Anda di halaman 1dari 23

Dasar-dasar Perlindungan Tanaman

Senin, 14 November 2016

Konsep dan Perkembangan Pengendalian Hama Terpadu

Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM) merupakan konsep
pengelolaan ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Di Indonesia istilah
PHT diartikan sebagai Pengendalian Hama Terpadu, tetapi sebenarnya jika dilihat dari sejarah
pengembangan konsep, IPM atau Pengelolaan Hama Terpadu merupakan peningkatan dari konsep
Integrated Pest Control (IPC) atau Pengendalian Hama Terpadu. Konsep PHT muncul pada tahun 1960-
an karena kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan
masyarakat dan lingkungan hidup. Dunia menginginkan pendekatan dan teknologi pengendalian hama
baru yang tidak tergantung pada penggunaan pestisida.

Keberadaan populasi hama tanaman di pertanaman selalu dianggap merugikan sehingga manusia
berusaha membunuh hama dengan cara apapun. Awalnya dilakukan secara sederhana, yaitu secara
fisisk dan mekanik menggunakan alat sederhana seperti alat pemukul. Tetapi, semakin luasnya daerah
pertanian menyebabkan cara-cara sederhana tidak mampu membendung peningkatan populasi hama.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli perlindungan tanaman pun
kemudian mengembangkan berbagai metode dan teknik pengendalian hama yang lebih efektif.

Sejak 1968, pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya
peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah,
pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut “obat hama”. Berikut adalah
sebuah kutipan mengenai upaya pemerintah tersebut:

Indonesia began the BIMAS rice intensification programme in 1968 and since then there have been
great increases in their total yields and overall production -overall an increase of more than three times.
Most of this was due to better irrigation, shorter duration varieties and credit support for purchasing
chemical fertiliser. Along with intensification were subsidies for certain inputs such as fertilisers and
pesticides. The general belief in the 1960s was that more agrochemical inputs - both fertiliser and
pesticides - meant higher yields and production. The government had funds from oil and was able to
spend large sums of money on these inputs. In the year between 1976 and 1980 the subsidies for
pesticides were over US$ 50 million per year and between 1981 and 1988 they exceeded US$ 150
million per year.

BIMAS berhasil meningkatkan produksi sampai sebesar tiga kali lipat. Lonjakan produksi ini berhasil
dicapai melalui intensifikasi pertanian. Ketika itu “revolusi hijau”, yang menjadi roh kebijakan
intensifikasi pertanian, sedang pada puncak masa kejayaannya dan ekologi belum berkembang seperti
sekarang.

Penggunaan varietas unggul serta pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan menorong wereng
cokelat (Nilaparvata lugens (Stål)), yang merupakan vektor penyakit tungro, mengalami ledakan populasi.
Varietas unggul berdaya hasil tinggi rentan terhadap wereng cokelat dan tungro. Untuk mengatasi
ledakan hama ini varietas unggul baru yang tahan terhadap wereng cokelat (dikenal sebagai varietas
unggul tahan wereng, VUTW) dikeluarkan dan pestisida digunakan semakin intensif. Namun setiap kali
dihasilkan varietas baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul wereng cokelat biotipe baru yang
dapat mematahkan ketahanan VUTW. Pestisida pun harus digunakan semakin banyak tetapi ledakan
populasi wereng cokelat terus saja terjadi. Ledakan wereng cokelat terjadi pada saat menjelang panen
sehingga seluruh biaya telah dikeluarkan petani untuk membeli benih, pupuk, mengairi, dan merawat
tanaman, menyebabkan kerugian menjadi semakin besar.

Sejak 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat
beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng coklat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat
faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah. Pada ekosistem sawah,
dia menemukan (sebenarnya sudah ditemukan 15 tahun sebelumnya di Jepang), bahwa terdapat laba-
laba, capung, berbagai jenis kumbang dan berbagai serangga parasitoid yang merusakkan telur, nimfa,
dan imago wereng coklat. Penggunaan pestisida, selain mendorong munculnya biotipe wereng baru,
justru mematikan musuh alami tersebut sehingga menyebabkan terjadinya resurgensi hama sasaran
(target pest resurgence) dan ledakan hama sekunder (secondary pest outbreak). Temuan ini kurang
mendapatkan perhatian, bahkan di IRRI sendiri. IRRI terus sibuk berpacu menghasilkan VUTW baru
setiap kali VUTW yang sudah ada dipatahkan ketahanannya oleh wereng coklat biotipe baru. Ledakan
wereng coklat terjadi dengan interval teratur yang oleh pemulia tanaman disebut “boom and bust”
karena VUTW tahan hanya sementara untuk kemudian ketahanannya lenyap begitu muncul wereng
coklat biotipe baru.

Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan oleh Ida Nyoman Oka dari Deptan
(sekarang Kementan) dan Kasumbogo Untung dari UGM pada awal 1980-an. Ketika pada 1985 terjadi
lagi ledakan wereng coklat, seorang staf Depkeu (sekerang Kemenkeu) mengingatkan Menkeu ketika itu
bahwa subsidi pestisida sudah terlalu besar dan oleh karena itu perlu dicari cara untuk mengurangi
penggunaan pestisida. Menkeu melaporkan hal ini kepada Presiden Soeharto yang kemudian, dengan
mendasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai ekologi wereng cokelat yang dilakukan di Indonesia
(dengan dukungan Dr. K. Sogawa, seorang pakar evoluasi wereng coklat ternama dari Jepang),
mendorong dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 3/1987 yang mencabut ijin dan melarang
peredaran 57 jenis pestisida. Inpres ini merupakan tonggak awal PHT di Indonesia karena pada 1989
dicanangkan Program Nasional PHT dengan dukungan Program Antar-Negara PHT Padi FAO (dipimpin
oleh Peter Kenmore). Program Nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS dan memungkinkan
Indonesia menjadi negara berkembang yang dinilai dunia sebagai berhasil menerapkan PHT.

Dengan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, apakah sebenarnya PHT itu? Menurut Untung
(2007), PHT yang dalam peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai “pengendalian hama
terpadu” sebenarnya adalah “pengelolaan hama terpadu”, dua konsep yang sebenarnya berbeda tetapi
saling berkaitan. Dasar ilmiah “pengendalian hama terpadu” dikembangkan oleh para peneliti
Universitas California di Berkeley dan di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian
diadopsi pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada simposium tersebut,
“pengendalian hama terpadu” diartikan sebagai pemaduan cara pengendalian kimiawi dan hayati:

... applied pest control which combines and integrates biological and chemical control. Chemical control
is used as necessary and in a manner which is least disruptive to biological control. Integrated control
may make use of naturally occurring biological control as well as biological control effected by
manipulated or induced biotic agents’. (Stern et al. 1959)

Sementara itu, istilah “pengelolaan hama terpadu” diusulkan pertama kali sebenarnya oleh pakar
ekologi Australia, P.W. Geier dan L.R. Clark, pada 1961. Istilah “pengelolaan hama terpadu” tersebut
mulai mendapat lebih banyak perhatian di AS sejak publikasi artikel pada Annual Review of Entomology
pada 1966, laporan National Academy of Science (NAS) pada 1969, dan prosiding konferensi di North
Carolina yang menghadirkan pakar dari Australia. Istilah “pengendalian hama terpadu” sebagaimana
yang sekarang digunakan, digunakan pertama kali pada 1998 oleh M. Kogan. Menurut Kogan,
“pengelolaan hama terpadu” merupakan:

... a decision support sistem for the selection and use of pest control tactics, singly or harmoniously
coordinated into a management strategy, based on cost/benefit analyses that take into account the
interests of and impacts on producers, society, and the environment (Kogan, 1998).

Terdapat banyak sekali definisi mengenai “pengelolaan hama terpadu”. Namun demikian, PHT
sebenarnya adalah sistem pendukung pengambilan keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik
pengendalian hama. Dalam hal ini hama diartikan dalam pengertian yang luas, mencakup binatang hama,
patogen, dan gulma pada hewan, ikan, dan tanaman, bahkan pada fasilitas umum dan lingkungan hidup.
Dengan demikian jelas bahwa PHT bukan sekedar pemaduan satu atau lebih cara pengendalian
sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Perlindungan Tanaman.
PHT pada hakekatnya merupakan sebuah paradigma baru perlindungan tanaman bahwa OPT
merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekosistem pertanian (agro-ekosistem). Sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari agroekosistem, keberadaan OPT tidak dapat benar-benar dihindarkan, melainkan
sampai batas-batas tertentu perlu ditoleransi. Keberadaan OPT sampai padat populasi tertentu
diperlukan untuk memungkinkan terjaganya proses ekologis jejaring makanan karena OPT merupakan
sumber makanan bagi berbagai jenis organisme lain yang dalam konteks perlindungan tanaman dikenal
sebagai musuh alami (natural enemies). Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti
pada saat yang sama juga membasmi musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu,
menyebabkan populasi OPT memperoleh kesempatan untuk meledak. Oleh karena itu, PHT berbeda
dengan perlindungan tanaman sebelumnya, tidak dimaksudkan untuk membasmi OPT, kecuali bila
memang diperlukan, melainkan untuk menurunkan populasi OPT sampai pada padat populasi yang tidak
menimbulkan kerusakan yang merugikan. Dengan demikian, PHT tidak dimaksudkan sekedar untuk
memaksimalkan produksi pertanian, melainkan lebih untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan.
Dalam pertanian berkelanjutan, produktivitas, yaitu produksi per satuan luas, perlu dijaga
keseimbangannya dengan stabilitas, yaitu fluktuasi produksi, kemerataan, yaitu distribusi produksi
dalam masyarakat, dan kemandirian, yaitu kemampuan petani dan masyarakat pada umumnya untuk
menggunakan sumberdaya milik sendiri secara efektif dan efisien.

Sebagaimana didefinisikan oleh Kogan (1998), PHT sesungguhnya merupakan sistem dukungan
pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan sistem dukungan pengambilan keputusan adalah
berbagai cara yang dilakukan untuk menentukan apakah tindakan pengendalian sudah atau belum perlu
dilakukan, apa saja yang perlu dipertimbangkan, dan bila perlu dilakukan, tindakan pengendalian apa
yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dengan demikian, pengambilan keputusan
sebenarnya merupakan bagian PHT yang paling penting. Bahkan, dapat dikatakan bahwa PHT
sesungguhnya adalah perubahan pengambilan keputusan dari pengendalian dengan pestisida secara
terjadwal menjadi pengendalian dengan berbagai cara pada waktu yang ditentukan dengan
menggunakan pertimbangan tertentu sebagai dasar pengambilan keputusan. Pada pengendalian OPT
dengan pestisida secara terjadwal, pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang tidak penting
sebab pelaksanaan pengendalian telah dijadwalkan.

Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling
berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. Sebagaimana dengan PHT sendiri yang
berkembang dari “pengendalian hama terpadu” menjadi “pengelolaan hama terpadu”, pengambilan
keputusan juga terus mengalami perkembangan. Pada awalnya, ketika PHT masih pada tahap
“pengendalian hama terpadu”, pengambilan keputusan dilakukan dengan dasar ambang ekonomi (AE).
AE merupakan padat populasi OPT yang perlu dikendalikan untuk mencegah menjadi semakin
meningkat mencapai padat populasi yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (ambang luka
ekonomis, ALE). AE sebagai dasar pengambilan keputusan ditetapkan oleh para pakar dengan
menggunakan metode tertentu. Petani melakukan pemantauan agroekosistem dan mencocokkan
apakah populasi OPT hasil pemantauan telah atau belum mencapai AE. Bila padat populasi hasil
pemantauan telah mencapai AE maka tindakan perlindungan tanaman segera harus dilakukan.
Sebaliknya bila padat populasi hasil pemantauan masih lebih rendah daripada AE maka tindakan
perlindungan tanaman belum perlu dilakukan sampai diperoleh hasil dari pelaksanaan pemantauan
agro-ekosistem berikutnya.

Pengambilan keputusan berdasarkan AE banyak dikritik karena sebenarnya dilakukan bukan oleh petani
sendiri melainkan dengan bantuan pakar untuk terlebih dahulu menetapkan AE. Selain itu AE
dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama kemampuan merusak dari hama yang dikendalikan, biaya
pengendalian, dan harga hasil tanaman sehingga dengan demikian AE bersifat dinamik (senantiasa
berubah). Bila harus menunggu ditetapkan oleh para pakar maka akan selalu terlambat, tetapi bila harus
ditetapkan oleh petani sendiri menjadi terlalu rumit. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan
maka pengambilan keputusan dengan menggunakan instrumen AE semakin ditinggalkan dan digantikan
dengan dasar pertimbangan yang lebih mudah dapat dilakukan oleh petani sendiri atau bila dilakukan
oleh pakar maka harus dapat dilakukan dengan cepat seiring dengan dinamika OPT sendiri. Hal ini
melahirkan cara pengambilan keputusan berbasis petani dan berbasis sistem pakar (expert system)
dengan dukungan komputer dan dan jaringan internet.

Pengambilan keputusan berbasis petani di Indonesia sebenarnya telah dimulai ketika PHT menjadi
program nasional dan dilaksanakan melalui sekolah lapang PHT (SL-PHT). Akan tetapi, perubahan
tersebut tidak berlangsung dengan serta merta melainkan berlangsung beriringan dengan pengambilan
keputusan berdasarkan AE. Semakin lama, setelah semakin banyak petani mengenyam SL-PHT maka
pengambilan keputusan berbasis petani semakin dikedepankan dan pengambilan keputusan
berdasarkan AE semakin ditinggalkan. Pengambilan keputusan berbasis petani didasarkan atas
pemikiran bahwa petani adalah ahli PHT. Petani adalah orang yang paling mengerti dan paling
berkepentingan akan usahataninya sehingga petanilah yang seharusnya paling bisa dan paling berhak
memutuskan. Pengambilan keputusan berbasis petani tetap mempertimbangkan populasi OPT hasil
pemantauan agro-ekosistem, tetapi keputusan tidak diambil dengan mencocokkan padat populasi hasil
pemantauan dengan AE, melainkan dengan mempertimbangkan banyak hal yang disepakati bersama
oleh anggota kelompok yang mempunyai usahatani di suatu hamparan tertentu. Dengan demikian,
pengambilan keputusan berbasis petani dilakukan oleh petani secara bersama-sama, tidak bisa hanya
secara individual sebagaimana pada pengambilan keputusan berdasarkan AE. Hal ini sesuai dengan
prinsip bahwa permasalahan OPT sesungguhnya adalah permasalahan perubahan keseimbangan
ekologis sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan dalam satu wilayah hamparan secara bersama-
sama dan dalam waktu bersamaan.

Pengambilan keputusan berbasis petani dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pertimbangan
tambahan selain sekedar padat populasi hasil pemantauan agroekosistem. Pemantauan agro-ekosistem
tetap dilakukan tetapi hasilnya tidak bersifat final sebagaimana pada pengambilan keputusan
berdasarkan AE, melainkan dimusyawarahkan untuk memperoleh keputusan bersama. Pengambilan
keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor lain, di
antaranya pengalaman petani, hasil pemantauan musuh alami, biaya pelaksanaan, nilai hasil usahatani,
dan sebagainya. Pengambilan keputusan melalui musyawarah tersebut dilakukan dengan menggunakan
berbagai bantuan cara pengambilan keputusan, di antaranya pohon keputusan (decision tree), yang
semuanya telah dipelajari melalui SLPHT. Setelah diputuskan melalui musyawarah maka keputusan
mengikat setiap orang yang mempunyai usahatani pada hamparan yang sama untuk melakukannya
bersama-sama. Pengambilan keputusan berbasis petani mengharuskan petani mengikat diri dalam
organisasi kelompok tani.

Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan bersama-sama oleh petani dan oleh pihak luar
yang mengoperasikan sistem pakar yang digunakan. Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar juga
tidak hanya didasarkan semata-mata atas populasi OPT, melainkan berdasarkan berbagai faktor yang
terlebih dahulu telah dipelajari secara mendalam dan diketahui mempengaruhi terjadinya ledakan OPT.
Dengan demikian, pemantauan agro-ekosistem dalam pengambilan keputusan berbasis sistem pakar
tidak hanya dilakukan terhadap OPT dan musuh alaminya, tetapi juga terhadap faktor lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan OPT dan musuh alaminya. Faktor lingkungan yang lazim
dipertimbangkan adalah kultivar tanaman, fase pertumbuhan tanaman, keadaan agroklimat, dan
sebagainya. Pemantauan dapat dilakukan dengan melibatkan petani secara langsung maupun tidak
langsung dan melaporkan hasilnya kepada sistem pakar untuk diproses secara terkomputerisasi. Hasil
pemrosesan terkomputerisasi tersebut dikembalikan kepada petani untuk mengambil keputusan akhir
pelaksanaannya. Di negara-negara maju, pelaporan hasil pemantauan kepada sistem pakar dan
penyampaian hasil permosesan sistem pakar kepada petani dilakukan dengan dukungan internet, tetapi
hal ini belum memungkinkan di negara-negara sedang berkembang.

Pengambilan keputusan dilakukan terhadap berbagai hal, di antaranya cara pengendalian yang
diterapkan, saat melakukan tindakan, cara pelaksanaan, dan sebagainya. Cara pengendalian dapat
berupa cara mekanik, cara fisik, cara kimiawi, cara hayati, cara genetik, cara budidaya, dan cara lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di antara cara-cara tersebut ditentukan
satu atau beberapa cara untuk diterapkan secara bersamaan. Dalam pemilihan cara-cara tersebut,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara kimiawi harus dipilih sebagai
alternatif terakhir. Pemilihan sebagai alternatif terakhir tidak berarti bahwa setiap cara lain terlebih
dahulu dicoba, melainkan dipertimbangkan masak-masak dan setelah melalui pertimbangan tersebut
maka apabila tidak ada cara lain yang dipandang efektif barulah dapat digunakan cara kimiawi. Setelah
cara pengendalian ditetapkan maka pelaksanaan pengendalian dilakukan sesuai dengan keputusan
mengenai waktu pelaksanaan, apakah saat ini juga atau perlu menunggu beberapa waktu kemudian.
Cara pelaksanaan bergantung pada dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan, apakah
keputusan diambil berdasarkan AE, berdasarkan keputusan petani, atau berdasarkan sistem pakar. Pada
pengambilan keputusan berdasarkan AE, pelaksanaan dapat dilakukan secara perseorangan atau secara
berkelompok (bila penetapan AE dilakukan secara berkelompok), sedangkan pada pengambilan
keputusan berdasarkan keputusan petani atau berdasarkan sistem pakar, pelaksanaan harus dilakukan
secara berkelompok.

Dalam sejarah penerapannya, PHT berkembang setidak-tidaknya dalam tiga fase penting:

PHT ambang ekonomi (PHT-AE), yaitu fase PHT sebagai “pengendalian hama terpadu” yang pengambilan
keputusannya dilakukan untuk menentukan apakah aplikasi pestisida perlu dilakukan atau belum
dengan membandingkan padat populasi OPT hasil pemantauan dengan AE.

PHT sekolah lapang (PHT-SL), yaitu fase PHT yang diorganisasikan oleh pihak luar (pemerintah, LSM)
dengan pengambilan keputusan yang dilakukan berbasis keputusan oleh petani sendiri yang telah
“diberdayakan” untuk melakukan pengambilan keputusan melalui sekolah lapang.

PHT masyarakat (PHT komunitas), yaitu fase PHT yang berkembang melalui penyadaran masyarakat
untuk mampu mengorganisasikan diri dalam melaksanakan PHT. Penyadaran mula-mula dapat dilakukan
oleh pihak luar tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan tanaman selanjutnya
dilakukan oleh masyarakat sendiri.

Pada dua fase perkembangan PHT yang terakhir (fase 2 dan fase 3), pengambilan keputusan dapat
dilakukan dengan berbasis pada pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan
berbasis sistem pakar. Perkembangan fase-fase PHT tersebut sekaligus merefleksikan berbagai
kekurangan PHT yang senantiasa terus disempurnakan seiring dengan perkembangan.

I Wayan Mudita

Berbagi

53 komentar:

Eri Arodi Sefi14 November 2016 11.02

dalam PHT , AE sebagai dasar pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh para pakar dengan metode
tertentu. yang ingin saya tanyaka,seperti apa metode-metode yang dimaksudkan ?

Balas
Aldy Manoe14 November 2016 11.15

PHT apa yg sekarang masih ada di Indonesia?

Balas

Felisia Murnilayati14 November 2016 12.51

Mohin Bapak jelaskan lebih rinci mengenai Bagaimana peran komputer dan jaringan internet dalam
penentuan pengambilan keputusan berbasis sistem pakar?

Balas

meggy kut14 November 2016 20.06

Pemantauan agro-ekosistem dalam pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan juga
terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan OPT dan musuh alaminya. Faktor
lingkungan yang lazim dipertimbangkan salah satunya adalah kultivar tanaman. seperti apakah
pemantauan yang dilakukan dari sisi kultivar tanaman dalam menentukan pengambilan keputusan
berbasis sistem pakar?

Balas

Dian amaral14 November 2016 20.53

Sebagaimana penjelasan diatas pemerintah telah mengeluarkan peraturan agar petani tidak
menggunakan pestisida dalam kegiatan budidaya tanaman, dengan alasan karena pestisida dapat
membunuh musuh alami, selain itu pestisida juga akn menimbulkn efek yang tdk baik bagi manusia
ketika mengkonsumsi sayuran yang terkena pestisida.

Pada kenyataannya tanaman (dalam hal ini sayuran) yang dibudidayakan secara organik tanpa
menggunakan pestisida akan kelihatan kurang hijau, dan rata2 berpenampilan kurang menarik karena
berlubang akibat serangan hama. Yang ingin saya tanyakan jika kita mengkonsumsi sayuran yang telah
berlubang akibat serangan hama (sayuran tanpa pestisida) apakah tidak ada dampak negatif bagi
kesehatan?
Balas

Fransisca Teda14 November 2016 22.27

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Balas

Balasan

Fransisca Teda14 November 2016 22.30

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Balas

Fransisca Teda14 November 2016 22.34

Diantara pengambilan keputusan berbasis petani dan pengambilan keputusan berdasarkan sistem pakar,
siapakah yang paling memberikan pengaruh ? Dan pengambilan keputusan dari siapa yang paling efektif
digunakan ?

Balas

Balasan

Fetriani haba21 November 2016 14.42

kedua keputusan sangat memberikan pengaruh dan kedua-duanya efektif digunakan. hal ini
dikarenakan petani yang akan mengambil keputusan telah merasakan langsung kennyataannya di
lapangan dan pada sistem pakar mereka telah belajar dan meneliti, sehingga alangkah baiknya apabila
akan melakukan pengendalian hama pada tanaman dilakukan secara bersama-sama oleh sistem pakar
dan petani. apabila hanya satu saja (sistem pakar) kemungkinan tidak efektif karena pakar tidak
mengetahui secara langsung dan pasti keadaan di lapangan dan sebaliknya.

Fransisca Teda24 November 2016 20.52

Terimaksih untuk jawabannya, saya ingin menanggapi jawaban dari teman bahwa yang ingin saya
tanyakan itu siapakah yang paling dominan dalam memberikan pengaruhnya terhadap pengambilan
keputusan? sesuai dengan penjelasan teman pengambilan keputusan harus dilakukan oleh
keduanya.Bagaimana cara untuk menggabungkan keputusan dari keduanya apabila adanya perbedaan
pendapat atau keputusan?

Balas

Nikhe Pa padja14 November 2016 23.27

Berdasarkan pernyataan diatas. AE bersifat dinamik. bila harus menunggu ditentukan oleh pakar maka
akan selalu terlambat, bila dilakukan oleh petani ini terlalu rumit sehingga hal ini melahirkan cara
berbasis sistem pakar dengan dukungan komputer dan jaringan internet.

yang ingin ditanyakan '' Bagaimana dengan petani di desa-desa yang akses internetnya terbatas, Apakah
ada cara lain yang cukup efektif selain (expert sistem) untuk pengambilan keputusan berdasarkan AE'' ?

Balas

Nikhe Pa padja14 November 2016 23.27

Berdasarkan pernyataan diatas. AE bersifat dinamik. bila harus menunggu ditentukan oleh pakar maka
akan selalu terlambat, bila dilakukan oleh petani ini terlalu rumit sehingga hal ini melahirkan cara
berbasis sistem pakar dengan dukungan komputer dan jaringan internet.

yang ingin ditanyakan '' Bagaimana dengan petani di desa-desa yang akses internetnya terbatas, Apakah
ada cara lain yang cukup efektif selain (expert sistem) untuk pengambilan keputusan berdasarkan AE'' ?

Balas
john tukan082915 November 2016 22.13

Waktu saya masih SMA salah satu materi diskusi kami tentang Teknik Penngendalian Hama Tanaman
salah satunya adalah pengendalian hama tanaman secara Biologis,namun kurang ada penjelasannya
sehingga saya bertanya tetapi pertanyaan saya itu dipending karena alasan waktu. Berhubung materi
sekarang adalah tentang PHT maka saya ingin melanjutkan pertanyaan saya tersebut kepada bapak soal
bagaimana sih pengendalian hama tanaman secara biologis itu ?

Balas

Balasan

maria bei21 November 2016 04.09

Pengendalian hama tanaman secara biologis adalah pemanfaataan makluk hidup (bioefektor) untuk
mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Pengendalian hama biologis tergantung kepada konsep
yang ada di dalam ekologi yaitu predasi,parasitisme,herbivor yang menjadi musih alami hama di alam.
Ada tiga langkan dasar PHTB

1.importasi,yaitu kegiatan membawa musuh alami hama dati tempat alin ke lahan pertanian untuk
dilibatkan dalam pengendalian hama biologis.

2. Augmentasi ,adalah peningkatan populasi musuh alami yang telah ada ,dengan melepaskan varietas
yang telah dikendalikan sifatnya.

3. Kenservasi,adalah pempertahankan musuh alami hama ,yang telah beradaptasi dengan baik dan
sudah memiliki hubungan predasi yang tetap sehingga mempertahankanya akan lebih mudah .
Penambahan fasillitas sepetri,pagar hidup,kolam,kompos,pemecah angin,mulsa dan sebagainya dapat
membantu mempertahankan populsi.

Balas

ephy laibahas15 November 2016 23.00

Pengambilan keputusan berbasis sistem pakar dilakukan bersama-sama oleh petani dan oleh pihak luar
yang mengoperasikan sistem pakar yang digunakan.
Siapakah/Lembaga apakah yang mengoperasiakan sistem pakar? dan apakah perannya dalam
pengambilan keputusan?

Balas

arias raingu16 November 2016 12.12

apa saja langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menyadarkan petani dalam penerapan PHT /

Balas

missiliyanti tabana16 November 2016 12.17

Pada awalnya ketika PHT masih pada tahap Pengendalian Hama Terpadu, pengambilan keputusan
dilakukan dengan dasar Ambang Ekonomi. Bagaimana cara menentukannya? Tolong Bapak jelaskan!

Balas

Obrisioh@gmail.com16 November 2016 12.26

bagaimana cara membandingkan padatnya populasi OPT dengan hasil pemantauan ambang ekonomi
dalam pengambilan keputusan aplikasi pestisida ?

Balas

Renia Helari Lado16 November 2016 13.54

Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi
musuh alami sehingga proses ekologis terganggu.

Pertanyaannya adalah : apa peranan musuh alami sehingga jikalau musuh alami juga ikut mati proses
ekologisnya terganggu?? Dan apakah populasi OPT akan meningkat bila proses ekologis
terganggu??masalah serius apa yg terjadi dalam terganggunya proses ekologis sehingga opt dapat
berkembang?? Mohon penjelasan bapak.

Balas

Maria Valentina Bagho Wea16 November 2016 20.08

Cara pengendalian dalam pengambilan keputusan berupa:cara mekanik,cara fisik,cara kimiawi,cara


hayati,cara genetik,cara budidaya,dan cara lain yang sesuai dengan IPTEK.

Yang ingin saya tanyakan;penggunaan cara manakah yang paling baik untuk melakukan pengendalian
hama namun yang bersifat ramah lingkungan artinya yang tidak mencemari lingkungan? Dan ada pula
dalam materi menyatakan bahwa cara kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir apabila cara-cara
yang lain telah dilakukan,tetapi dengan syarat lain perlu dicoba apabila efektif baru dilakukan, yang mau
saya tanya disini kenapa dalam perundang-undangan memilih cara kimiawi sebagai alternatif terakhir,
kenapa bukan cara yang lain? Mohon penjelasan bapak.

Balas

markhesy bannesi17 November 2016 13.40

Seperti yang telah di jelaskan oleh bapak mengenai PHT ( pengendalian hama terpadu ) dengan
menggunakan Cara pengendalian dapat berupa cara mekanik yaang menggunakan pestisida yang mana
di katakan akan menambah hama wereng , oleh karena itu pertanyaan saya kira-kira zat apa yang
terkandung dalam pestisida sehingga ketika di semprot pada hama, hama tersebut menjadi kebal dan
menjadi bertambah banyak akan tetapi saat menyeprot pada musuh alami maka musuh alami akan
mati ?

Balas

Sonya Malelak18 November 2016 11.27

Konsep pht (pengendalian hama terpadu) muncul pada tahun 1960-an karena kekhawatiran masyarakat
dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Yang ingin
saya tanyakan, mengapa para petani masih menggunakan pestisida secara berlebihan sampai sekarang ?
Tolong bapak jelaskan.

Balas

maria Carina Fernandes18 November 2016 11.29

Dalam PHT,pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan berbasis pada pengambilan keputusan oleh
petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem pakar. Yang ingin saya tanyakan apa yang
dimaksud dengan pengambilan keputusan oleh petani maupun pengambilan keputusan berbasis sistem
pakar? Mohon penjelasan bapak

Balas

Hesti Sabrina Pah18 November 2016 11.33

dari materi yang sudah saya baca dan saya pahami di atas, saya kurang mengerti tentang adanya cara
pengambilan keputusan berbasis petani dan berbasis sistem pakar (expert system) dengan dukungan
komputer dan dan jaringan internet, apakah dalam AE tersebut ada perbedaan metode ataupun teori
yang di permasalahkan oleh petani atau pakar ataukah hal lain yang memicu pembagian tersebut??

Balas

Riska Damayanti18 November 2016 11.39

jika pengambilan keputusan berbasis pakar semakin ditinggalkan dan lebih mengarah pada keputusan
berbasis petani, lalu sejauh ini apakah keputusan berbasis pakar tidak digunakan lagi ?

Balas

Nurma Noke18 November 2016 17.52


pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang
berkaitan dengan melalui proses yang kompleks.

yang ingin saya tanyakan faktor apa saja yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam PHT?

Balas

Mutmainnah18 November 2016 19.14

Dalam pernyataan diatas, kegiatan BIMAS dapat meningkatkan produksi padi melalui penggunaan bibit
unggul, tetapi pada artikel juga menjelaskan bahwa salah satu pendorong peningkatan hama wereng
coklat adalah penggunaan bibit atau varietas unggul. mengapa hal tersebut bisa terjadi dan bagaimana
cara mengurangi intensitas hama wereng yang menyerang varietas unggul tersebut?

Balas

andikikyputri yep2718 November 2016 19.58

Di era sekarang , meskipun sudah ada konsep PHT akan tetapi para petani masih menggunakan pestisida
secara berlebihan , misalnya di daerah tarus . Menurut penelitian bahwa para petani menggunakan
pestisida yang berlebihan pada tanaman yang akan diperjualkan . Sedangkan untuk dikonsumsi sendiri
petani menggunakan pestisida secara teratur . Bagaimana tanggapan bapak mengenai hal tersebut ?

Balas

Hajriwati18 November 2016 22.42

Jelaskan beberapa prinsip dasar sehinngga pengelolaan dasar PHT bisa berkembang !?

Balas

Hajriwati18 November 2016 22.42


Jelaskan beberapa prinsip dasar sehinngga pengelolaan dasar PHT bisa berkembang !?

Balas

Jillian N Sine19 November 2016 05.36

Apa yang dimaksud dengan resurgensi hama sasaran (target pest resurgence) dan ledakan hama
sekunder (secondary pest outbreak)? Mohon penjelasan Pak.

Balas

Balasan

Meylan Taebenu20 November 2016 07.25

resurgensi hama sasaran adalah peristiwa peningkatan populasi hama sasaran lebih tinggi daripada
tingkat populasi sebelumnya sehingga jauh melampaui ambang ekonomi setelah diberikan pestisida
tertentu. penyebabnya antara lain : 1. butiran semprot tidak mencapai jasad sasaran, seperti yang
terjadi pada wereng coklat

2. terbunuhnya musuh-musuh alami

3. kurangnya pengaruh residu pestisida untuk membunuh nimfa atau larva yang menetas setelah
penyemprotan bahkan justru bisa menimbulkan resisten hama terhadap pestisida tersebut.

4. pengaruh fisiologis insektisida (Danea, 2016)

sedangkan ledakan hama sekunder menurut saya adalah peristiwa meningkatnya populasi beberapa
jenis hama yang sebelumnya merupakan hama yang tidak penting menjadi hama yang banyak
menimbulkan kerugian sebagai akibat dari penggunaan pestisida secara terus-menerus.

Balas

Norman Batmaro19 November 2016 21.11

Dalam penjelasan di atas dijelaskan bahwa pemerintah melarang para petani menggunakan peptisida
dengan berlebihan dalam pebudidayaan tanaman.
Dan timbul pertanyaan saya apakah ada jenis obat selain pestisida yang yang tidak terbuat dari bahan
kimia atau pestisida yang terbuat dari bahan-bahan alami(non kimia) yang dapat digunakan petani untuk
membasmi hama pada tanaman?

Balas

Cheisya Tanaem20 November 2016 11.22

saya masih kurang paham, apa yang dimaksud dengan dasar Ambang Ekonomi (AE)?

dan mengapa hasil pemantauan OPT harus mencapai AE barulah tindakan perlindungan tanaman
dilakukan?

Balas

Unknown20 November 2016 18.52

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Balas

Katarina Selfiana Luron20 November 2016 18.54

Contoh seperti apakah pengambilan keputusan berdasarkan cara pelaksanannya?

Balas

Putri Ketty20 November 2016 21.25

Dalam pemilihan cara-cara pendalian sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, cara
kimiawi harus dipilih sebagai alternatif terakhir. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana jika
cara kimiawi sebagai alternatif terakhir tidak juga efektif? Tetapi malah muncul masalah baru seperti
pada kasus penggunaan pestisida untuk memerangi wereng cokelat, dapat diatasi sesaat namun
kemudiam muncul wereng biotipe baru?

Balas

Herry Mbaling20 November 2016 22.18

Meskipun PHT telah diterapkan oleh petani, masih banyak teknologi PHT yang belum tersedia. Begitu
pula aspek dasar perpaduan berbagai teknik pengendalian belum banyak diketahui. kira-kira hal
tersebut disebabkan oleh apa pak?

Balas

Eugenius nengko20 November 2016 23.05

Terimakasi pa materinya, yang ingin saya mau tanyakan disini kira-kira langka-langka apa saja yang
dilakukan pemerintah untuk mencegah para petani yang mengunakan pestizida secarah berlebihan
karena secara tidak sadar mereka akan membunuh organisme yang lainya kususnya pada lahan yang
mereka gunakan.

Balas

Balasan

Fransisca Teda24 November 2016 21.05

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam mencegah agar petani tidak menggunakan pestisida
secara berlebihan dengan berbagai cara salah satunya dengan melakukan penyuluhan terhadap dampak
penggunaan pestisida secara berlebihan,namun kembali lagi kepada petani itu sendiri,apakah mau
mendengarr dan mengikuti cara yang telah disampaikan pemerintah lewat penyuluhan atau
tidak,sehingga pemerintah juga mengambil langkah tegas dengan telah mengaturnya dalam undang-
undang yang dimana apabila undang-undang yang telah ditetapkan dilanggar tentunya memilki sanksi
terhadap masing-masing UU yang dilanggar.Namun ketentuan Pestisida di Indonesia diatur dalam
peraturan perundangan seperti :
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman;

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 Tentang Pengawasan Atas Pengadaan, Peredaran dan
Penggunaan Pestisida;

(3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009, Tentang Syarat dan Tatacara
Pendaftaran Pestisida; dan

(4) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.120/5/2007, Tentang Pengawasan Pestisida.

Balas

oskarianus ondok20 November 2016 23.07

dari materi diatas dijelaskan bahwa Konsep PHT muncul pada tahun 1960-an karena kekhawatiran
masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
dan tahun 1968, pemerintah Indonesia meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya
peningkatan produksi padi melalui penggunaan bibit unggul berdaya hasil tinggi, pengolahan tanah,
pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang ketika itu disebut “obat hama”.

yang saya ingin tanyakan pak kenapa pemerintah masih meluncurkan program BIMAS sementara
program pht muncul karena kekawatiran masyarakat terhadap pestisida.

Balas

maria bei21 November 2016 03.41

Jika kita ingin mengetahui padat poulasi hama pada suatu waktu dan tempat yang berkaitan terhadap
ambang ekonomi hama tersebut maka langkah apa yang perlu kita lakukan dalam hal pengembangan
PHT?

Saya pernah membaca di sebuah bacaan mengaenai PHTdi situ mengatakan bahwa strategi dasar PHT
adalah menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkoordinasi.Yang
ingin saya tanyakan bisakah bapa memberikan penjelasan maksud dari strategi tersebut? Terimakasi
bapak.

Balas

unde theresia21 November 2016 08.35

Jelaskan metode apa yang digunakan oleh para pakar dalam menetapkan AE sebagai dasar pengambilan
keputisan?

Balas

Maria Magdalena Isa21 November 2016 10.30

Pada pernyataan diatas mengatakan bahwa pada perinsipnya bahwa permasalahan opt sesungguhnya
adalah permasalahan keseimbangan ekologis.Mengapa demikian?adakah alasan mendukung yang
memperkuat pernyataan tersebut.

Balas

eswida sanak21 November 2016 13.47

Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling
berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. yang ingin saya tanyakan faktor-faktor apa yang
mempengaruhi pengambilanm keputusan tersebut?

Balas

maria conchita21 November 2016 14.59

Pestisida merupakan bahan kimia yang sampai saat ini masih memiliki peranan dalam pengendalian
hama. Jelaskan peranan tersebut!
Balas

Yulia decarmen h. seran21 November 2016 16.59

Sejak 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of California Berkeley yang mendapat
beasiswa Rockefeller, mulai meneliti ekologi wereng coklat di IRRI. Dia menemukan bahwa terdapat
faktor pembunuh alami yang menyebabkan populasi hama-hama lainnya rendah.yang ingin saya
tanyakan ,jelaskan faktor apa saja yang menyebabakan populasi hama –hama tersebut rendah?

Balas

Richard Hawu lado21 November 2016 18.36

Penggunaan cara pengendalian untuk membasmi OPT berarti pada saat yang sama juga membasmi
musuh alami sehingga proses ekologis menjadi terganggu, menyebabkan populasi OPT memperoleh
kesempatan untuk meledak.

jika demikian apa langkah yang disarankan oleh taktik PHT yang biasa diambil oleh Petani agar OPT
dapat dikurangi tanpa membasmi musuh alaminya?

Balas

Aldi Taimenas21 November 2016 21.14

Pengambilan keputusan dalam PHT dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang saling
berkaitan dan dengan melalui proses yang kompleks. Yang ingin saya tanyakan, faktor faktor apakah
uang dipertimbangkan untuk pengambilan keputusan dalam PHT ?

Balas

Apolonia Apriliana Malmani23 November 2016 00.49


Pengambilan keputusan berbasis petani dapat dilakukan dengan menggunakan beragam pertimbangan
tambahan.

Yang ingin saya tanyakan beragam pertimbangan tambahan seperti apa yang dapat digunakan selain
sekedar padat populasi hasil pemantauan agroekosistem?

Balas

Florida Penu28 November 2016 15.49

Sesuai dengan prinsip bahwa permasalahan OPT sesunggunya adalah permasalahan perubahan
keseimbangan ekologis sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan dalam satu wilayah hamparan
secara bersama sama dan dalam waktu bersamaan. apakah dengan prinsip tersebut dapat mengatasi
permasalahan OPT?

Balas

Daningga Erdon21 Desember 2016 14.48

Dari hasil bacaan dan pemahaman saya sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa PHT akan terus mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan OPTnya. Petani sebagai pemeran utama dalam pengamibilan
keputusan pun perlu diberdayakan. Apakah pembangunan pertanian sekarang ini sudah sampai pada
level kemandirian petani dalam pengambilan keputusan?

Balas

Daningga Erdon29 Desember 2016 14.47

Petani sebagai pelaku usaha di berdayakan dalam upaya keefektifan pengambilan keputusan yang di
dampingi para pakar. Sejauh pengamatan saya dan pengertian pada para pakar tertuju pada para
penyuluh lapangan. Kalau memang demikian, tentunya, seperti halnya petani, penyuluh pun di
berdayakan. Apakah SL-PHT juga berlaku bagi penyuluh?

Seberapa jauh tingkat keberhasilan SL-PHT terhadap kesejahteraan petani yang di lihat dari tingkat
produktifitas hasil usaha tani?
Balas

Untuk mengomentari tayangan ini, silahkan tulis dan poskan di bawah ini ...

Beranda

Lihat versi web

Menu Samping

Mengenai Saya

I Wayan Mudita

I Wayan Mudita

guru kecil ...

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai