TOKSIKOLOGI (T)
(Rodentisida)
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Lisa Tonapa
Muh.Nur Alam
Nurmawati
Nisbairiani
Mila Sari
A. Latar Belakang
Pestisida telah digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) di Indonesia sejak sebelum Perang
Dunia ke II (PD II). Berbagai uji coba penggunaan pestisida pada tanaman
padi menunjukkan bahwa pestisida dapat melindungi tanaman dari serangan
OPT. Tanaman dapat tumbuh dengan baik sehingga dapat meningkatkan hasil
pertanian dibandingkan tanaman tanpa aplikasi pestisida (Rahayuningsih,209.
Dahulunya, manusia menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian
hama, namun sejak ditemukannya diklorodifeniltrikloroetan (DDT) tahun
1939, penggunaan pestisida nabati sedikit demi sedikit ditinggalkan sehingga
manusia beralih ke pestisida kimia (Yenie, 2013). Di Indonesia pemakaian
pestisida rumah tangga mulai meningkat setelah tahun 1970-an. Sejak itu
pestisida menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan rumah tangga
masyarakat kota dan sebagian masyarakat desa. Pengendalian hama dengan
pestisida yang dilakukan secara intensif ternyata menimbulkan dampak yang
merugikan, antara lain terjadinya keracunan baik akut maupun kronis dan
pencemaran lingkungan. Dalam aplikasi pestisida di rumah tangga,
masyarakat berpotensi terpapar pestisida (Yuliani, 2011).
Pada kenyataannya penggunaan pestisida kimia yang tidak rasional
dapat menimbulkan dampak buruk dari segi lingkungan terutama segi
kesehatan Universitas Sumatera Utara manusia. Dari segi kesehatan manusia
pestisida kimia dapat meracuni manusia melalui mulut, kulit dan pernafasan
yang dapat menyebabkan :
a. kecacatan janin (teratogenik)
b. kanker (karsinogenik)
c. asma
d. alergi (peka terhadap bahan-bahan kimia)
e. mempercepat pengapuran tulang (Yuliani, 2011).
Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini
mudah terurai di alam sehingga relatif aman bagi manusia (Sitompul,
2014).Salah satu golongan dari pestisida yaitu repellent. Repellent adalah
penolak atau penghalau serangga atau hama lainnya (Budiyono, 2012).
Cara penggunaan pestisida itu sendiri harus benar sesuai aturan.
Peraturan pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
sebagai penjabaran UU No.12 Tahun 1992 memberikan pedoman bagaimana
penggunaan pestisida secara efektif, efisien serta dampak negatif minimal
bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pedoman tersebut tercantum pada
pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa Penggunaan pestisida dalam
rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilakukan secara tepat
guna adalah ; tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu, dan
tepat tempat (Untung, 2007).
Penggunaan pestisida secara tidak bijaksana dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif baik bagi manusia maupun lingkungan (Ameriana,2008). Akibat
yang ditimbulkan adalah keracunan, baik akut maupun kronis.
Salah satu penyebab dari terjadinya keracunan akibat pestisida adalah petani
kurang memperhatikan penggunaan alat pelindung diri (APD) dalam melakukan
penyemprotan dengan menggunakan pestisida. APD adalah kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan
pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya. Petani perlu memperhatikan
perilaku penggunaan pestisida dan kepatuhan menggunakan APD pada saat
melakukan pencampuran dan menyemprot tanaman. APD yang harus dipakai
antara lain masker, topi, kaca mata, baju lengan panjang dan celana panjang,
celemek, sarung tangan, dan sepatu boot (Sumamur, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pestisida
A.1. Definisi Petisida
Pestisida adalah agensi yang membunuh hama. Yang dimaksud
disini adalah bahan-bahan yang telah dikembangkan untuk membunuh
sejumlah besar spesies hama-hama tertentu. Asosiasi Kimia Nasional
Amerika Serikat menyatakan, bahwa yang juga termasuk pestisida adalah
agensi yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus seperti zat
pengatur tumbuh, zat penggugur daun, zat pengering (desiccant) dan zat-
zat lainnya yang sejenis seperti feromon, zat kimia pemandul, zat anti-
feedant, antraktan, repelen, sinergis (Oka,1995).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI NO.258/MenKes/Per/III/1
2 pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan
virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama
dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian dari tanaman atau
hasil-hasil pertanian; memberantas rerumputan; mematikan daun dan
mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang
pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tidak termasuk pupuk;
memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan
ternak; memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasadjasad
renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
dan atau memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Rodentisida
Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh
hewan pengerat, seperti tikus dan musang, masyarakat awam sering menyebut
sebagai racun tikus. Hewan pengerat, manusia, anjing dan kucing merupakan
kelompok mamalia sehingga tubuhnya bekerja dengan cara yang sama.
Rodentisida memberikan efek yang sama ketika mamalia menelan suatu
produk rodentisida. Rodentisida atau yang lebih dikenal sebagai racun tikus
dapat diperoleh dalam berbagai merk dagang dan sediaan dan umumnya dapat
ditemukan di rumah dalam bentuk serbuk, butiran, atau pellet. Rodentisida
diformulasikan sebagai umpan yang dibentuk sedemikian rupa untuk menarik
perhatian hewan pengerat, seringkali ditambahkan penambah rasa (flavoring)
seperti minyak ikan, mentega, dan lain-lain. Selain itu, bentuk dan warnanya
juga diformulasikan seperti makanan sehingga dapat menarik perhatian anak-
anak dan binatang peliharaan. Untuk itu perlu perhatian dan kewaspadaan
dalam menggunakan rodentisida untuk meracuni tikus atau binatang pengerat
lainnya.
B. Contoh Senyawa Kimia
Warfarin merupakan rodentisida antikoagulan generasi pertama,
kandungan warfarin dalam racun tikus sekitar 0,025% atau sebanyak 25 mg
warfarin dalam 100 gram produk racun tikus. Warfarin memiliki dosis fatal
lebih besar dari 5 sampai 20 mg/hari untuk lebih dari 5 hari. Dapat
mengakibatkan perdarahan dan memiliki onset antara 12 sampai 48 jam.
Senyawa generasi pertama memerlukan pemberian umpan yang terus-
menerus untuk mengendalikan hewan pengerat yang berakibat berkembangnya
hewan pengerat yang resisten terhadap warfarin. Untuk mengatasi hal tersebut
maka dikembangkan struktur kimia baru untuk rodentisida antikoagulan yang
dikenal sebagai generasi kedua (superwarfarin), lebih toksik daripada generasi
pertama, umumnya LD50 nya 0,2-3,9 mg/Kg BB dan sifatnya lebih lama (Long
Acting). Senyawa yang termasuk ke dalam superwarfarin adalah golongan
indandione (chlorophacinone, diphacinone, pindone) dan beberapa senyawa 4-
Hydroxycoumarin (brodifacoum, difenacoum, bromadiolone)4. Sebagian besar
senyawa yang termasuk superwarfarin dapat mengakibatkan perdarahan yang
lebih serius dan dapat berlangsung berbulan-bulan jika tertelan pada manusia7.
Tanda dan gejala keracunannya akan muncul setelah beberapa hari.
C. Contoh Produk
Rodentisida
BRODIRAT 0,005BB
Nomor Pendaftaran : RI. 3414/4-2009/T
E. Penanganan Toksik
E.1. Pertolongan Pertama Secara Umum Untuk Keracunan Racun Tikus
1. Jika kontak dengan kulit, lepaskan pakaian yang terkena rodentisida.
Irigasi kulit yang terkontaminasi dengan air mengalir selama 15 20
menit dan dibersihkan dengan sabun. Bersihkan sela-sela kuku jari
tangan dan kuku jari kaki.
2. Jika kontak dengan mata, bersihkan mata dengan membuka kelopak
mata. Lakukan irigasi dengan air bersih selama minimal 15 menit.
Sampai dirasakan tidak ada lagi bahan yang tertinggal. Segera bawa
ke dokter mata.
3. Jika tertelan, berikan air sebanyak 250 ml (dewasa) atau 15 ml/kg
Berat Badan (Anak), dan jangan merangsang muntah. Segera bawa ke
Rumah Sakit.
4. Jika terhirup, pastikan pernapasan korban lancar dan bawa korban ke
tempat dengan udara yang segar.
E.2. Penatalaksanaan Keracunan Rodentisida Antikoagulan Untuk Tenaga
Medis
1. Pemberian Arang Aktif
Pada pasien yang berpotensi mengalami keracunan dan masih
dalam kondisi sadar dengan pernapasan yang masih baik, arang aktif
dapat diberikan dengan melarutkan ke dalam air sebelum pasien
dibawa ke rumah sakit. Pemberian arang aktif lebih efektif dilakukan
1 jam setelah tertelan dan direkomendasikan dilarutkan ke dalam air
sebanyak 240 ml air dalam 30 gram arang aktif. Pasien yang
berpotensi mengalami kejang mendadak atau dpresi, maka pemberian
arang aktif harus dilakukan oleh petugas medis.
2. Tindakan Gastric Lavage (Kumbah Lambung)
Tindakan kumbah lambung direkomendasikan dilakukan antara
1 2 jam setelah tertelan. Jika waktu tertelan sudah lama (kronis),
tidak direkomendasikan tindakan kumbah lambung karena dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien dewasa dengan koagulopati
(gangguan pembekuan darah).
3. Monitoring Laboratorium
Nilai dari uji Prothrombine Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT) harus didapatkan 24 jam dan 48 jam
setelah tertelan, pada pasien anak anak tanpa gejala keracunan tetapi
tertelan rodentisida dalam jumlah banyak. Pada pasien dewasa yang
sengaja menelan rodentisida dan pasien anak-anak yang menunjukkan
gejala klinis terjadi perdarahan, harus diuji Prothrombine Time (PT)
dan Partial Thromboplastin Time (PTT), kemudian diulang 24 jam
dan 48 jam setelah tertelan dengan diikuti verifikasi golongan darah.
Jika terjadi perdarahan dalam jangka waktu lama, maka uji
Prothrombine Time (PT) harus diulang setiap 6 12 jam.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit harus dilakukan pada
pasien yang sudah terbukti secara klinis mengalami perdarahan atau
koagulopati. Hematokrit harus dimonitoring paling sedikit setiap 4
jam sampai pasien dalam kondisi stabil.
4. Antidotum
Antidotum untuk keracunan rodentisida antikoagulan adalah
vitamin K1 (Phytonadione). Vitamin K1 adalah antidot yang spesifik
dan harus diberikan pada pasien yang memiliki waktu prothrombin
(Prothrombine Time) yang panjang. Pemberian darah dan plasma
yang segar atau beku direkomendasikan untuk kondisi yang parah.
Pemberian vitamin K1 secara intravena dalam jumlah kecil
dengan dosis sebesa 1 - 5 mg untuk mengembalikan Prothrombine
Time (PT) pada batas terapetik. Pada pasien anemia, hematokrit harus
dimonitoring setiap 4 jam samapai pasien stabil. Feses dan muntah
juga harus di tes menggunakan Hematest.
Pemberian vitamin K1 secara oral mungkin dapat diberikan
dalam dosis kecil pada pasien yang sudah stabil. Dosis yang
direkomendasikan sebesar 15 25 mg untuk orang dewasa dan 5 10
mg untuk anak anak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh
hewan pengerat, seperti tikus dan musang, masyarakat awam sering menyebut
sebagai racun tikus.
DAFTAR PUSTAKA
British Columbia: Ministry of Agriculture, Pesticide Emergencies: Pesticide
Poisoning, http://www.agf.gov.bc.ca/pesticides/g_1.htm, diakses pada
tanggal 7 April 2017
Nelson, Austin T., Hartzell, Joshua D., More,Kenneth., Durning, Steven J.,
2006, Ingestion of Superwarfarin Leading to Coagulopathy: A Case
Report and Review of the Literature, diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1868388/, diakses pada
tanggal 7 April 2017
Nelson, Lewis S., Lewin, Neal A., Howland, Mary Ann, Hoffman, Robert S.,
Goldfrank, Lewis R., Flomenbaum, Neal E. 2011. Goldfranks
Toxicologic Emergencies, 9th edition, Pesticides: An Overview of
Rodenticides And A Focus on Principles, US: The McGraw-Hill. Hal.
1423-1427, 866
Olson, Kent R., 2012, Poisoning and Drug Overdose, Sixth edition, Hal. 409
410, Mc Graw Hill