Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH TOKSIKOLOGI

ANALISIS MACAM-MACAM PESTISIDA EFEK TOKSIK SERTA FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI KERACUNAN PESTISIDA DALAM PERSPEKTIF TOKSIKOLOGI

KELOMPOK :

Nadila Noviani 1911E2150

SEKOLAH TINGGI ANALIS KESEHATAN BAKTI ASIH

BANDUNG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Food and
Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan bahwa pestisida adalah setiap zat yang
diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk
vektor terhadap manusia atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau
binatang yang menyebabkan kerusakan selama proses produksi berlangsung, penyimpanan
atau pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi kayu, atau bahan makanan
binatang (Sutarni, 2007).

Manfaat yang dimiliki pestisida mendorong petani untuk menggunakan pestisida


dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Pestisida tidak hanya dapat
membunuh organisme sasarannya saja melainkan dapat membunuh bukan sasarannya, seperti
manusia. Hal ini dikarenakan masih banyak petani yang menggunakan pestisida tanpa
memperhatikan segi ekologi dan kesehatan, meskipun sudah banyak peraturan mengenai
pemakaian pestisida yang dikeluarkan oleh pemerintah (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).

Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk
mengendalikan jasad pengganggu yang merugikan manusia. Dalam sejarah peradaban
manusia, pestisida telah cukup lama digunakan di bidang kesehatan (bidang permukiman dan
rumah tangga) dan terutama dibidang pertanian (pengelolaan tanaman) (Kementrian
Pertanian, 2012).

Pestisida telah digunakan secara luas untuk meningkatkan produksi pertanian,


perkebunan dan pemberantasan vektor penyakit. Penggunaan pestisida untuk keperluan diatas
terutama sintetik telah menimbulkan dilema. Pestisida sintetik di satu sisi sangat dibutuhkan
dalam rangka meningkatkan produksi pangan untuk menunjang kebutuhan yang semakin
meningkat dan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Tetapi disisi lain telah diketahui
penggunaannya juga berdampak negatif pada manusia, hewan, mikroba dan lingkungan
(Priyanto, 2010).

Pajanan pestisida di tempat kerja dapat mengenai para pekerja yang terlibat dalam
pembuatan, formulasi, dan penggunaan pestisida. Biasanya pestisida masuk ke dalam tubuh
melalui saluran nafas dan absorpsi kulit, tetapi sejumlah kecil dapat memasuki saluran
gastrointesttinal (GI) karena menggunakan tangan atau peralatan yang tercemar. Jenis
keracunana ini akan lebih mungkin terjadi apabila menggunakan pestisida yang menyebabkan
keracunan akut (Lu, 2010).

Sebagian besar cara penggunaan pestisida oleh petani adalah dengan cara
penyemprotan. Saat penyemprotan merupakan keadaan dimana petani sangat mungkin
terpapar bahan kimia yang terdapat dalam pestisida yang digunakan. Bahaya yang dapat
terjadi saat penyemprotan tersebut dapat mengakibatkan gangguan yang dapat
mengakibatkan penyakit. Gangguan yang dapat terjadi antara lain adalah gangguan
pernafasan, keracunan, gangguan pada darah dan gangguan lainnya (Rahmawati dan
Martiana, 2014).

Penggunaan pestisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus menerus pada
setiap musim tanam akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu pestisida akan
terakumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan, pencemaran pada lingkungan
pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia yang
berdampak buruk terhadap kesehatannya (Kurniasih, Setiani dan Nugraheni, 2013). Menurut
data WHO dalam Priyanto (2010), paling tidak ditemukan 20.000 orang meninggal karena
keracunan pestisida dan sekitar 5.000 – 10.000 mengalami dampak yang sangat berbahaya
seperti kanker, cacat, mandul dan hepatitis dalam setiap tahunnya. Untuk mengatasi hal
tersebut, WHO menganjurkan untuk meningkatkan riset dalam bidang toksikologi, seminar-
seminar, kajian yang tujuannya untuk mengurangi efek toksik atau dampak negatif pestisida.
Selain itu harus dilakukan pemantauan dan penyuluhan untuk memastikan bahwa pemakaian
pestisida sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggunaan haruslah ditujukan untuk membasmi organisme penggangu tanaman dan vektor
penyakit serta selektif dan menghindari seminimal mungkin kerugian yang terjadi pada
organisme nontarget (Priyanto, 2010).

Keracunan pestisida disebabkan karena paparan (eksposur) langsung oleh pestisida


(menghirup, terkena percikan, atau menyentuh sisa pestisida). World Health Organization
(WHO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) merupakan Program
Lingkungan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan telah terjadi 1-5 juta
kasus keracunan pestisida pada lingkungan pekerja di Negara sedang berkembang
(Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Menurut hasil penelitian PANAP dari Purwati (2010),
terdapat 317 kasus keracunan pestisida di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 2003.
Selain itu, menurut data Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) pada tahun 2014
terdapat 710 kasus keracunan pestisida diberbagai wilayah di Indonesia dikarenakan terpapar
pestisida baik dengan sengaja maupun tidak sengaja serta terdapat kasus keracunan pestisida
di Jawa Timur pada tahun 2015 dengan korban sebanyak 29 orang dikarenakan penggunaan
pestisida yang tidak tepat dan terpapar dengan cara terhirup. Hal tersebut membuktikan
bahwa kasus keracunan pestisida mengalami peningkatan dari tahun 2003 sampai dengan
2014.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan saya bahas
dalam makalah ini antara lain :

1. Bagaimana penggolongan pestisida ?


2. Apa sajakah resiko yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan pestisida ?
3. Bagaimana toksisitas dan keracunan dari pestisida ?
4. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya keracunan ?
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini antara
lain :

1. Penulis ingin mengetahui penggolongan pestisida.


2. Penulis ingin mengetahui resiko yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan pestisida.
3. Penulis ingin mengetahui toksisitas dan keracunan dari pestisida.
4. Penulis ingin mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan.

D. Metode Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pestisida

Pestisida (Inggris : Pesticide) berasal dari kata pest yang berarti organisme
pengganggu tanaman (hama) dan cide yang berarti mematikan atau racun. Jadi
pestisida adalah racun yang digunakan untuk membunuh hama. Menurut USEPA
(United States Environmental Protection Agency), pestisida merupakan zat atau
campuran yang digunakan unuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi
hama dalam bentuk hewan, tanaman dan mikroorganisme pengganggu (Soemirat,
2003 dalam Zulkanain, 2010).

Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI NO. 24/Permentan/SR.140/4/2011


tentang syarat dan tatacara pendaftaran pestisida menyatakan pestisida merupakan
semua zat kimia dan bahan lain serta zat renik dan virus yang dipergunakan untuk:

1) Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak


tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
2) Memberantas rerumputan;
3) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
4) Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman tidak termasuk pupuk;
5) Memeberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
piaraan dan ternak;
6) Memberantas atau mencegah hama-hama air;
7) Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
dan/atau
8) Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu
dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Sampai saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 80.000-100.000 hama dan
penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus, bakteri, organisme yang menyerupai
mikoplasma, riketsia, jamur patogen, gang-gang, dan tumbuhan parasit tingkat tinggi.
Diperkirakan terdapat 30.000 jenis gulma yang tersebar secara merata dengan 1.800
jenis gulma yang dapat menurunkan hasil panen secara serius, terdapat 3.000 jenis
nematoda yang menyerang tanaman dengan 1.000 jenis nematoda yang dapat
menimbulkan kerusakan, dan terdapat lebih dari 800.000 serangga dengan 10.000
jenis serangga dapat menyebabkan kerusakan berat pada tanaman (Sastroutomo,
1992). Pestisida secara luas digunakan untuk memberantas hama dan penyakit dalam
bidang pertanian. Selain itu pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk
membasmi nyamuk, lalat, kepinding, kecoa dan berbagai serangga pengganggu
lainnya. Meskipun 11 pengunaan pestisida sangat menguntungkan, penggunaannya
yang berlebihan dan terus-menerus dapat menimbulkan efek yang bersifat negatif baik
pada penggunanya, hewan-hewan ataupun lingkungan sekitar.

2. Penggolongan Pestisida

Pestisida dapat dibedakan berdasarkan target sasarannya, cara kerja dan


struktur kimia.

A. Berdasarkan kegunaan dan asal katanya, menurut Sastrotomo (1992) pestisida


dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Akarisida

Akarisida atau yang sering kita kenal dengan mitisida berasal dari kata akari
yang berarti kutu atau tungau, mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk membunuh kutu, tungau, atau laba-laba.

2. Algisida

Algisida berasal dari kata alga yang berarti ganggang, mengandung senyawa
kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh ganggang.

3. Avisida

Avisida berasal dari kata avis yang berarti burung. Senyawa avisida biasanya
digunakan untuk membunuh atau mengenyahkan burung.

4. Bakterisida

Bakterisida berasal dari kata bacterium yang berarti jasat renik. Bakterisida
mengandung senyawa kimia beracun yang dapat digunakan untuk membunuh
bakteri.

5. Fungisida

Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur yang mengandung
senyawa kimia beracun dan bisa digunakan ntuk membunuh atau mencegah
jamur.

6. Herbisida
Herbisida berasal dari kata herba yang memiliki arti tumbuhan semusim.
Herbisida mengandung senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk
membunuh tumbuhan pengganggu yang sering disebut dengan gulma.

7. Insektisida

Insektisida berasal dari kata insectum yang memiliki arti hewan berkuku.
Insektisida merupakan suatu bahan yang mengandung senyawa kimia beracun
yang dapat membunuh segala jenis serangga.

8. Larvisida

Larvasida berasal dari kata lar yang berarti topeng atau hantu. Larvasida
merupakan suatu senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh
larva.

9. Moluskisida

Moluskisida berasal dari kata molluscus yang berarti tulang kerang lunak atau
berkulit tipis. Moluskisida merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan
untuk membunuh bekicot, kerang atau hewan bertulang lunak lainnya.

10. Nematisida

Nematisida berasal dari kata nematode yang memiliki arti benang. Nematisida
merupakan racun yang dapat digunakan untuk mengendalikan hewan dengan
jenis nematode seperti cacing.

11. Ovisida

Ovisida berasal dari kata ovum yang berarti telur. Ovisida merupakan racun
yang dapat digunakan untuk membunuh telur.

12. Piscisida

Piscisida berasal dari kata piscis yang memiliki arti ikan. Piscisida merupakan
bahan senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mengandalikan ikan
mujair yang biasanya menjadi hama di dalam tambak atau kolam.

13. Predisida

Predisida berasal dari kata praeda yang berarti predator. Predisida sendiri
merupakan senyawa kimia beracun yang biasanya digunakan untuk
membuhun hewan predator atau pemangsa seperti ular.

14. Rodentisida
Rodentisida berasal dari kata roden yang berarti hewan penggerat. Rodentisida
merupakan racun kimia yang dapat digunakan untuk membunuh hewan-hewan
pengegerat seperti tikus.

15. Silvisida

Silvisida berasal dari kata silva yang berarti hutan. Silvisida adalah bahan
racun kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh pohon liar yang
terdapat di hutan.

16. Termitisida

Termitisida berasal dari kata termes yang memiliki arti acing perusak kayu.
Termitisida merupakan senyawa kimia berbahaya yang biasanya digunakan
untuk membunuh rayap.

17. Atraktans

Antraktans merupakan suatu senyawa kimia yang dapat digunakan untuk


memikat serangga.

18. Khemosterilan

Khemosterilan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk membuat


serangga, burung atau hewan pengerat lainnya menjadi mandul.

19. Defolian

Defolian adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai peluruh daun.

20. Desikan

Desikan adalah senyawa kimia yang dapt digunakan untuk mempercepat


pengeringan pada tumbuhan.

21. Feromon

Sama halnya seperti atraktans, feromon juga merupakan senyawa yang dapat
digunakan untuk memikat serangga atau hewan vertebrata.

22. Repelan

Repelan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengenyahkan


serangga, kutu, tungau, anjing dan lainnya.

B. Jika dilihat dari cara kerjanya, pestisida dapat digolongkan menjadi berikut
(Djojosumarto, 2000):
A. Insektisida Menurut cara kerja atau gerakannya pada tanaman setelah
digunakan, insektisida secara kasar dapat dibedakan menjadi:
a. Insektisida Sistemik

Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui


akar, batang ataupun daun. Kemudian insektisida sistemik tersebut akan
mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke tanaman-
tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke bawah, termasuk juga ke tunas
yang baru tumbuh. Contoh insektisida sismetik adalah Furatiokarb,
Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos.

b. Insektisida Nonsistemik

Insektisida nonsistemik setelah digunakan pada tanaman maka tidak


akan diserap oleh jaringan tanaman, namun hanya menempel pada bagian
luar tanaman saja. Sebagian besar insektisida yang dijual dipasaran
Indonesia adalah insektisida nonsistemik. Contohnya adalah Dioksikarb,
Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos.

c. Insektisida Sistemik Lokal

Insektisida sistemik lokal merupakan kelompok insektisida yan dapat


diserap oleh tanaman umumnya bagian daun, namun tidak dapat
disalurkan ke bagian tanaman lainnya. Insektisida yang berdaya kerja
translaminar atau insektisida yang mempunyai daya penetrasi ke dalam
jaringan merupakan kategori dari insektisida sistemik lokal. Contohnya
adalah Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dapat


dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

a. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun lambung merupakan insektisida yang dapat membunuh


serangga yang menjadi sasaran apabila insektisida tersebut masuk ke
dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran
pencernaan. Kemudian insektisida tersebut akan dibawa oleh cairan
tubuh serangga menuju susunan saraf serangga. Insektisida yang sering
disebut sebagai racun perut adalah Bacillus thuringiensis.

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh


serangga lewat kulit. Serangga hama dapat mati apabila bersinggungan
langsung dengan insektisida tersebut. Beberapa racun kontak juga
dapat berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang
memiliki sifat yang kuat terhadap racun kontak antara lain Diklorfos
dan Pirimifos metil.

c. Racun Pernafasan

Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran


pernafasan. Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida
dalam jumlah yang cukup. Sebagian besar racun pernafasan berupa
gas, atau apabila wujud asalnya padat atau cair yang dapat berubah
atau menghasilkan gas apabila diaplikasikan sebagai fumigansi (gas)
seperti Bromide dan Alumunium fosfida. Terdapat juga insektisida
berupa racun kontak ataupun racun perut yang memiliki efek sebagai
fumigansi seperti Diafentiuron.

B. Fungisida

Pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur menurut efeknya


terhadap jamur dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah
senyawa yang memiliki efek fungistatik, yaitu senyawa yang hanya mampu
menghentikan perkembangan jamur, namun jamur dapat berkembang lagi
apabila senyawa fungistatik tersebut telah hilang. Kedua adalah senyawa yang
memiliki efek fungitoksik atau efek fungisida, yaitu senyawa mampu
membunuh jamur, dan jamur tidak akan berkembang lagi meskipun senyawa
tersebut telah hilang, kecuali terjadi infeksi jamur yang baru.

Berdasarkan cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang


diaplikasikan, fungisida dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Fungisida Nonsistemik (Fungisida kontak, Fungisida Residual


Protektif)

Sama halnya seperti insektisida, fungisida nonsistemik


tidak dapat diserap oleh tanaman. Fungisida nonsistemik hanya
membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman,
umumnya daun yang merupakan tempat disemprotkannya
fungisida. Fungisida nonsistemik berfungsi untuk mencegah
terjadinya infeksi yang disebabkan oleh jamur dengan cara
menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang
menempel di permukaan daun tanaman. Oleh karena itu,
fungisida nonsistemik berfungsi sebagai protektan dan hanya
efektif bila digunakan sebelun tanaman terinfeksi oleh
penyakit. Dikarenakan fungsinya sebagai protektan, fungisida
nonsistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman dapat
terlindungi dari infeksi yang baru. Contoh fungisida nonsitemik
adalah Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan
Probineb.

b. Fungisida Sistemik

Fungsida sistemik diabsorsi oleh organ-organ tanaman


dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya lewat aliran
cairan tanaman. Bisa didistribusikan ke atas yaitu dari akar
menuju daun, bisa juga didistribusikan ke bawah yaitu dari
daun menuju akar. Contoh fungisida sistemik adalah Benomil,
Difenokonazol, Karbendazim, Matalaksil, Propikonazol, dan
Triadimefon.

Fungisida sistemik memiliki kelebihan jika


dibandingkan dengan fungisida nonsitemik, adapun
kelebihannya adalah sebagai berikut:

● Fungisida sistemik mampu menghambat infeksi jamur


yang sudah masuk ke dalam jaringan tanaman.
Sehingga fungisida ini dapat diaplikasikan sebagai
protektif, kuratif dan juga eradikatif.
● Dikarenakan fungisida sistemik diserap oleh tanaman
dan didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, maka
efektivitasnya relatif tidak terlalu tergantung pada
coverange semprotan.
● Fungisida yang diserap oleh tanaman tidak akan hilang
apabila terjadi hujan, sehingga tidak perlu terlalu sering
diaplikasikan.
c. Fungisida Sistemik Lokal

Fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan oleh jaringan


tanaman, namun tidak ditranlokasikan ke bagian tanaan yang
lainnya. Adapun contohnya adalah Simoksanil.

Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi


jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Multiside Inhibitor

Multiside inhibitor adalah fungisida yang bekerja untuk mengambat


beberapa proses metabolisme jamur. Sifatnya yang multiside inhibitor
(bekerja dibanyak tempat), membuat fungisida tersebut tidak mudah
atau kurang menimbulkan masalah resistensi jamur. Fungisida yang
bersifat multiside inhibitor umumnya berspektrum pengendalian yang
lebih luas daripada fungisida yang bersifat monoside inhibitor. Contoh
dari multiside inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb,
Ziram, dan Thiram.

b. Monoside Inhibitor

Monoside inhibitor disebut juga sebagai side specific, yaitu fungisida


yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme
jamur, misalnya hanya menghambat sistesis protein saja. Dikarenkana
sifatnya yang hanya bekerja disatu tempat saja, fungisida monoside
inhibitor umumnya berspektrum sempit dan mudah menimbulkan
resistensi. Contoh dari monoside inhibitor adalah Metalaksil,
Oksadisil, dan Benalaksil.

C. Herbisida

Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok sebagai


berikut :

a. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput,


misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin.
b. Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan pakis,
misalnya 2,4-D, MCPA.
c. Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai
herbisida nonselektif. Herbisida jenis ini mampu membunuh semua
tumbuhan hijau termasuk tanaman pokok, misalnya Glifosat, Glufosinat,
dan Paraquat.

Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya


yaitu sebagai berikut :

a. Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides), yaitu herbisida yang aktif di


tanah dan bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh
herbisida tanah adalah herbisida kelompok urea (Diuron, Linuron,
Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin), karbamat (Asulam,
Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor,
Pretilaklor), dan urasil (Bromasil). Herbisida tanah pada umumnya
memiliki sifat yang sistemik.
b. Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh. Herbisida jenis
ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: Herbisida kontak, yaitu
herbisida yang membunuh jaringan tanaman gulma yang terkena
langsung oleh herbisida tersebut. Herbisida ini tidak ditranslokasikan
di dalam jaringan gulma bagian lainnya. Sehingga, herbisida ini
umumnya hanya mengendalikan gulma yang berada di atas tanah.
Contohnya adalah Propanil, Paraquat, dan Diquat. Herbisida yang
ditranslokasikan keseluruh bagian gulma (sistemik). Atau disebut juga
dengan translocated herbicides. Karena sifatnya yang sitematik,
sehingga herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang ada
dibawah tanah. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat. Selain kedua
kelompok utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah yang aktif
terhadap gulma yang baru tumbuh, misalnya beberapa herbisida dari
jenis urea dan triazim.
C. Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat dibagi sebagai berikut (Depkes RI,
2000):
1. Senyawa Golongan Organoklorin

Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom


karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga
disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong
memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam
lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu
susunan syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida
golongan ini berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik
sebagai pelarut. Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh udara,
cahaya, panas, dan karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat rusak oleh
asam kuat, namun bisa rusak dengan basa dimana pestisida jenis ini akan
menjadi tidak stabil dan mengalami deklorinase.

Senyawa organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui udara, saluran


pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam bentuk serbuk,
absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila digunakan
sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka toksisitasnya akan
meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk menembus membran sel
dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam jaringan lemak tubuh. Karena
bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di dalam sel-sel yang banyak
mengandung lemak, seperti pada susunan saraf pusat, hati, ginjal, dan otot
jantung. Di dalam organ-organ ini, senyawa organoklorin dapat merusak
fungsi dari sistem enzim dan menghambat aktivitas bikokimia sel.

Salah satu jenis organoklorin yang paling dikenal adalah Dikloro


Difenil Trichloroethane atau DDT. Ditemukan tahun 1874 oleh Zeidler
seorang sarjana kimia yang berasal dari Jerman. Sejak 1 Januari 1973,
penggunaan DDT dilarang dan diberhentikan oleh Badan Proteksi Lingkungan
di Amerika. Hal tersebut dikarenakan DDT dapat membahayakan kehidupan
dan lingkungan karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat
terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan.

Tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis rendah yaitu


pusing-pusing, mual, sakit kepala, serta tidak dapat berkonsentrasi secara
sempurna. Sedangkan tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada dosis
yang tinggi dapat menyebabkan kejang-kejang, muntah, dan dapat terjadi
gangguan pada pernafasan.

2. Senyawa Golongan Organofosfat

Senyawa organosfosfat merupakan senyawa yang paling banyak


memiliki anggota dan terdiri dari beberapa kelompok. Senyawa ini pertama
kali ditemukan oleh Dr. Gerhard Shrader yang bersal dari Jerman. Senyawa
organosfosfat tidak stabil sehingga dari segi lingkungan senyawa ini lebih baik
dari pada organoklorin. Namun, senyawa organofosfat memiliki sifat lebih
toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika dibandingkan dengan
senyawa organoklorin. Senyawa organosfosfat dapat mempengaruhi sistem
saraf dan mempunyai cara kerja menghambat enzim cholinesterase.

Berdasarkan rantai karbon yang dimiliki, insektisida organosfosfat


dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok (Sastroutomo, 1992) :

a. Turunan Alifatik, golongan ini merupakan senyawa organosfosfat yang


memiliki rangkaian karbon yang lurus dan pendek. Sifat racun yang
terdapat dalam turunan ini berbeda satu sama lainnya dan pada
umumnya memiliki daya larut dalam air yang tinggi. Contoh dari
turunan alifatik adalah Asefat, Dikhlorvos, Disulfoton, Malation,
Etion, Metamidofos, Monokrotofos, dan Naled.
b. Turunan Fenil, golongan ini mengandung benzene dengan satu rantai
hidrogennya diganti oleh atom lain. Turunan fenil biasanya lebih stabil
dibandingkan dengan turunan alifatik, namun residu yang dimilikinya
dapat bertahan lebih lama. Turunan fenil dapat ditandai dengan adanya
cincin fenil pada rantai struktur molekulnya. Contoh dari turunan fenil
adalah Paration-etil, Paration-metil, Izofenfos, dan Profenofos.
c. Turunan heterosiklik, senyawa heterosiklik merupakan senyawa yang
memiliki struktur cincin yang memiliki atom-atom bebeda. Dalam
senyawa ini, satu atau lebih atom karbon digantikan baik dengan
oksigen, nitrogen atau sulfur sementara cincinnya dapat memiliki tiga,
lima atau enam atom. Pada umumnya senyawa ini memiliki aktifitas
yang lebih lama jika dibandingkan dengan turunan alifatik atau fenil.
Dikarenakan strukturnya yang komplek sehingga bahan-bahan hasil
metabolismenya lebih banyak dan sulit untuk diidentifikasi di 28
laboratorium. Contoh dari turunan heterosiklik adalah Azinfos-metil,
Fention, Klorfirifos, dan Metidation.

Sifat umum dari senyawa organofosfat adalah :

● Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap chorinatet


hydrocarbon atau organoklorin.
● Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk jangka
waktu yang lama karena degradasinya berlangsung dengan cepat atau
tingkat persistensi rendah.
● Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang dan manusia,
jika dibandingkan dengan organoklorin.
● Menimbulkan resistensi terhadap berbagai macam serangga. o
Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim cholinesterase.
● Kurang mempunyai efek yang lama terhadap organisme non target.
● Merupakan racun yang tidak selektif (selain menyerang organisme
target juga menyerang organisme non target).

Gejala yang ditimbulkan akibat keracunan pestisida golongan


organofosfat terhadap fungsi enzim cholinesterase, timbul gerakan otototot
tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat,
air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntahmuntah, detak
jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan
akhirnya pingsan. Apabila tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan
kematian.

3. Senyawa Golongan Karbamat

Insekisida golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti


juga insektisida dari golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa
golongan ini tidak banyak berbeda dengan senyawa golongan organosfosfat
baik dari segi aktivitas maupun daya racunnya. Kedua jenis golongan ni juga
memiliki residu yang tidak dapat bertahan lama di alam. Senyawa karbamat
merupakan turunan dari asam karbamik HO-CONH2. Seperti halnya pada
senyawa golongan organosfosfat, senyawa golongan karbamat juga
menghambat kerja enzim cholinesterase.

Insektisida golongan karbamat pertama kali ditemukan oleh Ciba


Geigy yang berasal dari Swiss pada tahun 1951. Contoh dari pestisida
golongan karbamat adalah Baygon, Bayrusil, Karbaril, Karbofuran, dan
Tiodikarb. Dalam beberapa kasus yang terjadi, senyawa golongan karbamat
umunya berabsorpsi melalui kulit, udara dan dalam jumlah kecil melalui oral.
Gejala keracunan yang ditimbulkan hampir sama dengan gejala keracunan
pada senyawa jenis organosfosfat hanya saja berlangsung lebih singkat karena
cepat terurai dalam tubuh. Selain itu efek dari keracunan karbamat biasanya
reversible (dapat pulih) dan durasinya singkat.

4. Senyawa Golongan Dinitrofenol

Senyawa dari golongan ini merupakan fenol dengan dua gugus nitro
(NO2) yang terikat pada dua atom karbonnya. Senyawa dengan golongan ini
memiliki spectrum yang luas sehingga bisa digunakan sebagai insektisida,
fungisida dan herbisida. Pestisida golongan ini berperan dalam memacu proses
pernafasan sehingga menghasilkan energi yang berlebihan dari yang
diperlukan. Akibatnya dapat menimbulkan proses kerusakan jaringan di dalam
tubuh. Contoh dari pestisida ini adalah Morocidho 40EC.

5. Piretroid

Pertama kali digunakan sebagai insektisida didaerah Asia pada tahun


1800. Secara alamiah piretroid diperoleh dari ekstrak Bungan chrysanthemum.
Senyawa aktifnya adalah piretrin I dan II cinerin I dan II, dan jasmolin I dan
II, yang merupakan ester dari tiga alkohol, pyrethrolone, cinerolone, dan
jasmolone, dengan asam chrysanthemic dan pyrethric. Karena sifat toksiknya
terhadap mamalia yang sangat rendah dibanding pestisida jenis lain, piretroid
banyak digunakan sebagai bahan aktif dari produk insektisida yang ada di
pasaran.

Pada umumnya piretroid mengalami metabolisme pada mamalia


melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi. Tidak ada kecenderungan
terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan terhadap piretroid. Piretroid
bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan cara mempengaruhi
permeabilitas membran terhadap ion, sehingga mengganggu impuls saraf.
Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah Deltametrin, Permetrin,
Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate, Siflutrin, Fenpropatrin,
Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin, dan Bioresmetrin.

6. Fumigan

Fumigan adalah senyawa atau campuran yang menghailkan gas, uap


atau asap untuk membunuh serangga, cacing, bakteri ataupun tikus. Fumigan
biasanya memiliki berat molekul yang kecil, mudah menguap, dan dapat
berubah menjadi gas pada suhu di atas 40ºF. Biasanya lebih berat dari udara
dan mengandung satu ataupun lebih unsur halogen (Cl, Br, dan F). Hampir
semua senyawa ini mampu menembus jaringan kulit serangga 31 dan juga
bahan-bahan lainnya. Fumigan digolongkan sebagai narkotik. Cara kerja
fumigan lebih banyak secara fisikal daripada kimiawi. Fumigan merupakan
senyawa yang larut dalam lemak dan memiliki pengaruh yang tidak dapat
dikembalikan lagi. Fumigan dapat menyebabkan narcosis, tidur, dan tidak
sadar kemudian mematikan. Contoh pestisida golongan fumigant adalah
Chlorofikrin, Ethylendibromide, Naftalene, Metylbromide, Formaldehide, dan
Fostin.

7. Petroleum
Pestisida jenis ini terbuat dari minyak bumi seperti minyak tanah.
Minyak tanah ini secara alami dapat berfungsi sebagai herbisida. Contoh
pestisida golongan petroleum adalah minyak tanah.

8. Antibiotik

Senyawa antibiotik juga bisa digunakan sebagai pestisida. Hal tersebut


dikarenakan senyawa antibiotik berfungsi sebagai pembunuh mahluk hidup
yang ada disekitarnya. Senyawa antibiotik ini biasanya dimanfaatkan sebagai
bakterisida dan fungisida. Contoh pestisida golongan antibiotik adalah
Penicillin, Tetrasiklin, dan Khlorampenikol.

3. Resiko Penggunaan Pestisida

Pestisida merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat toksik (beracun).


Dikarenakan memiliki sifat yang beracun, maka penggunaan pestisida selalu
mengandung resiko baik bagi pengguna maupun bagi lingkungan. Adapun beberapa
risiko penggunaan pestisida khususnya dalam bidang pertanian adalah sebagai
berikut:

1. Risiko bagi Keselamatan Pengguna

Risiko bagi keselamatan pengguna merupakan kontaminasi


pesisida secara langsung, yang dapat menyebabkan keracunan.
Keracunan sendiri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu keracunan akut
ringan, keracunan akut berat dan keracunan kronis.

a. Keracunan yang bersifat akut ringan dapat menimbulkan gejala


seperti sakit kepala, pusing, mual, muntah dan lainnya.
Beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi pada kulit bahkan
dapat menyebakan kebutaan.
b. Keracunan pestisida akut berat dapat menyebabkan penderita
tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan sampai meninggal
dunia.
c. Keracunan pestisida kronis lebih sulit untuk dideteksi karena
orang yang mengalaminya cenderung tidak sadar, namun dalam
jangka yang cukup panjang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering
dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya iritasi
mata dan kulit, kanker, cacat pada bayi, serta gangguan saraf,
hati, ginjal dan pernafasan.

2. Risiko bagi Konsumen


Risiko yang dialami oleh konsumen cenderung dikarenakan
oleh keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk
pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung
karena mengkonsumsi produk pertanian yang tercemar pestisida atau
lewat rantai makanan. Konsumen cenderung dapat mengalami
keracunan kronik, dikarenakan dampak dari karacunan tidak dapat
langsung dirasakan namun dalam jangka waktu yang panjang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan.

3. Risiko bagi Lingkungan

Risiko penggunaan pestisida dilingkungan dapat digolongkan menjadi


dua kelompok sebagai berikut:

a. Bagi lingkungan umum, gangguan pestisida dapat


menyebabkan beberapa hal sebagai berikut: Terbunuhnya
organisme non-target akibat terpapar oleh pestisida secara
langsung. Terbunuhnya organisme non-target dikarenakan
pestisida merasuki rantai makanan. Terjadinya pencemaran
lingkungan seperti air, udara dan tanah. Menumpuknya
pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai
makanan (bioakumulasi). Menimbulkan efek negatif terhadap
manusia secara tidak langsung melalui rantai makanan.
b. Bagi lingkungan pertanian, penggunaan pestisida dapat
menyebabkan beberapa hal sebagai berikut: Menurunnya
kepekaan hama, penyebab penyakit, dan gulma terhadap
pestisida tertentu yang berpuncak pada kekebalan (resistensi)
hama, penyakit dan gulma terhadap pestisida Dapat terjadinya
resurjensi hama, yaitu fenomena meningkatnya serangan hama
tertenu sesudah diberikan perlakuan insektisida. Timbulnya
hama yang biasanya tidak penting atau timbulnya ledakan hama
sekunder. Terbunuhnya musuh alami hama. Perubahan flora,
misalnya penggunaan herbisida secara terus menerus untuk
mengendalikan gulma daun lebar akan merangsang
perkembangan gulma daun sempit. Dapat meracuni tanaman
apabila salah menggunakannya.
4. Dampak Bagi Sosial Ekonomi

Pengunaan pestisida juga bisa mempengaruhi social ekomoni,


seperti misalnya : Penggunaan pestisida yang tidak terkendali dapat
menyebabkan biasa produksi menjadi lebih tinggi Timbulnya
hambatan perdangan diakibatkan residu pestisida pada bahan makanan
ekspor lebih tinggi Timbulnya biaya sosial yaitu biaya pengobatan dan
hilangnya hari kerja yang diakibatkan oleh keracunan pestisida.
4. Toksisitas dan Keracunan Pestisida

Terdapat perbedaan yang nyata antara toksisitas dengan bahaya keracunan


pestisida. Toksisitas merupakan daya racun yang dimiliki oleh senyawa pestisida,
dengan kata lain, seberapa kuat daya racunnya terhadap jenis hewan pada konsidi
percobaan yang dilakukan di laboratorium. Sedangkan bahaya keracunan merupakan
bahaya atau risiko keracunan dari seseorang pada wkatu sejenis pestisida sedang
digunakan.

A. Toksisitas Pestisida

Toksisitas pestisida atau daya racun pestisida terhadap organisme


tertentu biasanya dinyataan dalam nilai LD 50 (Lethal Dose). LD 50
menunjukkan banyaknya racun persatuan berat organisme yang dapat
membunuh 50% dari populasi jenis binatang yang digunakan untuk pengujian,
biasanya dinyatakan sebagai berat bahan racun dalam milligram, perkilogram
berat satu ekor binatang uji. Jadi semakin besar daya racunnya semakin besar
dosis pemakainnya. Pelabelan pestisida biasanya memuat kata-kata simbol
yang tertulis dengan huruf tebal dan besar yang berfungsi sebagai pemberi
informasi. Adapun kategori-kategori yang terdapat dalam pelabelan pestisida
adalah sebagai berikut:

1. Kategori I

Kata–kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan simbol


tengkorak dengan gambar tulang bersilang dimuat pada label bagi
semua jenis pestisida yang sangat beracun. Semua jenis pestisida yang
tergolong dalam jenis ini mempunyai LD50 yang aktif dengan kisaran
antara 0-50 mg per kg berat badan.

2. Kategori II

Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk


senyawa pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan,
dengan daya racun LD 50 oral yang akut mempunyai kisaran antara
50-500 mg per kg berat badan.

3. Kategori III

Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam


kategori ini ialah semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan
LD 50 akut melalui mulut berkisar antara 500-5000 mg per kg berat
badan

B. Keracunan Pestisida
Terdapat empat macam pekerjaan yang dapat menimbulkan terjadinya
kontaminasi dalam penggunaan pestisida, yaitu :

1. Membawa, menyimpan, dan memindahkan konsentrat pestisida


(produk pestisida yang belum diencerkan)
2. Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan atau disemprot
3. Mengaplikasikan atau menyemprot pestisida
4. Mencuci alat-alat aplikasi sesudah aplikasi selesai

Dari keempat pekerjaan tersebut, yang paling sering menimbulkan


terjadinya kontaminasi adalah pekerjaan mengaplikasikan terutama pada saat
melakukan penyemprotan pestisida. Namun, yang paling berbahaya adalah
pekerjaan mencampur pestisida. Hal tersebut dikarenakan pada saat
mencampur pestisida, kita bekerja dengan konsentrat (pestisida dengan kadar
tinggi), sedangkan pada saat melakukan penyemprotan, kita bekerja dengan
pestisida yang sudah diencerkan.

Pestisida sendiri dapat masuk kedalam tubuh manusia atau hewan


melalui beberapa cara berikut ini (Depkes RI, 2011):

1. Kontaminasi melalui Kulit (Dermal Contamination)

Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat meresap


kedalam tubuh serta dapat menimbulkan keracunan. Terjadinya
kontaminasi pestisida melalui kulit merupakan salah satu kontaminasi
yang paling sering terjadi. Jenis pekerjaan yang dapat menimbulkan
resiko tinggi akan terjadinya kontaminasi melalui kulit adalah pada
saat penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk juga pemaparan
langsung oleh droplet drift pestisida atau secara tidak langsung
mengusap wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang
terkontaminasi pestisida.

Tingkat bahaya kontaminasi pestisida melalui kulit dapat


dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut:

● Toksisitas dermal (dermal LD50) Pestisida yang bersangkutan,


berarti semakin rendah angka LD50 maka akan semakin
berbahaya.
● Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, semakin pekat
pestisida yang menempel maka akan semakin berbahaya.
● Formulasi pestisida, misalnya, formulasi EC dan ULV akan
lebih mudah diserap kulit daripada formulasi butiran.
● Jenis atau bagian kulit yang terpapar, pada bagian mata
biasanya mudah sekali meresapkan pestisida.
● Kulit punggung pada tangan juga lebih mudah meresapkan
pestisida jika dibaningkan dengan kulit telapak tangan.
● Luas kulit yang terpapar, dimana semakin lama kulit terpapar,
maka akan semakin besar resikonya.
● Lamanya kulit terpapar, dimana semakin lama kulit terpapar,
maka akan semakin besar resikonya.
● Kondisi fisik seseorang, semakin lemah kondisi fisik seseorang,
maka akan semakin tinggi resiko mengalami keracunan
pestisida
2. Terhisap melalui Saluran Pernafasan (Inhalation)

Gas dan partikel semprotan yang sangat halus sepeti kabut asap
dan fogging dapat masuk ke dalam paru-paru, sedangkan partikel yang
lebih besar akan menempel pada selaput lendir hidung atau
kerongkongan. Bahaya menghirup pestisida lewat saluran pernafasan
juga dipengaruhi oleh LD50 pestisida yang terhisap, ukuran partikel,
dan bentuk fisik pestisida.

Pestisida yang berbentuk gas akan lebih mudah masuk ke


dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang
berkurang kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun
droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron tidak dapat mencapai
paru-paru tetapi dapat menimbulkan gangguan pada selaput lendir
hidung dan kerongkongan.

Adapun pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya


kontaminasi pestisida melalui saluran pernafasan adalah kegiatan
menimbang ataupun mencampur pestisida di ruangan tertutup atau
ruangan yang memiliki ventilasi buruk, kegiatan mengaplikasikan
pestisida terutama yang berbentuk gas atau 38 yang menimbulkan gas.
Adapun gas beracun yang terhisap dapat ditentukan oleh:

● Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara.


● Lamanya pemaparan.
● Kondisi fisik pengguna pestisida.
3. Masuk ke dalam Saluran Pencernaan melalui Mulut (Oral)

Terjadinya keracunan pestisida melalui mulut (oral) sebenarnya


jarang terjadi jika dibandingkan dengan kontaminasi pada kulit.
Keracunan pestisida melalui mulut (oral) biasanya dapat terjadi akibat:

● Adanya keinginan bunuh diri dengan cara meminum/memakan


pestisida.
● Melakukan kegiatan makan, minum, ataupun merokok pada
saat sedang bekerja dengan pestisida.
● Drift pestisida terbawa oleh angin sehingga masuk ke dalam
mulut.
● Makanan dan minuman yang terkontaminasi pestisida, seperti
adanya bahan makanan yang diangkut atau disimpan
berdekatan dengan pestisida yang bocor atau menyimpan
makanan dalam bekas wadah atau kemasan pestisida.

Besar resikonya keracunan pestisida melalui mulut (oral) dapat


dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut:

● LD50 (oral) dari bahan aktif dan LD50 Produk.


● Kuantitas bahan aktif yang tertelan.
● Formulasi Pestisida, misalnya tambahan zat lain (solvent,
carrier) yang bersifat racun, atau meningkatkan daya racun.
Kondisi fisik yang bersangkutan.

Menurut Quijano (1999), tipe keracunan pestisida dapat dibedakan


menjadi dua, yaitu:

a. Keracunan Akut

Keracunan akut merupakan keracunan yang terjadi atau dapat


dirasakan langsung setelah seseorang melakukan kontak dengan
pestisida. Keracunan akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahan-bahan
racun yang larut air dan dapat menimbulkan gejala keracunan tidak
lama setelah racun terserap ke dalam tubuh jasad hidup. Keracunan
akut biasanya terjadi karena dosis pestisida yang digunakan terlalu
banyak sehingga tubuh terpapr zat kimia secara berlebihan. Walaupun
semua keracunan akut dapat menyebabkan gejala sakit atau kematian
hanya dalam waktu beberapa saat setelah masuk ke dalam tubuh,
namun sifatnya yang sangat mudah dirombak oleh suhu yang tinggi,
pencucian oleh air hujan dan sungai serta faktor-faktor fisik dan
biologis lainnya 40 menyebabkan racun ini tidak memegang peranan
penting dalam pencemaran lingkungan. Keracunan akut dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:

● Efek Lokal

Efek lokal dapat terjadi jika efek hanya mempengaruhi


bagian tubuh yang mengalami kontak dengan pestisida.
Misalnya pestisida mengenai kulit, maka kulit akan mengalami
iritasi, kemerahan, dan bisa menjadi kering.

● Efek Sistemik
Efek Sistemik dapat terjadi apabila pestisida masuk ke
dalam tubuh dan mempengaruhi sistem dalam tubuh. Kemudian
pestisida akan di bawa oleh darah menuju seluruh bagian tubuh
dan dapat mempengaruhi mata, jantung, paru-paru, ginjal, hati,
lambung, otot, safat, dan otak.

b. Keracunan Kronis

Keracunan kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu


yang relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi)
dalam lemak yang terkandung dalam tubuh. Keracunan kronis juga
dapat mencemari lingkungan (air, tanah) dengan cara meninggalkan
residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah menjadi zat yang
tidak beracun, karena kuatnya ikatan kimianya. Efek kronis bisa
muncul karena tubuh terpapar pestisida dalam dosis yang sedikit
namun dalam jangka waktu yang lama. Efek-efek jangka panjang ini
dapat muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
setelah terkena pestisida. Pestisida memberikan dampak kronis pada
sistem syaraf, hati, perut, sistem kekebalan tubuh, keseimbangan
hormon, kanker

Setiap golongan pestisida memiliki gejala keracunan yang


berbeda-beda dikarenakan bahan aktif yang dikantung setiap golongan
berbeda-beda. Adapun gejala-gejala keracunan bebrapa golongan
pestisida adalah sebagai berikut:

1) Golongan Organosfosfat

Gejala keracunannya adalah timbul gerakan otot-otot


tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak
berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-
kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret,
sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan.
Apabila tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan
kematian. Organofosfat menghambat kerja enzim cholineterase,
enzim ini secara normal menghidrolisis achethilcholin menjadi
asam asetat dan cholin. Pada saat enzim dihambat,
mengakibatkan jumlah achethilcholin meningkat dan
terakumulasi Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan
sistem syaraf yang berupa aktifitas kholinergik secara terus
menerus akibat asetilkolin yang tidak dihidrolisis.

2) Golongan Karbamat
Cara kerja senyawa golongan ini menyerupai golongan
organosfosfat. Dikarenakan senyawa karbamat cepat terurai
maka pengaruhnya terhadap enzim cholinesterase menjadi tidak
beraturan. Senyawa golongan ini dapat masuk melalui kulit,
mulut, dan juga saluran pernafasan. Gejala keracunan yang
ditimbulkan oleh senyawa ini juga tidak berbeda dengan
senyawa golongan organofosfat.

3) Golongan Organoklorin

Tanda-tanda keracunan senyawa organoklorin pada


dosis rendah yaitu pusing-pusing, mual, sakit kepala, serta tidak
dapat berkonsentrasi secara sempurna. Sedangkan tanda-tanda
keracunan senyawa organoklorin pada dosis yang tinggi dapat
menyebabkan kejang-kejang, muntah, dan dapat terjadi
gangguan pada pernafasan.

4) Golongan Bipiridilium

Setelah 1-3 jam pestisida masuk dalam tubuh baru


timbul sakit perut, mual, muntah-muntah, dan diare. Senyawa
ini dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, hati, dan paru-
paru. Jika secara tidak sengaja terminum dosis yang tinggi,
maka dapat menyebabkan kejang-kejang dan meninggal.

5) Golongan Arsen

Golongan arsen dapat menyebabkan keracunan apabila


terhisap. Daya kerjanya ialah meracuni sel-sel serta
mempengaruhi fungsi enzim tertentu dan memperlambat fungsi
tubuh. Gejala keracunan arsen pada tingkat akut akan
menimbulkan rasa nyeri pada perut, muntah, dan diare,
sementara keracunan semi akut ditandai dengan sakit kepala
dan banyak keluar air ludah.

6) Golongan Antikoagulan

Gejala yang ditimbulkan apabila keracunan pestisida


golongan antikoagulan ialah nyeri punggung, lambung dan
usus, muntah-muntah, perdarahan hidung dan gusi, kulit
berbintik-bintik merah, kerusakan ginjal.

5. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan


1. Faktor dalam tubuh (Internal) antara lain :
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang
hidup maka umur pun akan bertambah. Seiring dengan bertambahnya
umur maka fungsi metabolisme tubuh juga akan mengalami menurun.
Semakin bertambah umur maka rata-rata aktivitas cholinesterase darah
semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan
pestisida. Umur juga berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam
mengatasi tingkat toksisitas suatu zat, semakin bertambahnya umur
seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di dalam tubuh akan
semakin berkurang.

b. Status Gizi

Buruknya keadaan gizi seseorang dapat mengakibatkan


turunnya daya tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap
infeksi. Enzim cholinesterase terbentuk dari protein, dengan kondisi
gizi yang buruk, mengakibatkan protein yang ada dalam tubuh sangat
terbatas sehingga pembentukan enzim cholinesterase akan terganggu.
Sehingga orang yang memiliki tingkat status gizi baik cenderung
memiliki kadar rata-rata cholinesterase lebih besar.

c. Status Kesehatan

Achethilcholin berperan sebagai neurotransmiter pada ganglion


simpatis maupun parasimpatis, dimana achethilcholin akan berikatan
dengan reseptor kolinergik nikotinik. Inhibisi cholinesterase pada
ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan simpatis dengan
manifestasi klinis midriasis, dan peningkatan heart rate. Meningkatnya
detak jantung akan mengakibatkan peningkatan curah jantung. Curah
Jantung yang meningkat ini bersama sama dengan tekanan perifer akan
mempengaruhi peningkatan tekanan darah.

d. Jenis Kelamin

Kadar cholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-


rata 4,4ug/ml. Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim
cholinesterase, jenis kelamin laki-laki memiliki aktivitas enzim
cholinesterase lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan,
meskipun demikian tidak dianjurkan perempuan menyemprot dengan
menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata
cholinesterase cenderung turun.

e. Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida
dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat
pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat
pendidikan tinggi akan lebih baik.

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)


a. Dosis

Semua jenis pestisida merupakan racun, penggunaan dosis yang


semakin besar maka semakin besar terjadinya keracunan pestisida.
Karena bila dosis penggunaan pestisida bertambah, maka efek dari
pestisida juga akan bertambah. Peenggunaan dosis yang tidak sesuai
mempunyai risiko 4 kali untuk terjadi keracunan dibandingkan
penyemprotan yang dilakukan sesuai dengan dosis aturan (Afriyanto,
2008).

b. Lama kerja

Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering


kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida
semakin tinggi. Penurunan aktivitas cholinesterase dalam plasma darah
karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar
hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.

c. Jenis Pestisida

Penggunaan jenis pestisida dapat mengakibatkan dikarenakan,


konsumen menggunakan pestisida yang mempunyai sifat anti
cholinesterase mengakibatkan pengikatan cholinesterase sehingga
meningkatkan.

d. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

Pestisida masuk ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara,


antara lain melalui pernafasan atau penetrasi kulit. Oleh karena itu
cara-cara yang paling baik untuk mencegah terjadinya keracunan
adalah memberikan perlindungan pada bagian-bagian tersebut.
Peralatan untuk melindungi bagian tubuh dari pemaparan pestisida
pada saat melakukan penyemprotan disebut alat pelindung diri, atau
biasa juga disebut alat proteksi. Adapun jenis-jenis alat pelindung diri
adalah alat pelindung kepala, alat pelindung mata, alat pelindung
pernafasan, pakaian pelindung, alat pelindung untuk tangan, dan alat
pelindung kaki.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pestisida dapat digolongkan kedalam beberapa jenis, diantaranya berdasarkan
kegunaan dan asal katanya, cara kerjanya.
2. Resiko dalam penggunaan pestisida terdapat resiko bagi keselamatan
pengguna, resiko bagi konsumen serta resiko bagi lingkungan, serta pestisida
mempunyai dampak bagi sosial ekonomi.
3. Pestisida memiliki toksisitas yang dimana dibagi kedalam 3 kategori, yaitu
Kategori I, Kategori II,dan Kategori III. Keracunan pestisida dapat melalui
beberapa cara diantaranya kontaminasi melalui kulit, melalui saluran
pernafasan, serta melalui pencernaan melalui mulut. menurut quijano
keracunan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : keracunan akut dan keracunan
kronis.
4. Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keracunan terbagi menjadi dua,
yaitu faktor internal dan eksternal, faktor internal terdiri atas : umur, status
gizi, status kesehatan, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. faktor eksternal
terdiri atas : dosis, lama kerja, jenis pestisida, dan pemakaian APD.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1120025049-3-BAB%20II.pdf (diakses pada tanggal


22 Desember 2020 pukul 15:19 WIB)

Anda mungkin juga menyukai