Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BIOPESTISIDA SEBAGAI PENGENDALI ORGANISME


PENGGANGGU TANAMAN (OPT) YANG RAMAH
LINGKUNGAN

Dosen Pengampu:

Dr. Pasril Wahid, Ir., Ms., Apu

Disusun oleh :

Cahyo Tresno Saputra (41205420116002)

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS NUSA BANGSA

BOGOR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan
hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas
pertanian sampai 20 persen. Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar
petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil
yang cepat dan efektif. Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani
terhadap keampuhan pestisida kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu,
promosi dari perusahan pembuat pestisida yang sangat gencar semakin
meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi. Seperti halnya
kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga memperlihatkan
pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total konsumsi pestisida per tahun
mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat
mencapai lebih dari 10 – 20 persen.
Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan memberi dampak negatif
terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu dan akan
mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan,
burung dan satwa lain. Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida
terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat
meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni
lingkungan sekitar. Bahkan, residu pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai
pada mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun
manusia.

Bahkan akhir-akhir ini diantisipasi adanya kontaminasi pestisida pada air susu ibu.
Keracunan akibat kontak langsung dengan pestisida dapat terjadi pada saat aplikasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai tahun 2000 mencatat sedikitnya terjadi
tiga juta kasus keracunan pestisida setiap tahun dengan 220.000 korban jiwa.
Sejumlah dampak negatif penggunaan pestisida seperti telah disebutkan di atas,
mendorong dibuat metode lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi
penggunaan pestisida dalam usaha pemberantasan hama dan penyakit tanaman.
Harga pestisida kimiawi cukup tinggi sehingga membebani biaya produksi
pertanian. Dalam hitungan petani, biaya komponen pestisida mencapai 25 – 40
persen dari total biaya produksi pertanian. Tingginya harga pestisida kimiawi
tersebut disebabkan bahan aktif pestisida masih diimpor. Depresiasi nilai rupiah
terhadap dolar Amerika menyebabkan harga pestisida kimiawi semakin tidak
terjangkau oleh petani. Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga
komponen pestisida yang tinggi, maka dapat diramalkan bahwa usaha tani menjadi
tidak menguntungkan karena tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan
yang layak. Kondisi tersebut tentu saja amat merugikan pembangunan bidang
pertanian Indonesia. Di samping itu kebijakan global dalam pembatasan penggunaan
bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya nanti akan
sangat membebani dunia pertanian di Indonesia. Tingginya tingkat ketergantungan
pertanian Indonesia terhadap pestisida kimia akan membawa dampak negatif pada
upaya ekspansi komoditas pertanian ke pasar bebas, yang seringkali menghendaki
produk bermutu dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah. Dengan
demikian secara berangsur-angsur harus segera diupayakan pengurangan
penggunaan pestisida kimiawi dan mulai beralih kepada jenis-jenis pestisida hayati
(biopestisida) yang aman bagi lingkungan.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui potensi biopestisida sebagai alternalif
pengendalian organisme pengganggu tanaman yang ramah lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biopestisida
Biopestisida merupakan tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk pestisida, baik
secara langsung berfungsi sebagai pestisida maupun harus diekstrak terlebih dahulu.
Biopestisida dapat diartikan sebagaimana semua bahan hayati, baik berupa tanaman,
hewan, mikroba, atau protozoa yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan
penyakit pada tanaman (Anonim, 2011).
Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari alam
seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk
mengatasi masalah hama dengan cepat Pestisida nabati bersifat ramah lingkungan
karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun
lingkungan. Selain itu pestisida nabati juga tidak akan mengakibatkan resurjensi
maupun dampak samping lainnya, justru dapat menyelamatkan musuh-musuh alami
(Hanudin, 2010).
Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri
patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis
insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi
(mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida
dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak dipakai (Anonim,
2010).
Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari alam
seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk
mengatasi masalah hama dengan cepat Pestisida nabati bersifat ramah lingkungan
karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun
lingkungan. Selain itu pestisida nabati juga tidak akan mengakibatkan resurjensi
maupun dampak samping lainnya, justru dapat menyelamatkan musuhmusuh alami
(Untung, 1993).
Pestisida nabati merupakan produk alam dari tumbuhan seperti daun, bunga,
buah, biji, kulit, dan batang yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau
senyawa bioaktif (Anonim, 1994).
Beberapa tanaman telah diketahui mengandung bahan-bahan kimia yang dapat
membunuh, menarik, atau menolak serangga. Beberapa tumbuhan menghasilkan
racun, ada juga yang mengandung senyawa-senyawa kompleks yang dapat
mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan, atau mengubah
perilaku serangga (Supriyatin dan Marwoto, 2000).

2.2. Sumber Biopestisida


Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida
nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu
dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit
sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida
nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal)
maupun penyakit (bersifat bakterisidal) (Marwoto, 2000).
Pestisida nabati merupakan produk alam dari tumbuhan seperti daun, bunga,
buah, biji, kulit, dan batang yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau
senyawa bioaktif. Beberapa tanaman telah diketahui mengandung bahan-bahan kimia
yang dapat membunuh, menarik, atau menolak serangga. Beberapa tumbuhan
menghasilkan racun, ada juga yang mengandung senyawa-senyawa kompleks yang
dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan, atau mengubah
perilaku serangga. Beberapa jenis tanaman yang mampu mengendalikan hama seperti
famili Meliaceae (nimba, Aglaia), famili Anonaceae (biji srikaya, biji sirsak, biji buah
nona) (Anonim, 1994).
Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik
berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba
lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang
bersifat racun baik bagi serangga ( hama ) maupun nematoda (penyebab penyakit
tanaman). Formulasi Beuveria bassiana (isolat Segunung) mampu mengendalikan
hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek dan serta
mengendalikan kumbang mawar serta kutu daun pada tanaman krisan (Anonim,
1994).

2.3. Manfaat Biopestisida


Sesuai dengan namanya, biopestisida digunakan untuk mengendalikan hama dan
penyakit pada tanaman. Namun, manfaat biopestisida berbagai macam sesuai dengan
bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan biopestisida
yang diinginkan, seperti misalnya pestisida alami dari ekstrak daun pepaya memiliki
beberapa manfaat, antara lain: dapat digunakan untuk mencegah hama seperti aphid,
rayap, hama kecil, dan ulat bulu serta berbagai jenis serangga (Anonim, 2011).
Penggunaannya memberikan banyak manfaat. Selain efektif mengendalikan
hama dan penyakit, ternyata terbukti dapat meningkatkan hasil panen, Penggunaan
Biopestisida pun umumnya lebih efektif pada dosis rendah dan cepat terurai sehingga
pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari masalah pencemaran. Lain hanya
pestisida kimia yang sering kali menimbulkan dampak residu. Selain dapat mencegah
hama dan penyakit pada tanaman, biopestisida juga dapat memberi manfaat pada
lingkungan, sehingga lingkungan dapat menjadi lebih sehat dengan adanya
pemanfaatan lingkungan secara maksimal tanpa bahan kimia (Anonim, 2010).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengertian dan Penggolongan Biopestisida

Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati
dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman
baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat
racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk
mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
Biopestisida yang terbuat dari bahan-bahan alam tidak meracuni tanaman dan mencemari
lingkungan. Pemakaian ekstrak bahan alami secara terus- menerus juga diyakini tak
menimbulkan resisten pada hama, seperti yang biasa terjadi pada pestisida sintetis. Beberapa
jenis tanaman yang mampu mengendalikan hama seperti famili Meliaceae (nimba, Aglaia),
famili Anonaceae (biji srikaya, biji sirsak, biji buah nona).
Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa
jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab
penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi
serangga (hama) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman). Formulasi Beuveria
bassiana (isolat Segunung) mampu mengendalikan hama kumbang moncong yang
merupakan hama utama anggrek dan serta mengendalikan kumbang mawar serta kutu daun
pada tanaman krisan.
Dari kelompok bakteri yang telah banyak diteliti dan digunakan sebagai agen hayati
(pestisida hayati) adalah genus Bacillus (B. polimyxa, B. subtilis dan B. thuringiensis),
Pseudomonas (P. Fluorescens-Pf), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum dan
Gliocladium sp). Formulasi pestisida hayati yang telah dihasilkan BALITHI diantaranya Bio-
PF mengandung Pf untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan cendawan, rebah
kecambah dan bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp., Phytium sp., Vericillium
albo-atrum, Alternaria spp. dan Rhizoctonia solani. Bio-GL mengandung Gliocladium spp.
untuk mengendalikan penyakit tular tanah yang disebabkan oleh Phomosis seclerotiodes,
Phytium spp, Rhizoctonia solani, Sclerotinia sclerotiorum. Glicompost berbentuk kompos
yang berbahan aktif Gliocladium spp., untuk mengendalikan patogen tular tanah serta
penyakit layu Fusarium, Phomosis seclerotiodes, Phytium spp, Rhizoctonia solani dan
Sclerotinia sclerotiorum pada tanaman hortikultura. Prima-BAPF mengandung Bacillus sp
dan Pf, untuk mengendalikan penyakit akar bengkak, rebah kecambah, layu Fusarium, layu
bakteri, busuk daun Rhizoctonia dan karat.
Lebih lanjut Sastroutomo, (1992) mengemukakan bahwa biopestisida yang ada dapat
dibedakan dalam 1) Herbisida biologi (Bioherbisida), 2) Fungisida biologi (Biofungisida)
dan 3) Insektisida biologi (Bioinsektisida).
Insektisida biologi (Bioinsektisida) berasal dari mikroba yang digunakan sebagai
insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat
menimbulkan gangguan terhadap hewan- hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba
yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus
menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis- jenis lainnya. Pada saat ini
hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas.
Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya
adalah Bacillus thuringiensis (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis var. kurstaki telah
diproduksi sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti
Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus thuringiensis var. Israelensis
diperdagangkan dengan nama Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis insektisida ini
efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992). Jenis insektisida
biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah
dikembangkan untuk membasmi belalang dan jengkerik. Nama dagangnya ialah NOLOC,
Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana
carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T- Shield.
Herbisida biologi (Bioherbisida), adalah pengendalian gulma dengan menggunakan
penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali
digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk
mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang kedua
dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan dengan nama
Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992).
Fungisida biologi (Biofungisida), menyediakan alternatif yang dipakai untuk
mengendalikan penyakit jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora
Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet
dan layu fusarium pada cabai.Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).
Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu Gliocladium spesies G. roseum dan G.
virens. Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek dagang
Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat
serangan jamur Sclerotium Rolfsii. Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu
mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah
diproduksi secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).

3.2. Prospek Biopestisida


Bertolak dari keadaan dunia pertanian Indonesia seperti tersebut di atas maka usaha
untuk memproduksi biopestisida di dalam negeri amat memungkinkan. Faktor yang
mendukung di antaranya adalah bahwa Indonesia cukup kaya dengan berbagai jenis jasad
renik yang spesifik di daerah tropis dan lebih sesuai untuk iklim Indonesia, karena pada
umumnya biopestisida dieksplorasi dari berbagai jenis mikroorganisme, yang merupakan
musuh alami, sehingga dari ketersediaan bahan baku sangatlah berlimpah. Alam Indonesia
yang kaya akan keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang potensial untuk
dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Jenis jamur Trichoderma harzianum dapat
dijadikan produk biofungisida yang efektif untuk mengendalikan jamur penyakit tanaman
hortikultura, sayuran maupun tanaman perkebunan dan kehutanan. Jamur Metarrhizium
anisopliae dan Beauveria bassiana, B. brongniartii, Verticillium lecanii, Paecilomyces sp.,
Entomophhthora sp., dan jamur entomopatogen lainnya dapat dijadikan produk-produk
bioinsektisida. Produk bioinsektisida dengan bahan aktif jamur-jamur di atas umumnya
disebut sebagai produk mikoinsektisida, yang efektif terhadap hama serangga tanaman padi,
sayuran, hortikultura, dan perkebunan. Bakteri Bacillus thuringiensis telah dikenal mampu
mengendalikan hama serangga pada sayuran, dalam produk yang dikenal petani sebagai
racun B.t. Sementara untuk bioherbisida dapat diproduksi dengan bahan aktif berupa spora
jamur Fusarium sp. avirulen. Teknologi pembuatan pestisida tidak terlalu sulit untuk
diadopsi, dan dapat dikembangkan di dalam negeri. Dari ragam teknologi yang sifatnya
sederhana dan murah sampai dengan yang agak canggih dan mahal. Langkah penting
berikut adalah usaha untuk memproduksi biopestisida dengan harga relatif murah. Salah
satu pemecahan masalah tersebut yaitu dengan memformulasikan kembali bahan baku
kualitas analitik yang digunakan di luar negeri serta menggantinya dengan bahan baku lokal,
yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapatkan.

Menindaklanjuti dasar pemikiran tersebut, maka perlu dilakukan modifikasi terutama


untuk substitusi bahan baku lokal, agar dapat diproduksi di dalam negeri dengan biaya
produksi yang tidak terlalu mahal dan harga jual yang terjangkau oleh petani. Dari hasil
kajian diketahui bahwa komponen bahan baku impor tersebut dapat digantikan dengan jenis
bahan yang terdapat di dalam negeri. Contoh, untuk bahan produksi dapat digunakan limbah
hasil pertanian seperti onggok tapioka, jerami, limbah jagung, sekam, molase, bagase, dan
sebagainya. Banyak jenis sumber daya alam kita (mineral) yang dapat digunakan sebagai
bahan untuk formulasi biopestisida, seperti tanah gambut, tanah lempung, dan pasir
diatomae. Sejalan dengan pola pikir awal terhadap adaptasi teknologi produksi biopestisida,
maka produksi dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal, dalam rangka menekan
biaya produksi, tanpa mengurangi kualitas dan efektivitas fungsi dari produk tersebut.

Biaya produksi biopestisida yang murah, sudah barang tentu akan menjadikan harga
jualnya pun cukup terjangkau oleh petani. Ongkos produksi pertanian dari kebutuhan
pestisida yang sebelumnya mencapai 25 – 40 persen dengan menggunakan pestisida
kimiawi, kini dapat ditekan menjadi hanya sekitar 8 – 10 persen. Dampak penggunaan
biopestisida terhadap kualitas produk secara signifikan dapat meningkatkan nilai jual
(ekonomi) produk baik di pasar lokal, regional maupun internasional. Sehingga margin
keuntungan petani kita dapat ditingkatkan, dan sudah barang tentu dengan demikian
kesejahteraan petani beserta keluarganya dapat meningkat.

Arinafril (2002), mengemukakan bahwa terdapat 37.000 spesies flora Indonesia yang
telah diidentifikasi, dan baru sekitar satu persen yang dimanfaatkan untuk biopestisida.
Berlandaskan hal itu, pria yang menjadi pengajar di Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan, ini giat menggali kegunaan tanaman bagi
pemberantasan hama. Sejak 1997 Arinafril membuat ekstrak tanaman untuk biopestisida.
Biopestisida yang dia ciptakan memiliki kegunaan mematikan, menghalau, serta
menghambat perkembangan ulat dan serangga yang menjadi hama pada tanaman dan tempat
penyimpanan makanan. Selain itu, juga menghambat penetasan telur pada keong mas yang
kerap menjadi hama padi. Sebagian tanaman yang diolah menjadi biopestisida merupakan
tanaman yang banyak ditemukan dan dipelihara masyarakat.

Ekstrak jahe dan temu putih telah dibuktikan khasiat untuk menghambat serangan ulat
kubis (Plutella xylostella Linn). Daun kubis yang diberi ekstrak itu akan menjadi toksin
atau racun yang mematikan ulat. Ia juga membuat ekstrak tanaman dari temu putih, biji
nimba, daun kenanga, biji selasih, serta daun avokad yang masing-masing berfungsi
mencegah serangan kutu pada tempat penyimpanan beras dan kacang- kacangan. Beberapa
jenis kacang-kacangan, seperti kacang hijau, kedelai, kacang merah, dan kacang tanah, yang
dilumuri ekstrak tersebut akan awet disimpan sampai enam bulan. Khasiat serupa ditemukan
pada tanaman bawang putih, bunga kemuning, kulit jeruk, lengkuas, kunyit, temu hitam,
cabai merah, tembakau, dan kulit duku. Cairan ekstrak bunga kemuning bahkan efektif
mematikan kumbang kacang hanya dengan kadar 1,12 persen.

Beberapa ekstrak yang dihasilkan juga memiliki kegunaan lebih. Ekstrak bunga
kenanga, lengkuas, jahe, kunyit, umbi bawang putih, dan daun nimba tidak menghambat
perkecambahan benih kacang hijau sehingga aman untuk ditanam meskipun disimpan dalam
waktu lama. Pembuatan ekstrak tanaman dilakukan secara sederhana, meliputi metode
tepung, rendam, pasta, dan campuran air. Pada ekstraksi jahe yang menggunakan metode
tepung, rimpang jahe dibersihkan, dikupas, dan dihaluskan menjadi tepung. Kemudian,
serbuk jahe dicampur dengan beras atau kacang guna mempertahankan masa penyimpanan
makanan tersebut. Jahe juga bisa diolah melalui metode pasta. Jahe yang sudah dihaluskan
dicampur air agar membentuk adonan, lalu dimasukkan ke kantong dan diperas. Ke dalam
cairan perasan dicelupkan beras dan kacang- kacangan.

Pada tahun 1998 ia membuktikan, campuran ekstrak serai wangi, biji nimba, dan
lengkuas yang disemprotkan pada belalang kembara (Locusta migratoria) muda akan
mematikan hama itu hanya dalam waktu sekitar 30 menit. Cairan ekstrak dari tiga tanaman
tersebut meracuni jaringan sel serangga yang ganas menyerang hamparan padi dan
perkebunan di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1998.

Arinafril (1999), kembali membuat cairan ekstrak biji nimba yang memiliki daya untuk
mematikan 70 persen telur keong mas yang banyak terdapat di daun padi dan tunggul-
tunggul sawah. Ekstrak yang disemprot ke kumpulan telur keong mas merusak sel-sel telur
dan memutus perkembangbiakkan hewan yang kerap merusak tanaman padi itu.

Pada tahun 2001 ia diminta membantu pencegahan hama kutu daun pada tanaman
kacang pea, sejenis kacang kapri yang tumbuh di Jerman. Untuk keperluan itu, ia
memanfaatkan cairan ekstrak lengkuas. "Ekstrak lengkuas bersifat sistemik, diserap akar
tanaman, dan dibawa ke jaringan daun. Ekstrak racun yang terkandung dalam daun akan
mencegah serangan kutu daun.
3.3. Organisme Pengganggu Tanaman, Komposisi Biopestisida dan Cara
Pengendaliannya.
Jenis OPT yang dapat dikendalikan dengan biopestisida antara lain : (1) Hama secara
umum; (2) Hama Trips pada cabai; (3) Hama belalang dan ulat; (4) Hama kutu putih pada
daun atau batang (5) Nematoda akar; dan (6) Hama tikus. Sedang jenis tanaman biofarmaka
antara lain tergantung dari jenis OPT-nya. Ada pun cara mengendalikannya sebagai berikut :
1. Hama Secara Umum
Daun mimba (Azadirachta indica) 8 kg, lengkuas 6 kg, serai 6 kg, diterjen/sabun colek
20 kg dan air 80 liter. Bagian tanaman ini ditumbuk halus kemudian dicampur
diterjen/sabun colek. Setelah itu masukkan 20 liter air dan diaduk sampai rata. Adonan ini
diamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus dan hasil saringannya
diencerkan dengan 60 liter air. Larutan ini sudah dapat digunakan untuk mengendalikan
hama seluas ± satu hektar lahan tanaman.
2. Hama Trips pada Cabai
Daun sirsak (Annona muricata) 50– 100 lembar setelah ditumbuk halus kemudian
dicampur dengan 15 gr detergen/sabun colek. Masukkan air 5 liter dan diaduk sampai rata.
Setelah didiamkan selama 24 jam kemudian disaring dengan kain halus. Apabila larutan akan
digunakan, setiap satu liter larutan diencerkan dengan 10-15 liter air kemudian disemprotkan
ke seluruh bagian tanaman cabai yang terserang hama Trips.
3. Hama Belalang dan Ulat
Daun sirsak (Annona muricata) 50 lembar dan daun tembakau (Nicotiana tabacum) satu
genggam ditumbuk halus. Setelah itu, tambahkan 20 gram diterjen/sabun colek dan 20 liter
air kemudian diaduk sampai rata. Setelah adonan ini didiamkan/diendapkan selama 24 jam
kemudian disaring dengan kain halus. Jika larutan tersebut akan digunakan, encerkan dulu
dengan 50-60 liter air lalu semprotkan pada tanaman yang terserang hama belalang dan ulat.
4. Hama Tikus
Buah jengkol dapat ditebarkan di sekitar tanaman atau di depan lubang sarang
tikus. Atau dengan merendam irisan jengkol pada air selama 2 hari. Lalu semprotkan
pada tanaman padi yang belum berisi akan menekan serangan walang sangit.
5. Hama Kutu Putih pada daun atau batang
Siung bawang putih yang ditumbuk dan diperas airnya serta dicampurkan
dengan air sesuai dosis yang diperlukan. Jika kutu melekat erat pada tanaman, dapat
digunakan campuran sedikit minyak kelapa. Semprotkan campuran tersebut pada
tanaman yang terserang hama.
6. Nematoda akar
Dengan menggunakan bunga kenikir (Bunga Tahi Kotok) yang direndamkan
oleh air panas mendidih. Biarkan semalam lalu saring. Hasil saringan tersebut
disiramkan ke media tanaman. Penting diperhatikan media yang digunakan mudah
dilalui oleh air.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Biopestisida cukup efektif sebagai pengendali hama ulat, belalang dan
thrips.
2. Sumber bahan baku biopestida cukup banyak yaitu terdapat 37.000 spesies
flora Indonesia yang telah diidentifikasi, dan baru sekitar satu persen yang
dimanfaatkan.
3. Pembuatan biopestisida dan aplikasinya di lapang cukup mudah dilakukan
.

B. Saran
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman disarankan memakai
biopestisida selain mudah didapatkan bahan bakunya juga tidak membawa dampak
negatif bagi lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2008. Biopestisida Dari Tanaman Biofarmaka http://www.


sinartani.com/mimbarpenyuluh/biopestisida-tanaman-biofarmaka-1225683995. htm

Arinafril, 1999, , Ekstrak Tanaman untuk Atasi Hama. Laboratorium Toksikologi


Pestisida. Universitas Sriwijaya. Palembang. Indonesia.

Khetan, S.K. 2001. Microbial Pest Control. http://www.cplbookshop.


com/contents/C155.htm

Novizan, 2002. Membuat & Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agro


Media Pustaka

Pratomo, Dj. 2008. Biopestisida Sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman
Hias. Laboratorium Biokontrol, Balai Penelitian Tanaman Hias. Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian

Sastroutomo, S. S. 1992. Pestisida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 186 hal.

Wahyudi, P. 2001 Biopestisida Alternatif Pestisida Masa Depan. Pusat Pengkajian


dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT.

Anda mungkin juga menyukai