Anda di halaman 1dari 18

PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN SECARA KIMIAWI

Disusun oleh :

Nama : Anindya Puspaning Tyas


NIM : B1A020012
Rombongan : II
Kelompok :3
Asisten : Jihad Akbar Mubarrok

LAPORAN PRAKTIKUM FITOPATOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2023
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengendalian penyakit secara kimiawi merupakan pegendalian penyakit


tumbuhan dengan menggunakan senyawa kimia yang beracun bagi patogen sehingga
dapat menghambat pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada tumbuhan.
Pengendalian secara kimia dilakukan dengan cara pemberian fungisida, insektisida,
dan zat kimia lain sesuai dengan karakteristik penyakit yang menyerang tanaman.
Menurut Sila & Sopialena, (2018), banyak cara yang dilakukan untuk mengendalikan
penyakit pada tanaman. Namun, pengendalian secara kimiawi cenderung lebih disukai
oleh para petani di Indonesia karena lebih terlihat hasilnya. Pengendalian patogen
secara kimiawi merupakan pengendalian menggunakan bahan yang mengandung
senyawa kimia dan cara pengendalian ini sering dilakukan karena mudah diterapkan
dan hasilnya cepat terlihat, namun apabila penggunaannya kurang bijaksana akan
mencemari lingkungan. Oleh karena itu aplikasinya harus didasarkan pada nilai
ambang kendali patogen yang akan dikendalikan (Indiati & Marwoto, 2017).
Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan pemberian fungisida
(azoxystrobin, chlorothalonil, mancozeb dan pyraclostrobin, ethaboxam, mefenoxam,
oxathiapiprolin, CaCl2, Ca(NO3)2, dan KNO3. Pengendalian penyakit tanaman secara
kimiawi dianggap dapat mengendalikan penyakit secara cepat, pengaruhnya langsung
dapat dilihat dan praktis (Paramita et al., 2014).
Pengendalian penyakit tanaman secara kimiawi memiliki kelebihan dan
kekurangan baik dalam pengaplikasiannya maupun dampak setelah digunakan.
Kelebihan dari pengendalian secara kimiawi di antaranya yaitu hambatan
pertumbuhan dan perkembangan fungi patogen yang dikendalikan menggunakan
fungisida lebih cepat dapat diamati hasilnya serta dapat diaplikasikan di setiap waktu
(Sari et al., 2014). Bahan atau senyawa kimia juga dapat menghambat perkecambahan
konidia serta menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakkan patogen yang
dipengaruhinya (Anugrah & Widiantini, 2018). Selain keunggulan tersebut,
pengendalian penyakit tanaman secara kimiawi juga memiliki beberapa kekurangan,
yaitu biaya atau harga yang relatif mahal, penggunaan senyawa kimia juga dapat
menimbulkan beberapa kerugian seperti resistensi hama atau patogen, resurjensi hama,
terbunuhnya musuh alami di alam, menyebabkan masalah pencemaran lingkungan,
serta dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia, hewan, maupun lingkungan
(Yulia et al., 2018). Selain itu, penggunaan senyawa kimia untuk mengendalikan
penyakit tanaman juga dapat menimbulkan residu. Residu dari bahan kimiawi telah
dapat dideteksi di dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur, udara. Residu juga
dapat ditemukan di makanan yang seharihari kita konsumsi seperti sayuran dan buah-
buahan (Indiati & Marwoto, 2017). Menurut (Wedastra et al., 2020), senyawa kimiawi
yang digunakan untuk mengendalikan penyakit pada tanaman dapat menyebabkan
terjadinya ledakan hama atau OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan), yaitu akibat
dari penggunaannya fungisida yang kurang tepat, sehingga cenderung berlebihan dan
tidak tepat pada sasaran atau tujuan pengendalian. Penggunaan bahan kimia dari yang
semula ditujukan untuk mengurangi populasi OPT justru dapat meningkatkan populasi
hama, karena ketidaktepatan penggunaan dan perhitungan dari senyawa kimia pada
pestisida, fungisida, maupun yang lainnya, sehingga tujuan untuk mengendalikan
patogen dan menyelamatkan tumbuhan dari penyakit kurang atau bahkan tidak
tercapai.
Fungisida telah digunakan secara luas untuk mengendalikan penyakit yang
disebabkan oleh cendawan patogen. Lebih dari 30 fungisida telah terdaftar untuk
digunakan dalam pengendalian penyakit padi, beberapa di antaranya adalah
azoxystrobil, carbendazim, khlorothalonil, difenokonazol, isoprotiolan, mankozeb,
dan propineb (Kumar et al., 2013). Menurut Gurusinga et al., (2020), fungisida
benomil 50 WP dan mankozeb 80% efektif dalam mengendalikan penyakit blas pada
padi. Beberapa fungisida lain seperti carbendazim 50%, isoprotiolan 40%, dan
difenokonazol 25% juga efektif dalam mengendalikan penyakit blas. Selain itu,
penelitian Apriani et al., (2014), menunjukkan bahwa benomyl secara in vitro mampu
menghambat pertumbuhan koloni jamur patogen dengan daya hambat sebesar 61,11%.
Benomyl merupakan fungisida sistemik yang mempunyai spektrum yang luas untuk
mengendalikan berbagai penyakit tanaman. Tanaman tomat yang yang diinokulasikan
Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici dengan perlakuan penambahan benomyl dengan
cara disemprotkan ke tanah, menunjukkan penurunan yang berarti dan dapat
menghambat pertumbuhan patogen tersebut.
B. Tujuan

Tujuan praktikum acara isolasi patogen dan jamur antagonis yaitu:


1. Mengetahui efektifitas fungisida uji dalam mengendalikan penyakit tanaman.
2. Mengetahui dosis fungisida uji yang paling efektif dalam mengendalikan
penyakit tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Fungisida merupakan bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang


digunakan untuk memberantas dan mencegah jamur (Sari et al., 2014). Fungisida
mengandung bahan aktif kimiawi di dalamnya yang berbeda-beda, seperti
carbendazim, benomyl, dan iprodione. Carbendazim merupakan salah satu jenis bahan
aktif pada fungisida yang efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen pada
tanaman khususnya yang berasal dari tanaman berkambium (Hutabarat et al., 2022).
Menurut Yamuna et al., (2021), carbendazim (CBZ) merupakan salah satu fungisida
yang paling efektif yang dapat digunakan untuk melindungi tanaman dari serangan
patogen. Carbendazim digunakan sebagai agen pelindung pada saat pra dan
pascapanen tanaman, buah-buahan, dan sayuran. Carbendazim memiliki stabilitas
yang kuat dan degradasi yang lambat pada struktur cincin benzimidazole. Struktur
tersebut dapat bertahan di lingkungan tanah atau air untuk jangka panjang. Oleh karena
itu, carbendazim dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan manusia, hewan,
dan lingkungan.
Benomyl merupakan fungisida sistemik yang mempunyai spektrum yang luas
untuk mengendalikan berbagai penyakit tanaman (Dotulong et al., 2019). Benomyl
merupakan turunan dari komponen carbendazim sebagai fungisida sistemik
benzimidazole. Benomyl mempunyai peranan penting dalam pengendalian penyakit
tanaman untuk mencegah pertumbuhan fungi patogen (Setyabudi et al., 2016).
Menurut Jati et al., (2021), fungisida ini dapat diserap oleh tanaman dan
ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. Fungisida benomyl dapat berubah
menjadi metilbenzidamizole karbamat apabila diaplikasikan pada permukaan tanaman
sehingga akan mengganggu pembelahan inti jamur dan mengganggu sintesa DNA
patogen. Iprodione merupakan fungisida dicarboximide yang banyak digunakan dalam
dunia pertanian di seluruh dunia. Bahan aktif Iprodione ini banyak digunakan pada
tanaman sayuran, tanaman benih, tanaman buah-buahan, tanaman merambat, tanaman
hias, rerumputan, wewangian, makanan, tanaman obat dan kuliner, serta tanaman
lapangan (Bitar et al., 2019). Menurut Hartatik et al., (2020), iprodione merupakan
bawah aktif pada fungisida yang sudah diuji sebagai bahan kimia yang paling ampuh
dalam mengendalikan penyakit tumbuhan karena patogen, contohnya yaitu penyakit
bercak daun.
Berdasarkan cara kerjanya pada tanaman, fungisida dibedakan menjadi 2, yaitu
fungisida kontak atau non sistemik dan fungisida sistemik. Fungisida kontak
merupakan fungisida yang tidak dapat diabsorpsi dan ditranslokasikan ke dalam
jaringan tanaman, atau hanya menutup permukaan tanaman dan mematikan atau
menghambat patogen yang kontak atau bersentuhan dengannya. Kelebihan fungisida
kontak adalah cara meracunnya dalam tubuh jamur yang beragam sehingga tidak
menimbulkan ketahanan. Fungisida non sistemik berfungsi untuk mencegah infeksi
patogen dengan cara menghambat perkecambahan spora. Fungisida sistemik
merupakan fungisida yang dapat diabsorpsi oleh organ-organ tanaman, kemudian
didistribusikan ke seluruh bagian tanaman melalui pembuluh angkut, sehingga dapat
menghambat perkembangan patogen dalam tanaman yang telah terinfeksi. Kelemahan
fungisida sistemik adalah memiliki sasaran bunuh yang spesifik sehingga
mengakibatkan munculnya ketahanan dari patogen. Ketahanan adalah keadaan alami
yang timbul sebagai reaksi perlawanan dari patogen yang terpapar suatu senyawa
kimia secara terus menerus, terutama senyawa yang memiliki sasaran bunuh yang
spesifik (Paramita et al., 2014).
Curvularia merupakan salah satu cendawan yang menyerang suku Araceae.
Curvularia biasa ditemukan pada bibit kelapa (Susanto & Prasetyo, 2013). Menurut
Suganda & Wulandari, (2019), Curvularia merupakan jamur patogen yang semakin
banyak dilaporkan ditemukan pada berbagai jenis tanaman di berbagai negara. Jamur
Curvularia sp. sudah dikenal menjadi patogen pada beberapa jenis tanaman, karena
memiliki kisaran inang yang luas. Patogen Curvularia sp. mampu menginfeksi
berbagai jenis tanaman dari famili Leguminaceae, Cucurbitaceae, Compositae,
Solanaceae, Malvaceae dan Graminae. Jamur ini menyerang tanaman dengan cara
memproduksi toksin sebagai alat patogenisitasnya. Pada daerah tropis dan subtropics,
Curvularia sp. merupakan patogen pada berbagai tanaman yang dapat menyebabkan
kematian pada tanaman kelapa sawit pada stadium prenursery. Hal tersebut dapat
terjadi apabila tidak dilakukan penanganan secara signifikan. Serangan penyakit
bercak daun Curvularia selain sulit dikendalikan juga dapat menyebabkan
berkurangnya mutu kelapa sawit yang dihasilkan (Mahmud et al., 2021).
Penelitian terkini menyebutkan bahwa patogen Curvularia sp. dapat dilakukan
uji laboratorium fungisida untuk mengetahui efektivitas dari fungisida tersebut.
Fungisida yang digunakan adalah Benzothiadiazole atau Bion M yang mengandung
bahan aktif mancozeb. Tanaman uji yang digunakan adalah sawi hijau dengan penyakit
dugaan adalah bercak daun yang disebabkan oleh jamur patogen Curvularia sp. Bahan
penginduksi diaplikasikan dengan dua metode perlakuan, yaitu digunakan untuk
merendam benih atau disemprotkan. Dua hari setelah pengaplikasian bahan
penginduksi, tanaman diinokulasi dengan suspensi konidia Culvuraria sp. dengan
kerapatan 5 x 105 konidia ml-1, yang telah ditambah dengan 2 ml Tween 80 per 100 ml
suspensi. Penyemprotan dengan suspensi konidia dilakukan sampai terjadi run-off.
Penginokulasian dilaksanakan bersamaan untuk seluruh tanaman percobaan. Pada
penelitian ini, didapatkan hasil bahwa perlakuan secara penyemprotan yang hanya satu
kali belum efektif menekan masa inkubasi penyakit bercak daun Curvularia. Kurang
efektifnya pengaplikasian dengan cara penyemprotan terhadap bibit diduga
disebabkan oleh karena konsentrasi bahan aktif yang kontak dengan permukaan daun
tanaman lebih sedikit, apalagi tidak semua bahan aktif yang kontak dengan permukaan
daun terabsorpsi oleh jaringan tanaman. Pada perlakuan perendaman, tersedia waktu
yang cukup (12 jam) untuk terjadinya kontak antara benih sawi dengan senyawa bahan
penginduksi. Selain itu, pengaplikasian penyemprotan bahan penginduksi dilakukan
hanya sekali, sehingga efek penginduksiannya mungkin masih kurang (Suganda &
Wulandari, 2019).
III. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada kegiatan praktikum yaitu LAF (Laminar Air
Flow), cawan petri, labu erlenmeyer, mikropipet, dan mikrotube, bor gabus, jarum
ose, bunsen, pipet tetes, pipet ukur, gelas ukur, timbangan analitik, penggaris, dan
spidol.
Bahan yang digunakan pada kegiatan praktikum yaitu media PDA (Potato
Dextrose Agar), fungisida uji (carbendazim, benomyl, iprodione), isolat patogen
uji (Curvularia sp.), chloramphenicol, alkohol 70%, akuades, plastic wrapper,
spirtus, label, kapas, aluminium foil, dan tissue.

B. Cara Kerja

1. Sebanyak 4 buah garis diameter dibuat pada bagian bawah cawan petri.
2. Larutan fungisida uji dibuat dalam 3 taraf dosis yang berbeda, yaitu 0,05 gr;
0,1 gr; dan 0,15 gr.
3. Masing-masing cawan petri diberi dengan 1 ml larutan fungisida uji dalam 3
taraf dosis yang berbeda.
4. Media PDA (Potato Dextrose Agar) dimasukkan ke dalam cawan petri,
kemudian diratakan dan dibiarkan memadat.
5. Inokulum patogen diletakkan pada bagian tengah cawan petri.
6. Diinkubasi pada suhu kamar selama 7 hari.
7. Diamati sejak inkubasi hari pertama hingga koloni memenuhi cawan petri.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 4. 1 Persentase Penghambatan Fungisida terhadap Jamur Patogen


Curvularia sp. Setelah Inkubasi 7 Hari
Jamur Patogen Fungisida Dosis Persentase
(gram) Penghambatan (P)%
0,05 25,28%
Carbendazim 0,1 11,49%
0,15 14,94%
0,05 13,79%
Curvularia sp. Benomyl 0,1 19,54%
0,15 8,04%
0,05 0%
Iprodione 0,1 0%
0,15 0%

Tabel 4. 2 Persentase Penghambatan Fungisida terhadap Jamur Patogen


Fusarium sp. Setelah Inkubasi 7 Hari
Jamur Patogen Fungisida Dosis Persentase
(gram) Penghambatan (P)%
0,05 91,46%
Carbendazim 0,1 92,68%
0,15 90,24%
0,05 91,4%
Fusarium sp. Benomyl 0,1 0%
0,15 91,4%
0,05 76,82%
Iprodione 0,1 74,39%
0,15 79,26%
Gambar 4. 1 Cawan Uji Patogen Curvularia Gambar 4. 2 Cawan Uji Patogen Curvularia
sp. dengan Fungisida Iprodione Konsentrasi sp. dengan Fungisida Iprodione Konsentrasi
0,05 gram 0,1 gram

Gambar 4. 3 Cawan Uji Patogen Curvularia Gambar 4. 4 Cawan Kontrol Jamur Patogen
sp. dengan Fungisida Iprodione Konsentrasi Curvularia sp.
0,15 gram
B. Pembahasan

Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukan secara kimiawi


menggunakan senyawa-senyawa kimia yang beracun bagi patogen. Pengendalian
ini dapat dilakukan dengan aplikasi atau pemberian fungisida, bakterisida,
nematisida, virusida, atau herbisida. Fungisida merupakan bahan yang
mengandung senyawa kimia beracun yang mempunyai peranan dalam
mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan atau jamur
(fungi) dengan cara memberantas dan mencegah tumbuhnya jamur atau fungi
(Hartini, 2014). Bakterisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk
membunuh bakteri penyebab penyakit pada tanaman. Nematisida merupakan
senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan atau memberantas
nematoda yang menyebabkan penyakit pada tumbuhan. Penggunaan nematisida
berbahan kimia sintetik merupakan cara yang sering dilakukan untuk
mengendalikan nematoda baik sebagai fumigan maupun nematisida sistemik
(Dropkin, 1991). Virusida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan virus penyebab penyakit pada tanaman.
Herbisida merupakan salah satu bahan kimia yang sering digunakan oleh para
petani untuk memberantas tanaman pengganggu (Muhartono et al., 2016).
Praktikum kali ini menggunakan fungisida untuk dilakukan uji
pengendalian penyakit tanaman secara kimiawi dengan jamur patogen yang
digunakan adalah jamur patogen Curvularia sp. Berdasarkan hasil yang diperoleh
bahwa pada praktikum ini dilakukan uji pengendalian penyakit tanaman secara
kimiawi dengan menggunakan fungisida. Fungisida yang digunakan pada
kelompok 3 adalah fungisida yang memiliki bahan aktif iprodione. Langkah yang
dilakukan dalam melakukan uji pengendalian secara kimiawi ini yaitu
menyiapkan 3 cawan petri kemudian membuat 4 buah garis diameter pada bagian
cawan petri tersebut. Setelah itu, larutan fungisida uji yang akan digunakan dibuat
dalam 3 taraf dosis yang berbeda, yaitu dosis 0,05 gram, 0,1 gram, dan 0,15 gram.
Masing-masing 3 cawan petri yang sudah diberi garis diameter diisi dengan 1 ml
larutan fungisida uji dalam 3 taraf dosis yang berbeda. Langkah yang selanjutnya
yaitu menuangkan media PDA (Potato Dextrose Agar) ke dalam cawan petri
secukupnya dan dibiarkan hingga memadat. Setelah memadat, inokulum patogen
Curvularia sp. dimasukkan di bagian tengah cawan petri yang sebelumnya sudah
dipotong menggunakan bor gabus. Setelah diinokulasi, cawan petri ditutup dan
diinkubasi pada suhu kamar selama 7 hari untuk kemudian diamati pertumbuhan
dan persentase penghambatannya.
Fungisida yang digunakan pada rombongan 2 yaitu fungisida berbahan
aktif carbendazim, benomyl, dan iprodione yang masing-masing diuji untuk
mengendalikan patogen Curvularia sp. dalam 3 taraf yang berbeda. Hasil yang
didapatkan setelah diinkubasi selama 7 hari, yaitu persentase daya hambat dari 3
kelompok pada rombongan II, didapatkan hasil bahwa fungisida berbahan aktif
carbendazim dengan dosis 0,05 gram terhadap jamur patogen Curvularia sp.
memiliki persentase penghambatan sebesar 25,28%, persentase penghambatan
fungisida berbahan aktif carbendazim dengan dosis 0,1 gram yaitu sebesar
11,49%, dan persentase penghambatan fungisida berbahan aktif carbendazim
dengan dosis 0,15 gram yaitu sebesar 14,94%. Fungisida berbahan aktif benomyl
dengan dosis 0,05 gram terhadap jamur patogen Curvularia sp. memiliki
persentase penghambatan sebesar 13,79%, persentase penghambatan fungisida
berbahan aktif benomyl dengan dosis 0,1 gram yaitu sebesar 19,54%, dan
persentase penghambatan fungisida berbahan aktif benomyl dengan dosis 0,15
gram yaitu sebesar 8,04. Fungisida berbahan aktif iprodione dengan dosis 0,05
gram, 0,1 gram, dan 0,15 gram terhadap jamur patogen Curvularia sp. memiliki
persentase penghambatan sebesar 0% atau tidak terjadi penghambatan terhadap
patogen Curvularia sp. Fungisida yang digunakan pada kelompok 3 adalah
fungisida berbahan aktif iprodione. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa
fungisida berbahan aktif iprodione baik pada dosis 0,05 gram, 0,1 gram, atau 0,15
gram tidak menghambat pertumbuhan jamur patogen Curvularia sp., atau dapat
dikatakan bahwa persentase penghambatannya sebesar 0%. Oleh karena itu, tidak
dapat dilakukan perhitungan persentase penghambatan fungisida berbahan aktif
iprodione terhadap jamur patogen Curvularia sp. karena tidak ada aktivitas
penghambatan yang dilakukan oleh fungisida iprodione terhadap jamur patogen
Curvularia sp. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor pada saat perlakuan
di laboratorium, yaitu pada saat pembuatan cawan uji, media PDA (Potato
Dextrose Agar) belum memadat secara sempurna tetapi isolate patogen
Curvularia sudah ditanam atau diinokulasi pada media berisi fungisida tersebut.
Oleh karena itu, pada ketiga cawan dengan 3 perlakuan dosis fungisida tersebut
ditumbuhi dengan kontaminasi berupa bakteri. Adanya kontaminasi bakteri ini
menyebabkan pertumbuhan jamur patogen terhambat dan fungisida juga tidak
dapat bekerja secara semestinya untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen
Curvularia sp. Hal ini sesuai dengan referensi Andriani & Heriansyah, (2021),
bahwa kontaminasi yang sering terjadi pada cawan uji ini yaitu kontaminasi
bakteri. Kontaminasi menjadi faktor pembatas pada pertumbuhan
mikroorganisme target. Kontaminasi ini dapat disebabkan karena beberapa faktor
atau penyebab. Kontaminan pada cawan uji dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya kebersihan alat, bahan atau media yang digunakan, serta
perilaku kerja aseptis.
Berdasarkan hasil perhitungan yang didapatkan pada rombongan 1, dapat
diketahui bahwa fungisida yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan
jamur patogen Curvularia sp. adalah fungisida berbahan aktif carbendazim
dengan dosis 0,05 gram. Fungisida berbahan aktif carbendazim dengan dosis 0,05
gram dikatakan paling efektif dalam menghambat patogen karena persentase
penghambatannya paling besar dalam menghambat jamur patogen Curvularia sp.
yaitu sebesar 25,28%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gurusinga et al., (2020),
bahwa fungisida berbahan aktif carbendazim cukup efektif untuk menghambat
jamur patogen penyebab penyakit pada tanaman. Menurut (Li et al., 2020),
toksisitas fungisida berbahan aktif carbendazim telah dibuktikan bahwa
carbendazim dapat menghambat polimerisasi mikrotubulus sel jamur patogen dan
dapat menyebabkan gangguan perakitan mikrotubulus dengan membentuk β -
tubulin yang mengakibatkan gangguan pemisahan kromosom dalam proses
pembelahan sel jamur patogen.
Ketiga fungisida yang digunakan untuk uji pengendalian penyakit
tanaman secara kimiawi baik itu fungisida carbendazim, benomyl, dan iprodione
dengan taraf dosis yang berbeda (0,05 gram; 0,1 gram; 0,15 gram) memiliki
kemampuan untuk menghambat patogen Curvularia sp. yang masih terbilang
rendah, karena persentase penghambatannya cukup kecil. Namun, dosis paling
efektif untuk menghambat patogen Curvularia sp. pada rombongan II yaitu
fungisida carbendazim dengan dosis 0,05 gram. Berbeda dengan uji pengendalian
secara kimiawi terhadap patogen Fusarium sp. pada rombongan I. Fungisida
berbahan aktif carbendazim dengan dosis 0,05 gram; 0,1 gram; dan 0,15 gram
memiliki persentase penghambatan berturut-turut sebesar 91,46%, 92,68%, dan
90,24%. Fungisida berbahan aktif benomyl dengan dosis 0,05 gram; 0,1 gram;
dan 0,15 gram memiliki persentase penghambatan berturut-turut sebesar 91,4%,
0%, dan 91,4%. Fungisida berbahan aktif iprodione dengan dosis 0,05 gram; 0,1
gram; dan 0,15 gram memiliki persentase penghambatan berturut-turut sebesar
76,82%, 74,39%, dan 79,26%.
Fungsida memiliki mekanisme dalam menghambat jamur patogen
penyebab penyakit pada tanaman. Fungisida berbahan aktif iprodione memiliki
mekanisme penghambatan dengan cara merusak dinding sel patogen,
mengganggu proses pembelahan sel pada patogen, mempengaruhi permeabilitas
membrane sel, dan mampu menghambat kerja enzim tertentu pada proses
metabolisme patogen. Bahan kimia yang terkandung di dalam fungisida dapat
menghambat perkecambahan, pertumbuhan, serta perkembangbiakkan patogen
yang dipengaruhinya. Menurut Diana et al., (2014), fungisida memiliki
mekanisme untuk menghambat enzim-enzim dan merusak protein pada jamur
patogen. Aktifitas fungisida atau kriteria zona hambat dalam menghambat
patogen dibedakan menjadi 2, yaitu fungistatik dan fungisidal. Fungistatik adalah
cara kerja senyawa antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen
tanpa mematikannya. Hal ini ditandai dengan terbentuknya zona hambat yang
keruh. Berbeda dengan fungisidal, dimana fungisidal merupakan cara kerja suatu
senyawa antifungi yang dapat membunuh jamur patogen target yang ditandai
dengan trbentuknya zona hambat yang bening (Queendy & Roza, 2019).
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan:


1. Efektifitas fungisida uji dalam mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan
oleh jamur patogen Curvularia sp. masih cukup rendah, karena persentase
penghambatan yang paling tinggi dari ketiga jenis fungisida yaitu sebesar 25,28%.
2. Dosis fungisida uji yang paling efektif dalam mengendalikan penyakit tanaman
yang disebabkan oleh jamur patogen Curvularia sp. adalah fungisida carbendazim
dengan dosis 0,05 gram.
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, D. & Heriansyah, P., 2021. Identifikasi Jamur Kontaminan pada Berbagai
Eksplan Kultur Jaringan Anggrek Alam (Bromheadia finlaysoniana (Lind.)
Miq. Agro Bali: Agricultural Journal, 4(2), pp. 192-199.
Anugrah, F. M. & Widiantini, F., 2018. Pengaruh Fungisida Berbahan Aktif
Metalaksil, Fenamidone, dan Dimetomorf terhadap Konidia
Peronosclerospora spp. Isolat Klaten. Jurnal Penelitian Saintek, 23(1), pp. 21-
31.
Apriani, L., Suprapta, D. N. & Temaja, I. G. R. M., 2014. Uji Efektivitas Fungisida
Alami dan Sintetis dalam Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium pada
Tanaman Tomat yang Disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp.
lycopersici. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 3(3), pp. 137-147.
Bitar, M., Lafarge, C., Sok, N., Cayot, P. & Bou-Maroun, E., 2019. Molecularly
Imprinted Sol-gel Polymers for The Analysis of Iprodione Fungicide in Wine:
Synthesis in Green Solvent. Food chemistry, 293, pp. 226-232.
Diana, N., Khotimah, S. & Mukarlina. 2014. Penghambatan Pertumbuhan Jamur
Fusarium oxysporum Schlecht Pada Batang Padi (Oryza sativa L.)
Menggunakan Ekstrak Metanol Umbi Bawang Mekah (Eleutherine palmifolia
Merr.). Protobiont, 3(2), pp. 225-231.
Dotulong, G., Umboh, S. & Pelealu, J., 2019. Uji Toksisitas Beberapa Fungisida
Nabati terhadap Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum) pada
Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) secara In Vitro. JURNAL BIOS
LOGOS, 9(2), pp. 91-101.
Dropkin. 1991. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Gurusinga, R. E., Retnowati, L., Wiyono, S. & Tondok, E. T., 2020. Dampak
Penggunaan Fungisida Sintetik pada Kelimpahan Cendawan Endofit Tanaman
Padi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 25(3), pp. 432-439.
Hartatik, N. S., Sucianto, E. T. & Purwati, E. S., 2020. Genera Jamur Patogen dan
Persentase Penyakit Bercak Daun yang ditemukan pada Pertanaman Sawi
Hijau (Brassica juncea) di Desa Serang, Kecamatan Karangreja,
Purbalingga. BioEksakta: Jurnal Ilmiah Biologi Unsoed, 2(3), pp. 392-402.
Hartini, E., 2014. Kontaminasi Residu Pestisida dalam Buah Melon (Studi Kasus pada
Petani di Kecamatan Penawangan). KEMAS: Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 10(1), pp. 96-102.
Hutabarat, C. T., Restiani, R. & Prasetyaningsih, A., 2022. Pengaruh Sterilisasi
Tunggal dan Kombinasi pada Kultur In Vitro Nodus Kepel (Stelechorcarpus
burahol Hook F. & Thomson). Metamorfosa: Journal of Biological Sciences,
9(2), pp. 235-246.
Indiati, S. W. & Marwoto, M., 2017. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
pada Tanaman Kedelai. Buletin Palawija, 15(2), pp. 87-100.
Jati, W. W., Kristini, A. & Putra, L. K., 2021. Pengaruh Long Hot Water Treatment
terhadap Perkecambahan dan Produksi Benih Tebu Bagal Mata 1 dan
2. Indonesian Sugar Research Journal, 1(1), pp. 19-31.
Kumar, M. P., Gowda, D. S., Moudgal, R., Kumar, N. K., Gowda, K. P. & Vishwanath,
K., 2013. Impact of Fungicides on Rice Production in India. Fungicides-
showcases of integrated plant disease management from around the world.
India: In Tech.
Li, J., Zhou, X., Zhang, C., Zhao, Y., Zhu, Y., Zhang, J., Bai, J. & Xiao, X., 2020. The
Effects of Carbendazim on Acute Toxicity, Development, and Reproduction in
Caenorhabditis elegans. Journal of Food Quality, 1(1), pp. 1-6.
Mahmud, Y., Lististio, D., Irfan, M. & Zam, S. I., 2021. Efektivitas Asap Cair Tandan
Kosong Kelapa Sawit untuk Mengendalikan Ganoderma boninese dan
Curvularia sp In Vitro. Jurnal Pertanian Presisi (Journal of Precision
Agriculture), 5(1), pp. 24-39.
Muhartono, M., Windarti, I., Liantari, D. S. & Susianti, S., 2016. Risiko Herbisida
Paraquat Diklorida terhadap Ginjal Tikus Putih Spraque Dawley. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 29(1), pp. 43-46.
Paramita, N. R., Sumardiyono, C. & Sudarmadi, S., 2014. Pengendalian Kimia dan
Ketahanan Colletotrichum spp. terhadap Fungisida Simoksanil pada Cabai
Merah. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 18(1), pp. 41-46.
Queendy, V., & Roza, R. M., 2019. Aktivitas Antifungi Isolat Aktinomisetes
Arboretum Universitas Riau Terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp
lycopersici dan Ganoderma boninense. AL-KAUNIYAH: Journal of Biology,
12(1), pp. 73-88.
Sari, E. M., Suwirmen & Noli, Z. A., 2014. Pengaruh Penggunaan Fungisida (Dithane
M-45) terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) dan Kepadatan
Spora Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Jurnal Biologi UNAND, 3(3), pp.
188-194.
Setyabudi, D. A., Broto, W. & Jamal, I. B., 2016. Pengaruh Pencelupan dalam Larutan
Benomyl Terhadap Kesegaran Cabai (Capsicum annum L. Var. Kencana) pada
Penyimpanan Suhu Rendah dan Ruang. Jurnal Penelitian Pascapanen
Pertanian, 13 (2), pp. 53–62.
Sila, S. & Sopialena. 2016. Efektifitas Beberapa Fungisida terhadap Perkembangan
Penyakit dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum frutescens). Agrifor: Jurnal
Ilmu Pertanian dan Kehutanan, 15(1), pp. 117-130.
Suganda, T. & Wulandari, D. Y., 2019. Curvularia sp. Jamur Patogen Baru Penyebab
Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Sawi. Jurnal Agrikultura, 29(3), pp. 119-
123.
Susanto, A. & Prasetyo, A. E., 2013. Respons Curvularia lunata Penyebab Penyakit
Bercak Daun Kelapa Sawit terhadap Berbagai Fungisida. Jurnal Fitopatologi
Indonesia, 9(6), pp. 165-172.
Wedastra, M. S., Suartha, I. D. G., Catharina, T. S., Marini, I. A. K., Meikapasa, N.
W. P. & Nopiari, I. A., 2020. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu untuk
Mengurangi Kerusakan pada Tanaman Padi di Desa Mekar Sari Kecamatan
Gunung Sari. Jurnal Gema Ngabdi, 2(1), pp. 88-94.
Yamuna, A., Chen, T. W., Chen, S. M. & Jiang, T. Y., 2021. Facile Synthesis of
Single-Crystalline Fe-doped Copper Vanadate Nanoparticles for The
Voltammetric Monitoring of Lethal Hazardous Fungicide Carbendazim.
Microchimica Acta, 188(8), pp. 1-12.
Yulia, E., Widiantini, F. & Kurniawan, W., 2018. Pengendalian Penyakit Tanaman
Padi dan Sayuran dengan Ekstrak Binahong di Desa Pasirbiru, Kecamatan
Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 2(7), pp. 530-533.

Anda mungkin juga menyukai