Anda di halaman 1dari 26

1

I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dengan munculnya berbagai macam dan jenis hama dan penyakit yang
menyerang tanaman budidaya yang berdampak terhadap produksi  nilai
ekonomisnya, muncullah pemikiran dan inisiatif untuk mengendalikan serangan
tersebut. Berdasarkan pemikiran inilah mulai muncul konsep perlindungan tanaman,
dan  hingga kini terus berkembang sehingga dapat menciptakan suatu solusi
pengendalian hama dan penyakit yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan tidak
membahayakan terhadap petani maupun lingkungan hidup serta tidak mengganggu
keanekaragaman hayatinya.Pengandalian hama dan penyakit tanaman merupakan
bagian dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk membatasi kehilangan
hasil akibat serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kualitas
dan kuantitas produksi yang baik. 
Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan organisme pengganggu
tumbuhan (OPT). Lebih dari sepuluh ribu spesies insekta, gulma, nematoda, chordata
dan penyakit yang dapat menyerang tanaman yang dibudidayakan. Berbagai cara
telah dikembangkan untuk mengubah keseimbangan ke arah yang menguntungkan.
Salah satunya adalah pengendalian OPT dengan menggunakan bahan kimia.
Gangguan OPT dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil serta
kematian tanaman. Adanya ancaman OPT terhadap tanaman budidaya mengharuskan
petani dan perusahaan pertanian melakukan berbagai upaya pengendalian. Sejarah
perkembangan pengendalian hama dan penyakit di Indonesia dimulai sejak periode
sebelum kemerdekaan, 1950-1960-an, 1970-an dan 1980 sampai sekarang.
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi
tanaman baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme
pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan
gulma. Organisme pengganggu tanaman merupakan salah satu penghambat produksi
dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk ke wilayah pasar dunia, karena
dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang ditujunya. Selain itu, dalam
kaitannya dengan terbawanya OPT pada produk yang akan diekspor dan dianalis
potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu wilayah negara, akan menjadi
hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional.
2

Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida


sintetis terutama untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit
yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne pathogens). Untuk
mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara
berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah dikeluarkan cukup besar sehingga
petani tidak berani menanggung resiko kegagalan usaha taninya.
Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah disatu sisi cara mengatasi
masalah OPT dengan pestisida sintetis dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT,
tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia
sintetis akan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan
masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi terutama
masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor
ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu
pestisida yang melebihi ambang toleransi.
Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah
kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (resistensi
hama sasaran, gejala resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta
mengakibatkan peningkatan residu pada hasil. Terdapat kecenderungan penurunan
populasi total mikroorganisme seiring dengan peningkatan takaran pestisida. Oleh
karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan
semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis.
3

B. Rumusan Masalah
1. Kelas Mamalia mana saja yang menjadi OPT terhadap tanaman?
2. Kerugian apa saja yang disebabkan oleh OPT dari kelas Mamalia?
3. Bagaimana teknik perlindungan yang diterapkan dalam menanggulangi
OPT?

C. Tujuan
1. Agar Mahasiswa Mengetahui Kelas Mamalia Yang Menjadi OPT.
2. Agar Mahasiswa Mengetahui Kerugian Yang Disebabkan Oleh OPT Dari
Kelas Mamalia.
3. Agar Mahasiswa Mengetahui Teknik Perlindungan Yang Diterapkan
Untuk Menanggulangi OPT Tersebut.
4

II TINJAUAN PUSTAKA
Tujuan Perlindungan Tanaman antara lain adalah: (a) pencegahan, pengendalian
dan pemantauan/peramalan OPT, (b) peningkatan kuantitas dan kualitas hasil-hasil
pertanian, (c) peningkatan daya saing produk pertanian di pasar, (d)
peningkatan penghasilan dan kesejahteraan petani, (e) peningkatan kualitas dan
keseimbangan lingkungan hidup(Martono, 1996).
Ilmu-ilmu yang terkait terhadap kegiatan penerapan perlindungan tanaman antara
lain adalah : Ekologi dan epidemiologi, fisiologi tumbuhan, patologi anatomi
dan morfologi, genetika, taksonomi dan geografi tumbuhan, bakteriologi, mikologi,
virologi, entomologi, fitopatologi, ilmu gulma, agronomi, ilmu tanah,
mikrobiologi, biokimia, kimia, bioteknologi, fisika, meteorologi, matematik dan
statistik untuk peramalan OPT, teknologi informasi, ekonomi untuk penentuan
ambang pengendalian ( Yudiarti, 2007).
Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan perspektif global terdiri atas
beberapa zaman, yaitu zaman prapestisida, zaman optimisme, zaman keraguan
dan zaman PHT.
1. Zaman prapestisida
Pada zaman prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara
bercocok tanam dan pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi hama.
Cara ini telah dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pada
tahun 2500 SM, orang Sumeria menggunakan sulfur untuk mengendalikan
serangga tungau (Flint dan van den Bosch 1990). Pengendalian secara bercocok
tanam dan hayati pada tanaman padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman
kerajaan di Nusantara, mulai dari Kerajaan Purnawarman,
Mulawarman, Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era penjajahan Belanda.  
2. Zaman Optimisme
Zaman optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu dimulai
penggunaan insektisida diklor difenol trikloroetan (DDT), fungisida ferbam, dan
herbisida 2,4 D (Flint dan van den Bosch 1990). Selama lebih kurang 10 tahun,
penggunaan pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya tanaman,
seperti halnya pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman
optimisme, pengendalian OPT tidak memerhatikan perkembangan pemahaman
5

biologi hama. Petani ingin pertanamannya bebas hama sehingga melakukan


aplikasi pestisida secara berjadwal dan berlebihan.
3. Zaman Keraguan 
Zaman keraguan diawali dengan terbitnya buku Silent Spring oleh Carson
(1962) yang membuka mata dunia tentang seriusnya pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh DDT. Buku tersebut merupakan tangis kelahiran bayi dari
gerakan peduli lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis pestisida
merusak kelestarian lingkungan biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang
maupun tropik. Salah satu contoh adalah lalat rumah menjadi resisten terhadap
DDT sejak tahun 1946.
Hal tersebut semakin menjadi perhatian pada era ini. Kurang berhasilnya
pengendalian hama secara konvensional mendorong berkembangnya paradigma
baru yang berusaha meminimalkan penggunaan pestisida serta dampak
negatifnya. Paradigma tersebut dikenal dengan istilah PHT klasik atau PHT
teknologi karena pendekatan paradigma ini berorientasi pada teknologi
pengendalian hama. 
4. Zaman PHT Teknologi
Tahun 1970 merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk sintetis, dan
varietas unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1 dan Pelita I-2), yang merupakan paket
produksi. Teknologi baru ini mendorong timbulnya permasalahan wereng coklat,
yaitu munculnya biotipe baru. Revolusi hijau telah mendorong petani makin
bergantung pada pestisida dalam mengendalikan OPT. Kondisi ini telah
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. PHT
diawali dengan terbentuknya Environmental Protection Agency (EPA) di
Amerika Serikat pada tahun 1972 dan pengalihan wewenang registrasi
pestisida dari Departemen Pertanian ke EPA.
Pada tahun 1980-1990, berbagai negara menetapkan PHT sebagai kebijakan
nasional. Zaman PHT diperkuat oleh terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro
pada tanggal 14 Juni 1992, mengadopsi seksi I Integrated Pest Management and
Control in Agriculture dari Agenda 21 Bab 14 tentang Promoting Sustainable
Agriculture and Rural Development. PHT dicetuskan oleh Stern et
6

al (1959). Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan diperkaya oleh banyak


pakar di dunia serta telah diterapkan di seluruh dunia.
Di Indonesia, PHT didukung oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang 57 jenis insektisida, dan PP
No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pada tahun 1996 keluar
keputusan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang
batas maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan.

Menurut Pasal 20 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 1992: “Perlindungan tanaman


dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu”. Penjelasan Pasal 20 UU
No. 12 Tahun 1992: “Sistem pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian
populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan
menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan
dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan
kerusakan lingkungan hidup”.
Dari penjelasan Pasal 20 UU No. 12 Tahun 1992 ini dapat disiratkan
bahwa hama adalah populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu
tumbuhan. Mengingat definisi OPT dan perlindungan tanaman dalam UU No.
12 Tahun 1992 dan PP No. 6 Tahun 1995 bersifat mengikat maka
perlindungan tanaman dalam dasar–dasar perlindungan tanamanadalah
perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam kedua peraturan perundang-
undangan tersebut.
Hama adalah perusak tanaman pada bagian akar, batang, daun atau bagian lainya
pada tanaman budidaya sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan sempurna atau
mati. Ciri-ciri hama antara lain yaitu kebanyakan dapat dilihat oleh mata telanjang,
umumnya dari golongan hewan (tikus, burung, serangga, ulat dan sebagainya). Hama
cenderung merusak bagian tanaman budidaya tertentu sehingga tanaman menjadi
mati atau tanaman tetap hidup tetapi tidak banyak memberikan hasil (Sunarya &
Destiani, 2016).
Konversi hutan, punahnya predator alami dan aktivitas manusia di kawasan hutan
setelah ditebang-pilih menyebabkan perpindahan, peningkatan populasi dan serangan
babi hutan ke kebun sawit. Ekosistem kebun sawit memberikan daya dukung yang
7

baik terhadap perkembangan babi hutan (Sus scrofa) dan dimanfaatkan oleh babi
hutan sebagai sumber makanan, tempat berlindung, beristirahat dan berkembang
biak. Babi hutan Sus scrofa memiliki adaptasi dan penyebaran yang tinggi pada
habitat yang berbeda, sehingga babi hutan ini dapat berkembang biak dengan cepat,
yaitu 2-10 ekor per kelahiran per tahun (Sibuea dan Tular, 2000).
Berbagai metode perlindungan terhadap serangan babi hutan telah dilakukan oleh
petani secara tradisional, antara lain dengan memagar anakan sawit, memagar kebun,
penggunaan anakan karet besar, penutupan anakan karet dengan semak, berburu,
penggunaan predator (ular python) dan memasang perangkap, namun demikian cara
ini dirasakan kurang efektif, walaupun memerlukan tenaga serta biaya yang cukup
tinggi.
Pengendalian yang efisien harus menggunakan pendekatan landsekap karena
pengendalian serangan babi hutan secara lokal dapat menyebabkan peningkatan
serangan babi hutan pada lokasi lainnya, misalnya kombinasi antara menjaga tempat
untuk berlindung babi hutan (hutan-hutan di sekitaraliran sungai, semak belukar tua
dan lain-lain) dan cara-cara tradisional, sehingga serangan babi hutan tetap pada
tingkat yang wajar yang tidak merugikan petani.
Tikus merupakan salah satu jenis hama penting pada sebagaian besar perkebunan
kelapa sawit (Purba et al., 2005). Ada beberapa jenis tikus yang bertindak sebagai
hama pada perkebunan kelapa sawit, yaitu Rattus tiomanicus Miller, Rattus
argentiventer Robinson and Kloss, dan Rattus tanezumi Temminck (Corley &
Tinker, 2003; Wood & Chung, 2003).
Serangan pada tanaman belum menghasilkanterjadi padapangkalpelepah
hinggabatang mudayang menyebabkanpatahnya pelepah tersebut sehingga
menghambatpertumbuhan tanaman bahkandapat menyebabkankematian tanaman.
Padatanaman menghasilkantikus lebih menyukai memakan buah, baik yang masih
mentah maupun buah matang sehingga secara langsung menyebabkan kehilangan
hasilbaik secarakuantitatif maupun kualitatif. Tikus jugamerusaktandanbunga jantan.
Tingkatseranganhama tikus yang tinggi berkorelasi negatif terhadap kepadatan
populasiserangga penyerbuk per tandan yaitu apabila terjadi peningkatan serangan
hama tikus makapopulasiElaeidobius kamerunicus akan menurun
(Samsuri&Priyautama, 2017).
8

Tikus merupakan binatang cosmopolitan yang berarti dapat hidup di semua


tempatseperti di dataran tinggi, dataran rendah, sawah, hutan, pantai, dan
pemukiman. Tikus mudah menyesuaikan diri sehingga dapat bertahan di lingkungan
yang selalu berubah. Beberapa penyakit yang dapat ditularkankan oleh
tikus kepada manusia diantaranya pes, leptospirosis, hantaan virus, scrubtyphus,
murine thypus, dan salmonellosis. Cara penularan penyakit dapat melalui gigitan
atau ludah yang menular lewat makanan, kotoran dan air kencing, darah, dan
gigitan kutu atau pinjal tikus (Ibrahim, 2005). Selain berdampak pada kesehatan,
keberadaan tikus juga berdampak negatif pada pertanian di Indonesia sebagai
hama seperti yang terjadi pada tahun 1915, 1938, dan 1963 khususnya di Jawa
(Suyanto,2006).
Instansi yang terkait dengan pengendalian tikus seperti sektor pertanian
memberikan cara pengendalian tikus yang bisa dilakukan oleh masyarakat seperti
gropyokan, racun, jebakan, dan pengasapan. Alat-alat dan bahan untuk pengendalian
tikus juga banyak ditemukan di pasar. Pengendalian tikus yang dilakukan oleh
masyarakat bermacam-macam cara, baik dengan cara yang disarankan seperti di atas,
dengan cara tradisional, atau pun dengan cara-cara yang muncul dari
masyarakat sendiri yang kadang-kadang merupakan suatu cara yang aneh dan tidak
masuk akal. Usaha pengendalian tikus akan berhasil jika dilakukan secara
serentak/massal, berkelanjutan, dan ada peran serta masyarakat (Sudarmaji &
Herawati, 2009). Hal ini mengingat perilaku dan habitat tikus, yaitu daya adaptasi
tinggi dan kemampuan melakukan migrasi, sehingga perlu diketahui keberadaan
dan aktivitas tikus sebelum dilakukan tindakan (Kementerian Pertanian, 2013).
9

III PEMBAHASAN
Kelas Mamalia (hewan menyusui, mammalia) merupakan kelas hewan vertebrata
yang dicirikan terutama oleh adanya kelenjar susu yang pada betina menghasilkan
susu sebagai sumber makanan anaknya, adanya rambut, dan tubuh yang endoterm
atau berdarah panas. Mamalia terdiri atas lebih dari 5.000 genus dalam 425 famili
dan 46 ordo, bergantung pada sistem klasifikasi ilmiah yang dipakai. Secara
filogenetik, mamalia merupakan semua turunan dari nenek moyang monotremata
(seperti echidna) dan mamalia theria (berplasenta dan berkantung atau marsupial).
Dari kelas mamalia, ordo Rodentia (binatang mengerat) merupakan ordo yang paling
merugikan, misalnya tupai (Callosciurus notatus) dan tikus sawah (Rattus rattus
argentiventer). Disamping itu kelelawar, musang, landak, dan satwa liar seperti
gajah, kera, babi hutan, rusa, dan beruang juga dapat berperan sebagai hama yang
merugikan. Untuk perkembangan perlindungan tanaman di indonesia saat ini sudah
baik, karena sudah banyak inovasi-inovasi yang diciptakan baik itu dalam hal
teknologi, penggunaan racun serta pengendalian yang lebih berorientasi dalam hal
yang berkelanjutan.
Dampak yang disebabkan oleh OPT mamalia ada yang secara langsung dan tidak
langsung, untuk dampak tidak langsung dari OPT ini yaitu, Dampak positif jangka
lama yang disebabkan oleh OPT ini adalah dapat meninggalkan kotoran yang
berguna sebagai pupuk untuk nutrisi bagi tanaman. Dampak negatif, contohnya
Sarang yang di buat dan ditinggalkan oleh OPT tersebut akan menyebabkan
pertumbuhan dan prosuksi dari tanaman akan terganggu, seperti hama babi hutan dan
landak. Dampak bagi tanaman yang terserang hama tersebut tergantung dengan
tingkat kerusakan yang diakibatkan, jika tingkat kerusakan yang disebabkan besar
maka tanaman tersebut akan mati atau tidak dapat menghasilkan produksi, tapi jika
tanaman yang diserang memiliki tingkat kerusakan yang kecil maka dengan
perbaikan tertentu pada tanaman yang terserang akan mengembalikan siklus hidup
pada tanaman tersebut.

Selain memberikan dampak negatif mamalia juga memiliki dampak positif bagi
tanaman yang dibudidayakan, Seperti contohnya gajah, sapi, kambing dan lainnya
yang bisa menghasilkan pupuk alami yang memiliki kandungan unsur hara
10

didalamnya dan bermanfaat untuk menutrisi tanaman sehingga pertumbuhannya


lebih baik. Unsur-unsur yang terdapat dalam kotoran mamalia ini yaitu, antara lain
kandungan unsur Nitrogen (N), Fosfor(F), dan Kalium (K).

A. Ordo yang bertindak sebagai OPT

1. Ordo Rodentia: khususnya dari famili Muridae (tikus Rattus, antara


lain Rattus argentiventer (Robinson & Kloss, 1916) (tikus sawah, periksa
nama ilmiah), Rattus rattus (Linnaeus, 1758) (tikus-rumah hitam, periksa
nama ilmiah), Rattus norvegicus (Berkenhout, 1769) (tikus-rumah
cokelat, periksa nama ilmiah), dan Mus, antara lain Mus musculus Linnaeus,
1758) (mencit, periksa nama ilmiah), famili Sciuridae khususnya berbagai
jenis bajing dalam sub-familiSciurinae antara lain Callosciurus
notatus (Boddaert, 1785) (bajing kelapa, periksa nama ilmiah), dan
famili Hystricidae (landak dunia lama, antara lain Hystrix javanica (F.
Cuvier, 1823) (landak jawa, periksa nama ilmiah) dan Hystrix
sumatrae (Lyon, 1907) (landak sumatera, periksa nama ilmiah)
2. Ordo Primata: khusunya dari famili Cercopithecidae (primata dunia lama),
antara lain aneka jenis kera, terutama Macaca fascicularis Raffles, 1821 (kera
ekor-panjang, periksa nama ilmiah) dan aneka jenis
lutung Trachypithecus spp.
3. Ordo Artiodactyla: khususnya dari famili Suidae, antara lain Sus
scrofa Linnaeus, 1758 (babi hutan, periksa nama ilmiah) dan Sus scrofa
domesticus Erxleben, 1777 (babi ternak, periksa nama ilmiah)
4. Ordo Chiroptera: khususnya dari famili Pteropodidae, terutama berbagai
jenis codot, antara lain Pteropus vampyrus (Linnaeus, 1758) (codot besar atau
kalong, periksa nama ilmiah) dan Pteropus hypomelanus Temminck, 1853
(codot kecil, periksa nama ilmiah) .
5. Ordo Artiodactyla: khususnya dari famili Cervidae antara lain Rusa
timorensis (de Blainville, 1822) (rusa, periksa nama ilmiah),
famili Tragulidae antara lain berbagai jenis pelanduk atau
kancil Tragulus spp., famili Bovidae antara lain banteng yang merupakan
satwa dilindungi dan sapi bali Bos javanicus d'Alton, 1823 dan sapi Bos
11

taurus Linnaeus, 1758, kerbau liar asiatik Bubalus arnee (Kerr, 1792) yang


merupakan satwa yang dilindungi dan kerbau ternak Bubalus
bubalis (Linnaeus, 1758), dan kambing Capra aegagrus hircus (Linnaeus,
1758), dan famili Equidae antara lain kuda Equus ferus caballus(Linnaeus,
1758.

Gambar 1. Berbagai kelas mamalia hama: (a) Kalong besar, (b) Bajing Kelapa, (c)Tikus Sawah, (d)
Tikus Ladang, dan (e) Monyet.

1. Tupai (Callosciurus notatus)

Gambar 2. Tupai (Callosciurus notatus)


a. Klasifikasi Tupai adalah
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Scabdantia
Familia :Tupaiidae
Genus : Tupaia
Spesies : Tupaia javanica
12

b. Morfologi Tupai
Tupai adalah segolongan mamalia kecil yang mirip bajing. Secara ilmiah,
tupai tidak sama dan jauh kekerabatannya dengan keluarga bajing.
Perbedaannya dengan bajing yaitu, tupai tidak mempunyai kumis yang
panjang.Moncongnya pun lebih panjang dan meruncing serta tidak mempunyai
sepasang gigi seri yang besar berbentuk pahat.Seperti bangsa bajing, bangsa tupai
umumnya aktif mencari makan pada siang hari.Tupai umumnya pandai memanjat
dan memiliki indera penglihatan, pendengaran dan penciuman yang baik.
Makanannya terdiri dari serangga dan buah-buahan, namun kadang kala juga
memakan bagian tumbuhan dan binatang lain. Pada musim dingin, sulit bagi tupai
untuk menemukan makanan, sehingga pada musim panas mereka mengumpulkan
makanan untuk dimakan pada bulan-bulan panjang dan dingin berikutnya.Tupai
termasuk di antara binatang-binatang yang menyimpan makanan untuk musim
dingin.Tupai menyimpan makanannya dengan menimbunnya di beberapa
tempat.Berkat ketajaman penciumannya, mereka dapat mengenali aroma biji-bijian
yang tetimbun salju sedalam 30 sentimeter .Akan tetapi, tupai sangat hati-hati ketika
mengumpulkan makanannya.Mereka tidak mengumpulkan buah, daging atau jenis
makanan yang cepat membusuk, tetapi tupai hanya mengumpulkan buah-buahan
kering dan dapat tahan lama seperti kenari, hazelnut, dan buah cemara. Tupai
memiliki otak relatif besar.Rasio besar otak berbanding besar tubuh yang terbesar
pada makhluk hidup, bahkan mengalahkan manusia. Tupai memiliki Tubuh kecil dan
ramping, kepala dan tubuh sekitar 15cm, ekor sekitar 18 cm. Di belakangnya sering
kali terjuntai ekor di atas punggungnya, lebar, tegak, berumbai dan hampir sama
panjang dengan badannya. Berkat ekor panjangnya, tupai dapat melompat dari satu
pohon ke pohon yang lain tanpa kehilangan keseimbangan.
Tupai banyak merusak buah kelapa dengan cara mengerat, baik pada waktu
siang  maupun malam. Tubuh tupai berwarna kelabu sampai hitam pada bagian perut
sampai kepalanya, dan di bagian punggung berwarna hitam pada pangkal dan kuning
di ujung. Tupai betina mempunyai 6 pasang kelenjar susu dan satu tahun mampu
beranak 8 kali (Kalshoven,1981).Tupai menyerang buah kelapa yang sudah tua,
dengan ciri serangan terdapat lubang bekas gigitan pada ujung buah dengan sisi yang
rapi/rata (Rukmana dan Saputra, 1997).
13

2. Tikus (Rattus-rattus spp.)
Tikus merupakan hama paling penting dibandingkan dengan hama-hama dari
golongan mamalia lainnya. Perkembangbiakan tikus sangat cepat, dan tanaman yang
disukainya cukup banyak.Tikus dapat menyebabkan kerusakan tanaman padi pada
areal yang luas sejak di persemaian sampai menjelang panen. Disamping itu tikus
juga menyerang tanaman lainnya yaitu jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, tebu,
kelapa, dan kelapa sawit (Kalshoven,1981).
Pada umumnya tikus menyerang tanpa mengenal tempat, sejak di persemaian,
pertanaman sampai di tempat penyimpanan.Tikus aktif menyerang tanaman pada
malam hari. Tikus yang lapar akan memakan hampir semua benda yang dijumpainya.
Jika makanan cukup tersedia, tikus akan memilih jenis makanan yang paling disukai,
seperti padi yang sedang bunting, dan jagung muda. Pada saat makanan banyak
tersedia, perkembangbiakan tikus berlangsung sangat cepat (Rukmana dan Saputra,
1997).
Menurut Priyambodo (1995), terdapat 8 spesies tikus yang berperan sebagai
hama, yaitu :
 Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))
 Tikus rumah (Rattus rattus diardi (Jent.))
 Tikus cokelat/tikus riul (Rattus rattus norvegicus Berk.)
 Mencit rumah (Mus musculus)
 Tikus pohon (Rattus tiomanicus Miller)
 Tikus huma/ladang (Rattus exulans Peale)
 Tikus wirok (Bandicota indica Bechst.)
 Mencit ladang (Mus caroli)
Pada umumnya tekstur rambut/bulu tikus agak kasar, kecuali pada mencit
yang lembut dan halus.Hidung tikus berbentuk kerucut, kecuali tikus wirok dan tikus
cokelat hidungnya berbentuk kerucut terpotong. Tikus wirok, tikus cokelat, tikus
sawah, dan mencit ladang, disebut hewan terestrial dengan ciri-ciri : ekor pendek,
panjangnya sama dengan panjang tubuh, ujung jari halus, tonjolan pada telapak kaki
kecil dan halus. Sedangkan tikus pohon, tikus rumah, tikus huma, dan mencit rumah,
disebut hewan arboreal dengan ciri-ciri : ekor panjang lebih panjang dari ukuran
tubuh, ujung jari kasar, tonjolan pada telapak kaki besar dan kasar. Tikus pohon
14

merupakan hama utama kelapa, biasanya melubangi buah kelapa yang masak/tua
dengan lubang tidak teratur di dekat tangkai (Priyambodo, 1995).
Tiga jenis tikus yang sering merusak tanaman pertanian menurut Kalshoven
(1981) adalah sebagai berikut :
a.      Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer).

Gambar 3. Tikus Sawah (Rattus rattus argentiventer)

Klasifikasi tikus sawah adalah


Kingdom : Animalia
Kelas : Mammalia
Subkelas : Theria Infra
Kelas : Eutheria
Ordo : Rodentia
Subordo : Mymorpha
Famili : Muridae,
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus argentiventer

Tikus sawah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :


 Panjang dari hidung sampai ujung ekor antara 270 mm – 370 mm.
 Berat badan rata-rata ± 130 gram.
 Panjang ekor ± 95 persen panjang badan (dari kepala sampai
pangkal ekor).
 Tikus betina mempunyai 12 puting susu, yaitu terdiri atas tiga
pasang di bagian dada dan tiga pasang di bagian perut.
 Warna badan kelabu gelap, sedang bagian dada dan perutnya
berwarna keputih-putihan.
15

Untuk pengendalian yang dilakukan agar hama tikus sawah ini tidak
mengganggu tanaman padi atau mengurangi dampak yang disebabkan oleh OPT ini
dapat dilakukan tindakan berikut :
a. Melakukan pembersihan atau sanitasi lingkungan, pembersihan rumput
dan semak yang suka digunakan tikus untuk bersarang.
b. Dengan melakukan perburuan secara langsung.
c. Memanfaatkan musuh alami sebagai predator bagi tikus.
d. Memasang tirai penyemaian pada saat padi dalam proses penyemaian.
e. Pengendalian dengan cara kimia yaitu pemberian Rodentisida apabila
populasi tikus sangat tinggi
f. Atau dengan pemberian bentangan pagar plastik/terpal setinggi ±60 cm,
ditegakkan dengan ajir bambu setiap jarak 1 m dan dilengkapi dengan
perangkap setiap jarak ±20 m.

b.      Tikus rumah (Rattus rattus diardi).

Gambar 4. Tikus Rumah (Rattus rattus diardi)

Klasifikasi tikus rumah adalah


Kingdom : Animalia
Kelas : Mammalia
Subkelas :  Theria, Infra
Kelas : Eutheria
Ordo : Rodentia
Subordo : Mymorpha
Famili : Muridae,
Subfamili : Murinae
Genus :  Rattus
Spesies :  R. rattus
16

Tikus rumah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :


 Panjang dari hidung sampai ujung ekor antara 220 mm – 370 mm.
 Panjang ekor sama atau lebih panjang 105 persen dari panjang badan (hidung)
 Tikus betina mempunyai puting susu 10 buah, yaitu terdiri dari dua pasang di
bagian dada dan tiga pasang di bagian perut.
 Warna bulu badan bagian atas dan bagian bawah cokelat tua kelabu.
 Makanan tikus rumah diperoleh dari sisa makanan manusia, atau makanan
yang disimpan tidak rapi, dan hasil pertanaman yang disimpan di gudang atau
tanaman-tanaman yang berada di kebun dekat rumah.
Untuk penanganan pasca panen tanaman padi dari hama OPT tikus ini adalah :
a. Padi yang telah dipanen dan disimpan digudang harus di susun dan diatur
agar tidak menjadi sarang bagi tikus.
b. Memanfaatkan musuh tikus seperti kucing yang di masukkan ke dalam
gudang pada saat malam hari saat tikus ini mencari makan.
c. Menutup semua lubang pada gudang agar tikus tidak dapat masuk.

c.       Tikus pohon (Rattus tiomanicus).

Gambar 5. Tikus Pohon (Rattus tiomanicus)


Ciri-ciri tikus pohon adalah sebagai berikut :
 Ekor lebih panjang 110 persen dari panjang badan (hidung sampai pangkal
ekor).
 Jumlah puting susu betina 10 buah yaitu terdiri atas dua pasang di bagian
dada dan tiga pasang di bagian perut.
 Warna bulu badan pada bagian punggung kemerah-merahan, sedangkan pada
bagian perut hampir seluruhnya putih.
 Tikus ini sering menyerang buah kelapa, kakao, dan kopi.
Memelihara kucing merupakan salah satu usaha yang dilakukan dalam
pengendalian tikus. Cara ini dianggap boleh dilakukan karena tidak dalam arti
17

membunuh tikus dengan tangan sendiri secara langsung. Hal ini berkaitan dengan
keseimbangan ekosistem karena hubungan mangsa dan predator secara alami.
Sebagian besar usaha pengendalian tikus yang dilakukan adalah dengan melakukan
pengusiran. Apabila dalam keadaan terdapat kasus leptospirosis atau penyakit tular
tikus lainnya, maka akan mendukung terjadinya penularan. Hasil yang hampir sama
diperoleh pada penelitian yang dilakukan Kasnodihardjo diPasuruan tentang adanya
kepercayaan larangan membersihkan tempat keramat yang menjadi tempat tikus
sehingga berperan dalam penularan pes (Kasnodiharjo, Surachman, Zalbawi., 2005).
3. Kelelawar (Cynopterus minutus)

Gambar 6. Kelelawar buah (Cynopterus minutus)


Klasifikasi kelelawar adalah
Kerajaan  : Animalia
Filum       : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas        : Mamalia
Ordo        : Chiroptera
Sub Ordo : Megachiroptera
Famili       : Pteropodidae
Genus      : Cynopterus
Spesies     : Cynopterus minutus

Morfologi Kelelawar
Cynopterus minutus Miller, 1906 merupakan kelelawar berukuran tubuh
paling kecil dari Marga Cynopterus, panjang lengan bawah 53 - 60 mm. Kelelawar
yang berfamili Pteropodidae mempunyai cakar pada jari kedua yang merupakan
adaptasi dari tipe pakannya yaitu buah-buahan.Secara umum, kelelawar mempunyai
selaput kulit antar paha yang berlekatan dengan ekor atau tulang ekor.Perlekatan
18

ekor ini dapat terjadi seluruhnya atau sebagian kecil. Pada kelelawar Codot Mini
selaput kulit antar pahanya tidak berkembang, sehingga memiliki ekor yang
pendek,.Kelelawar Codot Mini memiliki mata yang besar, telinganya tidak memiliki
tragus atau antitargus.Gigi geraham atasnya berukuran sedang, dan berjumlah 4
buah. Tonjolan gerahamnya  tumpul. Gigi serinya tidak terbelah di bagian ujungnya.
Kelelawar codot mini ini mempunyai moncong yang pendek, hidungnya agak besar
menyerupai tabung. Kebanyakan jenis ini masa birahinya ditandai warna rambut
disekitar bahunya lebih terang coklat kemerahan.
Kelelawar merusak tanaman dengan cara memakan buah-buahan yang sudah
masak di pohon, seperti buah pisang, mangga, pepaya, durian, dan jambu-jambuan.
Waktu penyerangan kelelawar pada umumnya terjadi malam hari (Rukmana dan
Saputra, 1997). Untuk pengendalian hama kelelawar ini dalam sektor perkebunan
antara lain :
 Dalam pengendalian hama ini ada cara pengendalian yang murah dan mudah
dilaksanakan serta aman dari penggunaan kimia berbahaya yaitu dengan
melakukan pembungkusan buah dengan menggunakan plastik transparan agar
melindungi buah dari kontak langsung oleh serangan hama kelelawar tersebut
 Dapat juga dilakukan perburuan dengan memasang jaring perangkap atau
dengan menggunakan senjata api.
4. Musang (Paradoxurus hermaphroditus)

Gambar 7. Musang (Paradoxurus hermaphroditus)


Klasifikasi Musang adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Carnivora
Famili : Viverridae
19

Genus : Paradoxurus
Spesies : Paradoxurus hermaphroditus
Morfologi musang
Pada umumnya musang memiliki panjang berkisar  90-100 cm(termasuk
ekor, dan tubuhnya), memiliki warna abu-abu kecoklatan dengan ekor berwarna
hitam mulus.Bagian sisi tubuh musang berwarna abu-abu kecoklatan, dengan
bervariasi warna coklat merah tua hingga kehijauan.Pada bagian punggung terdapat
jalur lurus dengan warna lebih gelap, namun adapun yang berwarna terang, memiliki
bintik-bintik besar dibagian seluruh tubuh dan memiliki bagian perut berwarna lebih
pucat.
Bagian wajah, kaki dan ekor berwarna coklat gelap hingga berwarna
kehitaman.Bagian dahi dan sisi samping wajah hingga dibawah telinga berwarna
keputih putihan. Untuk posisi kelaming musnag betina dekat dengan bagian anus,
dan memiliki tiga puting susu, sedangkan posisi kelamin musang jantan dekat
dengan bagian pusar.Populasi musang di habitat alam tergolong relatif rendah,
namun dapat menimbulkan kerugian bagi para petani.Binatang ini menyukai buah-
buahan yang sudah tua atau masak. Disamping itu, musang bersifat rakus, pemakan
segala jenis tanaman atau hewan, antara lain pemangsa anak ayam (Rukmana dan
Saputra, 1997).
5. Landak (Acantyon brachyurum (L.) = Hystrix javanicus)

Gambar 8. Landak (Acantyon brachyurum (L.) = Hystrix javanicus)


Landak biasanya membuat sarang pada tebing-tebing berupa lubang-lubang
atau gua kecil seperti tikus.Aktif pada malam hari dan menyerang akar tanaman
umbi-umbian, dapat pula menyerang jagung, ketela pohon, nenas, dan tebu
(Kalshoven, 1981).
Beberapa pengendalian yang dapat dilakukan terhadap hama OPT landak ini
adalah sebagai berikut:
 Membuat perangkap landak pada beberapa blok tanaman yang di umpan
dengan makanan.
20

 Membongkar sarang landak apabila kondisi lingkungan dekat tanaman


mendukung landak untuk hidup.
 Pemberian racun pada makanan landak yang dapat membunuhnya secara
tidak langsung.
Satwa liar yang dapat berperan sebagai hama antara lain : gajah (Elephas
maximus L.), babi hutan (Sus vitatus), banteng (Bos sondaicus), rusa (Rusa
timorensis), beruang (Helarctos malayanus) (Triharso, 1994). Bahkan hewan ternak
seperti kambing, domba, dan sapi yang tidak diikat atau dimasukkan ke dalam
kandang dapat berpotensi sebagai hama.
6. Babi Hutan
a. Klasifikasi Babi Hutan adalah:
Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Famili : Suidae

Genus : Sus

Spesies : Sus scrofa (Linnaeus,1758)

Gambar 9. Babi Hutan (Sus scrofa)

b. Morfologi Babi Hutan

Pada bagian dorsal tubuhnya memiliki warna coklat kehitaman dan ada garis
warna putih dan bagian ventral berwarna coklat muda.Mempunyai ukuran tubuh
yang besar.Glandula mammae terletak di daerah pelvis.
Babi berukuran sedang, panjang total tubuhnya 120 sampai 220 dengan berat
badan dapat mencapai 150 kg.Tubuhnya nampak ditumbuhi rambut-rambut panjang
yang jarang-jarang, kulit berwarna coklat, kepala nampak besar, kurang proporsional
jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya. Lubang hidungnya menghadap ke depan
seperti corong dengan dibatasi oleh kulit yang tebal. Taringnya kelihatan menyembul
21

ke samping di bagian depan kepala dan di bagian depan bawah telinga terdapat
benjolan. ( Mevia, 2011)

c. Habitat Babi Hutan

Guna mendukung kehidupannya, satwa liar membutuhkan satu kesatuan kawasan


yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya, baik makanan dan air. Menurut
Alikodra (1990), habitat merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai komponen
baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai
tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar.
Setiap satwa menempati habitat sesuai dengan lingkungannya yang diperlukan
untuk mendukung kehidupannya dan setiap satwa liar menghendaki kondisi yang
berbeda-beda.Faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwa liar yaitu
terdiri dari makanan, air, temperature, kelembaban, tekanan udara dan tempat
berlindung maupun kawin. Faktor ini secara keseluruhan berperan sebagai system
yang berfungsi dalam mengendalikan pertumbuhan populasi.( Tim pengendali
ekosistem hutan TNB, 2005).
Perubahan faktor pembatas (pakan dan air pada musim kemarau) baik dari segi
kualitas maupun kuantitas dapat mengubah daya dukung lingkungannya. Dalam
pembinaan habitat, faktor-faktor pembatas tersebut harus diperhatikan fluktuasinya
dan dipantau untuk menetapkan program-program pengelolaan yang tepat.(Alikodra,
1983).
d. Pengendalian Hama Babi Hutan
Permasalahan utama bagi petani di kebun sawit adalah serangan babi
hutanterhadap anakan sawit, karena dapat mengurangi jumlah pohon karet yang
hidup dan menghambat laju pertumbuhan anakan karet (Williams et al., 2001).
Penelitian pengaruh babi hutan terhadap pertumbuhan menemukan bahwa :
 70% batang anakan sawit pada kebun yang dipagar menjadi patah terutama
disebabkan oleh babi hutan;
 Pada sistim sisipan, anakan sawit yang terserang babi hutan rata-rata
mencapai lebih dari 50%.
22

Hasil pengamatan ICRAF terhadap cara pengendalian hama babi hutan yang
dilakukan oleh masyarakat menunjukkan hasil sebagai berikut:
1. Pemagaran kebun dan pembersihan semak kurang efektif karena anakan sawit
tetap terkena serangan yang cukup tinggi. Sedangkan pemagaran individu
anakan sawit dengan bambu dan ikatan duri pada sistem sisipan dapat
mengurangi tingkat serangan babi hutan. Cara ini cukup efektif tetapi
memerlukan biaya tinggi.
2. Kombinasi perlakuan pemagaran individu anakan sawit - penutupan anakan
sawit dengan semak - penggunaan perangkap dan pemberian racun dapat
mengurangi tingkat serangan.
3. Penggunaan kayu manis yang ditanam dengan anakan sawit kurang efektif,
kemungkinan disebabkan kayu manis yang tumbuh kurang baik akibat
kurangnya cahaya.
4. Selain pengendalian dengan cara alami, juga dapat dilakukan dengan
pengendalian secara kimia yaitu, memberikan racun dengan memasukan nya
ke dalam umpan makanan babi hutan, salah satu contoh racun yang biasa
dipakai oleh kebanyakan orang yaitu Temix .

Jarak kebun dengan jalan yang dekat dan aktivitas petani di lahan yang tinggi
dapat mengurangi kehadiran babi hutan. Dari beberapa OPT yang disajikan, hama
mamalia yang banyak menyebabkan kerugian adalah babi hutan, karna dalam
konteks budidaya tanaman babi hutan lebih banyak merusak dengan manakan anakan
dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, padi , karet dan lainnya. Dan juga babi
hutan yang membuat sarang di dalam area budidaya dapat menggangu pertumbuhan
dan produksi dari tanaman tersebut.
23

7. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumateranus)

Gambar 10. Gajah Sumatera(Elephas maximus sumateranus)


a. Klasifikasi gajah sumatera adalah

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Mamalia

Ordo : Proboscidae

Familia : Elephantidae

Genus : Elephas

Species : Elephas maximus sumateranus

b. Morologi gajah sumatera


Gajah sumatera dan gajah afrika memiliki perbedaan secara morfologi.Gajah
sumatera memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan gajah afrika yang bertubuh
lebih besar.Gajah afrika memiliki berat tubuh mencapai 5.000 kg dan tingginya
mencapai 3 m (Lekaul dan McNeely, 1977).Gajah sumatera memiliki permukaan
tubuh kering, tebal kulitnya 2 – 3 cm, berwarna coklat abu – abu dan sedikit rambut.
Gajah sumatera memiliki kelenjar susu dan dua buah kelenjar temporal. Gajah
sumatera memiliki telinga yang lebih kecil dibandingkan gajah afrika dan memiliki
punggung berbentuk cembung (Eltringham, 1982).
24

Gajah sumatera jantan memiliki gading, namun gajah betina tidak memiliki
gading, berbeda dengan gajah afrika baik yang jantan dan yang betina memiliki
gading.Gajah betina sumatera hanya memiliki gigi seri berupa tonjolan, dan tidak
tumbuh panjang membentuk gading.Gajah juga memiliki belalai yang berfungsi
sebagai alat pembau, bernafas, memegang suatu benda atau makanannya dan untuk
berkomunikasi (Eltringham 1982).
c. Habitat Gajah Sumatera
Habitat adalah suatu tempat dimana suatu organisme dapat hidup.Gajah banyak
melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas sehingga menggunakan lebih
dari satu tipe habitat seperti hutan rawa, hutan gambut, hutan habitat hanya dapat
menampung jumlah satwa pada suatu batas tertentu, sehingga daya dukung
menyatakan fungsi dari habitat. Bebearapa tindakan yang dilakukan agar gajah ini
secara langsung tidak menjadi hama bagi tanaman budidaya, yaitu : Melakukan
pembuatan pagar kejut listrik yang memiliki daya tidak terlalu besar,tidak melakukan
perusakan pada habitat yang dilewati atau tempat mencari makanan bagi gajah.

IV PENUTUP

A. Kesimpulan
Tujuan Perlindungan Tanaman antara lain adalah: (a) pencegahan, pengendalian
dan pemantauan/peramalan OPT, (b) peningkatan kuantitas dan kualitas hasil-hasil
pertanian, (c) peningkatan daya saing produk pertanian di pasar, (d)
peningkatan penghasilan dan kesejahteraan petani, (e) peningkatan kualitas dan
keseimbangan lingkungan hidup.
Mamalia terdiri atas lebih dari 5.000 genus dalam 425 famili dan 46 ordo,
bergantung pada sistem klasifikasi ilmiah yang dipakai. Secara filogenetik, mamalia
merupakan semua turunan dari nenek moyang monotremata (seperti echidna) dan
mamalia theria (berplasenta dan berkantung atau marsupial). Dari kelas mamalia,
ordo Rodentia (binatang mengerat) merupakan ordo yang paling merugikan,
misalnya tupai (Callosciurus notatus) dan tikus sawah (Rattus rattus argentiventer).
Disamping itu kelelawar, musang, landak, dan satwa liar seperti gajah, kera, babi
hutan, rusa, dan beruang juga dapat berperan sebagai hama yang merugikan.
25

Persentase kerugian yang disebabkan oleh mamalia ini tidak terlalu besar
dibandingkan dengan OPT jenis lain, karena OPT mamalia hanya menyebabkan
kerusakan pada tanaman yang diserang nya saja tidak menyebabkan penularan
penyakit bagi tanaman lain, dan serangan yang dilakukan OPT ini hanya mencakup
lingkungan tanaman yang relatif kecil. Pengendalian hama ini bisa dilakukan dengan
alami dan kimia, untuk pengendalian alami antara lain, melakukan pembersihan pada
lahan budidaya dengan teratur, memanfaatkan musuh alami dari OPT tertentu agar
mengurangi populasi OPT tersebut, membuat pagar atau jerat untuk OPT tersebut,
dengan melakukan perburuan. Untuk pengendalian kimia bisa di lakukan dengan
pemberian racun kimiawi.

DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Ahsol dkk. 2015. INOVASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN OPT
RAMAH LINGKUNGAN PADA CABAI: UPAYA ALTERNATIF
MENUJU EKOSISTEM HARMONIS. Jurnal Pengembangan Inovasi
Pertanian. Vol. 8 : 1-10(online)

Insani, Tri. 2016. PERILAKU MASYARAKAT PADA PENGENDALIAN TIKUS


DI DAERAH BERISIKO PENULARAN LEPTOSPIROSIS DI
KABUPATEN KULON PROGO, YOGYAKARTA. Jurnal Ekologi
Kesehatan Vol. 15 No 2, September 2016 :107- 114(online)

Nofriaeti Lusiana Sinaga Christine, Maryani Cyccu Tobing, Mukhtar Iskandar


Pinem. 2017. Uji Efikasi Rodentisida Nabati Daun Ruku-ruku (Ocimum
sanctum L.) terhadap Mortalitas Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb &
Kloss) di Laboratorium. Jurnal Agroekoteknologi FP USUVol.5.No.2, April
2017 (53): 434- 443. (online)

Purba, Y., Rolettha;Susanto, Agus; Prawirosukarto, Sudharto.2005.Hama-Hama


KelapaSawit. PPKS. Medan.

SamsuriT.andA.Priyautama.2017.Pengaruh SeranganHama Tikus Terhadap


Populasi Elaeidobius kamerunicus Dan FruitsetPada Tanaman KelapaSawit.
Prosiding Seminar Nasional Pembangunan PertanianII. Malang 25 November
2017:360 – 362. (online)
26

Syuib, Muhammad. 2011. LAPORAN AKHIR PRAKTIKUMDASAR DASAR


PERLINDUNGAN TANAMAN. Universitas Andalas, Padang. (online)

Tarmadja, Samsuri dan Adryan N. 2018. Efikasi Tiga Jenis Rodentisida


Antikoagulan Terhadap Hama Tikus Pada Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal
Agroteknologi. 02(01):10-19. (online)

Anda mungkin juga menyukai