Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KIMIA KOLOID DAN ANTAR MUKA

“Applications of Surfactants Plant Protection and Pest Control and Foods


and Food packaging”

Disusun Oleh :

Kelompok V

1. Enda S Damanik ( RSA1C116002)


2. Mutiara Widhatul (RSA1C116011)
3. Indah Kasih (RSA1C116018)

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. M.Rusdi, S.Pd., M.Sc

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi.......................................................................................................................2

A. Aplikasi Surfaktan Dalam Perlindungan Tumbuhan dan Pengendalian Hama

1. Pengertian Perlindungan Tumbuhan Dan Pengendalian Hama...............................3


2. Surfaktan Dalam Perlindungan Tumbuhan Dan Pengendalian Hama..................5

B. Aplikasi Surfaktan Dalam Makanan Dan Kemasan Makanan

1.Surfaktan Dalam makanan............................................................................................9

2. Emulsi Dalam Makanan .............................................................................................10

3. Surfaktan Dalam Kemasan Makanan..........................................................................15

KESIMPULAN.............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................19

LAMPIRAN PPT.........................................................................................................20

2
A. Aplikasi Surfaktan Dalam Perlindungan Tumbuhan dan Pengendalian Hama

1. Pengertian perlindungan tumbuhan dan pengendalian hama


Seiring dengan munculnya masalah yang dihadapi oleh para petani yaitu
mengenai perlindungan tanaman, diantaranya tanaman pertanian sering diganggu dan
dirusak oleh organisme pengganggu yang secara ekonomis sangat merugikan kaum kita
yaitu petani. Organisme pengganggu tanaman dikenal sebagai hama, penyakit tanaman,
dan gulma (tumbuhan pengganggu) sering disingkat menjadi OPT.
Untuk menghindari kerugian karena serangan OPT, tanaman dilindungi dengan
cara mengendalikan OPT tersebut dengan istilah “mengendalikan” , OPT tidak perlu
diberantas habis karena memang tidak mungkin. Dengan usaha pengendalian, populasi
atau tingkat kerusakan karena OPT ditekan serendah mungkin sehingga secara
ekonomis tidak merugikan. Semua upaya pengendalian OPT yakni melindungi tanaman
dengan mempertimbangkan factor-faktor teknis, ekonomi, ekologi dan social, agar
tanaman tumbuh dan berkembangan secara sehat sehingga mampu memberikan hasil
dan keuntungan yang optimal.
Dimasa lalu orang beranggapan bahwa perlindungan tanaman merupakan upaya
pengendalian hama dan penyakit tanaman secara langsung namun, perlindungan
tanaman telah berkembang sedemikian luas mencakup semua kegiatan secara langsung
atau tidak langsung yang bertujuan untuk menciptakan pertanaman yang sehat. Upaya
pengendaliaan hama, penyakit, dan gulma secara langsung hanyalah merupakan bagian
dari keseluruhan perlindungan tanaman. Keseluruhan upaya yang mungkin untuk
melindung tanaman atau menciptakan tanaman yang sehat diantaranya sebagai berikut :
1. Aturan pemerintah, misalnya karantina tumbuhan, sertifikasi benih,
registrasi pestisida, dan sebagainya.
2. Pemilihan jenis tanaman serta varietas tanaman yang cocok untuk daerah
atau lokasi tertentu.
3. Pemilihan varietas yang tahan terhadap hama atau penyakit tertentu.
4. Pemilihan benih yang murni (varietasnya tidak tercampur dengan varietas
yang lain), sehat dan berdaya kecambah tinggi.
5. Teknik budidaya yang baik untuk menciptakan kondisi tanaman yang
sehat misalnya, dengan pemilihan lokasi yang cocok, menghindari daerah
berkumpulnya hama, penyakit, gulma Dan rotasi tanaman.

Upaya pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) di upayakan dengan cara-


cara sebagai berikut :

a. Membunuh OPT secara langsung

Upaya membunuh organisme pengganggu tanaman dilakukan dengan cara


sebagai berikut
 Pengendalian OPT secara fisik dan mekanik
 Penanaman tanaman perangkap dan setelah OPT terkumpul dibunuh
 Pengendalian dengan cara musuh alami diantaranya dengan predator

3
 Pengendalian secara kimiawi dengan produk-produk perlindungan
tanaman (pestisida)

b. Menekan kehidupan dan perilaku OPT

Untuk menekan kehidupan dan perilaku OPT dilakukan dengan cara sebagai
berikut

 Sterilisasi OPT (misalnya serangga), baik dengan cara kimawi


 Penggunaan zat pengatur tumbuh dan zat-zat penghambat pertumbuhan
 Menggunakan produk-produk pengusir hama atau pengumpul hama
 Menggunakan zat-zat kimia untuk mengacaukan gerakan serangga dan
menghilangkan nafsu makan serangga
 Memutus siklus hidup OPT misalnya dengan rotasi tanaman dll.

c. Memodifikasi tanaman
Upaya memodifikasi tanaman dengan cara sebagai berikut
 Menciptakan varietas tanaman yang tahan hama serta penyakit tertentu
lewat pemuliaan tanaman atau rekayasa genetic
 Penggunaan zat pengatur tumbuh tanaman
 Imunisasi tanaman terhadap hama atau penyakit tertentu (terutama virus)
 Menggunakan plant activator untuk memberikan daya tahan pada tanaman

d. Memodifikasi lingkungan
Upaya memodifikasi lingkungan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut
 Kultur teknik (pengolahan tanah, menaikan pH tanah, pemupukan, dll)
 Pertanian system hidroponik
 Menggunakan system tertutup (green house)

Dari uraian diatas tampak jelas bahwa pengendalian hama secara kimiawi hanyalah
merupakan bagian dari keseluruhan cara-cara pengendalian hama, penyakit dan gulma
dibidang pertanian. Meskipun demikian, pengendalian OPT secara kimiawi telah memegang
peranan yang terlalu dominan sehingga kita sering lupa bahwa ada banyak cara lain untuk
mengendalikan OPT selain menyemprotkan pestisida. Disamping terlalu dominan,
penggunaan pestisida juga sering dilakukan secara tidak benar. Kita masih sering melihat
petani mencampur sekian banyak pestisida tanpa alas an yang kuat, penggunaan larutan
semprot yang berlebihan, penggunaan nozzle yang asal saja, dan sebagainya. Kita juga sering
melihat petani meyemprotkan pestisida tanpa memakai alat pelindung tubuh yang memadai.

Pestisida adalah racun. Karena bersifat racun itulah, maka pestisida dibuat, dijual, dan
dipakai untuk meracuni organisme pengganggu tanaman OPT. setiap penggunaan racun
mengandung resiko (bahaya). Resiko tersebut tidak dapat dihindarkan karena terbawa oleh
pestisida itu sendiri, walaupun pestisida mengandung resiko kita sebagai petani diharapkan
dapat megelola resiko tersebut, sehingga tidak membahayakan penggunanya, konsumen, dan
sekitar lingkungan. http://ddpertanian.blogspot.com/2015/03/perlindungan-tanaman.html

4
Program pengendalian hama terpadu dapat membantu petani dalam mengendalikan
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan tepat sasaran untuk mendapatkan
hasil dan kualitas panen optimal secara aman dan bijaksana. Metode dalam pengendalian
hama terpadu, yaitu:

 Identifikasi
Identifikasi terhadap jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) yang ada di lahan, karena
tidak semua organisme menimbulkan kerugian bahkan beberapa organisme memberikan
keuntungan bagi pertanian dan lingkungan. Dengan identifikasi yang tepat, petani dapat
menggunakan jenis pestisida atau bahan perlindungan tanaman yang tepat untuk
mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).
 Monitor
Monitoring (pengamatan) dilakukan oleh petani terhadap keadaan dan populasi organisme
pengganggu tanaman (OPT) sehingga petani dapat memutuskan dengan tepat kapan dalam
penggunaan pestisida atau bahan perlindungan tanaman. Karena prinsip pengendalian hama
terpadu (PHT) adalah hama tidak dimusnahkan tetapi diusahakan agar selalu dibawah
ambang batas ekonomi
 Pengendalian
Bila pencegahan dengan cara mengelola tanaman, lahan dan ekosistem telah dilakukan
namun populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) tetap melebihi ambang batas dan
menimbulkan kerugian, petani dapat melakukan pengendalian mekanik, fisik, hayati dengan
menggunakan organisme menguntungkan yang menjadi musuh alami dan pestisida atau
bahan perlindungan tanaman yang tepat untuk mengendalikan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Dengan penggunaan pestisida atau bahan perlindungan tanaman secara tepat
dan bijaksana, populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) diharapkan dapat berkurang
dan tetap berada di bawah tingkat populasi sehingga keseimbangan ekosistem, ekologi dan
ekonomi terjaga. www.dupont.co.id/produk-dan.../perlindungan.../pengendalian-hama-
terpadu.html

Surfaktan dalam perlindungan tumbuhan dan pengendalian hama


Surfaktan merupakan singkatan dari surface active agents, bahan yang menurunkan
tegangan permukaan suatu cairan dan di antarmuka fasa (baik cair-gas maupun cair-cair)
sehingga mempermudah penyebaran dan pemerataan.Surfaktan adalah senyawa kimia yang
dalam molekulnya memiliki dua ujung yang berbeda interaksinya dengan air , yakni ujung
yang biasa disebut kepala (hidrofil), sifatnya „suka‟ air dan ujung yang disebut ekor (lipofil),
sifatnya tidak „suka‟ air. Dalam proses pencucian menggunakan air, bagian hidrofil akan
berinteraksi dengan air sedangkan bagian lipofil akan berinteraksi dengan kontaminan seperti
pestisida. Dengan demikian surfaktan bertindak sebagai jembatan dan dengan sendirinya
akan meningkatkan efektifitas pencucian pestisida menggunakan air. Karena sifat inilah
sabun mampu mengangkat kotoran dari badan dan pakaian http://kabelan-
kunia.blogspot.com/2008/07/surfaktan-pengusir-kuman-dan-racun.html

5
Dalam usaha tani tanaman pangan di Indonesia terdapat beberapa hambatan, antara lain
serangan hama dapatogen penyebab penyakit atau sering disebuorganisme pengganggu
tanaman (OPT). Jenis hama yangmenyerang tanaman pangan terutama (1) wereng
cokelat(Nilaparvata lugens ) pada padi, (2) penggerek tongkoldan batang pada jagung, (3)
kutu kebul dan ulat grayakpada kedelai. Penyakit utama tanaman pangan adalah(1) bercak
daun yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae pada padi, (2) penyakit bulai
yangdisebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydispada jagung, (3) penyakit karat
yang disebabkan olehcendawan Phakopsora pachyrhizi dan beberapa macampenyakit virus
(Mosaic virus, Cowpea Mild Mottle Virus) pada kedelai, (4) penyakit layu yang disebabkan
olehbeberapa cendawan terbawa tanah (soil-borne) sepertiSclerotium rolfsii, Rhizoctonia
solani, Fusarium sp.penyakit bercak daun (Cercosporidium personatum atauC. arachidicola),
dan penyakit karat (Uromyces phaseoli)pada kacang tanah, (5) penyakit embun tepung
(Erysiphepolygoni) dan bercak daun (Cercospora cruenta) padakacang hijau (Semangun
2004). Hama juga dapat menjadi vektor virus. Sebagai contoh kutu kebul (Bemisia
tabaci),merupakan vektor CMMV (Cucumber Mild Motle Virus)
yang sangat merusak tanaman kedelai.
Serangan hama dan patogen mengakibatkanterjadinya kehilangan hasil panen dan
menurunkankualitas hasil, sehingga perlu dikendalikan. Salah satu cara pengendalian hama
dan penyakit tanaman panganadalah dengan aplikasi pestisida. Penggunaan pestisidakimiawi
untuk pengendalian OPT masih banyak dilakukan.Cara ini disukai petani karena serangan
hama dan penyakitdapat cepat diatasi. Namun pemberian pestisida kimiadapat menimbulkan
resistensi terhadap hama danpenyakit, berkembang hama atau penyakit baru(resurgensi), dan
mencemari lingkungan. Hasil penelitianKaryadi et al. (2011) menunjukkan pada lahan
pertanamanbawang merah yang diberi tujuh macam pestisida diKendal, Jawa Tengah,
terdapat kandungan logam berattimbal (Pb). Selisih kandungan Pb dalam tanah sesudahdan
sebelum panen mencapai 43.000 mg Pb/ha. yangmencemari lingkungan tanah. Aplikasi
pestisida kimia juga mengganggu kesehatan manusia pada saatmengaplikasikan dan residu
pestisida pada hasil panen mengganggu kesehatan konsumen. Dewasa ini telahberkembang
biopestisida yang ramah lingkungan.Biopestisida mudah terdegradasi oleh sinar matahari dan
tercuci tanah (Schumann and D‟Arcy, 2012), tidakmenimbulkan biotipe atau ras baru hama
dan penyakit serta tidak menimbulkan resistensi (Kardinan 2004).Tulisan ini mengulas
definisi, efektivitas, dan biopestisida yang sudah digunakan petani, kendala, dan
keuntunganpenggunaan biopestisida untuk pengendalian hama danpenyakit tanaman.
Pengendalian terhadap pengganggu tanaman perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan
adanya kompetisi yang terjadi antara tanaman utama dengan pengganggu tanaman.
Pengganggu tanaman yang sering mengakibatkan kerugian besar adalah gulma. Persaingan
yang terjadi dapat berupa unsur hara, air, cahaya, ruang dan sumber pertumbuhan lainnya.
Pengendalian gulma sering tidak efisien dikarenakan beberapa faktor, yaitu adanya lapisan
lilin pada daun, curah hujan yang tinggi menyebabkan pestisida tercuci(mengalir oleh air).
Tentu hal ini dapat menyebabkan ketidakefisienan dalam penyemprotan sehingga harus
dilakukan berulang-ulang. Salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah penggunaan
surfaktan. Surfaktan merupakan zat perekat, perata pestisida pada daun. Zat ini dapat
membantu dalam menyelesaikan permasalahan diatas.
Selain itu, pemakaian surfaktan alami ini diharapkan mampu diaplikasikan pada
pemakaian pestisida untuk membasmi hama dan fungi. Sedanglan produk sebelumnya yang
sudah ada adalah surfaktan yang berasal dari bahan kimia. Surfaktan kimia ini memiliki
dampak pencemaran pada lingkungan dan harga yang tinggi menyulitkan keadaan petani
yang memiliki modal usaha yang sedikit. Konsumsi surfaktan sintesis (kimia) di bidang
petrokimia sangat besar. Beberapa surfaktan sintesis bersifat toksik. Sedangkan biosurfaktan

6
atau surfaktan alamai memiliki keuntungan yang lebih dibanding surfaktan kimia dalam hal
biodegradasi, ramah lingkungan, non toksik dan struktur kimianya lebih beragam (Bayoumi
et al., 2011).
Di bidang pertanian, surfaktan (kependekan dari "agen permukaan") membantu petani
menggunakan herbisida (alias "pembunuh gulma") lebih efisien. Surfaktan membantu dengan
mengurangi tegangan permukaan air, dan karena semprotan herbisida sebagian besar air, ini
membuat semprotan pada gulma yang ditargetkan daripada bergulir ke tanah.Surfaktan juga
digunakan dalam produk perawatan pribadi dan pembersih rumah tangga. Sebagai contoh,
surfaktan yang ditemukan di sampo mengurangi tegangan permukaan air untuk membantunya
menyebar dan bergerak di sekitar rambut kita. Zat serupa sering digunakan dalam kebun
organik untuk membantu menembus lapisan lilin tanaman dan menyebabkan tanaman
mengalami dehidrasi dan mati.terutama mengandung tiga komponen - bahan aktif, air dan
campuran surfaktan. Keamanan dari setiap penggunaan label dari formulasi pestisida harus
dievaluasi dan disetujui oleh pihak berwenang, seperti Badan Perlindungan Lingkungan
(EPA), sebelum diizinkan untuk dijual.Herbisida berbasis glifosat, termasuk produk yang
diformulasikan Roundup-brand dengan surfaktan, semuanya memiliki sejarah panjang
penggunaan yang aman dan tidak menimbulkan risiko yang tidak masuk akal bagi kesehatan
manusia ketika digunakan sesuai dengan petunjuk label.
https://monsanto.com/products/safety-information/what-is-a-surfactant/

2.1 Produk pestisida yang mengandung surfaktan

Sudah menjadi kebiasaan petani dalam satu kali aplikasi penyemprotan untuk
mengendalikan hama-penyakit tanaman, digunakan beberapa jenis pestisida. Pestisida jenis
insektisida, fungisida ditambah dengan pupuk cair dicampura jadi satu dalam tangi sprayer.
Suatu produk yang tidak pernah ketinggalan oleh petani setiap kali melakukan penyemprotan
adalah produk perekat (Sticker). Produk ini bukan merupakan jenis pestisida yang
dimaksudkan untuk mengendalikan hama atau penyakit tertentu pada tanaman, tapi
keberadaan produk ini selalu menyertai dalam setiap aplikasi penyemprotan.

Banyak sekali merk produk-produk semacam ini yang beredar di pasaran. Hampir
semua perusahaan produsen pestisida mempunyai item produk jenis ini. Produk-produk
semacam ini berfungsi untuk merekatkan larutan semprot pestisida pada permukaan daun
atau bagian tanaman. Sticker bekerja dengan cara meningkatkan adesi partikel ke bidang
sasaran, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya butiran semprot pestisida luruh (roll
off) atau tercuci akibat guyuran air hujan. Beberapa diantara produk-produk ini juga
berfungsi mengurangi penguapan. Kebanyakan produk perekat yang dijual dipasaran juga
merupakan bahan perata (surfaktan).

7
Surfaktan membantu membasahi bidang sasaran semprot dengan cara menurunkan
tegangan permukaannya. Dengan demikian, butiran semprot akan lebih mudah menempel
pada bidang sasaran. Penggunaan surfaktan dapat mencegah butiran semprot luruh dari
bidang sasaran, terutama untuk tanaman yang daunnya berlilin atau berbulu-bulu halus.
Namun penggunaan surfaktanyang berlebihan justru akan meningkatkan aliran (run off) yang
mengakibatkan efikasi pestisida menjadi berkurang.
Beberapa jenis bahan aktif yang digunakan dalam produk-produk ini adalah poli oksi
etilen alkil eter, alkil gleserol flalat, poli etil akrilat, alkilaril poli etoksi alkolhol, alkilaril
poliglikol eter, asam oleat, alkilaril alkoksilat. Dalam perdagangan, produk-produk ini bisa
merupakan campuran dari dua atau lebih bahan aktif. Salah satu contoh merk produk ini
adalah Latron 750 SL. Latron berbahan aktif alkil gleserol flalat, yang mempunyai tiga fungsi
sebagai bahan perata, perekat dan juga pengemulsi. Bahan pengemulsi (emulsifier) adalah
bahan yang digunakan untuk membantu pembentukan emulsi. Jika minyak dicampur ke
dalam air, minyak dan air akan terpisah. Jika kedalam campuran tersebut ditambahkan
emulsifier dan kemudian diaduk, campuran minyak dan air tersebut akan membentuk emulsi.
Latron bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan pestisida sehingga larutan
pestisida mudah menyebar secara merata. Pestisida tetap terikat di permukaan daun sehingga
tanaman tetap terlindungi sekalipun dalam cuaca yang buruk atau angin kencang

Beberapa kombinasi pestisida atau pupuk cair di dalam tangki, tidak tercampur dengan baik
(seperti halnya minyak dan air). Campuran dapat memisah, satu jenis atau lebih bahan yang
terkandung didalamnya dapat menggumpal atau menjadi sepeti “gemuk” (greasy), sehingga
dapat menyumbat nozzle atau saringan. Hal ini mengakibatkan proses penyemprotan
terganggu. Akibat buruk dari kombinasi pestisida atau pupuk yang tidak sempurna yaitu
adanya konsentrasi bahan kimia di suatu area sehingga hasil panen menjadi tidak merata pada
area pertanaman karena pengendalian hama, penyakit atau gulma tidak merata. Untuk
mengatasi hal tersebut, Latron dapat digunakana untuk membantu mengatasi masalah
tersebut

http://cahndeso-mbangundeso.blogspot.com/2011/06/bahan-perata-perekat-dan-
pengemulsi.html

Salah satu surfaktan yang digunakan dalam Perlindungan Tumbuhan dan Pengendalian Hama
yaitu surfaktan kakao.

Keunggulan surfaktan kakao ini sebagai berikut:

 Dapat memaksimalkan pengendalian pengganggu tanaman


 Terbuat dari bahan alami, sehingga tidak merusak lingkungan.

8
 Dari sudut pandang ekologi, biosurfaktan banyak menguntungkan karena nontoksik
dan ramah lingkungan. Biosurfaktan dan mikroba yang menghasilkannya, dapat
diterapkan di berbagai sektor industri, kesehatan dan lingkungan.

https://isnet.or.id/surfaktan-alami-sebagai-alternatif-efisiensi-pemakaian-pestisida-pada-
daerah-curah-hujan-tinggi/

Aplikasi surfaktan dalam makanan dan kemasan makanan


Makanan dan Kemasan Makanan

Setidaknya ada dua aspek penting untuk peran surfaktan dalam makanan
industri. Satu aspek terkait dengan penanganan dan pengemasan makanan dan yang
lainnya, untuk kualitas dan karakteristik makanan itu sendiri. Proses pengemasan
makanan modern mengandalkan kecepatan tinggi, operasi throughput tinggi yang dapat
menempatkan tuntutan besar pada mesin pengolahan. Kemasan polimer, misalnya,
harus bisa melewatinya berbagai tahap pembuatan dan persiapan sebelum mencapai
tahap pengisian, banyak di antaranya membutuhkan penggabungan atau penggunaan
formulasi yang mengandung surfaktan. Botol dan wadah serupa harus dibersihkan
sebelum diisi, diproses yang biasanya memerlukan beberapa jenis deterjen. Namun,
deterjen harus memiliki karakteristik khusus yang biasanya mengandung sedikit atau
tidak ada pembentukan busa. Berbusa rendah deterjen dan pembersih juga penting
untuk pembersihan tangki proses, perpipaan, memompa, flensa, dan ruang 'mati' dalam
siklus aliran proses. Kehadiran busa akan sering membatasi akses agen pembersih dan
disinfektan ke daerah yang sulit, mengurangi keefektifannya membersihkan seluruh
sistem dan mengarah pada pembentukan tempat berkembang biak bakteri yang
berbahaya.
Dalam produk makanan itu sendiri, keberadaan surfaktan mungkin penting
untuk memperoleh karakteristik produk yang diinginkan. Contoh yang jelas akan di
persiapan makanan seperti topping kocok, kue busa atau sponge, roti, saus mayones dan
salad, dan es krim dan serbat. Mungkin kurang jelas adalah surfaktan yang digunakan
dalam permen, coklat, minuman, margarin, sup dan saus, pemutih kopi, dan banyak
lagi.
Dengan beberapa pengecualian penting, surfaktan yang digunakan dalam
persiapan makanan adalah identik atau terkait erat dengan surfaktan yang ada secara
alami pada hewan dan sayuran sistem. Contoh utama adalah mono dan digliserida yang
berasal dari lemak dan minyak, fosfolipid seperti lesitin dan lesitin termodifikasi,
produk reaksi alami asam lemak atau gliserida dengan asam laktat dan buah alami,
produk reaksi gula atau poliol dengan asam lemak, dan sejumlah asam lemak
teretoksilasi dan turunan gula (terutama sorbitol)

9
1. Surfaktan Dalam Makanan

Surfaktan telah digunakan dalam industri makanan selama berabad-abad. Surfaktan


seperti lesitin dari kuning telur dan berbagai protein dari susu yang digunakan untuk
pembuatan produk makanan seperti mayones, krim salad, saus , dll. Kemudian, lemak polar
seperti monogliserida digunakan sebagai emulsifier untuk produk makanan. Baru-baru ini,
surfaktan sintetik seperti sorbitan ester dan etoksilat dan ester sukrosa telah digunakan dalam
emulsi makanan. Contohnya, ester dari monostearat atau monooleat dengan asam karboksilat
organi ,seperti asam sitrat, digunakan sebagai agen anti spattering dalam margarin untuk
menggoreng .Banyak makanan yang menggunakan sistem koloid, yang mengandung
berbagai macam partikel. partikel-partikel ini sebagai unit individu yang tersuspensi dalam
medium, tetapi dalam banyak kasus terjadi agregasi untuk membentuk struktur tiga dimensi,
umumnya disebut sebagai'' gel ''. Struktur agregasi ditentukan oleh kekuatan interaksi antara
partikel yang ditentukan oleh tarikan besaran relatif (gaya van der Waals). Yang terakhir ini
dapat elektrostatik atau sterik, tergantung pada komposisi dari formulasi makanan. Jelas,
interaksi repulsive akan ditentukan oleh sifat surfaktan yang terkandung dalam formulasi.
Surfaktan tersebut dapat berupa ionik atau polar, atau mungkin berupa polimer. Yang terakhir
kadang-kadang penambahannya tidak hanya untuk mengontrol interaksi antara partikel atau
tetesan(droplets) dalam formulasi makanan, tetapi juga untuk mengontrol konsistensi
(rheology) dari sistem.

Formulasi makanan banyak mengandung campuran surfaktan (pengemulsi) dan


hydrocolloids. Interaksi antara surfaktan dan molekul polimer memainkan besar peran dalam
keseluruhan interaksi antara partikel atau tetesan (droplets), serta rheologi bulk dari
keseluruhan sistem. Interaksi tersebut adalah kompleks dan membutuhkan studi mendasar
mengenai sifat koloidnya. Seperti dibahas selanjutnya, banyak produk makanan mengandung
protein yang digunakan sebagai emulsifier. Interaksi antara protein dan hydrocolloids juga
sangat penting dalam menentukan sifat antarmuka dan sistem rheologi bulk. Selain itu,protein
juga dapat berinteraksi dengan adanya emulsifier dalam sistem dan interaksi inimembutuhkan
perhatian khusus. https://www.scribd.com/document/88170665/Surfaktan-Dlm-Isdustri-
Makanan

2. Emulsi dalam Makanan

Pemahaman tentang pembentukan, struktur, dan sifat emulsi sangat penting untuk
pembuatan dan stabilisasi berbagai struktur dalam makanan. Tiga jenis emulsi utama
(ditunjukkan pada Gambar.6) yang diatur dalam makanan adalah sebagai berikut;

1. Emulsi Minyak-dalam-Air (O / W): Tetesan-tetesan minyak tersuspensi dalam fase


kontinu berair. Emulsi semacam itu ada dalam banyak bentuk makanan seperti krim,
minuman keras, topping yang bisa dikocok, campuran es krim, mayones. Sifat-sifat
emulsi tersebut dikontrol melalui surfaktan yang digunakan dan komponen lain yang ada
dalam fase air.
2. Emulsi Water-in-Oil (W / O): Tetesan air tersuspensi dalam kontinyu yang berminyak
tahap. Terutama emulsi ini ada dalam mentega, margarin, dan penyebaran berbasis

10
lemak. Stabilitas emulsi ini lebih tergantung terutama pada sifat lemak atau minyak, fase
terdispersi dan juga surfaktan yang digunakan dalam fase air
3. Emulsi Air-dalam-Minyak-dalam-Air (W / O / W): Akibatnya, emulsi o / w yang
tetesannya mengandung tetesan air. Jenis emulsi ini sering ditemukan dalam berbagai
produk yang dipanggang

Sejumlah besar surfaktan secara tradisional digunakan dalam makanan yang larut
dalam air dan juga tidak larut dalam air. Surfaktan, yang memiliki titik Krafft di bawah suhu
kamar, diklasifikasikan sebagai tidak larut dalam air sebagai kontras dengan surfaktan ionik
seperti SDS, yang diklasifikasikan sebagai larut dalam air, karena mereka membentuk larutan
berair transparan dengan konsentrasi besar. Karena Micellization of Surfactant, larutan berair
dengan konsentrasi surfaktan tinggi adalah cairan viskositas rendah transparan, yang akan
menunjukkan kelarutan yang sangat signifikan dalam air. Namun, untuk memahami stabilitas
emulsi, penting untuk disadari bahwa molekul surfaktan sama sekali tidak larut pada tingkat
ini. Umumnya surfaktan / pengemulsi dapat dikarakterisasi dengan Neraca Hidrofilik
Lipofilik. Keseimbangan diukur berdasarkan berat molekul dan merupakan indikasi dari
kelarutan pengemulsi. Skala HLB bervariasi antara 0 dan 20. Pengemulsi dengan nilai HLB
yang rendah lebih larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air-dalam-minyak.
Pengemulsi dengan nilai HLB tinggi lebih larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak-
dalam-air. Nilai HLB adalah nilai yang agak teoretis, hanya menganggap air dan minyak, dan
sistem makanan lebih rumit. Tetapi nilai HLB dari pengemulsi dapat digunakan sebagai
indikasi tentang kemungkinan penggunaannya. Kelompok surfaktan kedua, yang 'tidak larut',
berbeda dari kelompok pertama hanya dengan struktur asosiasi. Perbedaan ini pada
kenyataannya penting untuk memahami stabilitas emulsi makanan . Stabilisasi emulsi adalah
dalam fenomena pada konsentrasi surfaktan kritis, ketika agregasi diri dalam air dimulai
(Gbr.7). Untuk surfaktan yang larut dalam air, asosiasinya adalah terbatas pada agregat bola,
misel, yang membentuk dispersi stabil secara termodinamik dalam air, sistem tetap
merupakan cairan transparan satu fase. Dalam kasus surfaktan yang tidak larut dalam air,
struktur asosiasi adalah kristal cair pipih (ditunjukkan pada Gambar.7) yang tidak memiliki
batasan ukuran seperti misel, asosiasi berlanjut tanpa batas dan membedakan fase terpisah
muncul. Untuk surfaktan yang larut dalam air, adsorpsi surfaktan ke permukaan meningkat
dengan konsentrasi dalam larutan berair sampai CMC tercapai, di mana surfaktan telah
membentuk lapisan tunggal pada permukaan. Setelah titik itu surfaktan tambahan membentuk
misel, dalam jumlah besar.

Gbr.7: Ketegangan permukaan larutan encer surfaktan

11
Surfaktan yang tidak larut air berperilaku dengan cara yang sangat berbeda. Ini membentuk
fase terpisah dan adsorpsi ke antarmuka minyak / air sekarang bukan masalah molekul
individu; adsorpsi terutama diputuskan oleh tiga energi bebas antar muka dengan empat
kemungkinan struktur yang tersebar (Gbr.8).

Gbr.8: Pengaturan untuk emulsi dengan LC sebagai fase ke-3

Pada Gbr.8, tolakan antara partikel kristal cair dan tetes minyak cukup untuk mencegah
agregasi stabilitas dan mereka ada sebagai entitas yang terpisah. Jika flokulasi terjadi, tiga
pengaturan dimungkinkan tergantung pada besarnya energi bebas antarmuka, yaitu emulsi γ
(O / W), γ (O / LC) dan γ (LC / W). Emulsi sekarang telah meningkatkan jumlah fase dari
dua menjadi tiga, dan kehadiran fase ketiga memiliki tiga konsekuensi penting. Itu secara
radikal mengubah rasio volume dalam emulsi, itu menimbulkan struktur lain selama
emulsifikasi dan variasi suhu selama dan setelah emulsifikasi memiliki efek yang
menentukan pada sifat-sifat.

Koloid dan emulsi yang paling kompleks adalah dari makanan dan produk
makanan, yang sulit distabilkan, karena sejumlah besar struktur mikro kombinasi protein,
karbohidrat, lemak, dan lemak, dll. Ada. Jumlah kombinasi yang hampir tak terbatas ini
diatur dan diatur dalam struktur mikro internal yang sangat kompleks dengan berbagai jenis
rakitan seperti dispersi, emulsi, busa, gel, dll. Selain itu, Mother Nature telah memberi kami
banyak molekul dengan berat molekul kecil dengan surfaktan yang dikenal, sebagai zat
tambahan makanan (vitamin, antioksidan, asidulan, enzim, rasa, dll.). Aditif memiliki banyak
sifat fungsional dan peran penting dalam kualitas makanan dan stabilitas jangka panjang
Pengemulsi / surfaktan Makanan Biasa Molekul surfaktan, yang merupakan bagian dari
emulsi ini, memainkan peran utama dalam menentukan struktur mikro produk dan dalam
mempengaruhi stabilitas struktural dan teksturnya dalam makanan. Surfaktan umum yang
digunakan secara komersial atau pengemulsi makanan tercantum dalam Tabel-1. Di sini
dalam tabel, E-number adalah nomor referensi yang diberikan untuk bahan tambahan
makanan yang telah lulus uji keamanan dan telah disetujui untuk digunakan di seluruh Uni
Eropa dan Swiss ("E" adalah singkatan dari "Eropa"). Mereka umumnya ditemukan pada
label makanan di seluruh Uni Eropa . Penilaian dan persetujuan keselamatan adalah tanggung
jawab Otoritas Keamanan Makanan Eropa. Saat ini produksi surfaktan makanan di seluruh
dunia telah mencapai sekitar 500.000 ton dari 20 jenis berbeda dengan pertumbuhan tahunan
3% . Secara mengejutkan sekitar 50% surfaktan digunakan dalam produk roti.

Tabel 1 Surfaktan / pengemulsi makanan yang paling umum digunakan dalam industri
makanan

12
Struktur kimia pengemulsi makanan komersial disajikan pada Tabel-2. Dalam kebanyakan
kasus, bagian hidrofilik adalah gliserol, sorbitol, sukrosa, propilen glikol atau poligliserol dan
lipofilik, bagian hidrofobik dibentuk oleh asam lemak yang berasal dari lemak dan minyak.

Tabel-2: Struktur kimia surfaktan / pengemulsi makanan PALING umum digunakan dalam
industri makanan

13
Pembuatan pengemulsi / surfaktan Makanan
Lecithin (E322) adalah campuran fosfolipid, terdiri dari tulang punggung gliserol
dengan fosfatidil kelompok. Gugus fosfatidil adalah ester fosfat dari digliserida. Lecithin
adalah pengemulsi alami, diperoleh terutama dari minyak sayur dan kuning telur. Sumber
dasar untuk pembuatan pengemulsi makanan sebenarnya berasal dari lemak atau minyak atau
asam lemak. Pengemulsi makanan utama, monogliserida diproduksi dengan reaksi lemak atau
minyak atau asam lemak gliserin. Monogliserida tersebut dapat diproses lebih lanjut dengan
esterifikasi dengan asam organik seperti asetat asam, asam laktat, asam sitrat dan asam
tartarat, menghasilkan ACETAM, LACTEM, CITREM serta DATEM, masing-masing.
Bahkan beberapa alkohol hidrofilik penting dapat digunakan untuk pembuatan makanan

pengemulsi (ditunjukkan pada Gambar.9)

Gambar.9: Sumber dan pembuatan emulsifier / surfaktan makanan

14
Beberapa Aplikasi Emulsifier Makanan / Surfaktan Di Industri Makanan

Surfaktan terlibat dalam produksi banyak barang makanan umum dan dapat
ditemukan di ekstraksi kolesterol, pelarutan minyak, emulsifikasi minuman keras,
pencegahan pemisahan komponen, dan pelarutan nutrisi penting. Tidak beracunnya lesitin
menyebabkan beragamnya digunakan dalam makanan, sebagai aditif atau pengemulsi.
Digula-gula, lesitin mengurangi viskositas, menggantikan bahan yang lebih mahal, kontrol
pemadatan gula dan sifat-sifat tanpa lemak cokelat, membantu dalam pencampuran yang
homogen dan itu bisa digunakan sebagai pelapis. Dalam emulsi dan penyebaran lemak, itu
menstabilkan emulsi, mengurangi berhamburan saat menggoreng, dan meningkatkan tekstur
dari penyebaran dan rilis rasa. Di adonan dan roti, mengurangi kebutuhan lemak dan telur,
membantu pemerataan bahan dalam adonan, menstabilkan fermentasi, meningkatkan volume,
melindungi sel-sel ragi dalam adonan ketika dibekukan, dan bertindak sebagai agen pelepas
untuk mencegah lengket dan menyederhanakan pembersihan. Ini meningkatkan sifat basah
bubuk hidrofilik (mis., protein rendah lemak) dan bubuk lipofilik (mis., bubuk kakao),
mengontrol debu, dan membantu menyelesaikan penyebaran air untuk menyerap pada
antarmuka.
Lesitin menyimpan cocoa dan cocoa butter di dalam candy bar dari memisahkan.
Dalam margarin, terutama yang mengandung kadar lemak tinggi (> 75%), lesitin adalah
ditambahkan sebagai agen 'antispattering' untuk penggorengan dangkal. Margarin adalah
contoh dari a Emulsi W / O yang terdiri dari 80% lemak, yaitu campuran panas yang
dihomogenisasi dari kristal lemak, minyak dan air. Itu tidak harus menjadi emulsi yang stabil
karena emulsi cepat diatur dengan cepat mengerikan. Lecithin, bahan khas dalam margarin,
meningkatkan kelarutan monogliserida dalam campuran minyak, dan monogliserida
mengurangi ketegangan antarmuka antara fase minyak dan air. Jika kita membahas tentang
es krim, sebagian busa beku yang 40-50% udara (berdasarkan volume). Itu
 Langkah pertama dalam merumuskan es krim adalah membuat sebuah emulsi.
Langkah homogenisasi memaksa bahan-bahan panas (susu, susu, tanpa lemak,
pemanis, padatan sirup jagung, stabilisator / pengemulsi, padatan kering lainnya)
melalui kecil Pengadukan di bawah tekanan sedang. Diameter tetesan lemak
berkurang menjadi 0,4 hingga 2,0 μm kira-kira, memungkinkan area permukaan yang
besar untuk adsorpsi protein (yang bertanggung jawab untuk stabilisasi emulsi), dan
keseragaman ukuran drop menghasilkan stabilitas lemak yang lebih besar tetesan
selama proses penuaan dan menghasilkan lebih banyak produk makanan akhir yang
seragam. Adsorpsi dari pengemulsi (seperti Lecithins, Tweens, MDG) mengurangi
ketegangan antarmuka antara lemak gumpalan dan fase cair sekitarnya, bahkan lebih
dari sekadar adsorpsi protein (sekitar 2,2 dyne / cm). Stabilisator (seperti guar,
karboksimetil selulosa, xanthan, dll) digunakan untuk menghasilkan kehalusan dalam
tubuh dan tekstur, kurangi kandungan es dan laktosa pertumbuhan kristal selama
penyimpanan, menyediakan keseragaman produk dan tahan terhadap mudah melting.
 Tahap kedua dalam es krim produksi berbusa dan emulsidestabilisasi. Ini analog
dengan berbusa step in whipped cream Udara dimasukkan dengan mencambuk atau
dengan injeksi udara. Geser ditambahkan menyebabkan terkoordinasi parsial
terkendali (ditingkatkan oleh surfaktan teradsorpsi), menyebabkan udara menjadi
terperangkap dalam gumpalan lemak yang menggumpal, dan juga es pembentukan.
Saat mencambuk dan membeku terjadi secara bersamaan, destabilisasi lemak yang
baik adalah tercapai dan struktur internal yang kompleks tercapai. (Sharma .k ,
2014 )

15
3. Surfaktan dalam Kemasan makanan
Kini, mikroemulsi telah digunakan secara luas dalam industri obat
(farmasi), kosmetik, sabun/detergen, minyak, pelumas, agrokimiawi, tekstil, serta
untuk rehabilitasi lingkungan dan detoksifikasi. Penggunaannya di bidang pangan
masih sangat terbatas karena keterbatasan jenis dan jumlah surfaktan yang
diijinkan untuk pangan (bersifat food grade). Disamping itu, co-surfaktan yang
diperlukan untuk memfasilitasi pembentukan mikroemulsi, yang pada umumnya
adalah alkohol, juga tidak diijinkan untuk pangan karena bersifat toksis dan iritatif
(Flanagan dan Singh, 2006) serta dapat merusak flavor produk akhir. Selain itu,
keberadaan alkohol sebagai co-surfaktan dapat mengganggu aplikasi mikroemulsi
karena saat diaplikasikan ke dalam produk atau dilakukan pengenceran, co-surfaktan
dapat berpartisi keluar dari antar muka dan masuk ke fase kontinyu. Hal tersebut
dapat mengakibatkan destabilisasi antar muka dan selanjutnya memecah struktur
mikroemulsi (Warisnoicharoen et al, 2000).

Nanoteknologi mempunyai potensi besar sebagai pembawa komponen bioaktif


dalam pangan fungsional untuk meningkatkan kesehatan. Nanoteknologi juga dapat
digunakan sebagai sistem pembawa flavor baru untuk meningkatkan mutu dan
kegunaan pangan (Chen et al, 2006). Nanoteknologi dapat digunakan untuk
meningkatkan kelarutan, memperbaiki bioavailabilitas, mengontrol pelepasan, dan
menjaga stabilitas mikronutrien dan komponen bioaktif selama proses pengolahan,
penyimpanan, dan pendistribusiannya. Nanoteknologi dapat diaplikasikan sebagai
smart/intelligent system, sehingga dapat meningkatkan kemanjuran dan keamanan
pangan selama pengolahan dan transportasi (Weiss et al, 2006). Nanoteknologi dapat
diterapkan sebagai pengendali mutu produk pangan (Mannino dan Scampicchio, 2007).
Lebih dari 200 perusahaan pangan memanfaatkan hasil penelitian tentang nanoteknologi
untuk diaplikasikan dalam produk mereka (Tarver, 2006). Perkembangan tersebut
terjadi karena melalui aplikasi nanoteknologi, industri pangan tetap memperhatikan
aspek keamanan pangan dan konsumen juga memperoleh keuntungannya.

Banyak keuntungan dan nilai positif yang dapat dihasilkan jika nanoteknologi
diterapkan dalam industri pangan, diantaranya karena dapat dihasilkan produk baru yang
mempunyai citarasa baru dan dengan tekstur baru, yaitu dengan cara merubah ukuran
molekul pangan. Di samping itu juga mampu meningkatkan daya penyebaran
(spreadibility) secara lebih merata. Nanoteknologi juga dapat diaplikasikan untuk
menghasilkan produk baru yang rendah lemak, rendah garam, rendah gula, serta rendah
bahan pengawet. Nanoteknologi juga dapat meningkatkan bioavailabilitas berbagai zat
gizi. Zat-zat gizi tersebut dapat dibuat dalam ukuran sangat kecil (berskala nanometer),
sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh. Dengan demikian akan berkembang berbagai
produk baru yang merupakan pangan sehat (health foods). Mutu pangan maupun mutu
efisiensi gizinya dapat ditingkatkan, serta tingkat kesegarannya dapat dijaga, sehingga
produk pangan mempunyai mutu dan daya simpan lebih baik. Teknologi nano juga dapat
digunakan untuk memperbaiki mutu dan fungsi kemasan pangan (Azeredo, 2009). Saat
inipun sudah muncul istilah kemasan aktif atau intelligent dan smart packaging. Dengan
memanfaatkan teknologi nano, tingkat penelusuran produk juga akan menjadi lebih baik
(product trace ability), sehingga penelusuran masalah keamanan pangan dapat dilakukan
dengan lebih cepat dan akurat.

Nanoteknologi merupakan teknologi yang membawa perubahan besar pada


industri pangan, mulai dari pengemasan hingga nilai gizi pangan. Setiap perubahan

16
baru tentulah membawa dampak nyata pada upaya pemasyarakatannya. Di Jepang,
diperlukan dialog antara ilmuwan dan masyarakat umum tentang isu seputar
komersialisasi nanoteknologi. Dengan cara tersebut, pangan nanoteknologi dapat
diterima dengan baik oleh konsumen (Yamaguchi, 2010). Nanoteknologi mempunyai
peluang besar untuk diaplikasikan pada pangan dan pertanian (Diefes-Dux et al, 2007),
mempunyai manfaat besar bagi ilmu gizi (Srinivas et al, 2010), dan dapat mengatasi
kelaparan akibat perubahan iklim global (Meetoo, 2011). Nanoteknologi mempunyai
potensi yang baik untuk diaplikasikan dalam industri pangan dan pengolahan
sebagai cara baru untuk mendeteksi adanya patogen, sistem pembawa untuk
mengatasi penyakit, pengemasan pangan, dan pembawa komponen bioaktif menuju
targetnya (Rashidi dan Khosravi-Darani, 2011). Namun demikian, pemilihan seluruh
bahan dan proses pembuatannya harus benar-benar dilakukan secara cermat dan
terkendali agar konsumen mempunyai kepastian keamanannya. Hal tersebut
tentunya juga berlaku bagi teknologi mikroemulsi.

Peraturan Penggunaan Mikroemulsi Dalam Produk Pangan Di Indonesia

Secara khusus belum ada peraturan yang mengatur tentang penggunaan


mikroemulsi dalam produk pangan. Mengingat mikroemulsi dibuat dengan mencampur
air, minyak, dan surfaktan yang kemudian akan diaplikasikan untuk mempertahankan
dan/atau meningkatkan mutu produk pangan, maka penggunaan mikroemulsi harus
tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 (UU 18/2012)
tentang Pangan, khususnya pada Bab VII tentang Keamanan Pangan (Anonim,
2012a); serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 (PP
28/2004) tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, khususnya pada Bab II tentang
Keamanan Pangan (Anonim, 2004). Dalam UU 18/2012 pasal 67 ayat 1 disebutkan
bahwa keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis,
bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat. Ayat kedua dari pasal tersebut menyatakan bahwa keamanan pangan
dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim,
2012a).
Penyelenggaraan keamanan pangan antara lain dilakukan melalui pengaturan
terhadap bahan tambahan pangan (pasal 69) dan dalam pasal 73 dituliskan bahwa
bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan (Anonim, 2012a). Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka mikroemulsi dapat digolongkan sebagai bahan tambahan pangan karena
aplikasinya dalam produk pangan dimaksudkan untuk mempertahankan dan/atau
meningkatkan mutu pangan. Oleh karena itu, penggunaan mikroemulsi juga harus tunduk
pada ketentuan tentang bahan tambahan pangan yang telah dituangkan dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 (Permenkes
033/2012) tengtang Bahan Tambahan Pangan (Anonim, 2012b). Surfaktan yang
merupakan salah komponen mikroemulsi juga merupakan bahan tambahan pangan.
Beberapa jenis surfaktan seperti gula ester, Tween, dan Span merupakan jenis surfaktan
yang diijinkan untuk digunakan dalam pangan dan tercantum sebagai pengemulsi
(emulsifier) dalam Lampiran Permenkes 033/2012 (Anonim, 2012b). Akan tetapi,
secara khusus belum ada peraturan tentang batas maksimum penggunaan surfaktan.
Yang ada adalah batas maksimum penggunaan garam pengemulsi yang diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2013 (PerKBPOM 16/2013) tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan

17
Tambahan Pangan Garam Pengemulsi (Anonim, 2013a). Peraturan tersebut hanya
mengatur tentang pengemulsi dalam bentuk garam, sedangkan surfaktan yang dapat
digunakan untuk memfasilitasi pembentukan mikroemulsi tidak berbentuk garam,
sehingga tidak tercantum dalam ketentuan tersebut. Sedangkan dalam SNI 01-0222-
1995 tentang Bahan Tambahan Makanan dicantumkan bahwa penggunaan maksimum
dalam pangan/minuman untuk gula ester 10 g/kg, lesitin 5 g/kg, polisorbat 500 mg/kg,
dan Span 500 mg/kg (Anonim, 1995).
Peraturan tentang mikroemulsi sebagai sistem pembawa sampai saat ini belum
ada. Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 (PerKBPOM 6/2013) tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pembawa disebutkan bahwa pembawa (carrier)
adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk memfasilitasi penanganan, aplikasi
atau penggunaan bahan tambahan pangan lain atau zat gizi di dalam pangan
dengan cara melarutkan, mengencerkan, mendispersikan atau memodifikasi secara fisik
bahan tambahan pangan lain atau zat gizi tanpa mengubah fungsinya dan tidak
mempunyai efek teknologi pada pangan (Anonim, 2013b). Berdasarkan ketentuan
tersebut, berarti mikroemulsi merupakan bahan tambahan pangan pembawa. Akan
tetapi, pasal 3 dari ketentuan tersebut hanya mencantumkan bahan yang tergolong
tambahan pangan pembawa adalah Sukrosa asetat isobutirat (Sucrose acetate
isobutyrate); Trietil sitrat (Triethyl citrate); Propilen glikol (Propylene glycol); dan
Polietilen glikol (Polyethylene glycol). Kemungkinan, karena mikroemulsi
merupakan hal baru, maka fungsinya sebagai bahan tambahan pangan pembawa
belum dituangkan dalam ketentuan/peraturan tentang peredaran pangan di Indonesia.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang proses pembuatan dan aplikasinya dalam
produk pangan, penggunaan mikroemulsi dalam produk pangan sesungguhnya tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sebagai contoh, untuk menghambat
kerusakan vitamin C dalam sari buah jeruk hanya dibutuhkan 6 ppm mikroemulsi β-
karoten (Ariviani et al, 2011b); untuk menghambat terbentuknya sunlight flavor pada
susu full cream dibutuhkan 2% mikroemulsi α-tokoferol (Yuwanti et al, 2012); dan
untuk menghambat fotooksidasi virgin coconut oil dibutuhkan 250 ppm asam askorbat
dalam sistem mikroemulsi w/o (Rukmini et al, 2012b). Meskipun mikroemulsi
mempunyai potensi yang baik untuk diaplikasikan pada industri pangan di Indonesia,
tetapi untuk mendukung hal tersebut masih diperlukan kajian tentang aspek
keamanannya, seperti yang dipersyaratkan oleh undang-undang pangan.
https://www.researchgate.net/publication/317062842_Aplikasi_Teknologi_Mikroemulsi_
dalam_Industri_Pangan_Indonesia_Potensi_dan_Regulasinya_Application_of_Microemu
lsion_Technology_in_the_Indonesian_Food_Industry_Potency_and_its_regulations

18
Kesimpulan

1. Pemakaian surfaktan alami ini diharapkan mampu diaplikasikan pada pemakaian


pestisida untuk membasmi hama dan fungi. Sedanglan produk sebelumnya yang
sudah ada adalah surfaktan yang berasal dari bahan kimia. Surfaktan kimia ini
memiliki dampak pencemaran pada lingkungan dan harga yang tinggi menyulitkan
keadaan petani yang memiliki modal usaha yang sedikit.
2. Secara alami surfaktan seperti lesitin, MDGs, beragam asam lemak jenuh, tak jenuh
dan trans dan protein difungsikan serta sintetis surfaktan Tweet, SSL, CSL, dan
sukrosa ester dll sering digunakan dalam persiapan makanan produk seperti
mayones, krim salad, dressing, gurun, kopi, icecreams dll. Juga biokompatibel,
biodegradable, dan / atau formulasi berbasis emulsi beracun dari surfaktan seperti
ACETAM, LACTEM, CITREM sebagai juga DATEM memiliki potensi besar untuk
makanan.

19
Daftar Pustaka

Sharma .k , 2014 Surfactants: Basics and Versatility in Food Industries , vol. 2 ISSN: 2347 – 7881

http://ddpertanian.blogspot.com/2015/03/perlindungan-tanaman.html

http://kabelan-kunia.blogspot.com/2008/07/surfaktan-pengusir-kuman-dan-racun.html

https://monsanto.com/products/safety-information/what-is-a-surfactant/

http://cahndeso-mbangundeso.blogspot.com/2011/06/bahan-perata-perekat-dan-
pengemulsi.html

https://isnet.or.id/surfaktan-alami-sebagai-alternatif-efisiensi-pemakaian-pestisida-pada-
daerah-curah-hujan-tinggi/

https://www.scribd.com/document/88170665/Surfaktan-Dlm-Isdustri-Makanan

https://www.researchgate.net/publication/317062842_Aplikasi_Teknologi_Mikroemulsi_dala
m_Industri_Pangan_Indonesia_Potensi_dan_Regulasinya_Application_of_Microemulsion_T
echnology_in_the_Indonesian_Food_Industry_Potency_and_its_regulations

20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Anda mungkin juga menyukai