Anda di halaman 1dari 13

PENGENDALIAN HAMA TERPADU

TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob) DENGAN PENGENDALIAN


SECARA HAYATI DAN PENGENDALIAN SECARA FISIK

Yosua Kalimanto/1903016045

AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Pengendalian


Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu hambatan sebagai faktor
pembatas dalam hasil panen budidaya tanaman. Oleh karena itu masalah mengenai
hama tanaman merupakan kendala yang perlu di antisipasi perkembangannya karena
dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Selama ini, petani hanya mengandalkan
pestisida untuk memberantas OPT, apalagi penggunaan pestisida secara berlebihan
dapat menimbulkan masalah terkait stabilitas ekosistem, kesuburan tanah, dan ledakan
hama akibat kekebalan hama yang sudah tahan terhadap pestisida tersebut.

b. Hama
Dalam arti luas hama didefenisikan sebagai segala bentuk gangguan baik pada
manusia, ternak dan tanaman dan dalam arti sempit hama berkaitan dengan budidaya
tanaman, dimana semua hewan yang merusak tanaman dan hasilnya serta aktivitasnya
dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis.

Hama juga dapat diartikan sebagai organisme pengganggu dan penyerang apapun


yang dibudidayakan sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan prkembangan serta
menimbulkan kerugian secara ekonomis, hama dapat menyerang apapun pada kegiatan
budidaya seperti pada bidang pertanian, peternakan dan perikanan.

c. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa cara yang
paling efektif dalam mengendalikan organisme penggangu tanaman hama tikus sawah
yaitu pengendalian terpadu secara hayati/biologi menggunakan predator alami hama
dan pengendalian secara fisik menggunakan perangkap dalam menurunkan populasi
hama dalam menjaga ekosistem lingkungan.
II. DEFINISI

a. Pengendalian OPT Secara Hayati


Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu
dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti
predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan
hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan
musuh  alami  untuk  kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan
dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium.
Sedangkan  Pengendalian alami Merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri
tanpa campur tangan manusia (dalam Sunarno 2018).

Keberhasilan pengendalian hayati memang sukar untuk diduga dan dianalisis


secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid
mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara
optimum berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek
biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.

Musuh alami mempunyai andil amat besar dalam pembangunan pertanian


berwawasan lingkungan karena daya kendali terhadap hama cukup tinggi, dan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Agar upaya ini terus
berkesinambungan, musuh alami perlu dijaga kelestariannya, misalnya dengan
mengurangi penggunaan pestisida yang dapat membunuhnya, memodifikasi
lingkungan agar cocok dengan keinginan musuh alami. Pelepasan musuh alami
sebaiknya dilakukan saat kondisi lingkungan mendukung aktivitasnya, misalnya pagi
atau sore hari, sehingga saat kondisi lingkungan kurang mendukung (misalnya cuaca
panas) musuh alami telah mempersiapkan diri untuk mengantisipasi. Selain itu,
pelepasan dilakukan saat populasi hama mulai meningkat meninggalkan batas
keseimbangan alami.

b. Pengendalian OPT secara fisik


Pengendalian OPT tanaman secara fisik ialah pengendalian OPT dengan cara
mengubah faktor lingkungan fisik, seperti suhu, kelembapan, dan lain-lain sedemikian
sehingga dapat menimbulkan kematian dan penurunan populasi OPT. Dasar
pemikirannya adalah bahwa setiap organisme perusak tanaman (OPT) mempunyai
batas-batas toleransi terhadap faktor-faktor fisik tertentu. Lebih rendah atau lebih
tinggi daripada batas toleransi tersebut, OPT tidak dapat hidup dan berkembang biak.

Organisme pengganggu tanaman dapat diamati terlebih dahulu sebelum melakukan


pengendalian. Tujuannya agar tidak salah dalam mengendalikan OPT yang ada.
Kesalahan yang dilakukan dapat merusak lingkungan sekitar dan berdampak buruk
bagi tanaman karena bukan tidak mungkin OPT semakin merajalela. Adanya
pembasmi OPT baik secara hayati maupun fisik diharapkan dapat meredam
populasinya  pada lahan. Pengendalian memang terasa sulit namun jika dicegah
dengan mengatur pola tanam dan menanam dengan varietas tanaman yang lebih tahan
akan mempermudah dalam pengendalian OPT. Pengendalian organisme penganggu
tanaman (OPT) di lahan organik memerlukan banyak inovasi untuk menekan
penggunaan pestisida.
III.
PENILITIAN – PENELITIAN TERKAIT PENGENDALIAN HAMA
TERPADU SECARA HAYATI DAN FISIK

A. Penelitian Pengendalian Terpadu Hama Secara Hayati


Teknik pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator yang
dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu, Konservasi,
Introduksi, dan Augmentasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut
berbeda tetapi dalam pelaksanaanya sering digunakan secara bersama. Menurut
Rukmana. dan sugandi, (2002). Musuh alami mempunyai andil yang sangat besar
dalam pembangunan pertanian berwawasan lingkungan karena daya kendali terhadap
hama cukup tinggi dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh
karena itu, keberadaan musuh alami perlu dijaga. 

 Pengendalian hayati membantu petani menghasilkan produk pertanian yang


sehat dan aman
Banyak produk pertanian dari Indonesia yang ditolak oleh negara
pengimpor ketika didapati residu bahan kimia di dalam produk tersebut. Apalagi
dengan diterapkannya SPS (Sanitary and Phytosanitary) dan perdagangan bebas
dunia atau Asia, serta pembakuan kualitas produk pertanian, maka akan sangat
sukar bagi produk pertanian Indonesia untuk dapat bersaing di tingkat regional
atau internasional, jika masih mendasarkan pertanamannya dengan bahan kimia
sintetis. Oleh sebab itu, untuk mengurangi dampak negatif tersebut, petani
seharusnya sudah mulai bangkit untuk bertanam tanaman secara sehat atau
organik, meskipun produk organik masih belum mendapatkan perhatian lebih dari
masyarakat.
Di dalam menunjang ke arah produksi pertanian yang sehat dan aman
tersebut, pengendalian hayati merupakan salah satu pemecahannya dan sangat
mendukung ke arah tersebut. Hal ini karena apabila dibandingkan dengan
penggunaan agensia kimia sintetis, agensia pengendali hayati jelas tidak beracun
terhadap manusia atau hewan, khususnya apabila diterapkan pada saat panen atau
pascapanen, karena metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia hayati akan
mudah terurai oleh alam. Selain itu, metabolit sekunder yang dihasilkan tidak
sesuai untuk manusia dan hewan. Produk pertanian juga tidak menyimpan residu
agensia pengendali hayati di dalamnya, sehingga produk tersebut aman untuk
dikonsumsi. Hal ini selaras dengan makin gencarnya konsumen dunia yang
membutuhkan dan mengonsumsi produk pertanian yang sehat (Soesanto, 2008).

 Pengendalian hayati mengatasi Ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis


Penggunaan fungisida kimia sintetis untuk mengendalikan penyakit tanaman
tidak selamanya dapat diandalkan, misalnya oleh petani bawang merah, kentang,
cabai, atau pekebun pisang. Hal ini ditunjukkan dengan makin meningkatnya
penggunaan fungisida tersebut, baik dalam konsentrasi atau keseringannya.Akan
tetapi, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit tetap ada
di pertanaman, bahkan dapat lebih parah lagi kerusakan yang ditimbulkannya. Hal
ini kemungkinan karena jamur patogen telah mengalami mutasi dan mampu
beradaptasi dengan fungisida tersebut, ikut matinya mikroba tanah yang berguna,
atau jamur patogen mampu membentuk struktur istirahat.
Di sisi lain, ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis untuk menjangkau
letak mikroba patogen di dalam tanah. Keberadaan mikroba tanah sangat
beragam, bahkan dapat mencapai kedalaman di bawah 50 cm di dalam tanah,
misalnya untuk jamur patogen Fusarium sp. (Domsch et al., 1993). Oleh karena
itu, kehadiran agensia pengendali hayati ternyata memberikan angin segar kepada
para petani. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan,
yang kesemuanya menunjukkan kemampuan agensia pengendali hayati dalam
mengatasi masalah patogen tanaman, yang sebelumnya sukar dikendalikan
dengan fungisida kimia sintetis. Misalnya, penggunaan bakteri
antagonis Pseudomonas fluorescens P60 mampu menurunkan kepadatan populasi
jamur Fusarium oxysporum, penyebab penyakit moler pada bawang merah, di
dalam tanah sampai sebesar 80,67% (Santoso et al., 2007).

B. Penelitian Pengendalian OPT Secara Fisik


Untuk penyakit tertentu, pengendalian fisik dapat dilakukan dengan merendam
benih dalam air panas dengan suhu tertentu. Untuk serangga hama biasanya dilakukan
dengan menggunakan mulsa plastik untuk mencegah larva berpupa di dalam tanah dan
plastik dapat memantulkan sinar yang menyebabkan serangga yang hidup di bawah
permukaan daun terganggu.
 Tehnik Fumigasi Untuk Pengendalian Tikus

Salah satu metode pengendalian tikus sawah yang mudah, murah, dan bisa
dilakukan oleh semua petani secara individu adalah pengemposan atau
fumigasi lubang aktif tikus sawah. Fumigasi terbukti efektif membunuh tikus
sawah beserta anak-anaknya di dalam lubang sarang. Disamping itu, metode
tersebut juga terjangkau petani, baik fumigator (alat untuk fumigasi) maupun
fumigan (bahan untuk membuat asap racunnya).

Pada prinsipnya, fumigasi adalah mengubah komposisi udara dengan zat atau
senyawa racun pernafasan. Hewan sasaran pengendalian akan mati akibat
terkena dampak racun inhalasi tersebut. Fumigator yang ekonomis dan telah
banyak dipakai oleh petani pantura, khususnya di wilayah Jawa Barat, berupa
tabung untuk membakar jerami kering yang diberi serbuk belerang dan
dilengkapi kipas khusus untuk meniupkan asap racun ke dalam lubang sarang
tikus.

Fumigan atau bahan yang digunakan untuk menghasilkan asap racun adalah
serbuk belerang.  Pada umumnya, racun dibuat dengan membakar serbuk
tersebut sehingga menghasilkan asap racun belerang dioksida (SO2). Setelah
fumigasi dilakukan, sebaiknya lubang tikus ditutup dengan lumpur basah agar :

 memastikan tikus tidak keluar sehingga mati beserta anak-anaknya di dalam


lubang sarang nya
 infrastruktur pertanian seperti tanggul irigasi, tanggul jalan, pematang, jalan
sawah dll tidak rusak karena digali. Pada umumnya, petani yang melakukan
fumigasi tidak membenahi (menimbun dan menutup) kembali lubang sarang
tikus yang telah digalinya.

 agar tikus lain yang datang belakangan, tidak memanfaatkan lubang sarang
yang pernah ada sebagai tempat tingggalnya. Hal tersebut menguntungkan
karena tikus tidak nyaman di lahan sehingga mencari alternatif tempat
lainnya.
 tikus dan anak anaknya yangmati di dalam lubang sarang juga skalian
langsung dikubur sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan

Lubang aktif adalah lubang yang dihuni tikus sawah. Dari luar, lubang aktif hanya
terlihat  sebagai bulatan berdiameter 6-8cm. padahal di dalam tanah lubang tersebut
merupakan lorong yang panjang dengan percabangan dan ruangan membesar untuk
melahirkan dan menempatkan anak -anaknya saat induk betina melahirkan.

Oleh karena konstruksi yang demikian, hanya gas beracun saja yang paling efektif
untuk membunuh tikus di dalam lubang sarangnya tanpa perlu membongkarnya.
Fumigasi bisa dilakukan kapan saja apabila dijumpai lubang aktif tikus, yang biasa ada
di tanggul-tanggul saluran irigasi, tanggul jalan sawah, pematang besar, hingga
pekarangan yang berbatasan dengan sawah.  Pada saat tikus sawah berkembang biak,
yang bertepatan dengan stadia padi generatif (bunting hingga menjelang panen), induk
tikus akan menutup mulut lubang sarangnya dari dalam. Oleh karena itu, sebelum
difumigasi sebaiknya lubang aktif dibuka dulu dengan cangkul baru kemudian di
fumigasi.

C. Pengendalian Tikus Dengan Perangkap


Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama utama penyebab kerusakan
dan kehilangan hasil tanaman padi di Indonesia (BPS 2004; Singleton and Petch 1994;
Geddes 1992; Sudarmaji et al. 2003). Luas pertanaman padi sawah yang diserang tikus
setiap tahun pada periode 1998-2002 rata-rata 165.381 ha, dan 7.699 ha di antaranya
puso (Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan 2003). Pengendalian tikus sawah
sampai saat ini mengandalkan penggunaan rodentisida, fumigasi, gropyokan massal,
dan cara-cara tradisional lain (Sudarmaji et al. 2003). Pengendalian tikus secara parsial
tersebut walaupun pada awalnya dapat menurunkan populasi, tetapi dalam jangka
panjang kurang menguntungkan karena akan terjadi kompensasi populasi (Singleton et
al. 1999).Oleh karena itu pengendalian tikus sawah harus dengan pendekatan
pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) yang didasarkan atas pemahaman dinamika
populasi dan menggunakan komponen teknologi pengendalian yang sesuai. Salah satu
komponen pengendalian yang sesuai digunakan dalam pendekatanPHTT adalah
Sistem Bubu Perangkap (Trap Barrier System, TBS). TBS dikembangkanberdasarkan
penelitian sifat-sifat biologis dan ekologis tikus sawah (Singleton et al. 1999;
Sudarmaji 1999; Leung and Sudarmaji 1999). Daya tarik tikus terhadap TBS
disebabkan adanya perbedaan umur pertanaman padi didalamTBS (trap crop) 3minggu
lebih awal dari tanaman padi di sekitarnya dan juga karena tanaman perangkap akan
mengalami bunting (generatif) lebih awal. Di antara stadium pertumbuhan padi dan
pakan alternatif lainnya, padi bunting merupakan pakan yang paling disukai tikus
sawah (Rahmini dan Sudarmaji 1997).

 Pola Distribusi Tangkapan Tikus


Pola distribusi tangkapan tikus sawah pada TBS dalam satu musim
tanam berkaitan erat dengan ketertarikan tikus terhadap tanaman padi di
dalam TBS dan keter- sediaan pakanalternatifdi sekitarnya. Teknik TBS
dengan early trap crop (ditanam tiga minggu lebih awal) terutama ditujukan
untuk menangkap tikus pada awal tanam padi dan juga ketika tanaman
perangkap bunting lebih dahulu (generatif). Populasi tertinggi tikus sawah
pada ekosistem sawah irigasi terjadi pada periode bera setelah padi dipanen
(Sudarmaji et al. 2005, Jacob et al. 2003). Oleh karena itu penggunaan TBS
diharapkan dapat menurunkan populasi tikus pada awal tanam sebelum terjadi
perkembangbiakan yang cepat pada periode generatif padi. Jumlah tangkapan
tikus sawah setiap 40 hari selama pertumbuhan tanaman perangkap
menunjukkan per- bedaan nyata. Jumlah tangkapan terbanyak terjadi pada
kisaran waktu awal tanam (vegetatif) yaitu pada saat tanaman berumur 1-40
hari.Banyaknya jumlah tangkapan tikus pada periode tersebut disebabkan
oleh populasi dan mobilitas tikus yang tinggipada awal tanam, karena
ketersediaan pakan terbatas pada periode bera. Kondisi tersebut menyebabkan
tikus di sekitar TBS akan tertarik menuju TBS karena tanaman perangkap
telah tumbuh lebih dahulu. Tikus yang datang untuk me- nyerang tanaman
perangkap pada petak TBS akan terjebak ke dalam bubu perangkap yang
telah disiapkan. Ketertarikan tikus sawah terhadap tanaman perangkap di
dalam TBS dapat mencapai jarak radius 200 m (halo effect) dari arah
sekitarnya (Brown et al. 2003; Sudarmaji dan Rahmini 2000). Pada periode
berikutnya (tanaman perangkap 41- 80 HST), jumlah tangkapan tikus masih
relatif banyak, namun telah mengalami penurunan dibandingkan dengan
tangkapan pada periode awal tanam. Pada periode tersebut tanaman
perangkap telah berada pada stadium generatif, sedangkan tanaman padi di
luar TBS masih berada pada stadium vegetatif. Hal tersebut menyebabkan
tanaman perangkap masih mempunyai daya tarik yang cukup baik bagi tikus
sawah di sekitar TBS. Rahmini dan Sudarmaji (1997) melaporkan bahwa padi
bunting merupakan pakan yang paling disukai oleh tikus sawah. Penurunan
jumlah tangkapan tikus pada periode tersebut diduga juga berhubungan
dengan penurunan populasi akibat banyaknya tikus yang ter- perangkap pada
awal tanam. Ketika tanaman perangkap telah mencapai stadium pengisian
malai hingga matang panen (81-120 HST), jumlah tangkapan tikus pada TBS
sudah jauh berkurang. Rendahnya tangkapan tikus tersebut karena tanaman
perangkap pada TBS tidak lagi menarik bagi tikus di sekitar TBS. Tikus lebih
tertarik pada pertanaman padi di luar TBS yang memasuki stadium generatif.
Pada stadium generatif, pergerakan tikus terbatas karena pakan cukup
berlimpah dan tikus betina sedang ber- anak di dalam sarangnya.
Analisis populasi tangkapan tikus pada berbagai habitat menunjukkan pola
distribusi tangkapan yang relatif sama. TBS yang dipasang di dekat tanggul
irigasi dan dekat jalan sawah mempunyai puncak tangkapan tikus lebih tinggi,
rata-rata 40 ekor/ hari.Di ekosistem sawah irigasi, tanggul irigasi dan jalan
sawah merupakan habitat utama tikus untuk berlindung, terutama pada siang
hari dan merupakan tempat utama untukberkembangbiak (Sudarmaji 2004).
Terjadinya puncak tangkapan yang lebih tinggi pada TBS yang dipasang pada
habitat tanggul irigasi dan jalan sawah pada awal tanam berkaitan erat dengan
tingkat populasi tikus yang lebih tinggi di habitat tersebut.
IV. KESIMPULAN

1. Tehnik pengendalian secara hayati mampu menekan populasi hama tikus,


adapun kelemahannya yaitu proses waktu yang lama agar bisa pengendalian
tersebut dapat bekerja dengan baik.
2. Pengendalian tikus dengan tehnik fisik juga mampu menekan populasi hama
dalam lingkungan budidaya tanaman pertanian, keuntungan besar karena ramah
lingkungan dan tidak berdampak pada ekosistem di sekitarnya.
3. Sebuah keuntungan dan ramah lingkungan serta low cost dalam penggunaan
tehnik pengendalian terpadu hama secara hayati dan fisik dapat menjadi
alternatif utama dalam menjaga ekosistem lingkungan tanaman perkebunan.
 
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. 2006. Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan
dalam era perdagangan bebas. Hal. 109-146. Dalam: Tim Redaksi Buku Kompas
(Eds.), Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Aryantha, I. N. P. 2002. Membangun sistem pertanian berkelanjutan. Diskusi sehari dalam
upaya mengurangi penggunaan pupuk, Menristek-BPPT, 1-13.
Beaumont, P. 1998. Risk assessment and management: is it working? An NGO
perspective. Pp. 257-266. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology
Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ., Dordrecht.
Chen X, Sun X, Hu Z, Li M, O'Reilly DR, Zuidema D, Vlak JM, 2000, Genetic
engineering of Helicoverpa armigera single-nucleocapsid nucleopolyhedrovirus as
an improved pesticide, J Invertebr Pathol, 76(2):140-6
Domsch, K.H., W. Gams, and T-H. Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi, Vol. I.
IHW-Verlag, Eching.
Hassan, S.A. 1998. The initiative of the IOBC/WPRS working group on pesticides and
beneficial organisms. Pp. 22-27. In: P.T. Haskell and P. McEwen
(Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic
Publ., Dordrecht.
Aplin, K.P., P.R. Brown, J. Jacob, C.J. Krebs, and G.R. Singleton. 2003. Field methods for
rodent studies in Asia and Indo-Pacific. ACIAR Monograph No. 100. 223 p.
Balitpa (Balai Penelitian Tanaman Padi). 2004. Pengendalian tikus dengan Sistem Bubu
Perangkap (TBS) di lahan sawah irigasi. Balitpa Sukamandi. pp:1-8.
Lomer CJ, Bateman RP, Johnson DL, Langewald J, Thomas M., 2001, Biological control
of locusts and grasshoppers, Annu Rev Entomol, 46:667-702
 Heviayanti E. 2016. Pengendalian Hayati ( Biological Control ) Sebagai Salah Satu
Komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Agrosamudra, Jurnal
Penelitian  3(1) pp 27-37
Raizada RB, Srivastava MK, Kaushal RA, Singh RP. , 2001, Azadirachtin, a neem
biopesticide: subchronic toxicity assessment in rats., Food Chem Toxicol, 39
(5):477-83.
Rukmana.R. dan Sugandi. 2002. Hama Tanaman dan Teknik
Pengendaliaanya,Kanisius.Yogyakarta.
Santoso, S.E., L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2007. Penekanan hayati penyakit moler
pada bawang merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii,
dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT Tropika 7(1):53-61.
Sunarno. 2018. Pengendalian hayati ( biologi control ) Sebagai salah satu Komponen
pengendalian hama terpadu (PHT) (on
line) https://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera31-
uHIhqLaBkzzrDBMOhRadqxY8H.pdf. Diakses 16 Agustus 2018.
Suresh Babu G, Hans RK, Singh J, Viswanathan PN, Joshi PC, 2001, Effect of lindane on
the growth and metabolic activities of cyanobacteria, Ecotoxicol Environ Saf,
48(2):219-21).
Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai