Anda di halaman 1dari 11

1.1.

Latar Belakang

Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi


tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama,
penyakit dan gulma. Organisme pengganggu tanaman merupakan salah satu
penghambat produksi dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk ke suatu
negara, karena dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang ditujunya.
Berdasarkan pengalaman, masih adanya permasalahan OPT yang belum tuntas
penanganannya dan perlu kerja keras untuk mengatasinya dengan berbagai upaya
dilakukan, seperti virus gemini pada cabai.
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida
sintetis terutama untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit
yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne pathogens). Untuk
mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara
berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Hal
ini dilakukan petani karena modal yang telah dikeluarkan cukup besar sehingga
petani tidak berani menanggung resiko kegagalan usaha taninya. Penggunaan pestida
yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran
lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (resistensi hama sasaran, gejala
resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu
pada hasil. Terdapat kecenderungan penurunan populasi total mikroorganisme seiring
dengan peningkatan takaran pestisida. Oleh karena itu perhatian pada alternatif
pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan
penggunaan pestisida sintetis.
Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest
Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan
masyarakat dunia terhadap berbagai produk yang aman dikonsumsi, menjaga
kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang
memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi. Salah satu komponen
pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk menunjang pertanian
berkelanjutan pembangunan pertanian secara hayati karena pengendalian ini lebih
selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan
lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan pengendali hayati dan
proses-proses alami. Aplikasi pengendalian hayati harus kompatibel dengan peraturan
(karantina), pengendalian dengan jenis tahan, pemakaian pestisida dan lain-lain.
Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya kesan
bahwa cara pengendalian hayati lambat kurang diminati. Oleh karena itu terasa
pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep
pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya.
TINJAUAN PUSTAKA

Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai


ekonomi tinggi di Indonesia. Tanaman tersebut memiliki prospek ekspor
yang baik, mempunyai daya adaptasi yang luas, serta bersifat intensif dalam
menyerap tenaga kerja (Saptana et al. 2010).
Tanaman cabai juga memiliki pengaruh yang besar terhadap inflasi dan
pertumbuhan perekonomian nasional terkait dengan isustrategis yang saat ini
tengah berkembang Fluktuasi harga Cabai di pasaran disebabkan oleh banyak
aspek seperti tingkat produksi. Tingkat produksi itu sendiri dipengaruhi oleh
faktor biotik dan abiotik. Salah satu faktor biotik yang sering kali memberi
dampak yang besar terhadap hasil panen adalah keberadaan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Kehadiran OPT secara umum dalam suatu kawasan pertanian,
khususnya hortikultura selalu menjadi permasalahan klasik yang dihadapi petani.
Hingga kini petani di Indonesia lebih sering menggunakan teknik pengendalian
kimiawi dalam mengatasi permasalahan yang timbul. Penggunaan bahan kimia dalam
pengendalian yang terus menerus dan berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif
seperti timbulnya resistensi, resurgensi, dan hama sekunder (Subagyo et al.,
2017).
Pengendalian biologi (hayati) merupakan alternatif pengendalian yang dapat
dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan
sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus,
jamur atau cendawan, bakteri (Fitriani et al., 2017).
Pengendalian hama terpadu PHT merupakan solusi yang tepat dalam
menjawab permasalahan yang dihadapi petani, karena HPT merupakan ramuan
berbagai teknologi pengendalian yang serasi dengan mempertimbangkan berbagai
aspek ekonomi, ekologi dan sosial sehingga ramah lingkungan, aman dan ekonomis.
Terdapat empat komponen utama dalam PHT yang saling terkait yaitu: (1)
informasi dan pengetahuan (biosistematika dan bioekologi); (2) sarana pengambilan
keputusan (metode pemantauan dan ambang tindakan); (3) kombinasi teknik
pengendalian; dan (4) sumberdaya manusia, yaitu pelaku langsung PHT di
lapangan dan pelaku penunjang (Subagyo et al., 2017).
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pengendalian Hama Terpadu


Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsep atau cara berpikir
dalam upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan hama dengan menerapkan
berbagai teknik pengendalian yang dipadukan dalam satu kesatuan untuk mencegah
kerusakan tanaman dan timbulnya kerugian secara ekonomis serta mencegah
kerusakan lingkungan dan ekosistem.
2. Pengertian Pengendalian Hayati
Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah
penggunaan makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu
tumbuhan (OPT). Pengendalian biologi (hayati) merupakan alternatif pengendalian
yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan
dan sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus,
jamur atau cendawan, bakteri (Fitriani et al., 2017). Makhluk hidup dalam kelompok ini
diistilahkan juga sebagai organisme yang berguna yang dikenal juga sebagai musuh
alami, seperti predator, parasitoid, patogen.
Pengendalian hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan
secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan
atau mengendalikan populasi hama. Musuh alami yang berupa parasitoid, predator
dan patogen dikenal sebagai fator pengatur dan pengendali populasi serangga yang
efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan populasi inang atau
mangsa. Peningkatan populasi inang akan ditanggapi secara numerik (respon
numerik) dengan meningkatkan jumlah predator dan secara fungsional (respon
fungsional) dengan meningkatkan daya makan per musuh alami. Beberapa tindakan
antara lain:
a. pengendalian hayati dengan parasitoid dan predator.
b. Introduksi, perbanyakan dan penyebaran musuh alami.
c. perlindungan dan dorongan musuh alami.
3. Agen Hayati
Merupakan organisme yang bertindak sebagai musuh alami dalam melakukan
pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman atau organisme yang bersifat
antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman. Dan dapat merusak,
mengganggu kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
sakit atau mati. Agen Hayati dapat berupa predator, parasitoid, patogen dan agens
antagonis.

  Predator adalah binatang yang memburu dan memakan atau menghisap cairan
tubuh mangsanya. Contoh : Lycosa pseudoannulata (laba-laba).
 Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga
lainnya (serangga inang) hanya selama masa pra dewasa (masa larva). Imago
hidup bebas bukan sebagai parasit dan hidup dari memakan nektar, embun madu,
air dan lain-lain. Contoh : Diadegma semiclausum (parasitoid terhadap ulat daun
kubis).
 Patogen adalah mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan
penyakit terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat menimbulkan
penyakit pada serangga disebut mikroorganisme entomopatogen, yang terdiri dari
cendawan, bakteri dan virus.
 Agens antagonis adalah mikroorganisme yang mengintervensi/menghambat
pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada tumbuhan.

Pengendalian hayati memiliki dua sisi, satu sisi ada yang kelebihannya dan di
sisi lain ada kelemahannya.

Keuntungan pengendalian hayati sendiri yaitu 

a) Selektifitas yang tinggi, agens hayati hanya membunuh OPT dan tidak membunuh
organisme non OPT ataupun musuh alami. Dengan demikian tidak akan terjadi
resurgensi atau ledakan OPT sekunder.

b)  Faktor pengendali (agens) yang digunakan tersedia dilapang.

c)  Agens hayati (parasitoid dan predator) dapat mencari sendiri inang atau
mangsanya.

d)  Agens hayati (parasitoid, predator, dan pathogen) dapat berkembangbiak dan


menyebar.
e)  Tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga inang/mangsa ataupun kalau
terjadi, sangat lambat.

f)   Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya karena sifat agens hayati
tersebut.

g)  Tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida.

h)  Ramah lingkungan (tidak merusak ekosistem pada suatu lingkungan pertanian)

i)    Efisiensi tenaga dan biaya.

Kelemahan pengendalian hayati


a)  Pengendalian terhadap OPT berjalan lambat.

b)  Hasilnya tidak dapat diramalkan.

c)  Sukar untuk pengembangan dan penggunaannya.

d)  Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan pengawasan untuk


mengetahui tingkat keberhasilannya.

Pengendalian hama dan penyakit secara bilogis atau hayati dapat dilakukan
dengan caramenggunakan makhluk hidup lain selain dari jasad pengganggunya dan
tanaman budidaya itu sendiri. Dari kegiatan pemakaian jasad pengganggu untuk
pengendali tersebut dapat dikatagorikan menjadi beberapa strategi yaitu

1) Konservasi artinya melindungi (tepatnya mengawetkan) dan mempertinggi


populasi musuh alami yang dapat digunakan sebagai pengendali yang sudah ada di
alam dan di lapangan, baik yang sebagai predator, parasit, maupun patogen (pada
hama dan penyakit).

2) Introduksi artinya menambah atau memasukkan populasi makhluk yang digunakan


untuk pengendali (baik parasit, predator atau patogen), kemudian dilepaskan ke
lapangan untuk mengendalikan jasad pengganggu pada tanaman (hama dan penyakit).

3) Inokulasi artinya memasukkan atau memberikan makhluk yang digunakan untuk


pengendali ke lapangan dalam jumlah yang sedikit dengan harapan dapat berkembang
biak dengan sendirinya di lapangan dengan cepat dan mengendalikan jasad
pengganggu tanaman.

4) Integrasi artinya usaha dengan menekan populasi jasad pengganggu memakai


pestisida atau cara lain, diiringi dengan melestarikan musuh alami yang
dikembangbiakkan terlebih dahulu di laboratorium.

5) Augmentasi artinya usaha mempertinggi daya guna musuh alami yang ada di
lapangan yaitu dengan membiakan jenis musuh alami atau makhluk pengendali di
laboratorium lalu dilepaskan ke lapangan untuk menambah populasi yang masih
sedikit agar efektif mengendalikan jasad pengganggu.
Hama yang umumnya terdapat pada tanaman cabai di Indonesia
adalah jenis T. parvispinus, lalat buah (Bactrocera sp.), kutu kebul (Bemisia
tabaci), kutu daun persik (Myzus persicae), kutu daun (Aphididae), dan
tungau (Polyphagotarsonemus latus dan Tetranychus sp.). Dari keempat
jenis hama utama tersebut, trips dan lalat buah merupakan jenis serangga
hama yang mendominasi karena menimbulkan kerusakan yang cukup serius
pada pertanaman di lapangan.
Jenis trips yang berasosiasi dengan tanaman cabai adalah T.
parvispinus jenis trips yang umumnya dijumpai pada tanaman cabai.
Serangan trips yang tinggi pada suatu area pertanaman dapat
mengakibatkan kehilangan hasil panen sebesar 13% sampai 64%
Kehilangan hasil panen sebesar 100% juga dapat terjadi apabila trips yang
menyerang pertanaman berperan sebagai vektor virus, karena tanaman
yang terinfeksi akan mengalami gejala pada daun, seperti bercak dan bintik,
klorosis, nekrotik, malformasi, layu, hingga tanaman menjadi kerdil dan
mati. Peranan trips sebagai hama pada tanaman disebabkan oleh aktivitas
makannya yang menimbulkan kerusakan. Gejala yang terlihat pada
tanaman berupa bintik putih atau merah pada bunga dan bercak
keperakan pada daun, daun menjadi keriting dan tunas terminal menjadi
kerdi. Semua gejala tersebut akan mengganggu proses fotosintesis T.
parvispinus merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting pada
cabai. Serangan trips pada musim kemarau umumnya lebih tinggi
bila dibandingkan musim penghujan.
Thrips parvispinus jantan & betina

Jenis serangga lainnya yang juga ditemukan berasosiasi dengan tanaman


cabai adalah lalat buah yaitu Bactrocera latifrons, B. cucurbitae, dan
B. papayae. Jenis serangga lainnya yang juga ditemukan berasosiasi dengan
tanaman cabai adalah lalat pengorok daun.

Musuh Alami Potensial

Keberadaaan musuh alami pada suatu lahan pertanaman tidak


terlepas dari keberadaan hama sasarannya. Pengembangan dan
pemanfaatan musuh alami (pengendalian hayati) diharapkan nantinya
dapat digunakan untuk mengendalikan kedua hama utama yang
ditemukan, yaitu trips dan lalat buah. Oleh karena itu, pencarian
musuh alami potensial juga dilakukan untuk melihat jenis musuh alami
yang tersedia di lahan potensinya untuk dikembangkan.

Empat jenis musuh alami potensial yang dapat digunakan untuk


menangani permasalahan kedua hama utama tersebut, yaitu dua jenis
predator larva Syrphidae dan kumbang predator Coccinellidae, serta
dua jenis parasitoid yaitu Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) dan
Ceranicus sp. (Hymenoptera: Eulophidae).

(a) Syrphidae dan (b) Coccinellidae


Larva Syrphidae dan Kumbang predator Coccinellidae merupakan
predator yang bersifat umum dan dapat menyerang berbagai jenis
serangga hama lainnya selain trips dan lalat buah, seperti kutu daun
dan kutu kebul. Opius sp. merupakan parasitoid yang
Sementara itu,
umumnya menyerang larva lalat, sedangkan Ceranicus sp. merupakan
parasitoid telur trips.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurochman. 2014. Pengendalian Hayati & Pengendalian Hama Terpadu.


http://abdurochman27.blogspot.com/2014/12/pengendalian-hayati-hama.html.
Diakses pada 25 November 2019.

Aisya SN dan Astuti A. 2019. Peningkatan Kemandirian Kelompok Petani


Pengembang Agensia Hayati Dadi Makmur untuk Memproduksi Aktivator
Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Skala Rumah Tangga. Jurnal Bakti
Saintek. 3 (2): 67-72.

Azmi. 2017. Pengertian, Prinsip Dasar dan Konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Http://milton.com/pengertian-prinsip-dasar-dan-konsep-pengendalian-
hama-terpadu-pht/. Diakses pada 26 November 2019.

Fitriani, Suryantini R, Wulandari RS. 2017. Pengendalian Hayati Patogen Busuk


Akar (Ganoderma sp.) Pada Acacia Mangium dengan Trichoderma Spp.
Isolat Lokal Secara In Vitro. Jurnal Hutan Lestari. 5 (3): 571-577.

Saptana, A.D., H.K. Daryanto& Kuntjoro. 2010. Strategi Manajemen


Resiko Petani Cabai Merah pada Lahan Sawah Dataran
Rendah di Jawa Tengah. Jurnal Manajemen dan Agribisnis 7 (2):
115-131.

Subagyo VNO, Suwito A, Efendy O. 2017. Pengendalian Hama Terpadu pada


Tanaman Cabai Di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut : Permasalahan dan Profil
Petani. Fauna Indonesia . 16 (2): 26-34.

Anda mungkin juga menyukai