
bacilliform
virus (RTBV)
dan rice
tungro
spherical viru
s (RTSV)
Gejala

: Daun
kuning, kerdil,
gabah sedikit

11
.

Penyakit: Blas Pada


Padi
Patogen : Pyricularia
oryzae
Gejala

12
.

: Adanya bintikbintik kecil pada


daun berwarna
ungu kekuningan

Penyakit: Gosong
bengkak
pada jagung
Patogen : Ustilago
maydis
Gejala

13
.

: Masuknya
cendawan ini ke
dalam biji pada
tongkol sehingga
terjadi
pembengkakan
dan
mengeluarkan
kelenjar,
pembengkakan
ini menyebabkan
pembungkus
rusak dan spora
tersebar.

Penyakit: Karat Daun


Kopi
Patogen : Hemileia
vastantrix
Gejala

: Daun akan
berwarna kuning
yang ditutupi
bedak atau noda
yang tampak
pada permukaan

bagian bawah
daun

III.2 Pembahasan
III.2.1 Kelapa Sawit
Penyakit Busuk Pangkal Batang
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu sumber
minyak nabati yang menjadi komoditas pertanian utama dan unggulan di
Indonesia. Pertumbuhan kelapa sawit sering terkendala akibat pengelolaannya
belum optimal sehingga mempengaruhi hasil produksi kelapa sawit
(Djaenuddin, 1992).
Salah satu kendala pada perkebunan kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal
batang yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Ganoderma boninense lebih
cepat menyerang tanaman kelapa sawit di lahan gambut karena tunggul-tunggul
kelapa sawit yang masih tersisa dalam tanah merupakan sumber infeksi yang
paling kuat di kebun peremajaan (bekas kelapa sawit). G. boninense dapat
menyerang kelapa sawit pada tahap produksi dan pembibitan. Penyebaran
penyakit yang paling utama adalah dengan kontak antara akar tanaman sehat dan
sakit. Penyebaran yang kedua melalui basidiospora langsung ke tanaman kelapa
sawit, serta yang ketiga melalui inokulum sekunder yaitu basidiospora tumbuh
pada tunggul tanaman dan selanjutnya terjadi kontak akar antara tanaman sehat
dan sumber inokulum tersebut. Pada saat ini banyak dilaporkan bahwa pada tanah

yang relatif miskin unsur hara cenderung mempunyai kejadian penyakit yanglebih
besar (Semangun, 2008).
Gejala awal penyakit sulit dideteksi karenaperkembangannyayanglambatdan
dikarenakan gejala eksternal berbeda dengan gejala internal. Sangat mudah untuk
mengidentifikasi gejala di tanaman dewasa atau saat telah membentuk tubuh buah,
konsekuensinya, penyakit jadi lebih sulit dikendalikan. Gejala utama penyakit
adalah terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau pucat dan busuk
pada batang tanaman. Padatanamanbelummenghasilkan,gejala awal ditandai
dengan penguningan tanaman atau daun terbawah diikuti
dengannekrosisyangmenyebarkeseluruh daun. Pada tanaman dewasa, semua
pelepah menjadi pucat, semua daun dan pelepah mengering, daun tombak tidak
membuka (terjadinya akumulasi daun tombak)dansuatusaattanamanakanmati
(Purba,1993).
Ganoderma boninense tergolong ke dalam filum Basidiomycota dan famili
Ganodermataceae. Jamur mempunyai basidiokarp yang sangat bervariasi ; ada
yang dimidiate atau stipitate, ada yang bertangkai atau tidak, tumbuh horizontal
atau vertikal, ada yang rata atau mengembung, dan ada yang
terbentuklingkarankonsentris.Basidiokarp dapat mencapai 17 cm, jari-jari 12 cm
dengan tebal 2 cm. Konveks atau permukaan atas licin seperti pernis dengan
warna kehitaman sampai cokelat. Dalam pertumbuhannya daerah perbatasan akan
berwarna oranye kuning sertaputihpadaujungnya (Purba,1993).
Pengendalian penyakit busuk pangkal batang diperlukan teknik yang tepat
terutama pengendalian yang bersifat ramah lingkungan. Salah satu adalah
pemanfaatan Trichoderma sp. SBJ8, isolat lokal yang dibuat menjadi biofungisida
Ganofend, dan telah dimanfaatkan untuk pengendalian G. boninense selama tahap
produksi dilahan gambut (Semangun, 2008).

III.2.2 Karet
Penyakit Akar Putih

Disebut dengan penyakit akar putih karena di akar tanaman yang terserang terlihat
miselia jamur berbentuk benang berwarna putih yang menempel kuat dan sulit
dilepaskan. Akar tanaman yang terinfeksi akan menjadi lunak, membusuk, dan
berwarna cokelat. Cendawan penyebab penyakit akar putih adalah Rigidoporus
lignosus yang membentuk badan buah seperti topi di akar, pangkal batang, dan
tunggul tanaman. Badan buah cendawan ini berwarna jingga kekuningan dengan
lubang-lubang kecil di bagian bawah tempat spora. Jika sudah tua, badan buah
tersebut akan mengering dan berwarna cokelat (Chatarina, 2012).
Gejala-gejala serangan penyakit akar putih tampak dari memucatnya daun-daun
dengan tepi ujungnya terlipat ke dalam. Daun-daun tersebut selanjutnya gugur dan
ujung rantingnya mati. Sebagai upaya mempertahankan diri, tanaman yang sakit
akan menumbuhkan daun, bunga, dan buah sebelum waktunya.
Pengendalian untuk penyakit ini bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Mengobati tanaman muda yang menunjukkan gejala-gejala terserang penyakit
akar putih dengan cara membuka tanah di sekitar pangkal batang. Kedalaman
lubang tergantung dari batas serangan jamur. Miselia jamur yang menempel
di akar kemudian dikerok dan bekas kerokan diolesi ter. Akar yang sudah
terlanjur busuk dipotong. Selanjutnya keseluruhan akar yang terluka diolesi
izal 5% dan dioles ulang menggunakan obat pelindung akar. Setelah lukanya
mengering, lubang ditutup tanah lagi.
b. Membongkar tanaman sakit yang sudah parah, ditandai dengan gugurnya
daun dan membusuknya akar tunggang. Bekas galian kemudian kemudian
ditaburi 200 gram serbuk belerang. Jika akan disulam, bibit yang digunakan
harus berupa stum tinggi dan di sekitar bibit kembali ditaburi serbuk belerang
sebanyak 100 gram.
(Catharina, 2012).

III.2.3 Kakao

a. Busuk Buah Kakao


Busuk buah adalah penyakit yang terpenting dalam budidaya kakao di Indonesia.
Besarnya kerugian sangat berbeda antarkebun, bervariasi antara 26 % dan 50 %.
Penyakit busuk buah kakao disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora Butl.
Pada buah kakao jamur membentuk banyak sporangium (zoosporangium),
berbentuk buah per, dengan ukuran 35 - 60 x 20 - 40 m. Sporangium dapat
berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah, tetapi
dapat juga berkecambah secara tidak langsung dengan membentuk zoospora.
Jamur dapat membentuk klamidospora yang bulat, dengan garis tengah 30 - 60
m (Semangun, 2008).
Ciri-ciri buah yang terinfeksi Phytophthora palmivoraadalah permukaan kulit
buah sebagian berwarna coklat dan membusuk. Gejala dimulai dari ujung buah,
terdapat kumpulan miselium yang berwarna putih, kuning dan bintik- bintik
coklat serta ada lingkaran berbentuk spiral di permukaan kulit buah. Bagian buah
yang terserang lunak. Selain itu, jamur tersebut juga ditemukan pada buah yang
memiliki ciri bagian pangkal buah lunak, hitam dan meluas hampir menutupi
seluruh permukaan kulit buah, ditutupi oleh kumpulan miselium putih seperti
tepung dan ada bercak coklat pada permukaan kulit buah (Afriyeni dkk, 2013).
Phytophthora palmivora merupakan marga yang memiliki sporangium yang jelas
berbentuk seperti buah jeruk nipis dengan tonjolan di ujungnya. Sporangium ini
tidak tahan kering, jika ada air maka sporangium ini akan melepaskan zoosporanya. Zoospora mempunyai bulu cambuk. Spora seksual (oospora) dihasilkan oleh
penyatu gamet yang berbeda secara morfologi. Zoosporangium dihasilkan
sepanjang hifa somatik atau pada ujung hifa dan seperangkat hifa bebas. Zoospora
keluar satu persatu melalui papilia yang terdapat pada ujung sporangium.
Zoospora mempunyai dua flagella yang tidak sama panjangnya. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron diketahui bahwa flagella yang pendek (anterior)
mempunyai benang-benang yang disebut mastigonema, sedang yang panjang
(posterior) berbulu sangat halus. Jenis Phytophthora sp. tertentu membentuk
klamidospora bulat, terminal atau interkalar, berdinding agak tebal, mula-mula
hialin, akhirnya berwarna kecoklat-coklatan (Semangun, 1990).

Penyakit P.palmivora ini dapat dikendalikan dengan memadukan berbagai teknik


pengendalian seperti varietas tahan, kultur teknis, secara mekanis dan secara
kimiawi (Semangun, 2008)

b. Penyakit Kanker Batang Kakao


Phytophthora spp. adalah penyebab penyakit penting pada kakao antara
lain penyakit busuk buah, kanker batang. Pada penyakit kanker batang kakao pada
batang atau cabang yang besar terdapat tempat yang warnanya lebih gelap dan
agak mengendap. Pada tanaman yang sangat rentan tempat ini sering
mengeluarkan cairan kemerahan, yang setelah mongering tampak seperti lapisan
karat pada permukaan kulit, lebih-lebih kalau permukaan batang tertutup oleh
lumut atau lumut kerak (Semangun, 2008).
Penyakit kanker batang dapat terjadi karena patogen yang menginfeksi buah
menjalar melalui tungkai buah mencapai batang. Penyakit berkembang pada
kebun yang mempunyai kelembaban dan curah hujan yang tinggi atau sering
tergenang air. Inokulum yang memulai infeksi pada buah berasal dari tanah atau
akar, batang dan daun yang terinfeksi. Infeksi akar berasal dari residu inokulum
tanah biasanya tidak menyebabkan kerugian ekonomi, meskipun demikian akarakar yang terinfeksi dapat berperan sebagai sumber inokulum untuk infeksi buah,
hal yang sama terjadi pada kanker batang dan kulit batang juga berperan sebagai
sumber inokulum untuk infeksi buah. Sekali buah terinfeksi dan terjadi sporulasi,
dapat menghasilkan sejumlah besar sumber inokulum untuk infeksi buah-buah
yang lain (Bowers et al. 2001 dalam Ramlan, 2010).
Pengendalian penyakit kanker batang kakao dapat dilakukan dengan perpaduan/
kombinasi seluruh tindakan perlakuan yang dicobakan yaitu pengikisan batang,
sanitasi buah/kulit buah terserang, pemupukan pengolesan fungisida Anti rot F95
dan pengolesan fungisida kimia Triadimefon (Syahnen dkk, 2012).

III.2.4 Pisang

a. Layu Fusarium

Penyakit layu fusarium disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum.


Cendawan ini dapat menyerang tanaman pisang yang masih muda ataupun
tanaman pisang dewasa yang belum berbuah dan tanaman pisang dewasa yang
sudah berbuah. Gejalanya adalah pangkar daun menguning dimulai dari bagian
tepi daun kemudian menjalar ke bagian ibu tulang daun. Selanjutnya, daun akan
layu dan tangkai daun atau pelepah daun patah. Gejala dalam dari tanaman pisang
yang menderita penyakit layu fusarium adalah pada batang (bonggol) dan batang
semuanya jika dibelah secara membujur akan terlihat garis-garis cokelat atau
hitam yang menuju ke semua arah, tetapi tidak terdapat lendir (Cahyono, 1995).
F. oxysporum adalah cendawan tanah yang dapat bertahan lama dalam tanah
sebagai klamidospora, yang terdapat banyak dalam akar-akar yang sakit.
Cendawan dapat bertahan juga pada akar bermacam-macam rumput, dan pada
tanaman jenis Heliconia. F. oxysporum menyerang melalui akar, terutama akar
yang luka. Baik luka mekanis maupun luka yang disebabkan nematode
Radophulus similis. Tetapi ia tidak bisa masuk melalui batang atau akar
rimpang, meskipun bagian ini dilukai (Cahyono, 1995).
Penyakit layu fusarium dapat menular ke tanaman lain melalui peralatan pertanian
yang telah terkontaminasi bakteri dan cendawan. Misalnya, parang atau sabit yang
baru dipakai untuk menebang tanaman yang sakit kemudian untuk memangkas
tanaman lainnya yang sehat. Melalui tanah, misalnya sebidang tanah yang telah
terjangkit cendawan ini apabila ditanami, tanaman akan terjangkit penyakit ini
atau karena tanah yang telah tercemar cendawan melekat terbawa oleh peralatan
pertanian yang kemudian dipakai untuk keperluan di tempat lain. Dapat juga
melalui pengairan, pekerja, dan pupuk kandang yang belum masak (Cahyono,
1995).

Untuk mengendalikan penyakit layu fusarium dapat dilakukan dengan berbagai


cara, diantaranya :

Mencabut tanaman yang sakit dan membakarnya atau dibuang di tempat yang
jauh dari areal pertanian.
Mengurangi sumber penularan.
Perbaikan kultur teknis.
Penggunaan varietas yang resisten terhadap penyakit.
Menggunakan bibit yang diambil dari tanaman yang sehat.
Membongkar tanah di sekeliling tanaman yang sakit dan dikeluarkan dari
kebun.
Melakukan pemupukan yang berimbang.
Tidak menanam pisang di tempat bekas bongkaran tanaman pisang yang telah
terserang penyakit ini.
Menanam bibit dari rumpun yang sehat.

(Cahyono, 1995).

b. Layu Bakteri

Bakteri penyebab penyakit layu bakteri adalah Pseudomonas solanacearum atau


bisa juga disebut sebagai Ralstonia solanacearum. Gejala tanaman yang terserang
penyakit ini dapat dilihat dari tajuk dan buah. Pada tajuk, gejalanya akan tampak
setelah tanaman pisang berbunga. Pada awalnya, gejala penyakit ini akan tampak
pada daun nomor 3 atau nomor 4 dari daun yang termuda, yakni adanya
perubahan warna menjadi kekuning-kuningan yang secara keseluruhan belum
menunjukkan perubahan yang sangat mencolok. Gejala dalam yang tampak
apabila batang atau akar dipotong akan mengeluarkan cairan (lendir) berwarna
merah menyerupai darah. Buah yang terinfeksi juga terdapat lendir berwarna
merah kecoklat-coklatan (Cahyono, 1995).
R. solanacearum adalah spesies yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan oleh
variabilitas genetiknya yang luas dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan
lingkungan setempat, sehingga di alam dijumpai berbagai strain R.
solanacearum dengan ciri yang sangat beragam. Ditinjau dari segi morfologi dan
fisiologinya, R. solanacearum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang

dengan ukuran 0,5-0,7 x 1,5-2,5 m, berflagela, bersifat aerobik, tidak berkapsula,


serta membentuk koloni berlendir berwarna putih (Cahyono, 1995).
Penularan penyakit layu bakteri pada umumnya sama dengan penularan penyakit
layu fusarium, hanya saja bakteri dapat menular melalui udara dan menginfeksi
buah, penularan ini dilakukan oleh serangga. Bakteri yang menempel pada kepala
putik pada saat pembuahan dapat menginfeksi buah melalui saluran tangkai putik.
Begitu juga dengan cara pengendalian penyakit pada layu bakteri sama dengan
layu fusarium, hanya saja ada beberapa tambahan cara pengendalian yaitu dengan
enurunkan derajat ekasaman tanah dengan memberikan belerang untuk
menurunkan populasi bakteri (Cahyono, 1995).

c. Penyakit Kerdil (Bunchy Top)

Penyebab penyakit kerdil (Bunchy Top) adalah virus. Virus ini dikenal sebagai
virus kerdil pisang (Bunchy Top Virus). Penyebaran virus ini dapat ditularkan oleh
kutu daun (Pentalonia nigronervosa coq). Gejala awal tanaman pisang yang
menderita penyakit kerdil dapat dilihat pada pangkal daun no. 2 atau no. 3 dengan
penyinaran cahaya yang menembus, maka akan tampak adanya garis-garis
berwarna hijau sempit yang terputus-putus dalam garis pendek dan titik. Garisgaris tersebut terdapat diantara tulang-tulang daun dan sejajar dengan tulangtulang daun sekunder. Selanjutnya, daun tersebut dapat mengering sepanjang
tepinya, rapuh, dan mudah dipatahkan. Akhirnya, tanaman tumbuh kerdil dan
daun-daunnya membentuk roset pada ujung batang palsu (Cahyono, 1995).
Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Hindarkan penanaman pisang yang telah terjangkit penyakit di lokasi atau

daerah lain.
Menanam bibit dari rumpun yang sehat.
Memberantas kutu daun dengan insektisida.
Hindarkan penanaman pisang yang terlindung oleh pepohonan besar
disekitarnya.

Membongkar tanaman pisang yang terserang penyakit dan membuangnya ke


tempat yang jauh dan membakarnya.

(Cahyono, 1995).

III.2.5 Lada
Busuk Pangkal Batang Lada
Penyakit BPB disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici (sinonim: P.
palmivora var. Piperis). Selain di Indonesia, penyakit BPB juga menjadi kendala
utama produksi lada di Malaysia dan India. Sebagai produk ekspor, issue dalam
perdagangan lada intenasional saat ini adalah meningkatnya kekhawatiran
konsumen akan adanya residu pestisida dan kontaminasi mikroba penghasil
aflatoksin, di samping itu dituntut mampu meningkatkan efisiensi produksi dan
mutu agar dapat bersaing dalam dunia perdagangan internasional
(Mulya et al., 2003).
Jamur P. capsici dapat menyerang semua umur/stadia tanaman, mulai dari
pembibitan sampai tanaman produktif. Serangan yang paling membahayakan
adalah pada pangkal batang atau akar karena menyebabkan kematian tanaman
dengan cepat. Gejala berupa kelayuan tanaman secara mendadak (daun tetap
berwarna hijau) akan nampak apabila terjadi serangan patogen pada pangkal
batang. Pangkal batang yang terserang menjadi berwarna hitam, pada keadaan
lembab akan nampak lendir yang berwarna kebiruan. Serangan pada akar,
menyebabkan tanaman layu dan daun-daun menjadi berwarna kuning
(Mulya et al., 2003).
Serangan pada daun menyebab-kan gejala bercak daun pada bagian tengah, atau
tepi daun. Bercak berwarna hitam dengan tepi bergerigi seperti renda yang akan
nampak jelas apabila daun diarahkan ke cahaya. Gejala khas tersebut hanya
nampak pada bercak yang belum lanjut dan terjadi pada keadaan lembab (banyak
hujan). Pengamatan lebih lebih lanjut pada lapisan air yang ada di permukaan
bawah bercak daun, tampak adanya sporangia patogen. Biasanya daun-daun yang
terinfeksi ini merupakan sumber inokulum bagi tangkai atau cabang yang berada

di dekatnya. Apabila selama waktu hujan disertai terjadinya angin, maka propagul
P. capsici dapat terbawa dan menyebar ke daun tanaman di sekitarnya. Serangan
pada buah menyebabkan buah berwarna hitam, dan busuk; gejala ini biasanya
banyak ditemukan pada buah yang letaknya dekat permukaan tanah. Pengendalian
penyakit BPB telah diusahakan dengan berbagai cara, yaitu menggunakan varietas
tahan, praktek budidaya yang dikombinasi dengan aplikasi fungisida, dan mikroba
antagonistik.(Manohara et al., 1996).
Jamur P. capsici berkembang biak dengan cara aseksual dan seksual. Secara
aseksual membentuk spora-ngium. Pada keadaan lingkungan yang sesuai, lembab
dan suhu berkisar antara 25o C, sporangium yang telah masak dapat langsung
berkecambah memben-tuk tabung kecambah atau membentuk zoospora yang
berflagella sehingga dapat bergerak. Lama geraknya ditentukan oleh suhu air;
pada suhu 20 - 24o C zoospora dapat bergerak selama 9 jam, sedang pada suhu
28o C dan 32o C masing-masing selama 5 jam dan 1 jam. Tiga puluh menit
setelah zoospora berhenti bergerak, akan terjadi per-kecambahan bila lingkungan
mengun-tungkan; sebaliknya apabila keadaan lingkungan tidak menguntungkan,
maka akan dibentuk struktur istirahat yaitu berbentuk kista (Manohara, 1988).
Miselia yang berasal dari perkecambahan zoospora dapat langsung menginfeksi
tanaman melalui luka, lubang alami (stomata misalnya) atau menginfeksi secara
langsung setelah meningkatkan potensial ino-kulumnya terlebih dahulu.
Kemampuan patogen bertahan hidup pada sisa tanaman lada yang ada di
permukaan maupun di dalam tanah mempunyai peranan penting sebagai sumber
inokulum. Propagul jamur P. capsici dapat bertahan hidup selama 20 minggu di
dalam tanah dengan kelengasan 100% kapasitas lapang, tanpa adanya tanaman
inang. Di dalam jaringan tanaman terinfeksi seperti daun dan batang, jamur
tersebut dapat bertahan hidup masing-masing selama 11 13 minggu dan 8 10
minggu (Manohara, 1988).
III.2.6 Jagung

a. Penyakit Bulai
Penyakit bulai disebabkan oleh Peronosclerospora maydis . Jamur dapat bertahan
hidup sebagai miselium dalam biji, namun tidak begitu penting sebagai sumber
inokulum. Infeksi dari konidia yang tumbuh di permukaan daun akan masuk
jaringan tanaman melalui stomata tanaman muda dan lesio lokal berkembang ke
titik tumbuh yang menyebabkan infeksi sistemik. Konidiofor dan konidia
terbentuk keluar dari stomata daun pada malam hari yang lembab. Apabila bijinya
yang terinfeksi, maka daun kotiledon selalu terinfeksi, tetapi jika inokulum
berasal dari spora, daun kotiledon tetap sehat. (Endah, 2002).
Gejala daun yang terinfeksi berwarna khlorotik, biasanya memanjang sejajar
tulang daun, dengan batas yang jelas, dan bagian daun yang masih sehat berwarna
hijau normal. Warna putih seperti tepung pada permukaan bawah maupun atas
bagian daun yang berwarna khlorotik, tampak dengan jelas pada pagi hari. Daun
yang khlorotik sistemik menjadi sempit dan kaku. Tanaman menjadi terhambat
pertumbuhannya dan pembentukan tongkol terganggu sampai tidak bertongkol
sama sekali. Tanaman yang terinfeksi sistemik sejak muda di bawah umur 1 bulan
biasanya mati. Gejala lainnya adalah terbentuk anakan yang berlebihan dan daundaun menggulung dan terpuntir, bunga jantan berubah menjadi massa daun yang
berlebihan dan daun sobek-sobek.
Teknologi pengendalian penyakit bulai pada jagung yang umum diterapkan
adalah:

Penggunaan varietas tahan


Pemusnahan tanaman terinfeksi
Pencegahan dengan fungisida sistemik berbahan aktif metalaksil
Pengaturan waktu tanam agar serempak
Pergiliran tanaman.

(Endah, 2002).

b. Penyakit Gosong

Penyakit gosong pada jagung disebabkan oleh Ustilago maydis . Klamidospora


berkecambah pada kondisi yang cocok, meng- hasilkan sporidia yang dapat
dibawa angin atau percikan air sampai pada tanaman jagung muda. Miselium
masuk ke jaringan tanaman melalui stomata, luka atau penetrasi langsung melalui
dinding sel dan menstimulir sel inangnya untuk membelah (Semangun, 2008).
Gejala awal berupa pembengkakan atau gall yang dibungkus dengan jaringan
berwarna putih kehijauan sampai putih perak mengkilat. Bagian dalam gall
berwarna gelap dan berubah menjadi massa tepung spora berwarna coklat sampai
hitam. Gall dapat terjadi pada semua bagian tanaman jagung. Gall pada tongkol
apabila sudah mencapai pertumbuhan maksimal dapat mencapai diameter 15 cm.
Gall pada daun tetap kecil dengan diameter 0,6-1,2 cm. Apabila bunga jantan
terinfeksi, maka semua tongkol pada tanaman tersebut terinfeksi penyakit gosong.
Beberapa komponen pengendalian penyakit gosong yang dapat digunakan adalah
varietas tahan, pestisida, rotasi tanaman, dan perlakuan benih (Semangun, 2008).

III.2.7 Padi
a. Penyakit Blas
Penyakit blas ini disebabkan oleh jamur Pyricularia grisera penyakit ini awalnya
hanya menyerang budidaya tanaman padi gogo tetapi akhir-akhir ini sudah mulai
menyerang di lahan sawah irigasi. Serangan dari penyakit ini dapat
mengakibatkan leher malai patah dan busuk sehingga pengisisan bulir terganggu
dan bulir menjadi hampa. Serangan blas ini dapat mengakibatkan tanaman
menjadi puso dan hal ini sering terjadi di daerah endemik (Semangun, 2008).
Jamur Pyricularia grisera akan menginfeksi tanaman padi dalam satu siklus.
Yakni dengan dimulai ketika spora jamur menginfeksi dan menghasilkan suatu
bercak pada tanaman padi dan berakhir ketika jamur bersporulasi dan

menyebarkan spora baru melalui udara terjadi dalam sekitar 1 minggu. Penyakit
ini lebih menyukai kelembaban yang tinggi dan temperatur malam hari sekitar 22290 C. pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan juga dapat menyebabkan
penyakit ini berkembang dengan cepat (Semangun, 2008).
Pengendalian penyakit blas ini dapat dilakukan dengan teknik budidaya.
Dianataranya penanaman benih sehat, perendaman benih, cara pelapisan dengan
menggunakan fungisida pada dosis tertentu untuk setiap 1 kg gabah basah dan
kemudian dikocok sampai merata. Cara penaman juga harus diperhatikan yakni
jangan terlalu rapat atau dengan sistem legowo dan menggunakan sistem
pengairan secara berselang. Pemupukan juga harus dilakukan dengan dosis yang
sesuai agar tanaman menjadi tahan terhadap penyakit blas. Selain dengan cara
tersebut pengendalian juga dapat dilakukan dengan penanaman varietas tahan dan
penggunaan fungisida melalui penyemprotan (Semangun, 2008).

b. Virus Tungro

Penyakit tungro merupakan proses interaksi yang sangat komplek antara


dua jenis virus yang berbeda, yaitu virus bentuk batang (RTBV) dan virus
bentuk bulat (RTSV),wereng hijau sebagai vektor spesifik, dan tanaman padi.
Kedua jenis virus tersebut tidak memiliki kekerabatan serologi dan dapat
menginfeksi satu sel tanaman secara bersama-sama tanpamengakibatkan
proteksi silang antara keduanya (Mukhopadhyay, 1995 dalam Praptana, 2008).
Virus tungro hanya ditularkan oleh wereng hijau secara semipersisten, tidak
terjadi multiplikasi virus dalam tubuh vektor dan tidak terbawa pada keturunannya
(Hibino and Cabunagan, 1986 dalam Praptana, 2008). Dalam penularan virus
tungro, RTBV merupakan virus dependen, sedangkan RTSV sebagai virus
pembantu (helper virus).Wereng hijau dapatmenularkan RTSV danRTBV secara
bersama-sama dari sumber inokulumyangmengandung kedua virus.
PenularanRTBVhanya terjadi apabila vektor telah menghisap RTSV terlebih
dahulu, sedangkan penularan RTSV dapat terjadi tanpa bantuan RTBV (Hibino et

al. 1977, dalam Praptana, 2008). Di dalam suatu populasi di lapangan, terdapat
wereng hijau sebagai penular aktif (active transmitter) dan nonaktif (non active
transmitter). Keberadaan populasi penular aktif di pertanaman akan meningkatkan
efisien dan efektivitas penularan virus tungro. Inang alternatif virus tungro adalah
E. Crusgali dan Oryzae nivara .
Infeksi tungro pada tanaman padi khususnya varietas peka akan menimbulkan
gejala kerdil, jumlah anakan berkurang. Daun menguning, menggulung keluar dan
agak sedikit terpuntir. Tanaman yang kerdil pada ruas daun kedua memendek.
Karena adanya perpanjangan pelepah daun baru maka daun yang membuka
kadang-kadang pelepahnya terjepit. Akar tanaman berkurang dan gabah yag
dihasilkan kecil dan sering tidak sempurna. Gejala penyakit tungro pada tanaman
yang terinfeksi virus mulai dapat dilihat pada umur 7 10 hari sesudah
diinokulasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa N. virescens dapat menularkan
kedua macam virus tersebut secara bersamaan atau masing-masing sendiri-sendiri
dari tanaman yang terinfeksi oleh kedua virus tersebut. Tanaman yang terinfeksi
oleh kedua virus tersebut menunjukkan gejala yang serius, yang terinfeksi oleh
RTSV saja tidak menunjukkan gejala yang jelas, konsentrasi RTBV yang tinggi
dalam jaringan tanaman akan menyebabkan gejala berwarna orange pada daun
Tungro tidak dapat ditularkan melalui biji ataupun secara mekanik, tetapi harus
ada serangga penular (vektor) yaitu wereng hijau (Nephotettix spp.) atau wereng
loreng ((Recilia dorsalis). Sifat penularan virus oleh vektornya bersifat semi
persisten artinya periode akuisisi minimum 5-30 menit dan periode inokulasi
minimum 7-30 menit. Masa inkubasi virus pada tanaman 6-10 hari, virus dapat
ditularkan melalui semua stadia serangga, yaitu nimfa dan imagonya, jantan dan
betina, tapi tidak melalui telur.
Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, di antaranya dengan
penerapan teknologi pengendalian penyakit tungro secara terpadu yang
bertujuan untuk mencegah ataumenghindarkan pertanaman dari ancaman
tungro (escape strategy) dengan komponen utama waktu tanam tepat,
penggunaan varietas tahan, dan pergiliran varietas tahan. Namun demikian,
tidak semua komponen dapat diterapkan, waktu tanam tepat kurang sesuai

untuk daerah dengan pola tanamtidak serempak, ketersediaan varietas tahan


masih terbatas, sehingga tidak mencukupi untuk pewilayahan dan distribusi
berdasarkan sifat ketahanan spesifik lokasi. Perbedaan geografis dan
intensitas interaksi virus tungro dan wereng hijau dengan varietasmenyebabkan
adanya variasi genetik strain virus tungro dan biotipe wereng hijau. Oleh
karena itu, pengendalian penyakit tungro harus dilakukan secara komprehensif
denganmemperhatikan berbagai aspek, seperti tingkat ketahanan varietas,
kepadatan populasi dan efisiensi penularan oleh wereng hijau, penyebaran
virus, ketersediaan sumber inokulum, kondisi lingkungan dan sosioekonomi
petani (Hasanuddin et al. 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Afriyeni, Y., Nasril N., Periadnadi, Jumjunidang. 2013. Jenis-Jenis Jamur pada

Pembusukan Buah Kakao (Theobroma cacao, L.) di Sumatera Barat.


Jurnal Biologi Universitas Andalas No. 2 (2): 124-129.
Cahyono, B., 1995. Pisang, Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius.
Yogyakarta
Catharina, T. S. 2012. Strategi Pengelolaan untuk Memperkecil Serangan Jamur
Akar Putih (Rigidoporus microporus) pada Perkebunan Jambu Mete.
Gane Swara.Vol.6 No.1. 69-73
Djaenuddin D. 1992. Lahan Marginal: Tantangan dan Pemanfaatannya. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XII(4):79-84.
Endah, J. dan Novizan, 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman.
Agromedia Pustaka. Jakarta
Hasanuddin,A., I.N.Widiarta, danM.Muhsin. 2001. Penelitian Teknik Eliminasi
Sumber Inokulum RTSV: Suatu Strategi Pengendalian Tungro. Laporan
Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menristek dan DRN. Jakarta.
Manohara, D., 1988. Ekologi Phytophthora palmivora (Butler) Penyebab
Penyakit Busuk Pangkal Batang (Piper nigrum). Disertasi, Fakultas Pasca
Sarjana, IPB. Bogor.
Manohara, D., dan Kasim, K., 1996. Teknik Pengendalian Penyakit Busuk
Pangkal Batang Tanaman Lada. Proc. Seminar Pengendalian Penyakit
Utama Tanaman Industri Secara Terpadu. Bogor, 13 14 Maret.1996.
Mulya, K., Manohara, D. dan Wahyuno, D., 2003. Status penyakit busuk pangkal
batang lada di Bangka. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT
Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002.
Praptana , R. H. dan M. Yasin. 2008. Peranan Bioteknologi dalam Pengelolaan
Penyakit Tungro. Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 (1)
Purba, R.Y. 1993. Busuk pangkal batang kelapa sawit ( Jacq.) yang
disebabkanoleh dan manajemen pengendaliannya. Materi kuliah penyakit
tanaman kelapa sawit pada kursus manajemen dasar perkebunan bidang
tanaman di LPP Kampus. Medan
Semangun, H. 1990. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 808 p.
Semangun. 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada
University Press. 2008: 249-260 .

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai