Anda di halaman 1dari 13

PENGENDALIAN JAMUR Fusarium sp.

MENGGUNAKAN
RHIZOBAKTERIA

Pendahuluan
Pembangunan pertanian di Indonesia saat ini memasuki masa transisi dari orientasi
pertanian dengan pola subsisten kepada pola komersial. Pergeseran tersebut
membawa konsekuensi penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen penting
dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman, salah satu kendala bagi
pembangunan pertanian yang berorientasi ekonomi.
Menurut Reintjes et al. (1999), saat ini pembangunan sektor pertanian
disiapkan untuk memasuki era agroindustri dan agribisnis terpadu. Oleh karena itu,
pengembangan penerapan teknologi berwawasan lingkungan dan pengembangan
sumber daya manusia harus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat
sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ,antara
lain harus dapat memelihara tingkat kapasitas produksi sumber daya alam yang
berwawasan lingkungan dan harus dapat mengurangi dampak kegiatan pertanian
yang dapat menimbulkan pencemaran serta penurunan kualitas lingkungan hidup.
Salah satu langkah nyata yang perlu dilakukan antara lain mengamankan produksi
pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit (Anisah, 2008). Salah satu
kendala yang dihadapi oleh para petani saat ini antara lain ditemukannya penyakit
layu fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang
tanaman kentang, pisang, tomat, ubi jalar, strawberry dan bawang daun (Balai
Penelitian Tanaman Hias, 2004).

Banyak cara pengendalian yang dilakukan namun belum berhasil untuk


menekan

perkembangan patogen tersebut. Menurut Yusriadi (2004), salah satu

alternatif pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan populasi jamur


Fusarium ini adalah dengan mengembangkan pengendalian secara hayati. Sejauh ini
pemakaian pestisida (fungisida) selalu diikuti dengan pertimbangan ekonomi dan
berdampak pada lingkungan. Pasar lebih menyukai produksi pertanian yang bebas
bahan kimia, sehingga alternatif pestisida yang aman bagi lingkungan dan konsumen
sangatlah diperlukan (Purwantisari, 2008).
Pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai
dihindari karena berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan
fungisida nabati (biofungisida) mutlak diperlukan. Kebijakan global mengenai
pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada
gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan
inilah yang akan melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di
pasar global. Menghadapi kenyataan tersebut agaknya perlu segera diupayakan
pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis
fungisida yang aman bagi lingkungan. Salah satu cara pengendalian penyakit yang
ramah lingkungan dan berpotensi untuk dikembangkan ialah pengendalian hayati
menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen
biofungisida secara langsung maupun tidak langsung untuk mengontrol serangan
spesies pengganggu.
Rhizobakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan fungi patogen dalam
tanah secara alamiah. Terdapat beberapa genus bakteri yang mampu berasosiasi
dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, antara lain: Alcaligenes,

Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium,


Bacillus,

Burkholderia,

Serratia,

Streptomyces,

Azospirillum,

Acetobacer,

Herbaspirillum dan Pseudomonas (Botelho et al., 2006).


Menurut Haas and Devago (2005), bakteri yang berasosiasi dengan akar
tanaman ini dinamakan Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Bakteri ini
mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman dan melindungi tanaman dari serangan
penyakit. Selain ramah terhadap lingkungan, penggunaan rhizobakteri diharapkan
dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap penggunaan fungisida sintetik,
menutupi kekurangan suplai bahan aktif fungisida yang selama ini diimpor sehingga
dapat menghemat devisa negara dan meningkatkan daya saing ekspor produk
pertanian Indonesia.

Serangan Jamur Fusarium sp. pada Tanaman


Jamur Fusarium termasuk jamur kelas Ascomycetes. Jamur ini mempunyai tiga alat
reproduksi aseksual, yaitu mikrokonidia (terdiri dari satu sel), makrokonidia (dua
sampai enam septa) dan klamidospora (merupakan pembengkakan pada hifa).
Konidia ini bercabang dan disebut konidiosporum yang merupakan alat
perkembangbiakan, tempat penyimpanan massa, sporokodium atau miselium
(Webster and Weber, 2007).
Konidia berwarna coklat muda dan berdinding tebal, berukuran 8.2 6.2 ,
letaknya pada ujung atau di tengah hifa. Familia dari jamur ini adalah
Tuberculariaceae yang dicirikan oleh adanya sporokodium. Sporokodium ini
membentuk makrokonidia dan mikrokonidia. Bentuk makrokonidium melengkung
panjang dengan ujung mengecil dan mempunyai sekat antara 1-10 atau lebih,
sedangkan mikrokonidium bentuknya pendek, tidak bersekat atau bersekat satu.

Jamur ini dapat bertahan di dalam tanah sebagai saprofit atau dalam bentuk
klamidospora. Dalam bentuk klamidospora, fungi ini dapat bertahan paling tidak
selama lima tahun di dalam tanah. menghasilkan mikrokonidia bening, silindris atau
seperti perahu dan bersekat-sekat.

Gambar 1. Foto Mikroskopis Jamur Fusarium oxysporum; A-B foto


mikroskopis
makrokonidia; C-D foto mikroskopis mikrokonidia, skala
garis 25 m; EF
mikrokonidia pada miselium, skala garis 50 m.
Jamur Fusarium sp. merupakan jamur yang tersebar luas baik pada tanaman
maupun dalam tanah. Beberapa spesies dari jamur ini dapat memproduksi mycotoxin
dalam biji-bijian yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan jika
memasuki rantai makanan . Toksin utama yang diproduksi oleh jamur ini adalah
fumonisin dan trichothecenes. Jamur Fusarium ini juga dapat menyebabkan penyakit
pada tanaman, yang disebut sebagai penyakit layu fusarium. Penyakit layu fusarium
adalah penyakit sistemik yang menyerang tanaman mulai dari perakaran sampai titik
tumbuh. Tanaman jadi layu dan tumbuh merana.

Infeksi jamur ini dapat terjadi melalui akar tanaman yang sehat, tapi
prosesnya lebih lambat dibandingkan dengan adanya luka pada akar. Penyakit layu
fusarium ini ditandai dengan daun menguning, daun terpelintir dan pangkal batang
membusuk. Asam fusarat yang dihasilkan oleh Fusarium sp. merupakan racun yang
larut dalam air. Toksin ini mengganggu permeabilitas membran dan akhirnya
mempengaruhi aliran air pada tanaman. Adanya hambatan pergerakan air dalam
tubuh tanaman menyebabkan terjadinya layu patologis yang tidak bisa balik
(irreversibel) yang berakibat kematian tanaman seperti kasus-kasus penyakit layu
pada kapas dan tomat yang disebabkan oleh Fusarium sp (Yunasfi, 2002).

Potensi Rhizobakteria sebagai Agen Hayati untuk Biokontrol Jamur Fusarium


sp.
Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan
mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada
tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang
dihasilkan mikroorganisme tanah, tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai
penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun.
Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit
kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley
pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian
hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang
(Hasanudin, 2003).
Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi
melalui berbagai mekanisme, diantaranya :
1. Antagonisme

Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh


merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya.
Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal
ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan.

Gambar 2. Interaksi antara bakteri biokontrol (PGPR), tanaman, patogen dan tanah.
Interaksi terjadi melalui signal biotik dan abiotik; ISR (induced systemic
resistance) dikeluarkan oleh bakteri PGPR. (Haas and Devago, 2005).

2. ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas


Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman
diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non
patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
3. Proteksi silang
Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita
kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang
dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in
vivo dan dengan asam nitrit.
Biasanya mekanisme antagonisme dan ketahanan berimbas terjadi secara
simultan, sehingga rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur pathogen
secara langsung dan tidak langsung. Beberapa studi in vitro terkait mekanisme
biofungisida melalui antagonisme telah banyak dilakukan. Menurut Haas and Devago
(2005),

Pseudomonas

fluorescens

dapat

mengeluarkan

senyawa

antibiotik

(antifungal), siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat


menghambat aktivitas jamur Fusarium oxysporum. Senyawa siderofor, seperti
pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin
ion Fe.
Senyawa ini menghelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme
lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan
tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang.
Sementara senyawa antibiotik yang dihasilkan antara lain : phenazine-1-carboxylate,

pyoluteorin, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazine-1-carboxyamide,


pyocyanine, hidrogen cyanide dan viscosinamide.
Seperti yang telah disebutkan di awal menurut Botelho et al. (2006) , terdapat
beberapa rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki aktivitas antifungal.
Hasil-hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai antifungal
melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti Bacillus subtilis,
Bacillus cereus, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium dan Bacillus pumilus
dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur
Fusarium sp (Huang et al., 2004).
Bakteri dari genus Bacillus dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptide
yang berperan sebagai antibiotik dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin,
mycobacillin, subsporin, ituirin, Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam
sianida, fengycin dan bacilysocin (Tamehiro et al., 2002). Sintesis antibiotik pada
Bacillus dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan
kondisi lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004). Bakteri ini mampu
menghasilkan enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel
jamur, seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada
medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase dan protease
(Schaechter, 2004).
Dinding sel Fusarium sp tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan
6% lemak (Webster and Weber, 2007:5). Kandungan kitin pada dinding sel jamur
Fusarium sp ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.

Aplikasi Praktis Penggunaan Rhizobakteria sebagai Alternatif Biofungisida


Jamur Fusarium sp. Di Indonesia
Pengendalian fungi menggunakan agen pengendali hayati baik menggunakan jamur
maupun rhizobakteria yang selama ini telah dilakukan menurut Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (2006), antara lain melalui :
1. Pemberian Kultur Cair
2. Pemberian zat aktif biofungisida nabati
3. Pencampuran agen dalam proses pengomposan
Produk yang telah dikomersialkan antara lain: Bio-FOB, Bio-TRIBA, Mitol 20 EC
dan Organo-TRIBA. Namun produk ini masih terbatas pada jamur Trichoderma,
Gliocladium, Aspergillus niger dan bakteri dari genus Bacillus, Burkholderia dan
Pseudomonas kelompok fluorescens. Padahal masih banyak rhizobakteria lainnya
yang belum dikembangkan secara optimal.

Keunggulan dan Kelemahan Penggunaan Rhizobakteria sebagai Biofungisida


Jamur Fusarium sp.
Penggunaan rhizobakteria sebagai alternatif biofungisida pengendali jamur Fusarium
sp merupakan salah satu langkah baik untuk mensiasati penggunaan fungisida sintetik
pada saat ini. Penggunaan rhizobakteria sebagai agen hayati biofungisida memiliki
beberapa keunggulan, diantaranya :
Keunggulan biofungisida nabati (rhizobakteria) dengan fungisida kimia sintetik
adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen di dalam tanah, ternyata juga
dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena
adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif rhizobakteria dalam

memacu

hormon

pertumbuhan

tanaman.

Rhizobakteria

dilaporkan

mampu

menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan mensekresikan hormon pertumbuhan


seperti IAA (auksin) dan sitokinin.
Lebih ramah lingkungan, karena agen biofungisida yang digunakan merupakan
jasad hidup yang berasal dari tanah. Saat diaplikasikan, agen biofungisida
dikembalikan ke dalam habitatnya yaitu tanah, sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif pada lingkungan. Dengan demikian biaya lingkungan bisa dikatakan tidak
ada, berbeda dengan fungisida kimiawi yang memberikan efek residu yang
membahayakan lingkungan dan mahluk hidup lainnya.
Dibandingkan dengan penggunaan fungisida kimia sintetik, aplikasi biofungisida
menggunakan rhizobakteria dipandang jauh lebih murah dan menguntungkan
terutama dalam upaya untuk pemeliharaan perkebunan.
Bersifat non-patogen dan tidak membahayakan manusia dan lingkungan.
Selain kelebihan di atas, aplikasi rhizobakteria sebagai biofungisida juga memiliki
beberapa kekurangan yakni diperlukan adanya analisis resiko rhizobakteria yang
digunakan sebelum dipasarkan sebagai agen biofungisida. Beberapa agen hayati
berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atau
tanaman) atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan
penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman.
Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati.
Menurut Supriadi (2006), untuk memastikan keamanan suatu agen biofungisida perlu
diketahui informasi fisik, kimia dan biologis agen, data toksisitas akut dan residu
yang dihasilkan.

10

Kesimpulan

Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada saat ini


mutlak diperlukan sebagai upaya menghadapi tantangan permintaan pasar akan
produk pertanian yang terbebas dari fungisida sintetik. Ancaman polutan fungisida
sintetik yang merugikan lingkungan hidup, mau tidak mau memaksa umat manusia
untuk memikirkan alternatif penggunaan fungisida nabati, yakni melalui pemanfaatan
potensi rhizobakteria sebagai agen pengendali hayati jamur Fusarium sp penyebab
penyakit layu patologis pada tanaman. Beberapa rhizobakteria mampu menghambat
pertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas degradasi kitin
sebagai komponen utama penyusun dinding sel jamur. Rhizobakteria yang digunakan
bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan aman untuk
dikonsumsi. Selain itu rhizobakteria mampu berasosiasi positif terhadap pertumbuhan
tanaman dengan menghasilkan hormon pertumbuhan. Jika agen pengendali biologis
ini bisa dikembangkan lebih lanjut dalam pengendalian fitopatogen Fusarium sp.
maka otomatis penggunaan fungisida sintetik akan berkurang.

11

Daftar Pustaka

Anisah, S. E. 2008. Uji Antagonisme Pseudomonas spp. Terhadap Jamur Fusarium


sp. Asal Bawang Daun (Allium fistulosum L.) Secara In Vitro. Skripsi Sarjana
Biologi pada Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Balai Penelitian Tanaman Hias. 2004. Mikroba Antagonis Sebagai Agen Hayati
Pengendali Penyakit Tanaman. BPTH: Cianjur.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 2006. Teknologi Bio-FOB Ternyata
Meningkatkan Produksi Panili Organik. BPTRO: Bogor.
Botelho, G.R. et al. 2006. Fluorescent Pseudomonads Associated With The
Rhizosphere Of Crops - An Overview. Brazilian Journal of
Microbiology.37,401-416.
Haas, D. and Devago, G. 2005. Biologycal Control Of Soil-Borne Pathogens by
Fluorescens Pseudomonads. Nature Reviews Microbiology 1, 1-13.
Hasanudin. 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian
Penyakit
Tumbuhan
Secara
Terpadu.
(Online).
Tersedia
:
http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf Diakses tanggal 14
Desember 2011.
Huang, C.J. et al. 2004. Identification of an Antifungal Chitinase from a Potential
Biocontrol Bacillus cereus Agent 28-9. Journal of Biochemistry and
Molecular Biology.38,(1), 82-88.
Istikorini, Y. 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan secara Hayati yang Ekologis
dan
Berkelanjutan.
(Online).
Tersedia
:
http://tumoutou.net/702_05123/yunik_istikorini.htm. [Diakses tanggal 14
Desember 2011]
Purwantisari, Susiana. 2009. Biofungisida Ramah Lingkungan.[online].
Tersedia
:http://www.wawasandigital.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=18020&Itemid=62. [Diakses tanggal 14
Desember 2011].
Reintjes, C., B. Haverckort dan A. water-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
12

Terjemahan dari : An Introduction to Low-External Input and Sustainable


Agriculture 1992 Oleh Y.Sukoco, S.S. Kanisius : Yogyakarta
Schaechter, M. 2004. The Desk Encyclopedia of Microbiology. California U.S.A :
Elsevier Academic Press.
Supriadi. 2006. Analisis Risiko Agens Hayati Untuk Pengendalian Patogen pada
Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian.25,(3),75-80.
Tamehiro, N. et al. 2002. Bacilysocin, a Novel Phospholipid Antibiotic Produced by
Bacillus subtilis 168. Journal of Antimicrobial Agents And Chemotherapy.46,
(2),315-320
Webster, J. and Weber, R. W. S. 2007. Introduction of Fungi.New York:Cambridge
University Press.
Yunasfi. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit dan
Penyakit yang disebabkan oleh Jamur. (online). Tersedia :
http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-yunasfi.pdf [Diakses tanggal 14
Desember 2011]
Yusriadi. 2004. Pengendalian Biologi (Biocontrol) Penyakit Tular tanah Kacang tanah
dengan Pseudomonas (Ralstonia) fluorescens BSK8. Jurnal Kalimantan
Scientiae,
64
(12)
:
78-84.
(Online).
Tersedia
:
http://www.hptunlam.com/Makalahupaya-yusriadi.pdf [Diakses tanggal 14
Desember 2011]

13

Anda mungkin juga menyukai