Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) hingga saat ini masih
merupakan masalah utama yang membatasi produksi terutama untuk daerah-
daerah yang mempunyai iklim tropis. Sementara, penggunaan pestisida sintetik
dalam mengendalikan OPT mempunyai resiko yang besar karena dapat
menyebabkan resistensi, resurgensi, pencemaran lingkungan, musnahnya musuh
alami, timbulnya residu pestisida dalam tanaman dan sebagainya. Pengendalian
hayati diharapkan dapat mengurangi efek samping dari penggunaan pestisida
dalam mengendalikan serangan OPT (Ismail dan Tenrirawe, 2010).
Pengendalian hayati menggunakan agen antagonis dengan satu kali
pemakaian dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen untuk jangka
waktu yang relatif panjang tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan (Achmad
et al. 2009). Di Indonesia sendiri, hingga saat ini telah banyak ditemukan
mikroorganisme antagonis di berbagai wilayah namun belum banyak diketahui
potensinya. Berdasarkan penelitian tentang antagonis, maka pada akhir tahun
1990, baru 5antagonis yang dianggap sebagai agen pengendali hayati yang
terdaftar pada EPA (Environmental Production Agency) di Amerika Serikat yaitu
Trichoderma spp., Agrobacterium radiobacter, Pseudomonas fluorescens,
Gliocladium virens, dan Bacillus subtilis.
Introduksi antagonis untuk pengendalian hayati, suatu patogen tanaman
dari daerah atau Negara lain harus dipastikan bahwa antagonis yang diintroduksi
mempunyai kemampuan beradaptasi dan berkembang dengan baik. Sebagai
langkah awal, maka dilakukan dalam skala laboratorium dengan uji in vitro. Hal
ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan antagonis dalam ruang lingkup
yang lebih sempit serta keadaan lingkungan yang terkendali (Alfizaret et al.,
2013).

Salah satu tempat memperoleh agens hayati yaitu pada tanah, terutama
pada rhizosfer tanaman, yakni lapisan tanah yang menyelimuti permukaan akar
tanaman yang masih dipengaruhi oleh aktivitas akar. Sudah banyak diketahui

1
bahwa sejumlah besar bakteri dan spesies jamur memiliki hubungan fungsional
dengan tanaman yang mampu memberi efek menguntungkan pada pertumbuhan
tanaman.
Rhizosfer tanaman telah diketahui di dalamnya terdapat mikroorganisme
yang bersimbiosis dengan akar. Adanya mikroorganisme tersebut dapat memberi-
kan efek positif maupun negatif bagi perakaran tanaman. Berbagai jenis
mikroorganisme seperti bakteri dan cendawan telah diketahui dapat dimanfaatkan
sebagai agens hayati untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Pada rizosfer tanaman leguminosae memiliki keanekaragaman
mikroorganisme lebih tinggi dibandingkan rhizosfer jenis tanaman lainnya. Hal
ini dikarenakan tanaman leguminosae memiliki efek positif terhadap
mikroorganisme dalam tanah dengan adanya eksudat akar yang kaya nitrogen.
Berdasarkan hal di atas, kami melakukan praktikum tentang eksplorasi
mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agen hayati terhadap beberapa
cendawan penyebab penyakit.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan praktikum ini adalah untuk eksplorasi bakteri rhizosfer
yang bersifat antagonis terhadap cendawan pathogen Sclerotium rolfsii
menggunakan metode Uji in vitro.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA
Cendawan Antagonis

Sejauh ini upaya pengendalian cendawan patogen telah banyak dilakukan,

baik melalui teknik budidaya, mekanis, maupun kimiawi. Pengendalian secara

kimiawipada umumnya masih mengandalkan penggunaan fungisida sintetik,

namun penggunaan secara berkepanjangan dapat berdampak negatif

bagiekosistem (Mahartha et al., 2013). Salah satu alternatif untuk mengantisipasi

dampak tersebut adalah melalui pengendalian biologi dengan memanfaatkan

Agen Pengendali Hayati (APH). APH dapat dimanfaatkan karena

mampumembatasi pertumbuhan patogen untuk waktu yanglebih lama, tidak

meninggalkan residu dan menjagakeseimbangan ekosistem (Purnomo,2010).

Cendawan antagonis yangsangat umum ditemukan dan biasa digunakan

adalah Trichoderma spp. Perananya dalammenghambat pertumbuhan patogen

telah banyak diteliti. Trichoderma spp. mampu menghambatpertumbuhan

Phytophthora infestans (Purwantisari danHastuti, 2009), Phytium sp. (Octriana,

2011),Diplodia sp. (Sundari et al., 2014), dan beberapa jamur patogen lainnya.

Jamur Trichoderma spp. selain dari hasil eksplorasi di daerah setempat, APH

tersebut juga banyak diintroduksi dari luar daerah.

Introduksi antagonis untuk pengendalian hayati, dari luar daerah atau luar

negeri sebaiknya dilakukanuji in vitro terlebih dahulu. Uji in vitro diawali

dengan persiapan biakan murni jamur dengancara menginokulasi biakan jamur

patogen dan antagonis pada medium PDA dandiinkubasi pada suhu 25 o-27oC

selama 7x24 jam.Pengujian daya antagonisme secara in vitrodilakukan dengan

metode biakan ganda (dual culture) dengan caramemotong biakan murni jamur

3
yang telahdipersiapkan dengan bor gabus steril dan diletakkanpada permukaan

medium PDA secara berpasanganantara jamur patogen dan jamur

antagonis(Gambar 1), selanjutnya diinkubasi pada suhu 25 o-27oCselama7x24jam

(Ningsih et al., 2016).

Gambar 1. Skema penempatan jamur antagonis dan jamur patogen dengan

metode dual culture (Ningsih et al., 2016)

Keterangan : A = Potongan cakram miselium jamur antagonis

P = Potongan cakram miselium jamur patogen

Data persentase daya antagonis diperoleh melalui pengukuran jari-jari

koloni jamurpatogenyang mendekati dan menjauhi koloni jamurantagonis dengan

menggunakan jangka sorongsetelah biakan diinkubasi selama 5 x 24 jam.

Dataselanjutnya dihitung dengan menggunakan rumusberikut (Herliyana et al.,

2013):

Rhhizosfer
Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada di sekitar perakaran tanaman
dan berperan sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen

4
akar. Rizosfer merupakan daerah yang ideal bagi tumbuhan dan berkembangnya
mikroba tanah, termasuk di dalamnya agensia hayati.
Populasi mikroorganisme di rizosfer biasanya lebih banyak dan beragam
dibandingkan pada tanah bukan rizosfer (Lynch 1990 dalam Simatupang, 2008).
Mikroorganisme rizosfer berperan penting dalam siklus hara dan proses
pembentukan tanah, pertumbuhan tanaman, mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme serta sebagai pengendali hayati terhadap patogen akar. Menurut
Jeger (2001 dalam Simatupang, 2008), kehadiran sejumlah populasi organisme
baik yang bersifat antagonis, patogen, maupun saprofit dapat menambah
keragaman spesies di dalam komunitas alami tanaman (Simatupang, 2008).
Berdasarkan bibliografinya, rizosfer dicirikan dengan aktivitas biologinya
yang paling tinggi pada tanah (Patkowska 2002 dalam Simatupang, 2008).
Lingkungan rizosfer total ditentukan oleh interaksi dari tanah, tanaman, dan
organisme yang berasosiasi dengan akar (Lynch 1990 dalam Simatupang, 2008).
Hubungan antara organisme dan akar dapat menguntungkan, merusak, atau netral
tetapi seiring pengaruhya tergantung pada kondisi tanah.

Peran penting rhizosfer ini sangat ditentukan oleh keberadaan akar


tanaman.Makin banyak dan padat akar suatu tanaman di dalam tanah, makin kaya
kandungan bahan organic pada rhizosfer, makin padat pula populasi mikroba
tanah. Hasanudin (2003 dalam Tambingsila, 2016) menyatakan bahwa secara
keseluruhan habitat hidup mikroorganisme berguna terdapat di dalam tanah
sekitar akar tumbuhan (rhizosfer).

Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica)

Tanaman putri malu tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan terlantar, dan
tempat - tempat terbuka yang terkena sinar matahari. Tumbuhan asli Amerika
tropis dapat di temukan pada ketinggian 1-1200 m, cepat berkembangbiak,
tumbuh memanjat atau berbaring, tinggi 0,3 - 1,5 m. (Dalimartha. S, 2003).

5
Mimosa pudica termasuk dalam famili leguminosa. Pada akar-akarnya
terdapat bintil yang berkembang sebagai akibat penetrasi bakteri pengikat nitrogen
(spesiesRhizobium) ke dalam rambut akar. Bakteri tersebut memasuki akar
terutama melalui rambut akar. Sambil memperbanyak diri, bakteri tersebut
membentuk benang infeksi dengan terkurungnya dalam selubung dari bahan
seperti gum (Fahn, 1991).

Adapun ciri – ciri umum bakteri Rhizobium adalah merupakan gram


negatif, bersifat aerob, berbentuk batang dengan ukuran sekitar 0,5 – 0,9 μm x 1,2
– 3 μm. Bakteri ini termasuk dalam famili Rhizobiaceae. Bakteri ini banyak
terdapat di dalam daerah perakaran tanaman legume dan membentuk hubungan
simbiotik inang khusus (Yuwono.T, 2006).

6
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan mulai awal bulan Februari sampai awal
Februari sampai akhir April 2018. Di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas
Pertanian Universitas Jambi.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun Alat dan Bahan yang digunakan, ialah :
Alat yang digunakan dalam praktikum adalah autoclave, sprayer, jarum
ose, laminar air flow cabinet, shaker, kulkas, porteks, glas bit, oven, gelas ukur,
tabung reaksi beserta rak, gelas ukur, pipet volumetrik, tabung elenmeyer, kertas
label, cawan petri, lampu bunsen, tisu, timbangan analitik, kamera, korek api, dan
Alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sampel tanah dari
rhizosfer tanaman Putri malu (Mimosa pudica), Media PDA (Potato Dektrose
Agar), Media TSA (Typic soy agar), Alkohol 70%, Spritus, Alumminium foil,
plastik bening (cling) dan Akuades. Bahan membuat media PDA yaitu kentang
sebanyak 250 gr, agar-agar 25 gr, gula 25 gr, aquadest 1000 ml.

3.3 Langkah Kerja


A. Pembuatan Media PDA dan TSA
Sebelum melakukan praktikum eksplorasi kali ini, terlebih dahulu kita harus
membuat media untuk membiakkan patogen. Pembuatan media PDA dan TSA
dilakukan dengan cara menyiapkan alat dan bahan yang di perlukan. Bahan yang
di perlukan : kentang sebanyak 250 gr, agar-agar 25 gr, gula 25 gr, aquadest 1000
ml, dan TSA instan. Alat yang di perlukan gelas piala, batang pengaduk, kompor,
kapas, botol media dan alumunium foil.

7
Langkah pertama kupas kentang dan cuci bersih, potong kentang berukuran
dadu kemudian rebus kentang hingga lembut lalu pisahkan air rebusan kentang
selanjutnya tambahkan agar-agar dan juga gula aduk hingga rata dan tambahkan
aquadest hingga voume 1000 ml. Masak hingga mendidih dan tuang kedalam
botol media yang telah di sterilkan tutup dengan kapas dan juga alumunium ikat
dengan benang kemudian masukkan kedalam autoklav selama 2 jam lakukan hal
yang sama dengan pembuatan media TSA.

B. Pengambilan Sampel Tanah (Perakaran Putri Malu)


Pengambilan sampel tanah untuk kelompok 3 diambil pada rhizosfer Putri
malu (Mimosa pudica). Sampel tanah diambil di sekitar perakaran tanaman putri
malu yang tampak lebih sehat dari yang lainnya, dengan 4 titik pengambilan
sampel tanah dan masing-masing titik ± 250 gram. Selanjutnya tanah
dikompositkan sebanyak 500 gram di dalam nampan dan dikering anginkan
selama 2 hari. Setelah 2 hari tanah di ayak untuk mendapatkan tanah yang halus,
selanjutnya dilakukan eksplorasi dan disimpan didalam kulkas.

8
C. Pengenceran
Sampel tanah yang telah disiapkan sebelumnya ditimbang sebanyak 10 gr,
lalu dimasukkan ke dalam erlemeyer, ditambahkan akuades sebanyak 90 ml dan
ditutup dengan Alumunium foil. Lalu, erlemeyer yang telah berisi akuades dan
tanah digoncang menggunakan shaker selama 30 menit dengan 120 RPM. Setelah
itu, menyiapkan tabung reaksi sebanyak 9 buah dan masing-masing diisi akuades
sebanyak 9 ml. Kemudian larutan sampel tanah diambil sebanyak 1 ml
menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi pertama (10 -1)
selanjutnya di porteks hingga tercampur sempurna. Lalu, diambil pula 1 ml dari
tabung reaksi pertama dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kedua (10 -2)
selanjutnya di porteks.
Setelah bagian tanah dibuat pengenceran untuk media MA Ulangan 1 dari
10-8-10-9 sedangakan untuk NA Ulangan 2 dari 10-8-10-9. Setiap hasil pengenceran
kemudian diplating ke media agar yang telah disediakan sesuai konsentrasi
pengenceran masing-masing.

Melakukan Pengenceran pada tanah putri malu.

Pengambilan sampel Ulangan 1 dan 2 (10-8-10-9)

9
D. Isolasi Mikroorganisme Dari Suspensi
Isolasi dilakukan dengan cara mengambil suspensi tanah sebanyak 0.1 ml
atau beberapa tetes mikro pipet dan dituang ke dalam media PDA dan TSA yang
telah disiapkan didalam cawan petri dan selanjutnya di inkubasi hingga 3 hari.
Bakteri yang tumbuh diamati morfologinya dan selanjutnya dilakukan pemurnian.
E. Pemurnian Bakteri
Bakteri dengan ciri-ciri koloni yang sama diduga berasal dari jenis bakteri
yang sama oleh sebab itu hanya dilakukan pemurnian salah satunya saja jika
koloni sama. Satu cawan petri berisi empat jenis koloni bakteri. Pemurnian bakteri
dilakukan dengan metode gores. Metode ini dilakukan dengan cara mengambil
koloni bakteri dengan menggunakan jarus ose steril pada biakan bakteri kemudian
jarum ose tersebut digoreskan pada media yang baru yang berada dicawan petri
dengan arah zig-zag. Selanjutnya di inkubasi selama tiga hari untuk mendapatkan
koloni bakteri yang telah murni.
F. Pembiakan Cendawan Uji Sclerotium rolfsii
Perbanyakan cendawan Sclerotium rolfsii dilakukan dengan mengambil
bagian hifa yang tumbuh yang kemudian dibiakkan kembali di dalam cawan petri
yang telah berisi media PDA. Cendawan yang digunakan tersebut merupakan
koleksi yang terdapat di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Jambi.
G. Uji in vitro bakteri antagonis dengan Sclerotium rolfsii
Seluruh isolat yang telah murni diuji secara in vitro dengan patogen
S.rolfsii dengan menempatkan patogen di permukaan bagian tengah dan
menggoreskan isolat bakteri di pinggir pemukaan media PDA dan TSA di dalam
cawan petri.
H. Pengamatan Daya Hambat
Pengamatan daya hambat dari setiap isolat dilakukan setiap hari. Isolat
yang terlihat menghambat kemudian diuji kembali dengan uji dual kultur dalam
media yang baru untuk memastikan kembali daya hambat yang terjadi.

10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1. Hasil Isolasi Bakteri Rhizosfer dari Tanaman Putri Malu
No Gambar Isolat Bakteri Rhizosfer Ciri-ciri Isolat
Isolat 1 :
- Permukaan isolat rata
- Isolat bagian tengah warna
kuning karat
- Warna pinggir isolat putih agak
kekuningan
1. - Bagian Pinggiran isolat tidak rata
- Isolat tampak berlendir

Isolat 2 :
- Permukaan isolat datar
- Warna isolat putih kusam
- Isolat tampak berlendir

Isolat 3 :
- Permukaan isolat tidak beraturan
- Bagian tengah dan tepi isolat
2.
tidak beraturan
- Warna isolat putih agak sedikit
kekuningan

11
Isolat 4 :
- Warna tepi isolat putih kusam
- Warna tengah isolat putih susu
- Bagian tengah isolat sedikit
berlendir
- Tepi isolat bergerigi

Isolat 5 :
- Permukaan tidak rata
- Warna putih kusam
- Tepian tidak beraturan

3
Isolat 6:
- Warna isolat putih bening
- Tepi isolat bergelombang
- Isolat berlendir
- Isolat Nampak tipis
Isolat 7:
- Warna isolat putih bening
- Tepi isolat bergelombang
- Isolat berlendir
- Isolat Nampak tipis
Isolat 8:
4.
- Permukaan tidak rata
- Warna bagian tengah putih
kusam berlendir
- Warna bagian tepi putih susu
menebal
- Bagian tepi tidak beraturan

4.1.2 Pemurnian Isolat Bakteri

12
Pemurnian Isolat Bakteri (Ulangan 1 = 10-8, 10-9 ) & (Ulangan 2 = 10-8, 10-9)

4.1.3 Hasil Uji Antagonis (Uji Daya Hambat) Bakteri Rhizosfer terhadap
Cendawan Patogen
No Gambar Uji Antagonis Keterangan gambar

Uji bakteri rhizosfer isolat 1, 2, 3, dan


1 4 dengan cendawan Sclerotium rolfsii.
yang menghambat isolate 4 = ±1,24

Uji bakteri rhizosfer isolat 5, 6, 7, dan


2 8 dengan cendawan Sclerotium rolfsii.
yang menghambat isolate 6 = ±1,12

13
Uji bakteri rhizosfer isolat 9, 10, 11,
dan 12 dengan cendawan
3
Sclerotium rolfsii.
yang menghambat isolate 12 = ±1,04

4.2 Pembahasan

Uji antagonis secara in vitro adalah suatu cara untuk mengevaluasi


kemampuan antagonis (agensia pengendali hayati) dalam ruang lingkup yang
lebih sempit serta keadaan lingkungan yang terkendali (in vitro). Tujuannya untuk
mengetahui potensi atau efektifitas agensia pengendali hayati dalam menghambat
pertumbuhan dan perkembangan patogen (Alfizar et al., 2013). Menurut
Soesanto (2008) pengujian secara in vitro mempunyai kelebihan dan kekurangan
sebagai berikut.
Kelebihan uji antagonis secara in vitro:
1. Pengujian secara in vitromemberikan hasil yang tepat dan membutuhkan
waktu yang singkat untuk dapat diperoleh hasilnya (3-5 hari).
2. Biaya yang dikeluarkan untuk pengujian ini relative murah karena hanya
membutuhkan PDA atau NA sebagai media pertumbuhan jamur maupun
bakteri.
3. Kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban dan cahaya lebih mudah
di control karena berskala kecil (pengujian di laboraturium).
4. Memungkinkan untuk dilakukan pengujian dalam jumlah yang banyak
karena tidak membutuhkan ruang yang besar untuk pengujian.

14
Kelemahan dari uji in vitro yaitu hanya dapat mendeteksi antagonisme yang
berdasarkan mekanisme antibiosis. Selain itu metode ini tidak berlaku bagi
sistem patogen antagonis yang bersifat parasit obligat (Djatmiko et al., 2016).
Uji antagonis secara in vitro sangat bermanfaat di bidang pertanian terutama
untuk menyeleksi mikroba antagonis yang mempunyai potensi terbaik sebagai
agensia pengendali hayati. Pengujian secara in vitro mudah dilakukan dan murah,
selain itu dapat pula diperoleh hasil yang tepat. Presentase kegagalan saat aplikasi
di lapangan dapat ditekan karena sudah dilakukan uji pendahuluan untuk
menyeleksi mikroba antagonis pada tahap awal (Soesanto, 2008).
Mekanisme pengendalian dengan agen hayati terhadap cendawan patogen
tumbuhan secara umum dibagi menjadi tiga macam,yaitu kompetisi terhadap
tempat tumbuh dannutrisi, antibiosis, dan parasitisme (Baker dan Cook, 1982
dalam Berlian et al., 2013). Trichoderma spp. merupakan salah satu agen
pengendali hayati yang paling potensial untukdikembangkan sebagai pengendali
hayati jamur patogen tular tanah. Penelitian yang dilakukanoleh Widyastuti dan
Hariani (2006) mengindikasikan bahwa Trichoderma efektif untuk menghambat
patogen tular tanah seperti Sclerotium rolfsii, Fusarium sp., Rhizoctonia solani
dan F. oxysporum dengan berbagai mekanisme yaitukompetisi, antibiosis dan
mikoparasit.
Uji antagonis rizobakteri yang telah dilakukan taMpak pada tabel gambar hasil
pengamatan diatas. Pengujian dilakukan dengan cara Cendawan patogen
diinokulasikan pada media PDA di tengah-tengah cawan petri, kemudian isolat
bakteri diinokulasikan pada posisi mengapit cendawan patogen yang berjarak 2
cm dari tepi cawan petri. Pengujian daya hambat rizobakteri terhadap Sclerotium
rolfsii dilakukan secara in vitro.
Uji bakteri rhizosfer ke-3 Isolate bahwa dengan cendawan didapatkan hasil
bahwa isolate 3 mampu menghambat hifa cendawan Sclerotium rolfsii, namun
pengamatan tersebut tidak terlalu jelas disebakan terjadinya kontaminasi pada
cendawan Sclerotium rolfsii, tetapi dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan
bahwa ke-3 isolate tersebut mampu menghambat pertumbuhan Sclerotium rolfsii.

15
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Adapun Kesimpulan dari praktikum kali ini ialah Dari eksplorasi bakteri
rhizosfer asal Putri malu (Mimosa pudica) ditemukan totalnya ada 14 isolat.
Namun dari 14 isolat tersebut setelah dilakukan pengujian secara in vitro hanya
ditemukan 3 isolat yang mampu menghambat cendawan patogen yaitu isolate 4
Isolate 6 dan isolate 12. Dan setelah di amati lagi apabila ciri-ciri dari bakteri
rhizosfer ke-3 isolate tesebut mempunyai ciri-ciri nya sama. Dan dinyatakan
bahwa ke-3 isolate tersebut mampu menghambat pertumbuhan Sclerotium rolfsi.

16
DAFTAR PUSTAKA
Alfizar, Marlina, dan Fitri Susanti. 2013.Kemampuan antagonis Trichoderma sp.
terhadap beberapa jamur patogen in vitro. J. Floratek 8: 45 -51.

Achmad, S. Hadi, S. Harran, E. Gumbira Sa’id, B.Satiawihardja, M. Kosim


Kardin. 2009. Pengendalian hayati penyakit lodoh pada semaipinus
merkusii: potensi antagonistik in-vitro trichoderma harzianum dan
trichoderma pseudokoningii. jurnal litbang tanaman. Vol. 1 (1).

Berlian, I., Budi Setyawan, dan Hananto Hadi. 2013. Mekanisme Antagonisme
Trichoderma spp.Terhadap Beberapa Patogen Tular Tanah. Warta
Perkaretan. 32(2): 74 – 82.

Chet, I., N. Benhamou, and S. Haran. 2005.Mycoparasitism and lytic enzymes. In


Harman, G. E. and C. P. Kubicek (Eds), Trichoderma and Gliocladium
enzymes biological control and commercial applications Volume 2. Taylor
and Francis.London.
Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid III. Puspa Swara.
Anggota IKAPI. Jakarta.
Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Edisi Ketiga. Gadjah Mada Univesity Press.
Yogyakarta.
Harjono and Widiastuti. 2001. Antifungal activity of purified endochitinase
produced by bio controlagent Trichoderma reseei againsts Ganoderma
philippii. Pakistan J. Biol. Sc. 4 (10) : 1232-1234.

17
Herliyana, Elis N., R. Jamilah, D. Taniwiryonodan M. Alam Firmansyah. 2013.
Uji In-vitro Pengendalian Hayati oleh Trichodermaspp. Terhadap
Ganoderma yang Menyerang Sengon. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 4
(3): 190 – 195.
Ismai N dan Tenrirawe A. 2010. Potensi agens hayati Trichoderma spp. sebagai
agens pengendali hayati. Di dalam: Seminar Regional Inovasi Teknologi
Pertanian, mendukung Program Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi
Utara. Prosiding Seminar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Sulawesi Utara; Sulawesi Utara. Sulawesi (ID). hlm 1.
Mahartha, K.A., Khalimi, K. & Wirya, G.N.A.S.2013. Uji Efektivitas
Rhizobakteri sebagaiAgen Antagonis terhadap Fusarium oxysporumf.sp.
capsici Penyebab Penyakit Layu Fusariumpada Tanaman Cabai Rawit
(Capsicum frutescens L.). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 2 (3): 145-
154.
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT Raja
GrafindoPersada. Jakarta.
Sutariati G A K, Andi K dan Cynthia A. 2007. Isolasi bakteri rizosfer lokal dan
karakterisasi kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan koloni
cendawan patogen pada tomat. Jurnal Agriplus. Vol.17 No. 3
Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Widyastuti, S. M. 2006. The biological control of Ganoderma root rot by


Trichoderma.ACIAR Proceedings No. 124.
Yuwono, T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Seri Pertanian. Gadjah Mada
University Press. 66 hal.

18
LAMPIRAN
 Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum Pengendalian
Hayati mulai dari Pengambilang sampel sampai tahap uji In vitro.

19
20

Anda mungkin juga menyukai