Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TOKSIKOLOGI (T)

(Rodentisida)

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

Lisa Tonapa

Muh.Nur Alam

Nurmawati

Nisbairiani

Mila Sari

Marselinus Igo Seran

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN


STIKES MEGA REZKY MAKASSAR
2017/2018
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pestisida telah digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) di Indonesia sejak sebelum Perang
Dunia ke II (PD II). Berbagai uji coba penggunaan pestisida pada tanaman
padi menunjukkan bahwa pestisida dapat melindungi tanaman dari serangan
OPT. Tanaman dapat tumbuh dengan baik sehingga dapat meningkatkan hasil
pertanian dibandingkan tanaman tanpa aplikasi pestisida (Rahayuningsih,209.
Dahulunya, manusia menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian
hama, namun sejak ditemukannya diklorodifeniltrikloroetan (DDT) tahun
1939, penggunaan pestisida nabati sedikit demi sedikit ditinggalkan sehingga
manusia beralih ke pestisida kimia (Yenie, 2013). Di Indonesia pemakaian
pestisida rumah tangga mulai meningkat setelah tahun 1970-an. Sejak itu
pestisida menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan rumah tangga
masyarakat kota dan sebagian masyarakat desa. Pengendalian hama dengan
pestisida yang dilakukan secara intensif ternyata menimbulkan dampak yang
merugikan, antara lain terjadinya keracunan baik akut maupun kronis dan
pencemaran lingkungan. Dalam aplikasi pestisida di rumah tangga,
masyarakat berpotensi terpapar pestisida (Yuliani, 2011).
Pada kenyataannya penggunaan pestisida kimia yang tidak rasional
dapat menimbulkan dampak buruk dari segi lingkungan terutama segi
kesehatan Universitas Sumatera Utara manusia. Dari segi kesehatan manusia
pestisida kimia dapat meracuni manusia melalui mulut, kulit dan pernafasan
yang dapat menyebabkan :
a. kecacatan janin (teratogenik)
b. kanker (karsinogenik)
c. asma
d. alergi (peka terhadap bahan-bahan kimia)
e. mempercepat pengapuran tulang (Yuliani, 2011).
Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini
mudah terurai di alam sehingga relatif aman bagi manusia (Sitompul,
2014).Salah satu golongan dari pestisida yaitu repellent. Repellent adalah
penolak atau penghalau serangga atau hama lainnya (Budiyono, 2012).
Cara penggunaan pestisida itu sendiri harus benar sesuai aturan.
Peraturan pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
sebagai penjabaran UU No.12 Tahun 1992 memberikan pedoman bagaimana
penggunaan pestisida secara efektif, efisien serta dampak negatif minimal
bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pedoman tersebut tercantum pada
pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa Penggunaan pestisida dalam
rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilakukan secara tepat
guna adalah ; tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu, dan
tepat tempat (Untung, 2007).
Penggunaan pestisida secara tidak bijaksana dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif baik bagi manusia maupun lingkungan (Ameriana,2008). Akibat
yang ditimbulkan adalah keracunan, baik akut maupun kronis.
Salah satu penyebab dari terjadinya keracunan akibat pestisida adalah petani
kurang memperhatikan penggunaan alat pelindung diri (APD) dalam melakukan
penyemprotan dengan menggunakan pestisida. APD adalah kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan
pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya. Petani perlu memperhatikan
perilaku penggunaan pestisida dan kepatuhan menggunakan APD pada saat
melakukan pencampuran dan menyemprot tanaman. APD yang harus dipakai
antara lain masker, topi, kaca mata, baju lengan panjang dan celana panjang,
celemek, sarung tangan, dan sepatu boot (Sumamur, 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pestisida
A.1. Definisi Petisida
Pestisida adalah agensi yang membunuh hama. Yang dimaksud
disini adalah bahan-bahan yang telah dikembangkan untuk membunuh
sejumlah besar spesies hama-hama tertentu. Asosiasi Kimia Nasional
Amerika Serikat menyatakan, bahwa yang juga termasuk pestisida adalah
agensi yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus seperti zat
pengatur tumbuh, zat penggugur daun, zat pengering (desiccant) dan zat-
zat lainnya yang sejenis seperti feromon, zat kimia pemandul, zat anti-
feedant, antraktan, repelen, sinergis (Oka,1995).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI NO.258/MenKes/Per/III/1
2 pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan
virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama
dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian dari tanaman atau
hasil-hasil pertanian; memberantas rerumputan; mematikan daun dan
mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang
pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tidak termasuk pupuk;
memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan
ternak; memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasadjasad
renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
dan atau memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

A.2. Klasifikasi Pestisida


Pestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam dengan
berdasarkan fungsi dan asal katanya. Penggolongan tersebut disajikan sbb.:
1. Akarisida, berasal dari kata akari yang dalam bahasa Yunani berarti
tungau atau kutu. Akarisida sering juga disebut sebagai mitesida.
Fungsinya untuk membunuh tungau atau kutu.
2. Algisida, berasal dari kata alga yang dalam bahasa latinnya berarti
ganggang laut. Berfungsi untuk melawan alge.
3. Avisida, berasal dari kata avis yang dalam bahasa latinnya berarti
burung. Berfungsi sebagai pembunuh atau zat penolak burung serta
pengontrol populasi burung.
4. Bakterisida, berasal dari kata latin bacterium atau kata Yunani bacron.
Berfungsi untuk melawan bakteri.
5. Fungisida, berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang
berarti jamur. Berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.
6. Herbisida, berasal dari kata latin herba yang berarti tanaman setahun.
Berfungsi membunuh gulma (tumbuhan pengganggu).
7. Insektisida, berasal dari kata latin insectum yang berarti potongan,
keratan atau segmen tubuh. Berfungsi untuk membunuh serangga.
8. Larvisida, berasal dari kata Yunani lar. Berfungsi untuk membunuh ulat
atau larva.
9. Molluksisida, berasal dari kata Yunani molluscus yang berarti
berselubung tipis lembek. Berfungsi untuk membunuh siput.
10. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani nema
yang berarti benang. Berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam
cacing yang hidup di akar).
11. Ovisida, berasal dari kata latin ovum yang berarti telur. Berfungsi untuk
membunuh telur.
12. Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis berarti kutu, tuma. Berfungsi
untuk membunuh kutu atau tuma.
13. Piscisida, berasal dari kata Yunani piscis yang berarti ikan. Berfungsi
untuk membunuh ikan
14. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodera yang berarti pengerat.
Berfungsi untuk membunuh binatang pengerat, seperti tikus.
15. Predisida, berasal dari kata Yunani praeda yang berarti pemangsa.
Berfungsi untuk membunuh pemangsa (predator).
16. Silvisida, berasal dari kata latin silva yang berarti hutan. Berfungsi
untuk membunuh pohon.
17. Termisida, berasal dari kata Yunani termes yang berarti serangga
pelubang daun. Berfungsi untuk membunuh rayap.
(Ditjen Prasarana dan SaranaPertanian, 2011).
A.3. Toksisitas Pestisida
Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman
selalu mempunyai dua sisi: bila ia efektif dan diaplikasikan menurut
petunjuk, dapat menurunkan populasi hama tanaman; tetapi selalu
mengandung resiko kecelakaan pada manusia dalam bentuk keracunan
kronik/akut dan atau kematian dan pencemaran lingkungsn. Belum lagi
resiko reaksi populasi hama sasaran yang diperlakukan dengan pestisida
tertentu secara berulang-ulang.
Untuk mengurangi berbagai resiko yang tidak dikehendaki tersebut
dan menetapkan prosedur penggunaan pestisida mutlak perlu diketahui
bagaimana terjadinya keracunan itu dan derajat keracunan setiap jenis
pestisida. Manusia/hewan dapat keracunan pestisida melalui mulut (oral),
karena sejumlah pestisida tertelan. Dapat juga melalui kulit (dermal),
karena masuk melalui tubuh melalui pori-pori dan kulit itu sendiri.
Keracunan dapat juga terjadi melalui paruparuketika udara yang tercemar
pestisida terhirup (Oka, 1995).
Daya racun pestisida biasanya ditunjukkan oleh angka toksisitas
akut hasil uji laboratorium dengan hewan percobaan (umumnya
menggunakan tikus). Studitosisitas akut pada hewan menghasilkan data
LD50. Artinya, jumlah atau dosisbahan teknis (mg) dalam setiap 1 kg
bobot badan binatang uji yang dapat mematikan 50% binatang uji
tersebut (Sembodo, 2010). Namun, antara LD50 oral dan LD50 dermal
dibedakan. LD50oral adalah kematian yang terjadi bila binatang uji
tersebut makan dan LD50dermal adalah kematian karena keracunan
lewat kulit (Djojosumarto, 2000).
A.4. Manfaat dan Dampak Negatif Pestisida (Djojosumarto, 2000).
1. Manfaat Penggunaan Pestisida
Pengendalian organisme pengganggu dengan pestisida banyak
digunakan secara luas oleh masyarakat, karena mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain yaitu:
a. Dapat diaplikasikan dengan mudah
Pestisida dapat diaplikasikan dengan menggunakan alat yang
relatif sederhana (sprayer, duster, bak celup, dan sebagainya),
bahkan ada yang tanpa memerlukan alat (ditaburkan).
b. Dapat diaplikasikan hampir di setiap waktu dan tempat
Pestisida dapat diaplikasikan di setiap waktu (pagi, siang,
sore, atau malam) dan di setiap tempat, baik di tempat tetutup
maupun di tempat terbuka.
c. Hasilnya dapat dirasakan dalam waktu singkat
Hasil penggunaan pestisida misalnya dalam bentuk
penurunan populasi organisme pengganggu dapat dirasakan dalam
waktu singkat, dalam beberapa hal, hasilnya dapat dirasakan hanya
beberapa menit setelah aplikasi.
d. Dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat
Hal ini sangat diperlukan dalam mengendalikan daerah
serangan yang luas dan harus diselesaikan dalam waktu singkat
(misalnya dalam kasus eksplosif organisme penggangu). Misalnya
dengan menggunakan alat mistblower, power spayer, bahkan kapal
terbang.
e. Mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi terutama
jangka pendek.
Perhitungan untung rugi secara eknomi dalam menggunakan
pestisida relatif lebih mudah dilakukan. Makin langka dan
mahalnya tenaga kerja di sektor pertanian berakibat makin
mendorong masyarakat petani untuk menggunakan pestisida.
2. Dampak Negatif Pestisida
a. Terhadap Konsumen
Adapun dampak pestisida bagi konsumen umumnya
berbentuk keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan.
Namun, dalam waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan
kesehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula
menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal mengonsumsi
produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar
(Djojosumarto, 2008).
b. Terhadap Kesehatan
Umumnya keracunan pestisida terjadi dengan adanya kontak
dengan pestisida selama beberapa minggu. Orang tidak akan sakit
langsung setelah terpapar pestisida, tetapi membutuhkan waktu
sampai beberapa waktu kemudian. Pestisida masuk dalam tubuh
manusia dengan cara sedikit demi sedikit dan mengakibatkan
keracunan kronis. Bisa pula berakibat racun akut bila jumlah yang
masuk dalam tubuh manusia dalam jumlah yang cukup (Wudianto,
2010).
1) Keracunan akut
Keracunan akut biasanya terjadi pada pekerja yang
langsung bekerja menggunakan pestisida atau terjadi pada saat aplikasi
pestisida. Cara pestisida masuk kedalam tubuh :
a) Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)
b) Terhirup masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation), serta.
c) Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral).
2) Keracunan kronis
Keracunan kronis terjadi apabila penderita terkena racun dalam
jangkawaktu panjang dengan dosis rendah. Gejala keracunan ini baru
kelihatansetelah beberapa waktu (bulan atau tahun kemudian).
Keracunan kronislebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak
menimbulkangejala serta tanda yang spesifik. Dan beberapa dampak
akibat keracuan kronis akibat pestisida.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Rodentisida
Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh
hewan pengerat, seperti tikus dan musang, masyarakat awam sering menyebut
sebagai racun tikus. Hewan pengerat, manusia, anjing dan kucing merupakan
kelompok mamalia sehingga tubuhnya bekerja dengan cara yang sama.
Rodentisida memberikan efek yang sama ketika mamalia menelan suatu
produk rodentisida. Rodentisida atau yang lebih dikenal sebagai racun tikus
dapat diperoleh dalam berbagai merk dagang dan sediaan dan umumnya dapat
ditemukan di rumah dalam bentuk serbuk, butiran, atau pellet. Rodentisida
diformulasikan sebagai umpan yang dibentuk sedemikian rupa untuk menarik
perhatian hewan pengerat, seringkali ditambahkan penambah rasa (flavoring)
seperti minyak ikan, mentega, dan lain-lain. Selain itu, bentuk dan warnanya
juga diformulasikan seperti makanan sehingga dapat menarik perhatian anak-
anak dan binatang peliharaan. Untuk itu perlu perhatian dan kewaspadaan
dalam menggunakan rodentisida untuk meracuni tikus atau binatang pengerat
lainnya.
B. Contoh Senyawa Kimia
Warfarin merupakan rodentisida antikoagulan generasi pertama,
kandungan warfarin dalam racun tikus sekitar 0,025% atau sebanyak 25 mg
warfarin dalam 100 gram produk racun tikus. Warfarin memiliki dosis fatal
lebih besar dari 5 sampai 20 mg/hari untuk lebih dari 5 hari. Dapat
mengakibatkan perdarahan dan memiliki onset antara 12 sampai 48 jam.
Senyawa generasi pertama memerlukan pemberian umpan yang terus-
menerus untuk mengendalikan hewan pengerat yang berakibat berkembangnya
hewan pengerat yang resisten terhadap warfarin. Untuk mengatasi hal tersebut
maka dikembangkan struktur kimia baru untuk rodentisida antikoagulan yang
dikenal sebagai generasi kedua (superwarfarin), lebih toksik daripada generasi
pertama, umumnya LD50 nya 0,2-3,9 mg/Kg BB dan sifatnya lebih lama (Long
Acting). Senyawa yang termasuk ke dalam superwarfarin adalah golongan
indandione (chlorophacinone, diphacinone, pindone) dan beberapa senyawa 4-
Hydroxycoumarin (brodifacoum, difenacoum, bromadiolone)4. Sebagian besar
senyawa yang termasuk superwarfarin dapat mengakibatkan perdarahan yang
lebih serius dan dapat berlangsung berbulan-bulan jika tertelan pada manusia7.
Tanda dan gejala keracunannya akan muncul setelah beberapa hari.

Superwarfarin diabsorbsi utamanya melalui saluran gastrointestinal.


Hampir 90% superwarfarin diabsorbsi oleh tubuh dengan kosentrasi paling
tinggi dalam plasma darah terjadi pada 12 jam setelah tertelan. Eliminasi
superwarfarin dengan rute paparan tertelan, terutama melalui feses. Sedangkan
yang paling sedikit adalah melalui urin.

Rodentisida antikoagulan baik generasi pertama maupun kedua memiliki


mekanisme aksi menghambat vitamin K 2,3-epoksida reduktase dan vitamin K
quinine reduktase, yaitu 2 enzim yang bertanggungjawab untuk merubah
vitamin K menjadi bentuk aktifnya, yang diperlukan dalam proses pembekuan
darah (koagulasi)6. Akibat penghambatan dalam pembekuan darah dapat
menyebabkan timbulnya perdarahan.
Tanda dan gejala klinis dari keracunan rodentisida antikoagulan secara
umum dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu perdarahan ringan dan berat.
Perdarahan ringan dapat mengakibatkan perdarahan pada hidung atau gusi,
mimisan, darah pada feses, nyeri pada bagian perut. Perdarahan berat atau
serius dapat mengakibatkan hematoma (lebam), hematemesis, hematuria,
sampai terjadinya shok dan kematian.
Perdarahan internal dan eksternal adalah gejala klinis yang paling sering
terjadi yang diikuti oleh takikardia dan hipotensi, serta kerusakan beberapa
organ yang disebabkan kehilangan darah yang banyak.

C. Contoh Produk
Rodentisida
BRODIRAT 0,005BB
Nomor Pendaftaran : RI. 3414/4-2009/T

Rodentisida antikoagulan berbentuk blok berupa umpan pakai.


IDENTIFIKASI PRODUK :
- Nama produk : BRODIRAT 0,005 %
- Bahan aktif : Brodifakum 0,005%
- Nama kimia : 3-3{3(4'D5-bromo-{1,1'D5-biphenyl}-4-yl)-1,2,3,4-
tetrahydro-1-naphthalenyl}-4-hydroxy-2H-1-benzopyran-2-one.
- Rumus empiris : C31 H23 BrO3
PETUNJUK PENGGUNAAN :

D. Mekanisme Kerja Toksik


Rodentisida yang merupakan protein yang terikat dalam plasma.
Antikoagulan rodentisida geerasi pertama memiliki waktu paruh 14 jam
sedangkan yang generasi kedua memiliki waktu paruh 6 hari. Rodentisida jenis
ini dimetabolisme di hati dan di sekresikan dalam urin. Bekerja dengan cara
mempengaruhi sintesis faktor pembekuan darah tergantung dari vitamin K
seperti faktor pembekuan II, VII, IX dan X melalui karbosilasi. Diabsorbsi
diusus haus dan memasuki sirkulasi darah,dimetabolisme di mikrosom sel hati,
dan akan menghambat kerja vitamin K. Penghambatan kerja vitamin K
menyebabkan penurunan sintesis faktor pembekuan II, VII, IX, dan X di
dalam sel hati. Awalnya vitamin K berbentuk vitamin K epoksid yang tidak
dapat mengaktifkan faktor pembekuan. Vitamin K menjadi aktif melalui kerja
enzim epoksid reduktase. Kerja utama antikoagulan rodentisida dengan
menghambat kerja enzim epoksid reduktase, sehingga perubahan vitamin K
epoksid menjadi vitamin K terganggu, akibatnya terjadi penumpukkan
prekursor faktor-faktor tergantung vitamin K karena terjadi penurunan sintesis
faktor II, VII, IX, dan X. Selain itu juga dapat menghambat vitamin K menjadi
Vitamin K 1 hidrokuinon.

Paparannya dapat menyebabkan perdarahan yang tidak terkendali dari


setiap bagian tubuh. Tanda-tanda lainnya adalah batuk dan muntah darah, tinja
hitam, pucat, perdarahan gusi, perdarahan gusi, perdarahan kulit, kejang,
memar, mengiggil, nyeri dan distensi abdomen, perdarahan internal. Tanda-
tanda tersebut muncul menunggu faktor pembekuan habissehingga baru dapat
terlihat saat lima hari setelah paparan.

E. Penanganan Toksik
E.1. Pertolongan Pertama Secara Umum Untuk Keracunan Racun Tikus
1. Jika kontak dengan kulit, lepaskan pakaian yang terkena rodentisida.
Irigasi kulit yang terkontaminasi dengan air mengalir selama 15 20
menit dan dibersihkan dengan sabun. Bersihkan sela-sela kuku jari
tangan dan kuku jari kaki.
2. Jika kontak dengan mata, bersihkan mata dengan membuka kelopak
mata. Lakukan irigasi dengan air bersih selama minimal 15 menit.
Sampai dirasakan tidak ada lagi bahan yang tertinggal. Segera bawa
ke dokter mata.
3. Jika tertelan, berikan air sebanyak 250 ml (dewasa) atau 15 ml/kg
Berat Badan (Anak), dan jangan merangsang muntah. Segera bawa ke
Rumah Sakit.
4. Jika terhirup, pastikan pernapasan korban lancar dan bawa korban ke
tempat dengan udara yang segar.
E.2. Penatalaksanaan Keracunan Rodentisida Antikoagulan Untuk Tenaga
Medis
1. Pemberian Arang Aktif
Pada pasien yang berpotensi mengalami keracunan dan masih
dalam kondisi sadar dengan pernapasan yang masih baik, arang aktif
dapat diberikan dengan melarutkan ke dalam air sebelum pasien
dibawa ke rumah sakit. Pemberian arang aktif lebih efektif dilakukan
1 jam setelah tertelan dan direkomendasikan dilarutkan ke dalam air
sebanyak 240 ml air dalam 30 gram arang aktif. Pasien yang
berpotensi mengalami kejang mendadak atau dpresi, maka pemberian
arang aktif harus dilakukan oleh petugas medis.
2. Tindakan Gastric Lavage (Kumbah Lambung)
Tindakan kumbah lambung direkomendasikan dilakukan antara
1 2 jam setelah tertelan. Jika waktu tertelan sudah lama (kronis),
tidak direkomendasikan tindakan kumbah lambung karena dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien dewasa dengan koagulopati
(gangguan pembekuan darah).
3. Monitoring Laboratorium
Nilai dari uji Prothrombine Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT) harus didapatkan 24 jam dan 48 jam
setelah tertelan, pada pasien anak anak tanpa gejala keracunan tetapi
tertelan rodentisida dalam jumlah banyak. Pada pasien dewasa yang
sengaja menelan rodentisida dan pasien anak-anak yang menunjukkan
gejala klinis terjadi perdarahan, harus diuji Prothrombine Time (PT)
dan Partial Thromboplastin Time (PTT), kemudian diulang 24 jam
dan 48 jam setelah tertelan dengan diikuti verifikasi golongan darah.
Jika terjadi perdarahan dalam jangka waktu lama, maka uji
Prothrombine Time (PT) harus diulang setiap 6 12 jam.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit harus dilakukan pada
pasien yang sudah terbukti secara klinis mengalami perdarahan atau
koagulopati. Hematokrit harus dimonitoring paling sedikit setiap 4
jam sampai pasien dalam kondisi stabil.
4. Antidotum
Antidotum untuk keracunan rodentisida antikoagulan adalah
vitamin K1 (Phytonadione). Vitamin K1 adalah antidot yang spesifik
dan harus diberikan pada pasien yang memiliki waktu prothrombin
(Prothrombine Time) yang panjang. Pemberian darah dan plasma
yang segar atau beku direkomendasikan untuk kondisi yang parah.
Pemberian vitamin K1 secara intravena dalam jumlah kecil
dengan dosis sebesa 1 - 5 mg untuk mengembalikan Prothrombine
Time (PT) pada batas terapetik. Pada pasien anemia, hematokrit harus
dimonitoring setiap 4 jam samapai pasien stabil. Feses dan muntah
juga harus di tes menggunakan Hematest.
Pemberian vitamin K1 secara oral mungkin dapat diberikan
dalam dosis kecil pada pasien yang sudah stabil. Dosis yang
direkomendasikan sebesar 15 25 mg untuk orang dewasa dan 5 10
mg untuk anak anak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh
hewan pengerat, seperti tikus dan musang, masyarakat awam sering menyebut
sebagai racun tikus.

DAFTAR PUSTAKA
British Columbia: Ministry of Agriculture, Pesticide Emergencies: Pesticide
Poisoning, http://www.agf.gov.bc.ca/pesticides/g_1.htm, diakses pada
tanggal 7 April 2017

Conant, Jeff., 2010, Pesticides are poison, diunduh dari:


http://hesperian.org/wp
content/uploads/pdf/environmental/EHB_pesticides_EN_watermark.pdf,
diakses pada 7 April 2017, Hal 3,5

Gupta, Ramesh.C., 2015,Handbook of Toxicology of Chemical Warfare Agents,


Second Edition, Hal.228, Academic Press

Nelson, Austin T., Hartzell, Joshua D., More,Kenneth., Durning, Steven J.,
2006, Ingestion of Superwarfarin Leading to Coagulopathy: A Case
Report and Review of the Literature, diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1868388/, diakses pada
tanggal 7 April 2017

Nelson, Lewis S., Lewin, Neal A., Howland, Mary Ann, Hoffman, Robert S.,
Goldfrank, Lewis R., Flomenbaum, Neal E. 2011. Goldfranks
Toxicologic Emergencies, 9th edition, Pesticides: An Overview of
Rodenticides And A Focus on Principles, US: The McGraw-Hill. Hal.
1423-1427, 866

Olson, Kent R., 2012, Poisoning and Drug Overdose, Sixth edition, Hal. 409
410, Mc Graw Hill

Patocka, Jiri., Petroianu, Georg., Kuca, Kamil, 2013, Toxic Potential of


Superwarfarin: Brodifacum, Diunduh dari:
http://mmsl.cz/viCMS/soubory/pdf/MMSL_2013_1_3_WWW.pdf, diakses
pada tanggal 7 April 2017

Sentra Informasi Keracunan Badan POM, Bahaya Keracunan Pestisida di


Rumah Tangga, Diunduh dari:
http://ik.pom.go.id/v2015/artikel/KERACUNAN-PESTISIDA-DI-
RUMAH-TANGGA.pdf, diakses pada 7 April 2017

Anda mungkin juga menyukai