Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

A. PESTISIDA
Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida, yang berarti
pembunuh, jadi pestisida adalah substansi kimia digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan berbagai hama. Secara luas pestisida diartikan sebagai
suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan,
tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, pengaruh hormon, penghambat
makanan, membuat mandul, sebagai pengikat, penolak dan aktivitas lainnya yang
mempengaruhi OPT. Sedangkan menurut The United State Federal
Environmental Pestiade Control Act, Pestisida adalah semua zat atau
campuran zat yang khusus untuk memberantas atau mencegah gangguan
serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad
renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang
terdapat pada manusia dan binatang lainnya. Atau semua zat atau campuran
zat yang digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering
tanaman (Yuantari, 2011).
Menurut peraturan pemerintah RI No. 7 Tahun 1973, yang dimaksud
dengan Pestisida ialah semua zat kimia dan bahan-bahan lain serta jasad-jasad
renik dan virus yang digunakan untuk:
- Memberantas atau mencegah hamadan penyakit yang merusak tanaman,
bagianbagian tanaman atau hasil pertanian.
- Memberantas rerumputan
- Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tak diinginkan.
- Mencegah hama-hama air.
- Memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia.
Pestisida adalah suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan hama. Pestisida memegang peranan penting dalam
melindungi tanaman, ternak, dan untuk mengontrol sumber-sumber vektor
penyakit (vector-borne diseases) (Manuaba, 2008).

1
B. SEJARAH PESTISIDA
Sejarah perkembangan pengendalian hama dan penyakit di Indonesia
dimulai sejak periode sebelum kemerdekaan, 1950-1960-an, 1970-an, dan 1980
sampai sekarang. Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan perspektif global
terdiri atas beberapa zaman, yaitu zaman prapestisida, zaman optimisme, zaman
keraguan, dan zaman PHT. Zaman PHT dikelompokkan menjadi dua era, yaitu
PHT berbasis teknologi dan PHT berbasis ekologi (Laba, 2010).
Zaman Prapestisida
Pada zaman prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara
bercocoktanam dan pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi
hama. Cara initelah dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun
yang lalu. Pada tahun 2500 SM, orang Sumeria menggunakan sulfur untuk
mengendalikan serangga tungau. Pengendalian secara bercocok tanam dan
hayati pada tanaman padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman
kerajaan di Nusantara, mulai dari Kerajaan Purnawarman, Mulawarman,
Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era penjajahan Belanda.
Zaman Optimisme
Zaman optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu
dimulai penggunaan insektisida dikloro difenol trikloroetan (DDT),
fungisida ferbam, dan herbisida 2,4 D. Selama lebih kurang 10 tahun,
penggunaan pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya
tanaman, seperti halnya pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman
optimisme, pengendalian OPT tidak memerhatikan perkembangan
pemahaman biologi hama. Petani ingin pertanamannya bebas hama
sehingga melakukan aplikasi pestisida secara berjadwal dan berlebihan.
Zaman Keraguan
Zaman keraguan diawali dengan terbitnya buku Silent Spring oleh
Carson (1962) yang membuka mata dunia tentang seriusnya pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh DDT. Buku tersebut merupakan tangis
kelahiran bayi dari gerakan peduli lingkungan. Hasil penelitian
menunjukkan berbagai jenis pestisida merusak kelestarian lingkungan
biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang maupun tropik. Salah satu

2
contoh adalah lalat rumah menjadi resisten terhadap DDT sejak tahun
1946. Hal tersebut semakin menjadi perhatian pada era ini. Kurang
berhasilnya pengendalian hama secara konvensional mendorong
berkembangnya paradigma baru yang berusaha meminimalkan
penggunaan pestisida serta dampak negatifnya. Paradigma tersebut dikenal
dengan istilah PHT klasik atau PHT teknologi karena pendekatan
paradigma ini berorientasi pada teknologi pengendalian hama.
Zaman PHT Teknologi
Tahun 1970 merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk
sintetis, dan varietas unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1, dan 122 I Wayan
Laba Pelita I-2), yang merupakan paket produksi. Teknologi baru ini
mendorong timbulnya permasalahan wereng coklat, yaitu munculnya
biotipe baru. Revolusi hijau telah mendorong petani makin bergantung
pada pestisida dalam mengendalikan OPT. Kondisi ini telah menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. PHT diawali
dengan terbentuknya Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika
Serikat pada tahun 1972 dan pengalihan wewenang registrasi pestisida dari
Departemen Pertanian ke EPA. Pada tahun 1980-1990, berbagai negara
menetapkan PHT sebagai kebijakan nasional. Zaman PHT diperkuat oleh
terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tanggal 14 Juni 1992,
mengadopsi seksi I Integrated Pest Management and Control in
Agriculturedari Agenda 21 Bab 14 tentang Promoting Sustainable
Agriculture and Rural Development. PHT dicetuskan oleh Stern et al.
(1959). Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan diperkaya oleh
banyak pakar di dunia serta telah diterapkan di seluruh dunia. Di
Indonesia, PHT didukung oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang 57 jenis insektisida,
dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pada tahun 1996
keluar keputusan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian
tentang batas maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang
pangan.
Zaman PHT Berbasis Ekologi

3
Paradigma baru PHT menempatkan petani sebagai penentu dan
pelaksana utama PHT di tingkat lapangan. Kenmore (1996) menyatakan
bahwa dalam perkembangannya, PHT tidak terbatas sebagai teknologi
saja, melainkan telah berkembang menjadi suatu konsep mengenai proses
penyelesaian masalah OPT di lapangan. PHT berbasis ekologi didorong
oleh pengembangan dan penerapan PHT berdasarkan pengertian ekologi
lokal hama dan pemberdayaan petani sehingga pengendalian hama
disesuaikan dengan masalah yang ada di tiap-tiap lokasi (local specific).
Paradigma PHT berbasis ekologi lebih menekankan pengelolaan proses
dan mekanisme ekologi lokal untuk mengendalikan hama daripada
intervensi teknologi. Ekologi lokal yang dikemas ke dalam kearifan lokal
(local wisdom) menjadi eco-farming melalui pemanfaatan mikroorganisme
lokal untuk mendapatkan agens hayati yang sesuai untuk pengendalian
hama. Selanjutnya, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)
diterapkan pada tanaman pangan, sayuran, dan perkebunan.
Dari segi struktur kimianya, pestisida dibagi atas :
1. Organochlorine
Pestisida jenis ini mengandung unsur-unsur Carbon, Hidrogen, dan
Chlorine. Misal : DDT
2. Organoposphate
Pestisida yang mengandung unsur : P, C, H misal : tetra ethyl phyro
posphate (TEPP )
3. Carbonate
Pestisida yang mengandung gugus Carbonate. Misal : Baygon, Sevin
dan Isolan.
4. Lain-Lain
Diluar ketiga jenis diatas, pestisida ini mengandung senyawa organik,
serychin, senyawa sulphur organik dan dinytrophenol.
Semenjak ditemukannya bahan-bahan aktif dari tumbuh-tumbuhan,
perkembangan pestisida semakin melonjak. Berbagai upaya pemikiran mulai
dilontarkan untuk mendapatkan jenis-jenis pestisida baru yang lebih ampuh.
Barulah kemudian ditemukan pestisida sintetis dari senyawa Dinitro dan

4
Thiosianat. Namun ternyata sangat dirasakan, bahwa zat-zat pembasmi yang
terdahulu belum begitu memuaskan. Maka tercipta DDT (Dichloro Diphenil
Trichloroethane) pada tahun 1874 oleh seorang warga negara Jerman, Zeidler.
Pada akhirnya pembuatan DDT merupakan babak baru dalam perkembangan
industri pestisida. Dan semenjak itu makin banyak pestisida sintetis buatan
manusia, baik yang betul-betul berbeda dengan DDT, maupun derivat-derivatnya
(Pohan, 2004).

5
ISI

A. PENGERTIAN DDT
Penggunaan pestisida jenis insektisida yang paling menimbulkan
kontroversi dalam penggunaannya adalah DDT (Dichloro Diphenil
Trichloroetana). DDT memiliki banyak julukan di antaranya:
- The Most Famous and Infamous Insectiside, karena DDT adalah
insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan
manusia tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia.
- Menurut Rachel Carson dalam bukunya Silently Spring DDT
dijuluki sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di
bumi.
- Di bidang kesehatan masyarakat dan pertanian, DDT sempat dijuluki
The Wonder Chemical, bahan kimia ajaib yang menyelematkan ribuan
hektar tanaman dari serangan hama serangga.
DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) adalah salah satu yang dikenal
pestisida sintetis. Ini merupakan bahan kimia yang panjang, unik, dan sejarah
kontroversial. DDT adalah insektisida jenis organoklorin yang utamanya
digunakan untuk mengontrol nyamuk-vektor malaria, penggunaannya pada
tanaman secara umum sudah digantikan dengan insektisida yang kurang persisten.
DDT kini tersedia dalam beberapa bentuk berbeda, seperti aeorosol, bubuk debu,
konsentrasi teremulsi, butiran, dan bubuk basah.
Menurut Panut(2008) dalam Yuantari (2011) contoh insektisida ini pada
tahun 1874 ditemukan DDT (Dikloro Difenil Trikloroetana) oleh Zeidler seorang
sarjana kimia dari Jerman. Pada tahun 1973 diketahui bahwa DDT ini ternyata
sangat membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan, karena
meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan
melalui rantai makanan. DDT sangat stabil baik di air, di tanah, dalam
jaringan tanaman dan hewan.
Ahli kimia Swiss Paul Hermann Mller dari Geigy Pharmaceutical
dianugerahi penghargaan nobel dalam Physiology of Medicine pada tahun 1948
atas penemuannya Efisiensi DDT sebagai Racun Pemberantas Beberapa

6
Artropoda. Pada tahun 1962, Silent Spring oleh ahli biologi Amerika, Rachel
Carson, diterbitkan. Buku katalog dampak lingungan tersebut berisi indiskriminasi
penyebaran DDT di Amerika Serikat dan pertanggungjawaban logikanya dari
melepaskan banyak bahan kimia ke dalam lingkungan tanpa sepenuhnya
memahami dampak terhadap ekologi atau kesehatan manusia.

B. SEJARAH DICHLORO DIPHENYL TRICHLOROETHANE


Pencarian senyawa-senyawa sintetik secara sistematik baru dimulai sejak
ditemukannya efek insektisida dari DDT (singkatan dari nama trivialnya; 4,4-
Dichloro Diphenyl Trichloroethane). Penemuan DDT juga merupakan awal dari
pengembangan senyawa kimia dari kelompok atau kelas hidrokarbon berklor
(chlorinated hydrocarbon). Dichloro Diphenyl Trichloroethane disintesis oleh
Othmar Zeidler pada tahun 1873. Namun, efek insektisidanya baru ditemukan
oleh Paul Muller pada tahun 1939 di Swiss. Pada tahun 1946, untuk pertama
kalinya resistensi DDT pada lalat rumah diteliti di Swedia.
Sebelum diuji secara resmi di Research Station for Fruit Growing,
Viticulture, and Horticulture di Wadenswil (Jerman), uji efikasi DDT telah
dilakukan oleh Paul Muller terhadap Calliphora vomitoria dan beberapa spesies
serangga lainnya. Selanjutnya, DDT dikembangkan oleh R. Weismann dari
perusahaan J.R. Geigy.
Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di
bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Dichloro Diphenyl
Trichloroethane sempat dijuluki the wonder chemical, bahan kimia ajaib yang
menyelamatkan ribuan hektar tanaman dari serangan hama serangga (Ishartadiati,
2011).
Dichloro Diphenyl Trichloroethane adalah insektisida paling ampuh yang
pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga, tetapi juga
paling berbahaya bagi umat manusia, sehingga dijuluki The Most Famous and
Infamous Insecticide.
Pada tahun 1962, Rachel Carson dalam bukunya yang terkenal, Silent
Spring menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di
bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi, sehingga atas
rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun

7
1972, DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT
terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun
1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di
Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari
makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. Dichloro
Diphenyl Trichloroethane menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat
rapuh sehingga rusak jika dierami. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT
digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic)
material (Ishartadiati, 2011).
Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa
Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama
India, RRC, dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih
digunakan. Banyak negara telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam
keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam
berdarah, dsb. Izin untuk menggunakan DDT dalam keadaan darurat oleh karena
insektisida alternatif lebih mahal, lebih toksik, dan tidak seefektif DDT.
Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian,
sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun
1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi penggunaan
pestisida golongan hidrokarbon berklor (chlorinated hydrocarbon) atau
organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk) (Ishartadiati, 2011).

C. SIFAT KIMIAWI DAN FISIK DDT


Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-
bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichloro Diphenyl
Trichloroethane (DDT) diproduksi dengan menyampurkan chloralhydrate
(CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl), yang dikatalisasi oleh asam
belerang. Nama dagang DDT yang pernah ada di pasaran antara lain Anofex,
Cezarex, Chlorophenothane, Clofenotane, Dicophane, Dinocide, Gesarol,
Guesapon, Guesarol, Gyron, Ixodex, Neocid, Neocidol, dan Zerdane (Ishartadiati,
2011).
Gambar 2.1. Struktur kimia DDT (Ishartadiati, 2011)

8
Dichloro Diphenyl Trichlorethane

Dichloro Diphenyl Trichloroethane terdiri atas campuran tiga bentuk


isomer DDT (65-80% p,p'-DDT, 15-21% o,p'-DDT, dan 0-4% o,o'-DDT), dan
dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE [1,1-
dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-
chlorophenyl) ethane]. Dichloro Diphenyl Trichloroethane ini berupa tepung
kristal putih, tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak
dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras
dan tahan oksidasi terhadap asam permanganat.

D. MEKANISME TOKSISITAS DDT


Mekanisme toksisitas DDT masih dalam perdebatan walaupun komponen
kimia ini sudah disintesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh
toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut
saraf motorik serta korteks motorik adalah merupakan target toksisitas tersebut. Di
lain pihak, bila terjadi efek keracunan, perubahan patologinya tidaklah nyata
karena toksisitas DDT adalah sedang, dengan LD 50 oral (tikus) 113 mg/kg).
Insektisida ini bekerja melalui kontak kulit terhadap berbagai jenis serangga.
Dichloro Diphenyl Trichloroethane mempengaruhi keseimbangan ion-ion K dan
Na dalam neuron (sel saraf) dan merusak selubung saraf sehingga fungsi saraf
terganggu. Serangga dengan mutasi tertentu pada gen kanal sodiumnya resisten
terhadap DDT dan insektisida sejenis lainnya (Ishartadiati, 2011).
DDT sendiri merupakan racun non sistemik, racun kontak dan racun perut
serta sangat persisten di lingkungan. LD50 terhadap tikus 113-118, mencit 150-
300, kelinci 300, anjing 500-700, dan kambing > 1000 mg/kg berat badan

9
sedangkan NOEL 35 mg/orang/hari (sekitar 0,5 mg/kg berat badan). Bila
seseorang menelan DDT sekitar 10mg/kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal
tersebut terjadi dalam beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-
500mg/kg. Karena sifatnya yang lipofilik, DDT dan senyawa hasil
pecahannya cenderung terakumulasi lewat rantai makanan dalam lemak tubuh
dan lingkungan (Yuantari, 2011).
Akibat lain dari penggunaan DDT, banyak binatang dalam mata rantai
makanan yang panjang akan terkena dampaknya. Proses mata rantai dari satu
hewan ke hewan lain yang mengakumulasi zat DDT akan tercemar zat DDT
termasuk pada manusia. DDT yang telah masuk ke dalam tubuh kemudian larut
dalam lemak, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif .
Gambar 2.2. Kategori Toksisitas DDT (NPIC, 2000)

E. PENGGUNAAN Dicholoro Diphenyl Trichloroethane (DDT)


Pestisida DDT (1,1,1-trikloro-2,2-bis(4-klorofenil)) etana tercatat telah
memainkan peran penting dalam usaha pemberantasan hama pertanian dan
pengendalian vektor penyakit epidemik seperti malaria. Penggunaan DDT yang
meluas tersebut, secara paralel juga memunculkan dampak ekologis terkait
dengan sifat kimiawinya. DDT memiliki persistensi yang tinggi di lingkungan dan
bersifat lipofilik. Perpaduan sifat persisten dan lipofilisitas menyediakan kondisi
yang diperlukan untuk bioakumulasi DDT dalam jaringan lemak biota.

10
DDT bersifat relatif volatil sehingga terdisipasi dari lingkungan melalui
penguapan. Laju penguapan yang besar memungkinkan terjadinya transport
atmosferik DDT. Dengan demikian, DDT persisten akan berpotensi terdistribusi
meluas dan jauh dari titik aplikasi melalui udara, air, dan akhirnya dapat
terakumulasi dalam lingkungan terestrial dan perairan. Dari lingkungan, paparan
residu OCs terhadap manusia terjadi, terutama melalui konsumsi produk yang
tercemar. Karena sifat persistensi dan kecenderungan untuk terakumulasi di
lingkungan tersebut, sejak 1970-an, penggunaan pestisida DDT dinyatakan
dilarang (Hadi, et al, 2008).
DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethan) dalam kehidupan digunakan
dalam berbagai bidang, diantaranya :
1. Bidang Pertanian
DDT digunakan untuk membunuh hama serangga yang
mengganggu pertumbuhan tanaman. DDT digunakan dengan cara
disemprotkan ke tanaman.
2. Bidang Kesehatan
Sejak jaman perang dunia ke II pada tahun 1961 DDT sangat
bermanfaat dalam menekan penyebaran nyamuk penyebar malaria dan
kutu pembawa virus tifus. Dalam kegiatan memberantas vektor
pembawa penyakit DDT di semprotkan ke sekitar lingkungan yang
diindikasikan banyak vektornya. Meskipun dalam penyemprotan DDT
dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengotori dinding rumah
DDT merupakan insektisida yang efektif dalam pemberantasan vektor.

F. DAMPAK PENGGUNAAN DDT


1. Dampak Terhadap Manusia
Banyak dugaan mengenai dampak berbahaya dari pestisida secara
umum,salah satunya adalah dampak DDT terhadap kesehatan manusia. Meskipun
pernyataan tentang jumlah kasusnya belum jelas. Pada tanggal 15 Mei 1975,
Environmental Protection Agency(EPA) merilis laporan yang menyatakan bahwa
orang-orang di Amerika Serikat yang menelan 15 miligram DDT setiap hari.
Dalam tanggapan atas surat yang menyatakan bahwa ini adalah jelas tidak benar,
seorang pejabat EPA menjawab bahwa benar dalam menyatakan bahwa DDT

11
laporan EPA keliru pada penyerapan makanan manusia. Memang, EPA tidak
mengeluarkan koreksi yang menyatakan bahwa jumlah sebenarnya adalah seribu
kali lebih sedikit dari yang diberikan dalam laporan mereka. EPA menyatakan
bahwa DDT menimbulkan risiko karsinogenik. untuk manusia (Edward, 2004)
Penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh daya racun, volume dan
tingkat pemajanan secara signifikan mempengaruhi dampak kesehatan manusia.
Semakin tinggi daya racun pestisida yang digunakan semakin banyak tanda
gejala keracunan yang dialami petani. Risiko keracunan dapat diminimalisir
apabila perilaku dan cara kerja petani yang aman dan tidak menggangu
kesehatan. Misalnya dalam melakukan kegiatan pertanian seperti menyemprot
pestisida, mencampur pestisida menggunakan alat pelindung diri lengkap dan
menerapkan penggunaan pestisida yang benar (Isnawan, 2013).
Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit
kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-
sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem imunitas dan sistem reproduksi.
2. Dampak di Bidang pertanian
Menurut Zadoks dan Richard (1979) dalam Roja (2009), efek negatif di
bidang pertanian berupa timbulnya hama dan patogen yang tahan terhadap
pestisida, munculnya hama baru, terjadinya peningkatan populasi hama dan
patogen sekunder, berkurangnya populasi serangga yang bermanfaat, keracunan
terhadap ternak dan manusia, residu bahan kimia dalam tanah dan tanaman, dan
kerusakan tanaman.
3. Dampak terhadap Lingkungan
Nasib dan perilaku pestisida DDT di lingkungan sangat dipengaruhi oleh
sifat fisikokimia dan oleh faktor lingkungan, yang keduanya terkait erat (Hadi, et
al, 2008).
Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal
penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang
sampai hampir punah di Amerika Serikat. DDT dianggap dapat menipiskan
lapisan telur burung elang, sehingga menurunkan populasi burung elang pada saat
itu (Edward, 2004).

12
Menurut Tarumingkeng (2007) dalam Ishartadiati (2011), dua sifat buruk
yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
1. Sifat apolar DDT: ia tak larut dalam air, tetapi sangat larut dalam lemak.
Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin
tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT
sangat mudah menembus kulit.
2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga
cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan
(foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT
bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di
dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel
tanah.

13
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pestisida adalah suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat
pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan,
pengaruh hormon, penghambat makanan, membuat mandul, sebagai pengikat,
penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT. Penggunaan pestisida
telah melalui beberapa perkembangan zaman diawali dari zaman prapestisida
sampai zaman PHT berbasis ekologi. Berdasarkan struktur kimianya, pestisida
dibedakan menjadi tiga, yaitu: Organochlorine, Organophosphate, Carbonate,
dan jenis lain. Salah satu pestisida jenis organoklorin yang digunakan dalam
kehidupan adalah DDT (Dichloro Diphenyl Trichlorethane).
DDT merupakan insektisida jenis organoklorin yang utamanya digunakan
untuk mengontrol nyamuk-vektor malaria. DDT kini tersedia dalam beberapa
bentuk berbeda, seperti aeorosol, bubuk debu, konsentrasi teremulsi, butiran, dan
bubuk basah. Karena sifatnya yang tergolong zat toksik berbahaya, penggunaan
DDT kini sudah mulai dilarang di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat
dan negara-negara di Eropa Barat, bahkan termasuk Indonesia.
DDT berupa tepung kristal putih, tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya
sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air,
tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhadap asam permanganat.
Pengaruh toksik DDT terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik
dan serabut saraf motorik serta korteks motorik adalah merupakan target toksisitas
tersebut. Di lain pihak, bila terjadi efek keracunan, perubahan patologinya
tidaklah nyata karena toksisitas DDT adalah sedang. DDT banyak digunakan
dalam kehidupan, khususnya bidang pertanian dan kesehatan. Namun, karena
dampak yang ditimbulkan lebih banyak merugikan kehidupan manusia, pertanian,
dan lingkungan penggunaan DDT sudah dilarang dan digantikan dengan pestisida
yang lebih aman. DDT bertahan sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT dapat
terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah sehingga dapat mengurangi
tingkat kesuburan tanah dan mencemari lingkungan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Edwards, G. 2004. DDT: A Case Study in Scientific Fraud. Journal of American


Physicians and Surgeon Vol. 9 No. 3 2004.Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan
Penggunaan Pestisida.
Hadi, S et al. 2008. Keberadaan dan Distribusi Pestisida DDT dan Metabolitnya
Di Perairan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. www.lib.ugm.ac.id
Diakses pada tanggal 22 November 2013.
Ishartadiati, K. 2011. Resistensi Serangga terhadap DDT. Jurnal Cetak vol. 1 No.
2, Juli 2011. www.elib.fk.uwks.ac.id Diakses pada tanggal 22 November
2013.
Laba, I. 2010. Analisis Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian
Berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2) 2010:120-137.
Manuaba, P. 2008. Cemaran Pestisida Fosfat-Organik di Air Danau Buyan
Buleleng Bali. Jurnal Kimia 2(1), Januari 2008:7-14.
NPIC. 2000. DDT (Technical Fact Sheet). Oregon State University dan U.S
Environmental Protection Agency.
Pohan, N. 2004. Pestisida dan Pencemarannya. e-USU Jurnal Repository
Universitas Sumatera Utara.
Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) pada
Padi Sawah. Makalah Pelatihan Spesifik Lokalita Kabupaten 50 Kota
Sumatera Barat, Payakumbuh 7-18 Oktober 2009.
Yuantari, C. 2011. Dampak Pestisida Organoklorin terhadap Kesehatan Manusia
dan Lingkungan serta Penanggunalangannya. Prosiding Seminar
Nasional Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDGs of
Indonesia 12 April 2011.

15

Anda mungkin juga menyukai