Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Subsektor perkebunan merupakan penghasil komoditas ekspor yang


menjadi salah satu sumber devisa penting bagi negara. Adanya gangguan dari
organisme pengganggu tanaman (OPT) seringkali menjadi faktor penghalang
produktivitas. Gangguan biasanya dimulai sejak tanaman di lapang hingga di
penyimpanan. Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan salah satu
faktor pembatas penting dalam upaya peningkatan produksi sayuran. Serangan
OPT terjadi di semua tahap pengelolaan agribisnis sayuran dimulai dari sebelum
masa tanam, di pertanaman, sampai penyimpanan dan pengangkutan produk.
Masyarakat sudah tidak asing dengan nama-nama OPT sayuran, seperti ulat daun
kubis, lalat pengorok daun, kutu daun, penyakit hawar daun, penyakit layu
bakteri, penyakit bengkak akar, nematoda sista kentang (NSK) dan masih banyak
lagi. Kehilangan hasil tanaman sayuran akibat serangan OPT di pertanaman
diperkirakan mencapai 25-100% dari potensi hasil. Di samping sangat
menurunkan kuantitas produksi, serangan OPT juga dapat menurunkan kualitas
dan harga produk, serta daya saing produk di pasar. Secara ekonomis kerugian
tersebut mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Dalam upaya memperkecil
kerugian ekonomi usaha tani sayuran akibat serangan OPT, pada umumnya para
petani masih sangat menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik,
meskipun PHT sudah menjadi kebijakan pemerintah. Mereka masih mengikuti
paradigma perlindungan tanaman konvensional, preventif dan prinsip asuransi
yang cenderung berlebihan Salah satu OPT yang potensial menurunkan
produktivitas adalah serangga hama (Wiwin et al., 2008).
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) memberi ruang dan hak kehidupan
bagi semua komponen biota ekologi tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan
pada tanaman yang dibudidayakan. Tahapan permulaan, sebagian besar petani
mengusahakan lahan pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pada
tahapan ini petani tidak menggunakan masukan produksi seperti pupuk dan
pestisida kimia, sehingga produktivitasnya masih rendah. Cara pengendalian hama
yang biasa dilakukan pada saat itu dengan cara mekanik, fisik atau bercocok
tanam. Tahap berikutnya adalah “budidaya secara intensif”, pada tahap ini usaha
tani telah berkembang, lahan menjadi luas dengan tujuan memperoleh tingkat
produktivitas tinggi. Hasil pertanian dipasarkan di dalam atau luar negeri.
Perubahan tujuan dari tahapan permulaan ke tahapan intensif mengakibatkan
penggunaan teknologi modern semakin intensif termasuk penggunaan pupuk dan
pestisida kimia. Pada tahapan ini petani memperoleh peningkatan produksi yang
nyata. Kenyataan ini semakin mendorong peningkatan penggunaan pestisida dan
masukan produksi lainnya. Tahapan kritis, setelah beberapa waktu petani berada
pada tahap eksploitasi, semakin dirasakan bahwa untuk memperoleh hasil
pengendalian yang sama diperlukan penggunaan pestisida kimia yang semakin
sering dengan dosis yang terus meningkat. Biaya pengendalian hama semakin
meningkat dan keuntungan yang diperoleh semakin menurun. Kondisi ini disebut
tahap kritis. Tahapan kritis yang berkelanjutan akan memasuki tahap yang tidak
diinginkan yaitu tahapan bencana. Pada tahapan ini pengendalian hama dengan
pestisida sudah tidak lagi mendatangkan keuntungan. Biaya yang dikeluarkan
untuk pengendalian hama untuk membeli pestisida semakin meningkat, tetapi
serangan hama tidak semakin berkurang bahkan terus meningkat. Petani berusaha
meningkatkan frekuensi dan dosis penyemprotan. Pada daerah yang petaninya
mempunyai kemampuan modal yang cukup, hampir 90% petani menggunakan
insektisida kimia sebagai alat utama untuk mengendalikan hama (Isdiati &
Marwoto, 2017).
Pengendalian serangga hama dengan insektisida kimia banyak
menimbulkan masalah, antara lain: meningkatnya resistensi hama terhadap
insektisida kimia, terjadinya ledakan populasi serangga hama sekunder,
meningkatnya risiko keracunan pada manusia dan hewan ternak,
terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan bahaya-bahaya lain
yang berkaitan dengan lingkungan. Timbulnya masalah-masalah tersebut menjadi
stimulan yang meningkatkan minat terhadap upaya pengendalian hama secara
terpadu (PHT). Pertanian berkelanjutan pada abad 21 akan lebih mengedepankan
upaya alternatif pengelolaan serangga hama yang ramah lingkungan dan
meminimalkan kontak antara manusia dengan insektisida kimia. Patogen serangga
(entomopatogen) yang berpeluang untuk mengisi kebutuhan akan alternatif
pengendalian hama masih membutuhkan beberapa perbaikan, termasuk perbaikan
potensi, produksi dan formulasi, pemahaman yang tepat terhadap kemampuannya
berintegrasi dengan sistem/ ekosistem, dan kesesuaiannya dengan lingkungan dan
komponen PHT lainnya, serta dapat diterima oleh petani atau pengguna. Salah
satu entomopatogen yang berpotensi dikembangkan sebagai alternatif
pengendalian hama adalah cendawan (Soetopo & Indrayani, 2015).
Bakteri patogen tumbuhan (BPT) adalah bakteri (mikroorganisme) yang
menyebabkan penyakit pada tanaman, mereka hidup di dalam jaringan Inang atau
di sekitar Inang titik berbagai tumbuhan jenis tanaman dapat menjadi Inang
terhadap satu atau banyak bakteri patogen, baik yang asosiasinya sangat
merugikan maupun yang dianggap kurang penting. Bakteri tumbuhan bersifat
saprofit parasit, tidak ada yang obligat Parasit. Artinya, jika tidak ada tanaman
Inang pada kondisi tertentu, maka dapat bersifat saprofit (memanfaatkan bahan
organik mati). Tumbuhan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena
mempengaruhi mengganggu aktivitas kehidupan tumbuhan sehingga berdampak
terhadap produktivitas tumbuhan. Penyakit pada tumbuhan akan lebih merugikan
apabila mengganggu tanaman yang lebih tinggi nilai estetikanya, misalnya bunga
potong, buah saji, sayuran, dan sebagainya. Terdapat sedikit saja bercak pada
kelopak bunga karena gangguan penyakit, nilai bunga tersebut akan menjadi
sangat menurun titik Dengan demikian halnya, terjadi pada buah atau sayur yang
akan dijual di supermarket (Hakim, 2022).
Gulma ialah spesies tumbuhan yang berasosiasi dengan tanaman budidaya
dan beradaptasi pada habitat buatan manusia. Gulma dikenal di zona ilmu
pertanian karena bersaing dengan tanaman budidaya dalam habitat buatan tersebut
titik gulma kebanyakan dari golongan herba, namun ada juga sebagai semak dan
pohon ialah jenis gulma yang sangat ganas. Gulma mengganggu manusia dengan
intensitas gangguan beragam dan tertentu persaingan antara gulma dan tanaman
budidaya, karenanya dapat terjadi karena keterdekatan dalam ruang tumbuh titik
kedekatan dalam ruang tumbuh tersebut berakibat pada terjadinya interaksi titik
interaksi antara gulma dengan tanaman budidaya dapat terjadi baik interaksi
positif maupun negatif. Interaksi negatif peristiwa persaingan antar dua jenis
spesies yang berbeda, dalam cerita ini ialah persaingan antara gulma dengan
tanaman budidaya. Persaingan tersebut terjadi bila bahan faktor tumbuh yang
dipersayangkan berada pada tingkat di bawah kebutuhan para pesaing tersebut.
Gulma dikenal juga karena tindakan para petani dalam kurung pandangan
antroposentris tutup kurung pada sebidang lahan titik gulma selalu berada di
sekitar tanaman budidaya dengan kemampuan untuk menimbulkan persaingan
titik oleh tanah ialah penyediaan media untuk pertumbuhan tanaman dan
karenanya juga gulma akan tumbuh di sekitar tanaman budida*ya olah tanam
ialah perlakuan petani pada sebidang lahan untuk penyediaan media pertumbuhan
tanaman, sehingga baik tanaman budidaya maupun gulma dapat tumbuh
bersamaan dan dapat menimbulkan persaingan titik pertumbuhan gulma dan
persaingan timbul karena gulma ialah sama dengan tanaman yang untuk tumbuh
membutuhkan faktor tumbuh. Gulma dan tanaman budidaya mempunyai banyak
persamaan, bahkan secara evolusioner tanaman budidaya berasal dari gulma
(Moenandir, 2010).

Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengamati dan mengetahui
macam-macam patogen/penyakit, gulma, dan hama yang ada di lahan.
BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan

Timun (Cucumis sativus L.). Timun (Cucumis sativus L.) sebagai bahan
yang diamati.
Tomat (Solanum lycopersicum). Tomat (Solanum lycopersicum) sebagai
bahan yang diamati.
Cabai (Capsicum). Cabai (Capsicum) sebagai bahan yang diamati.
Alkohol. Alkohol cairan untuk membunuh serangga dan mengawetkan
serangga.

Alat

Kamera. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan setiap kegiatan


pengamatan.
Jaring. Jaring digunakan utuk menanggap serangga.
Topi. Topi digunakan untuk melindungi kepala praktikan dari sinar
matahari.
Alat tulis. Alat tulis digunakan oleh praktikan untuk mencatat setiap
kegiatan.
Plastik sampah. Plastik sampah digunakan sebagai tempat sampah bekas
pestisida dan sampah yang ada disekitarnya.

Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Juni 2023. Bertempat di


Lahan yang berlokasi di Guntung Manggis kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru.
Pelaksanaan Praktikum

Adapun prosedur kerja pada praktikum ini adalah sebagai berikut:


1. Persiapkan alat tulis.
2. Praktikan mencatat dan memperhatikan setiap kegiatan yang di dapat di
lapangan.
3. Mendokumentasikan kegiatan yang ada di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Adapun hasil dari praktikum kali ini adalah sebagai beriku:


Tabel 1. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang didapat dilapangan
No Gambar Keterangan
Penjelasan:
1. Terserang bakteri (belum
diketahui bakterinya apa).
2. Tandanya isinya jadi berwarna
gelap
1 3. Gejalanya perubahan bentuk dan
teksktur buah dan membusuk.

2 Penjelasan:
Virus, kekurangan nitrogen
Gejala : Klorosis atau kekuningan,
terdapat karat daun dan serangan
hama karena

3 Penjelasan:
Busuk buah diduga serangan
cendawan
Gejala:
Tabel lanjutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang didapat dilapangan
No Gambar Keterangan
Penjelasan:

Penjelasan:
Virus, kekurangan nitrogen
Tanda dan gejala : kekuningan,
distorsi daun, terserang hama
Gejala : Klorosis &

Penjelasan:

Tabel lanjutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang didapat dilapangan


No Gambar Keterangan
Penjelasan:

10

11

Tabel lanjutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang didapat dilapangan


No Gambar Keterangan
Penjelasan:
Antraknosa gejala awalnya bercak
12
bercak kecil hingga berujung
membesar hingga membusuk.

13

14
Tabel lanjutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang didapat dilapangan
No Gambar Keterangan
Penjelasan:

15

16

17
Tabel lanjutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang didapat dilapangan
No Gambar Keterangan
Penjelasan:

18

19
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, L. (2022). Bakteri Patogen Tumbuhan. Syiah Kuala University Press.

Aceh.

Indiati, S. W., & Marwoto, M. (2017). Penerapan Pengendalian Hama Terpadu


(PHT) pada Tanaman Kedelai. Buletin Palawija, 15(2), 87-100.

Moenandir, J. (2010). Ilmu gulma. Universitas Brawijaya Press. Malang.

Soetopo, D., & Indrayani, I. (2015). Status Teknologi dan Prospek Beauveria
bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman
Perkebunan. Perspektif: Review Penelitian Tanaman Industri, 6(1), 29-46.

Wiwin. S., Murtiningsih R., Gunaeni N., & Rubiati T. (2008). Tumbuhan Bahan
Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya untuk Pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT),. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Bandung.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai