Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TETAP

BIOPESTISIDA
LABORATORIUM REKAYASA PROSES, PRODUK INDUSTRI KIMIA

. .

.DISUSUN OLEH:

M. DAFFA UMAR SYAUQI (03031181722006)


AGUNG DWI ARYANSYAH (03031181722008)
SHERLY BONITA (03031181722014)
LUTHFIYAH AFNAN SAYYIDAH (03031181722026)
INDAH STATISKA (03031181722028)
RIKA KOMALA SARI (03031281722032)
ARDI PERWIRA SAKTI (03031281722034)
DYRA LAKSMI PRABASWARA (03031281722040)
ALTHAF TAUFIQURRAHMAN (03031281722052)

HARI/TANGGAL : SELASA/25 FEBRUARI 2020

NAMA CO-SHIFT : HENDRI PRASETYO


NAMA ASISTEN : ADITIA HABIBUL AKBAR

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
ABSTRAK

Proses pembuatan biopestisida dilakukan dengan menggunakan bahan


yaitu daun belimbing wuluh dan metanol. Daun belimbing wuluh dikeringkan dan
dan dihaluskan hingga digunakan beratnya sebesar 15 g yang dimaserasi dengan
menggunakan metanol sebanyak 150, 300, dan 450 mL. Daun belimbing wuluh
dimasukkan ke dalam gelas beaker dan dimaserasi selama kurang lebih 23 jam.
Proses maserasi bertujuan untuk mengekstrak senyawa kimia yang terkandung di
dalam daun yang dapat dijadikan sebagai zat berbacun bagi hama uji. Proses
selanjutnya masuk ke tahap pemisahan dengan menggunakan rotary evaporator
dengan suhu yang diatur tidak jauh dari titik didih metanol yaitu 70 oC. Proses
pemisahan dilakukan selama satu jam. Proses evaporasi menghasilkan rendemen
biopestisida sebanyak 24, 14, dan 15 mL. Biopestisida kemudian diuji coba
dengan menggunakan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 25, 50, dan 75% yang
dilarutkan dengan aquadest. Biopestisida yang dihasilkan kemudian diuji. Uji
efektifitas biopestisida dilakukan dengan cara menyemprotkan biopestisida pada
10 ekor jangkrik sebanyak 5 kali di tiap-tiap konsentrasi dan dimasukkan ke
dalam kardus, botol plastik, dan botol kaca.

Kata kunci: daun belimbing wuluh, methanol, rotary evaporator


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang mata pencaharian penduduk-
nya sebagian besar adalah sebagai petani atau yang dikenal sebagai negara agraris.
Penduduk di Indonesia banyak yang menjadikan pertanian sebagai penghasilan
utama daerahnya. Cara yang digunakan para petani untuk mempertahankan hasil
pertaniannya salah satunya dengan menggunakan bahan kimia, yaitu pestisida.
Pestisida berfungsi untuk menghambat kelangsungan hidup dan membunuh hama-
hama tanaman. Penggunaan pestisida awalnya merupakan suatu cara yang paling
ampuh dalam memecahkan semua masalah hama tanaman.
Pestisida digunakan hampir di seluruh dunia dan digunakan dari pertanian
yang kecil sampai pertanian yang besar di masyarakat desa dan masyarakat kota
untuk memberantas hama-hama domestik. Hama domestik tersebut antara lain
seperti kecoak, semut, lalat, tikus, nyamuk dan binatang pengganggu lainnya.
Penggunaan pestisida oleh masyarakat luas dikarenakan harganya yang relatif
murah, tahan, efektif dalam jumlah kecil, beracun untuk banyak organisme dan
butuh sedikit tenaga kerja, cepat daya bunuhnya dan bisa dibeli dimana saja.
Penggunaan pestisida memiliki beberapa dampak yang buruk, baik bagi
lingkungan sekitar, bagi pengguna ataupun konsumen dari produk hasil pertanian
yang menggunakan pestisida. Pestisida pada dasarnya adalah racun, sehingga akan
dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa
keracunan oleh pestisida sering terjadi di Indonesia.
Masalah yang timbul akibat penggunaan pestisida tersebut harus segera
diatasi untuk mencegah terjadinya korban jiwa. Penggunaan biopestisida adalah
salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan pestisida.
Biopestisida memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan pestisida sintetik.
Bahan baku dari pembuatan biopestisida dapat diperoleh dari tumbuhan. Salah
satu bahan yang bisa digunakan adalah daun belimbing wuluh. Percobaan
biopestisida akan membahas lebih lanjut mengenai pembuatan biopestisida dari
daun belimbing wuluh dan efektifitasnya dalam mengurangi hama tumbuhan.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimana pengaruh waktu maserasi daun belimbing terhadap rendemen
yang dihasilkan?
2) Bagaimana tingkat efektifitas penggunaan daun belimbing wuluh sebagai
biopestisida?
3) Berapa lama waktu yang diperlukan biopestisida untuk dapat membunuh
serangga uji?
1.3. Tujuan
1) Memahami pengaruh waktu maserasi daun belimbing wuluh terhadap
rendemen yang dihasilkan.
2) Mengetahui tingkat efektifitas penggunaan daun belimbing wuluh sebagai
biopestisida.
3) Mengetahui lama waktu yang dibutuhkan biopestisida untuk membunuh
serangga uji

1.4 Manfaat
1) Secara akademis, dapat mengetahui metode pembuatan biopestida dan
penggunaan daun belimbing wuluh sebagai bahan biopestida.
2) Secara industri, dapat mengaplikasikan proses pembuatan biopestisida
skala industri.
3) Secara komersial, dapat meningkatkan nilai ekonomis dari daun belimbing
wuluh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hama
Hama merupakan hewan yang sering merusak tanaman dan umumnya
merugikan manusia dari segi ekonomi. Kerugian tersebut dihubungkan dengan
nilai ekonomi, karena jika tidak terjadi penurunan nilai ekonomi, maka kehadiran
hama tersebut pada tanaman tidak perlu dikendalikan atau diberantas. Penyakit
tanaman dapat berupa bakteri, jamur, ganggang, dan virus. Kerusakan tanaman
akibat hama membuat tanaman menjadi mati atau busuk, dan dapat merusak
sebagian besar daun, batang, buah atau benih, dan akar (Pracaya, 2007).
Jenis-jenis hama dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu hama daun
dan hama penggerek. Hama daun merupakan hama yang merusak tanaman dengan
cara memakan jaringan daun (defoliator) atau dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan daun secara menyeluruh. Hama yang bersifat defoliator yaitu hama ulat
kantong pada tanaman sengon, ulat grayak (Spodoptera sp.), ulat tritip (Plutella
xylostella), dan kupu kuning (Eurema sp.) pada sengon. Hama yang merusak daun
salah satunya yaitu hama kutu putih (Ferisia virgata), ulat kantong (Lepidoptera
psychidae) pada tanaman sengon, hama gall tanaman masohi, dan kutu loncat
(Heteropsylla cubana) pada tanaman lamtoro (Widyastuti dan Astuti, 2016).
Hama penggerek merupakan hama yang menyebabkan kerusakan pada
batang, dengan cara meletakkan telur untuk selanjutnya berkembang hingga
menjadi serangga dewasa, serta memakan bagian batang. Serangga penggerek
yang menyerang tanaman hutan salah satunya yaitu hama penggerek batang
sengon (Xytrocera festiva pascoe), hama penggerek batang mahoni (Xylosandrus
sp.), hama penggerek batang murbai (Epepeotes luscus), dan lainnya.
Populasi hama pada tanaman setiap tahunnya dapat meningkat dan
menjadi eksplosif karena terjadi perubahan pada faktor yang mempengaruhinya.
Fenomena terjadinya ledakan populasi hama karena beberapa hal, yaitu biologi
hama, perubahan iklim atau cuaca, perubahan ekologi misalnya ketersediaan
makanan yang berlimpah, dan perlakuan insektisida kimiawi yang tidak bijaksana.

3
4

2.2. Pestisida
Pestisida merupakan salah satu bagian penting dalam pertanian yang dapat
membantu para petani untuk mengatasi permasalahan organisme pengganggu.
Penggunaan pestisida dapat mencemari lingkungan dengan meninggalkan residu
dalam tanah serta dalam bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi-umbian.
Pestisida seringkali dijadikan andalan para petani dalam mengamankan usaha
pertaniannya dari hama dan penyakit. Pestisida mempunyai beberapa kelebihan
sehingga sering dimanfaatkan oleh para petani, diantaranya mudah diperoleh, cara
pengaplikasiannya yang mudah, dan efek dari penggunaan pestisida juga cepat.
Pestisida mempunyai beberapa kekurangan berupa berdampak buruk bagi
kesehatan maupun lingkungan. Pestisida dalam tanaman jika secara sistemik akan
terserap masuk ke dalam jaringan-jaringan tanaman seperti daun, buah, cabang,
akar kulit, dan lainnya. Pestisida tersebut dapat bersifat toxic pada tanaman pokok
hingga tanaman akan mati atau pertumbuhannya terganggu. Pestisida akan selalu
meninggalkan residu pada tanaman dengan waktu yang cukup lama, sehingga
residu ikut termakan oleh herbivora ataupun manusia (Hartini, 2014). Residu
pestisida dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari dengan jangka panjang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang dapat ditunjukkan dengan gejala
akut seperti sakit kepala, mual, dan muntah, serta gejala kronis seperti kehilangan
nafsu makan, tremor, dan kejang otot (Prasetiyono dan Anshori, 2016).
Pestisida dapat meracuni manusia yang sedang berada dekat ataupun yang
sedang menggunakan pestisida dengan berbagai cara kontaminasi, diantaranya
melalui kulit dengan jalan terkena langsung ataupun melalui pakaian yang terkena
pestisida. Kontaminasi lainnya melalui pernafasan, melalui mulut yaitu ketika
meminum air yang telah tercemar atau makan dengan menggunakan tangan tanpa
mencuci tangan terlebih dahulu setelah berurusan dengan pestisida (Arif, 2015).

2.3. Jenis-Jenis Pestisida


Pestisida pada dasarnya dibagi menjadi dua berdasarkan jenisnya, yaitu
pestisida kimia dan pestisida alami atau nabati. Pestisida kimia adalah pestisida
yang dibuat dari bahan kimia oleh manusia yang berguna dalam pengendalian
hama dan penyakit tanaman. Pestisida kimia sering mempunyai residu kimia yang
5

tinggi baik itu di dalam tanaman maupun di dalam tanah, sehingga mengganggu
lingkungan. Pestisida nabati adalah pestisida yang digunakan untuk pengendalian
hama dan penyakit bagi tanaman yang terbuat dari bahan alami, seperti minyak
atsiri yang dihasilkan oleh tanaman. Pestisida nabati juga mempunyai beberapa
keunggulan, salah satunya yaitu sifatnya mudah terurai oleh sinar matahari, dan
tidak mengganggu lingkungan. Kerugian penggunaan pestisida nabati yaitu cara
pengaplikasiannya harus berulangkali karena mudah terurai oleh sinar matahari
dan harganya tidak terjangkau karena bahan bakunya dari alam (Arfianto, 2018).
Penggolongan pestisida berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan, yaitu
insektisida, fungisida, bakterisida, nematisida, akarisida, rodentisida, moluskisida,
dan herbisida. Insektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa kimia
beracun yang dapat mematikan seluruh jenis serangga. Fungisida adalah bahan
yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas
dan mencegah fungi. Baksterisida yaitu bahan yang mengandung senyawa kimia
yang aktif dan cukup beracun yang dapat membunuh beberapa bakteri.
Nematisida yaitu digunakan untuk mengendalikan nematoda atau cacing.
Akarisida atau sering disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung
senyawa kimia beracun dan digunakan untuk membunuh tangau, caplak, dan laba-
laba. Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat misalnya tikus.
Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska seperti siput, bekicot,
sumpil, dan trisipan yang banyak terdapat di tambak. Herbisida adalah bahan
senyawa beracun yang biasanya dimanfaatkan untuk membunuh gulma.
Penggolongan pestisida berdasarkan cara kerjanya dalam membunuh hama
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu racun perut, racun kontak, dan racun gas. Racun
perut adalah golongan pestisida yang pada umumnya digunakan untuk membasmi
serangga pengunyah, penjilat, dan penggigit, serta memiliki daya bunuh melalui
perut. Racun kontak adalah pestisida yang akan bekerja dengan baik jika terkena
atau berkontak langsung dengan hama sasarannya, tetapi tidak efektif untuk hama
yang terbang (Hartini, 2014). Racun gas adalah jenis racun yang disebut juga
dengan fumigant yang digunakan secara terbatas pada ruangan yang tertutup.
6

2.4. Cara Kerja Pestisida


Pestisida memiliki berbagai macam cara untuk dapat membunuh hama.
Pestisida dapat membunuh atau mengganggu hama dan juga penyakit melalui cara
yang spesifik. Begitu juga dengan pestisida nabati. Pestisida nabati memiliki cara
kerja yang unuk, baik secara tunggal maupun melalui perpaduan cara. Menurut
Sudarmo dan Mulyaningsih (2014) menyebutkan bahwa, cara kerja dari pestisida
nabati sangat spesifik, yaitu merusak perkembangan telur hama, larva dan pupa,
menghambat pergantian kulit, mengganggu komunikasi serangga, penolak makan.
Pestisida nabati juga dapat menghambat reproduksi serangga betina, mengurangi
nafsu makan, memblokir kemampuan makan, dan menghambat perkembangan
penyakit. Cara pestisida dapat membunuh hama dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.4.1. Insektisida
Menurut Sudarmo dan Mulyaningsih (2014), ada beberapa cara insektisida
dapat membunuh hama sasaran yaitu, dari fisik, merusak enzim, merusak syaraf,
menghambat metabolisme dan meracuni otot. Berpengaruh secara fisis yaitu
bahan insektisida memblokade proses metabolisme, bukan dengan reaksi biokimia
atau neurologis, melainkan dengan cara mekanis. Sebagai contoh minyak yang
digunakan untuk membunuh larva atau jentik nyamuk, maka minyak tersebut
akan memblokade penutupan pernapasan atau insang. Contoh lainnya yaitu
penggunaan boric acid, silica gel, dan aerosilica gel dapat membunuh serangga
karena proses dehidrasi atau proses penyerapan air dari dalam tubuh serangga.
Merkuri dan juga garam-garamnya, semua asam kuat dan beberapa logam
berat termasuk kadmium dan timah hitam akan merusak semua enzim didalam
sistem kehidupan serangga. Insektida merusak syaraf dengan cara kerja bersifat
fisis ketimbang secara biokemis. Golongan organoklorin dan pyrethroids bersifat
mempengaruhi akson suatu sel syaraf atau neuron yang berfungsi dalam transmisi
impuls syaraf dari sel ke sel (Sudarmo dan Mulyaningsih, 2014).
Menurut Yuantari (2011) menyebutkan bahwa, pada aplikasinya senyawa
organoklorin bersifat non-sistemik yaitu tidak diserap oleh jaringan tanaman
tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman disebut dengan insektisida
kontak. organoklorin juga sebagai racun kontak, insektisida yang masuk ke dalam
7

tubuh serangga lewat kulit dan ditranformasikan ke bagian tubuh serangga tempat
insektisida aktif bekerja. Racun lambung atau racun perut adalah insektisida yang
membunuh serangga jika termakan serta masuk kedalam organ pencernaannya.
Racun inhalasi atau racun pernapasan merupakan insektisida yang bekerja lewat
sistem pernapasan dengan mengganggu kerja organ pernapasan.
Insektisida yang mengganggu kinerja metabolisme dari serangga dengan
cara menghambat transport elektron mitokondria yaitu seperti HCN, rodetenone,
dinetrophenols. Insektisida yang meracuni otot karena kinerjanya berhubungan
langsung dengan jaringan otot pada serangga. Ryania mengandung suatu alkaloid
dan ryanodine merupakan salah satu contoh insektisida yang meracuni otot.
2.4.2. Herbisida
Beberapa herbidisida dapat membunuh hama sasaran dengan cara yaitu,
dari fisis, efek hormon, dan menghambat metabolisme. Golongan herbisida yang
meracuni secara fisis dengan cara merusak membran sel kemudian selanjutnya
tanaman kehilangan tugor dan terjadi perubahan warna. Golongan herbisida yang
membunuh gulma dengan cara kerja seperti hormon, herbisida diberikan dengan
dosis yang tinggi. Herbisida yang menghambat metabolisme merusak membran
sel dan tanaman akan kehilangan cairan (Sudarmo dan Mulyaningsih 2014).

2.5. Dampak Penggunaan Pestisida


Pestisida merupakan racun yang dapat membunuh makhluk hidup, maka
dalam penggunaannya dapat memberikan pengaruh yang tidak diinginkan pada
kesehatan manusia serta lingkungan. Pestisida merupakan bahan kimia, campuran
dari bahan kimia, atau bahan lain yang bersifat biaktif. Racun dalam pestisida
berpotensi mengandung bahaya. Ketidakbijaksanaan dalam penggunaan pestisida
dapat menimbulkan dampak negatif. Sehubungan dengan sifatnya, maka beberapa
dampak dari penggunaan pestisida dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.5.1. Dampak bagi keselamatan pengguna
Penggunaan pestisida bisa mengkontaminasi pengguna secara langsung
sehingga mengakibatkan keracunan. Menurut Djojosumarto (2008) menyebutkan
bahwa, keracunan terhadap pestisida dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu keracunan akut ringan, akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan akan
8

menimbulkan pusing, sakit kepala, badan terasa sakit dan diare. Keracunan akut
berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sukar bernapas, dan
denyut nadi meningkat. Keracunan pestisida secara kronik maupun akut dapat
terjadi pada pemakai dan pekerja yang berhubungan dengan pestisida. Keracunan
tersebut terjadi karena kontaminasi melalui mulut, saluran pencernaan, kulit,
pernapasan dan lain-lain (Sudarmo dan Mulyaningsih, 2014).
2.5.2. Dampak bagi konsumen
Dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis
yang tidak segera terasa. Gangguan kesehatan dalam jangka waktu lama mungkin
bisa timbul. Pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam
hal konsumen mengonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam
jumlah besar (Djojosumarto, 2008). Penggunaan pestisida khususnya pada
tanaman akan meninggalkan residu pada produk pertanian. Menurut Sudarmo dan
Mulyaningsih (2014), pentingnya residu pestisida dalam produk pertanian sangat
ditentukan oleh besarnya residu dan juga oleh daya racun baik akut atau kronik.
2.5.3. Dampak bagi lingkungan
Dampak penggunaan pestisida bagi lingkungan dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu, dampak bagi lingkungan umum dan dambak bagi
lingkungan pertanian (Djojosumarto, 2008). Dampak yang ditimbulkan terhadap
lingkungan umum meliputi pencemaran lingkungan, terbunuhnya organisme non-
target, menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme. Dampak yang
ditimbulkan bagi lingkungan pertanian meliputi timbulnya resistensi Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) terhadap pestisida, meningkatnya populasi hama.
Dampak lainnya yaitu timbulnya hama baru, terbunuhnya musuh alami hama,
perubahan flora dan fitotoksik atau meracuni tanaman.
Menurut Sudarmo dan Mulyaningsih (2014), dampak yang ditimbulkan
pada lingkungan oleh penggunaan pestisida dapat berupa keracunan terhadap
ikan, keracunan terhadap satwa liar, dan keracunan pada tanaman. Penggunaan
pestisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan keracunan yang berakibat
kematian pada satwa liar seperti burung, lebah, serangga penyerbuk dan satwa
liaryang lainnya. Keracunan tersebut dapat terjadi secara langsung karena kontak
9

dengan pestisida, maupun tidak secara langsung karena melalui rantai makanan.
Penggunaan pestisida pada padi sawah atau lingkungan perairan lainnya dapat
mengakibatkan kematian pada ikan yang dipelihara di sawah atau di kolam.
2.5.4. Dampak Sosial Ekonomi
Menurut Djojosumarto, (2008) menyebutkan bahwa, beberapa dampak
yang terjadi antara lain penggunaan pestisida yang tidak terkendali mcnyebabkan
biaya produksi menjadi tinggi, timbulnya hambatan perdagangan. Dampak lain
yang terjadi adalah timbulnya biaya sosial, misalnya biaya pengobatan keracunan
dan hilangnya hari kerja dan publikasi negatif di media massa.

2.6. Pestisida Nabati


Menurut Sudarmo dan Mulyaningsih (2014) menyebutkan bahwa, pestisida
nabati adalah pestisida yang berbahan dasar dari tumbuh-tumbuhan. Bahan aktif
dari pestisida nabati dapat berasal dari akar, daun batang atau buah dari tanaman
tersebut. Bahan kimia yang terkandung di dalam tumbuhan memiliki bioaktivitas
terhadap serangga, seperti bahan penolak atau repellent, penghambat makan,
penghambat perkembangan serangga, dan penghambat peneluran.
Pestisida digunakan untuk mengendalikan hama yang biasa menyerang
pada tumbuhan. Bahan dari tumbuhan biasanya diolah menjadi berbagai bentuk,
seperti menjadi tepung ekstrak ataupun resin. Proses pengolahannya dilakukan
dengan cara mengabil cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bisa
juga dengan cara dibakar untuk diambil abunya (Andra, 2019).
Penggunaan dari ekstrak tanaman sebagai bahan baku pestisida memiliki
banyak keunggulan dan manfaat dibandingkan dengan pestisida lainnya. Menurut
Sudarmo dan Mulyaningsih (2014) menyebutkan bahwa, beberapa keunggulan dari
pestisida nabati adalah murah, aman, mudah terdegradasi, dan tidak beracun.
Kendala pengembangan pestisida nabati adalah daya kerjanya relatif lambat, tidak
membunuh langsung hama atau penyakit, tidak tahan terhadap sinar matahari, dan
kadang diperlukan penyemprotan yang berulang ulang. Kendala-kendala tersebut
dapat diperbaiki dengan mengutamakan teknik aplikasi yang benar. Waktu
aplikasi pestisida nabati cebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari untuk
menghindari paparan sinar matahar, tepat takaran, dan tepat sesaran.
10

2.7. Manfaat Biopestisida


Penggunaan pestisida berbahan dasarkan zat-zat kimiawi yang berlebihan
akan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan
alam dapat terganggu dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten,
ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung, dan satwa lain (Djunaedy, 2009).
Peggunaan pestisida yang berlebihan dapat mengakibatkan banyak masalah, salah
satunya yaitu masalah pada lingkungan. Organisme yang tidak menjadi target dari
penggunaan pestisida dapat terkena racun pestisida yang tertinggal di tanah, selain
itu racun dari pestisida dapat merembas masuk ke dalam tanah dan mengakibatkan
tercemarnya air bawah tanah. Racun pestisida dapat mencapai puncak mata rantai
makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia.
Dampak negatif dari pestisida berbahan dasar zat kimiawi dapat ditangani
dengan menciptakan alternatif pengendali organisme pengganggu tanaman yang
ramah lingkungan, yaitu biopestisida. Suwahyono (2009), menjelaskan bahwa
biopestisida dapat menjadi alternatif penggunaan pestisida dalam pengendalian
organisme pengganggu tanaman, manfaat penggunaan biopestisida dapat dilihat
dari dua aspek, yaitu aspek sosial ekonomi dan aspek lingkungan.
2.7.1. Aspek Sosial Ekonomi
Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman adalah salah satu runutan
pada proses produksi pertanian. Penelitian dampak sosial ekonomi penerapan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada tanaman pangan di Indonesia memang
relatif sangat sedikit. Pengendalian organisme pengganggu tanaman dengan
menggunakan beberapa cara secara serempak salah satunya adalah menggunakan
biopestisida. Penelitian dan peyuluhan PHT yang dilakukan menunjukkan bahwa
petani-petani PHT memperoleh hasil panen dan keuntungan yang lebih tinggi
serta pemakaian pestisida kimia yang lebih sedikit.
Penelitian tentang penggunaan biopestisida dalam negara berkembang
telah dilakukan oleh Benbrook dan Oka (dalam Suwahyono, 2009). Penelitian
tersebut melaporkan bahwa di negara-negara berkembang dan negara sedang
berkembang, penerapan aplikasi biopestisida dalam kesatuan pengendalian hama
terpadu pada usaha tani dapat menurunkan penggunaan insektisida kimia hingga
11

50-100% tanpa kehilangan hasil panennya. Penelitian lain menunjukkan bahwa


dengan menggunakan dan mengaplikasikan biofungisida dapat memberikan hasil
panen pada para petani lebih tinggi, yaitu 30 sampai 50% lebih tinggi.
Hasil panen meningkat dan kompensasi biaya yang lebih rendah secara
tidak langsung akan memberikan dampak ekonomi yang lebih menguntungkan
dalam usaha bertani. Penggunaan biopestisida ditinjau dari aspek sosial ekonomi
sebenarnya merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan dalam upaya
menurunkan biaya produksi. Faktor tersebut secara tidak langsung meningkatkan
pendapatan petani yang cukup bermakna jika saja dalam tataniaga produk-produk
pertanian mendapatkan proteksi yang serius dari pemerintah (Suwahyono, 2009).
2.7.2. Aspek Lingkungan
Masalah dampak lingkungan dari penggunaan pestisida berbahan kimiawi
untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman telah divalidasi oleh banyak
pihak, terutama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia serta World Health
Organization (WHO). Pestisida berbahan kimia termasuk salah satu faktor yang
dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan hayati, yang merupakan hewan,
tumbuhan, manusia, dan keseimbangan ekosistem lainnya. Suwahyono (2009),
menjelaskan bahwa permasalahan yang menyangkut penggunaan pestisida kimia
telah dipublikasikan oleh WHO pada tahun 1990. Dampak dan risiko penggunaan
pestisida berbahan kimia hingga saat ini telah ditemui 25 juta kasus keracunan
pestisida akut di seluruh dunia pada setiap tahunnya dan akan bertambah sejalan
dengan meningkatnya penggunaan pestisida berbahan dasar kimia.
Pembersihan residu dari pestisida di alam tidak pernah diperhitungkan,
dan ternyata membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Kawasan Afrika memerlukan
biaya lebih dari100 juta dolar Amerika dan untuk memusnahkan perton pestisida
yang kadaluwarsa membutuhkan biaya sekitar 3.500 sampai 5.000 dolar Amerika.
Sektor pertanian memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor-sektor lain
dalam membangun kesejateraan manusia, seperti air, energi, kesehatan dan
lingkungan, pertanian dan keragaman hayati, serta keseimbangan ekosistem.
Biopestisida diciptakan dengan tujuan dan harapan dapat mengurangi atau bahkan
menghentikan dampak negatif dari penggunaan pestisida berbasis bahan kimia.
12

2.8. Belimbing Wuluh


Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keberanekaragaman
jenis-jenis tanamannya, terutama hasil pertanian dan rempah-rempah. Keadaan
geografis negara Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan sering terjadi
sepanjang tahun mendukung tumbuhnya beraneka macam tumbuhan. Tanaman
belimbing wuluh merupakan salah satu dari keanekaragaman hayati di Indonesia,
belimbing wuluh hampir tumbuh di setiap daerah di Indonesia. Daun belimbing
wuluh mengandung metanolit sekunder seperti tanin, sulfur, asam format, dan
peroksida. Ekstrak daun belimbing wuluh juga mengandung flavonoid, saponin,
kalsium oksalat, dan kalium sitrat (Syah dan Purwani, 2016).
Kandungan kimia dalam belimbing wuluh seperti saponin, tanin, kalsium
oksalat, dan lain sebagainya dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat
biopestisida. Biopestisida dari belimbing wuluh jauh lebih aman bagi manusia dan
ternak karena residunya mudah hilang, selain itu biopestisida tersebut juga bersifat
mudah terurai sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Biopestisida
dari belimbing wuluh juga tidak terlalu mengikat dan beresiko pada dosis yang
tinggi dibandingkat pestisida berbahan dasar zat-zat kimia, tanaman sangat jarang
ditemukan mati ketika disemprotkan biopestisida tersebut sebanyak apapun.
2.9. Kelebihan dan Kekurangan Biopestisida
Suwahyono (2009) menjelaskan bahwa umumnya pemakaian biopestisida
kurang beracun dibandingkan pestisida konvensional, sehingga resiko bahaya
yang ditimbulkannya juga lebih kecil. Biopestisida hanya berpengaruh pada hama
sasaran dan organisme lain yang berdekatan kerabatnya. Pestisida konvensional
memiliki spektrum yang cukup luas, bahkan pestisida dapat membunuh organisme
nontarget seperti serangga, burung, mamalia, dan organisme lainnya.
Biopestisida lebih efektif pada dosis rendah dan cepat terurai, sehingga
pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari masalah pencemaran. Pestisida
konvensional justru sering kali menimbulkan dampak residu pada lingkungan.
Biopestisida yang menggunakan mikroba tidak hanya membunuh hama, tetapi
juga mengeluarkan bahan aktif seperti hormon pertumbuhan yang dapat memacu
pertumbuhan akar tanaman sehingga sistem perakaran lebih sempurna.
13

2.10. Penelitian Terkait


Ariyanti dkk. (2017), telah melakukan suatu penelitian mengenai proses
ekstraksi daun pepaya dan daun belimbing wuluh dalam pembuatan biopestisida.
Metode ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi bahan baku menggunakan
pelarut berupa etanol dan perbandingan bahan baku:pelarut adalah 1:4. Variasi
dilakukan pada lama proses maserasi yaitu 1, 3, 5, 7, dan 9 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses maserasi yang dilakukan selama 9 hari akan
menghasilkan jumlah rendemen yang lebih banyak yaitu sekitar 9,9%. Nilai pH
yang dihasilkan dengan maserasi selama 9 hari juga lebih rendah dari yang lain
yaitu sekitar 5,73. Hasil ekstrak maserasi selama 9 hari dapat membunuh nyamuk
lebih banyak sekitar 20 ekor dibandingkan ekstrak maserasi yang lainnya.
Krisman dkk. (2016), juga telah melakukan penelitian mengenai insektisida
dari ekstrak daun belimbing wuluh untuk membunuh hama kecoak. Ekstrak daun
belimbing wuluh diperoleh dengan cara maserasi selama 3x24 jam. Maserasi awal
dilakukan menggunakan pelarut etanol untuk mendapatkan ekstrak kasar. Ekstrak
kasar selanjutnya di fraksinasi menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat untuk
mendapatkan fraksi n-heksana, etil asetat, dan etanol sebanyak 1:1:1. Rendemen
terbanyak terdapat pada fraksi etanol yaitu sekitar 58,36%. Hasil uji mortalitas
hewan uji yang paling baik dalam meningkatkan mortalitas kecoak yaitu dengan
menggunakan fraksi n-heksana. Mortalitas kecoak akan semakin meningkat dengan
bertambahnya konsentrasi fraksi n-heksana. Konsentrasi yang menunjukkan hasil
optimum adalah dengan mengunakan konsentrasi 25% n-heksana.
Penelitian mengenai tingkat keefektifan ekstrak daun dan buah belimbing
wuluh dalam membunuh larva nyamuk telah dilakukan oleh Putra dkk. (2018).
Ekstrak daun diperoleh dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%
dengan perbandingan daun:pelarut adalah 1:5. Maserasi dilakukan selama 72 jam
pada temperatur ruangan. Variasi yang dilakukan terhadap hewan uji adalah
variasi konsentrasi ekstrak daun yang digunakan yaitu 0, 1, 1,5, 2, 2,5, dan 3%.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahawa, tingkat mortaltitas larva
nyamuk yang paling tinggi adalah pada peggunaan konsentrasi ekstrak sebesar 2,
2,5, dan 3%. Hasil tersebut yang didapatkan tersebut menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi maka tingkat mortalitas akan semakin tinggi.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1) Oven
2) Rotary evaporator
3) Cawan
4) Botol
5) Tensiometer
6) Gelas kimia
7) Gelas ukur
8) Spatula
9) Blender
10) Neraca analitik
3.1.2. Bahan
1) Daun belimbing wuluh 1 kg
2) Pelarut metanol 5 liter

3.2. Prosedur Percobaan


1) Daun belimbing wuluh ditimbang lalu dikeringkan.
2) Oven diatur temperaturnya 40oC sampai kangkung kering.
3) Jumlah kehilangan air dihitung, diulangi sampai berat daun belimbing
wuluh tidak berubah lagi atau kering.
4) Blender hingga halus sampai berupa bubuk seperti bubuk kopi.
5) Bubuk disimpan pada tempat tertutup dan jangan terkena sinar matahari.
6) Bubuk daun belimbing diambil sebanyak 100 gr dilarutkan dalam 2 liter
metanol selama 48 jam lalu disaring.
7) Filtrat dimasukkan dalam rotary evaporator secara bertahap untuk
memisahkan metanol sehingga didapatkan ekstrak pekat pada temperatur
60oC.

14
15

8) Ekstrak dikeringkan menggunakan oven, dilakukan seperti tahap nomor 3


sampai kering lalu ditimbang.
9) Produk disimpan di botol yang gelap dan suhu ruangan.
10) Diulangi seperti tahap nomor 6 (remaserasi) untuk bubuk kangkung air
yang sudah diekstrak tadi, didiamkan selama 24 jam. Tujuannya untuk
mengecek seluruh flavonoid, fenol, tanin yang sudah didapatkan.
16

3.3. Blok Diagram

Daun belimbing wuluh ditimbang

Oven diatur temperaturnya 40oC

Jumlah kehilangan air dihitung

Blender hingga halus sampai berupa bubuk

Bubuk disimpan pada tempat tertutup

100 gr daun belimbing wuluh dilarutkan dalam 2 liter


metanol

Filtrat dimasukkan kedalam rotary evaporator secara bertahap

Ekstrak dikeringkan dan dilakukan seperti tahap 3

Produk disimpan dibotol yang gelap dan suhu ruangan

Ulangi seperti tahap 6 dan didiamkan selama 24 jam

Gambar 3.1. Blok Diagram Percobaan Biopestisida


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Praktikum Biopestisida
Parameter yang Diamati Hasil Pengamatan
Perbandingan bubuk : metanol 1:30
Massa bubuk daun mula-mula 15 g
Volume metanol mula-mula 300 mL
Volume sebelum evaporasi 300 mL
Massa bubuk daun sisa 43,9563 g
Volume biopestisida setelah 14 mL
evaporasi
Volume metanol setelah evaporasi 208 mL
Losses 78 mL
Tabel 4.2. Pengaruh Konsentrasi Biopestisida terhadap Mortalitas Jangkrik
Konsentrasi Persen
Jumlah Awal Total Jangkrik
Daun Belimbing Mortalitas
Jangkrik Mati
Wuluh (%) Jangkrik
25 10 4 40%
50 10 5 50%
75 10 9 90%
Tabel 4.3. Pengaruh Konsentrasi Biopestisida terhadap Kecepatan Mortalitas Jangkrik
Waktu Jumlah Jangkrik pada Konsentrasi
(menit) 25% 50% 75%
30 5 4 8
60 6 5 9
90 4 3 9
120 4 5 9
150 5 8 9
180 4 5 9

17
18

4.2. Pembahasan
Percobaan mengenai biopestisida bertujuan untuk menguji efektivitas ekstrak
daun belimbing wuluh sebagai biopestisida. Daun belimbing wuluh digunakan
sebagai biopestisida karena mengandung beberapa bahan aktif yang berfungsi
sebagai pestisida. Ekstrak daun belimbing wuluh mengandung senyawa metabolit
sekunder seperti alkaloid dan saponin. Hasil uji yang dilakukan oleh Krisman dkk.
(2016), menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mengandung
senyawa-senyawa aktif seperti flavonoid, tanin, steroid, dan saponin.
Cara masuknya bioinsektisida ke dalam tubuh hewan uji adalah melalui
kutikula (racun kontak) dan melalui sistem pernafasannya. Mekanisme matinya
hewan uji disebabkan oleh target site insektisida menyerang reseptor Gamma
Amino Butyric Acid (GABA), sehingga menggangu sistem syaraf hewan uji yang
menyebabkan kelumpuhan (knockdown) hingga kematian (Krisman dkk, 2016).
Proses pengambilan senyawa-senyawa tersebut dilakukan dengan ektraksi
metode maserasi. Ekstraksi metode maserasi digunakan karena senyawa tersebut
rentan mengalami kerusakan apabila terkena panas apabila menggunakan metode
sokletasi. Penggunaan metode maserasi memiliki suatu keuntungan seperti tidak
memerlukan pemanasan sehingga senyawa yang akan diekstrak tidak akan rusak
karena terdapat panas. Pelarut yang digunakan dalam maserasi adalah metanol.
Penggunaan metanol sebagai pelarut dikarenakan metanol memiliki polaritas yang
lebih mendekati senyawa aktif tersebut. Metanol juga lebih mudah untuk didapatkan
dibandingkan dengan pelarut yang lain. Kelemahan dari metode maserasi salah
satunya adalah waktu yang diperlukan dalam proses ekstraksinya akan lebih lama
apabila dibandingkan dengan metode ektraksi lainnya.
Proses maserasi dilakukan dengan cara merendam daun belimbing wuluh.
Daun belimbing wuluh sebelumnya telah dihaluskan terlebih dahulu. Tujuan dari
proses penghalusan adalah untuk memperluas area permukaan kontak antara daun
belimbing wuluh dengan pelarut yang digunakan. Bubuk daun belimbing wuluh
yang digunakan adalah 15 gr. Perbandungan antara bubuk daunbelimbing wuluh
dengan pelarut yang digunakan adalah 1:10; 1:20; dan 1:30. Jumlah pelarut yang
digunakan pada masing-masing perbandingan adalah sekitar 150, 300, dan 450
mL. Proses maserasi dilakukan selama kurang lebih 23 jam.
19

Hasil dari maserasi kemudian akan dimurnikan dengan cara dievaporasi


dengan menggunakan rotary evaporator. Penggunaan rotary evaporator untuk
proses penguapan dikarenakan alat tersebut dapat dikondisikan dalam kondisi
vakum, sehingga tidak memerlukan panas tinggi sehingga tidak merusak bahan.
Proses evaporasi dilakukan pada suhu 70°C untuk menguapakan metnaol yang titik
didihnya kurang lebih 64°C. Hasil ekstrak yang didapat setelah proses evaporasi pada
perbandingan 1:10; 1:20; dan 1:30 secara berturut-turut adalah 24 mL; 14 mL; 15 mL.
Perbedaan hasil evaporasi disebabkan oleh berbedanya alat rotary evaporator yang
digunakan, sehingga dapat menyebabkan panas yang diberikan oleh masing-masing
pemanas air berbeda-beda walaupun diatur dengan suhu yang sama.
Pengujian efektivitas biopestisida daun belimbing wuluh dilakukan dengan
cara melarutkan ekstrak kedalam akuades dengan konsentrasi 25%, 50%, dan 75%
dalam %volume. Ekstrak yang digunakan pada masing-masing konsentrasi adalah 3
mL pada 25% dan 75%; 4 mL pada 50%. Serangga uji yang digunakan adalah
jangkrik dengan total 10 ekor untuk masing-masing konsentrasi yang ada.
Hasil uji mortalitas pada perbandingan metanol 1:10, untuk konsentrasi
25%, 50%, dan 75% secara berturut-turut sebesar 40%, 20%, dan 10%. Hasil uji
mortalitas pada perbandingan metanol 1:20, untuk konsentrasi 25%, 50%, dan
75% secara berturut-turut sebesar 40%, 50%, dan 90%. Hasil uji mortalitas pada
perbandingan metanol 1:30, untuk konsentrasi 25%, 50%, dan 75% secara berturut-
turut sebesar 0%, 0%, dan 10%. Hasil uji mortalitas tertinggi didapatkan pada
perbandingan metanol 1:20 dengan konsentrasi 75% yaitu dengan persen mortalitas
sebesar 90%. Hasil uji mortalitas yang tidak mengalami kecenderungan tersebut bisa
jadi disebabkan oleh adanya perbedaan dalam tempat pengujian yang dilakukan.
Perbedaan jumlah mortalitas disebabkan karena adanya perbedaan pada
tempat uji. Pengujian pada perbandingan 1:30 menggunakan kardus sehingga
ruang pengujian lebih luas dan dapat menyebabkan biopestisida yang digunakan
kemungkinan tidak mengani langsung serangga uji. Pengujian pada perbandingan
1:10 menggunakan botol air mineral dan pada perbandingan 1:20 menggunakan
botol kaca. Perbedaan luas permukaan pada tempat pengujian dapat menyebabkan
biopestisida yang digunakan menjadi tidak efektif karena dengan luas permukaan
lebih tinggi membuat kontak antara biopestisida dan hewan uji lebih rendah.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1) Proses maserasi yang semakin lama membuat senyawa yang terkandung
dalam daun belimbing wuluh teradsorpsi semakin banyak.
2) Perbandingan metanol 1:20 dengan konsentrasi 75% memiliki efektifitas
paling tinggi dengan persen mortalitas 90%.
3) Biopestisida konsentrasi 75% dapat membunuh 9 jangkrik, konsentrasi
50% membunuh 5 jangkrik, dan konsentrasi 25% sebanyak 4 jangkrik
pada rentang waktu selama 180 menit.
4) Semakin besar konsentrasi biopestisida yang digunakan maka semakin
efektif untuk membunuh hama jangkrik.
5) Luas permukaan tempat uji mempengaruhi efektifitas biopestisida yang
digunakan, semakin besar luas permukaan maka semakin rendah tingkat
efektifitas biopestisida.

5.2. Saran
1) Sebaiknya proses maserasi dilakukan kembali setelah evaporasi agar hasil
biopestisida yang dihasilkan lebih efektif dalam membunuh jangkrik.
2) Waktu dan suhu evaporasi yang digunakan sebaiknya dihitung sama agar
jumlah biopestisida yang dihasilkan tidak berbeda.
3) Sebaiknya uji coba sampel terhadap hama dilakukan di tempat terbuka dan
memiliki sirkulasi udara yang baik agar lebih terlihat efektifitas dari
biopestisida yang dihasilkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Andra. 2019. Pestisida Nabati untuk Hama dan Penyakit Tanaman. (Online).
https://ardra.biz/sain-teknologi/bio-teknologi/pestisida-nabati-untuk-hama-
dan-penyakit-tanaman/. (Diakses pada tanggal 23 Februari 2020).
Arfianto, F. 2018. Pengendalian Hama Kutu Putih (Bemisa tabaci) pada Buah
Sirsak dengan Menggunakan Pestisida Nabati Ekstrak Serai
(Cymbopongan nardus L.). Jurnal Daun. Vol. 5(1): 17-26.
Arif, A. 2015. Pengaruh Bahan Kimia terhadap Penggunaan Pestisida Ling-
kungan. Jurnal Farmasi Fakultas Kedoktran dan Ilmu Kesehatan UIN
Alanuddin. Vol. 3(4): 134-143.
Ariyanti, R., Yenie, E., dan Elystia, S. 2017. Pembuatan Pestisida Nabati dengan
Cara Ekstraksi Daun Pepaya dan Belimbing Wuluh. Jom FTEKNIK. Vol.
4(2): 1-9.
Djunaedy, A. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Ta-
naman (OPT) yang Ramah Lingkungan. Jurnal EMBRYO. Vol. 6(1): 88-
95.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Hartini, E. 2014. Kontaminasi Residu Pestisida dalam Buah Melon (Studi Kasus
pada Petani di Kecamatan Penawangan). Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Vol. 10(1): 96-102.
Krisman, S., Ardiningsih, P., dan Syahbanu, I. 2016. Aktivitas Bioinsektisida Ek-
strak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Terhadap Kecoak
(Periplaneta americana). JKK. Vol. 5(3): 1-7.
Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman Edisi Revisi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Prasetiyono, C., dan Anshori, A. 2016. Pestisida pada Budidaya Kedelai di
Kabupaten Bantul di D. I. Yogyakarta. Jurnal of Sustainable Agriculture.
Vol. 31(1): 38-44.
Putra, M. A. S., Bestari, R. S., Hidayatullah, M. I., Felina, S., dan Sutrisna, M.
2018. Effectiveness of Leaf Extractwuluh Starfruit (Averrhoa bilimbi L) In
Killing Larva Aaedes aegypti. J.Bio.Innov. Vol. 7(5): 704 -711.
Sudarmo, S., dan Mulyaningsih, S. 2014. Mudah Membuat Pestisida Nabati
Ampuh. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Suwahyono, U. 2009. Biopestisida. Jogja: Niaga Swadaya.
Syah, B. W., dan Purwani, K. I. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi) Terhadap Mortalitas dan Perkembangan Larva
Spodoptera litura. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol. 5(2): 23-28.
Widyastuti, C. R., dan Astuti, W. 2016. Pestisida Organik Ramah Lingkungan
Pembasmi Hama Tanaman Sayur. Jurnal Rekayasa. Vol. 14(2): 115-120.
Yuantari, M. G. C. 2011. Dampak Pestisida Organoklorin terhadap Kesehatan
Manusia dan Lingkungan serta Penanggulangannya. Prosiding Seminar
Nasional Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di
Indonesia. Tangerang: 12 April 2011: Hal. 187-199.
LAMPIRAN A
RANGKAIAN ALAT

Gambar 1. Rangkaian Alat Rotary Evaporator


LEMBAR DATA KESELAMATAN BAHAN

Judul Percobaan Biopestisida


Shuft/Kelompok Selasa 13.00-15.300 WIB/ 2 (Dua)
Nama Praktikan 1. M. Daffa Umar Syauqi 03031181722006
2. Agung Dwi Aryansyah 03031181722008
3. Sherly Bonita 03031181722014
4. Luthfiyah Afnan Sayidah 03031181722026
5. Indah Statiska 03031181722028
6. Rika Komala Sari 03031281722032
7. Ardi Perwira Sakti 03031281722034
8. Dyra Laksmi Prabaswara 03031281722040
9. Althaf Taufiqurrahman 03031281722052

Material Safety Data Sheet


No Tindakan
Bahan Sifat Bahan
. Penanggualangan
1. Metanol  Cairan tidak  Berat jenis  Jika terkena
(CH3OH)
berwarna 79,18 mata, segera bilas
 Baunya kg/m3 dengan air
Khas  Berat mengalir selama
 Larut dalam molekul 15 menit
air 32,04  Jika terhirup,
 Beracun g/mol segera keluar
 Mudah  Titik lebur ruangan dan
menguap -97oC bernapas seperti
 Titik didih biasa
64,7oC  Jike terkena kulit,
 Titik nyala basuh dengan air
11oC mengalir selama
 Ph 15,5 15 menit dan
lepas pakaian
yang
terkontaminasi
 Jika tertelan,
segera kumur-
kumur,
perbanyak
minum dan
jangan paksa
dimuntahkan
 Beri napas
buatan juka tidak
dapat bernapas
 Hubungi dokter
JOB SAFETY ANALYSIS

Judul Percobaan Biopestisida


Shuft/Kelompok Selasa 13.00-15.300 WIB/ 2 (Dua)
Nama Praktikan 10. M. Daffa Umar Syauqi 03031181722006
11. Agung Dwi Aryansyah 03031181722008
12. Sherly Bonita 03031181722014
13. Luthfiyah Afnan Sayidah 03031181722026
14. Indah Statiska 03031181722028
15. Rika Komala Sari 03031281722032
16. Ardi Perwira Sakti 03031281722034
17. Dyra Laksmi Prabaswara 03031281722040
18. Althaf Taufiqurrahman 03031281722052

Tindakan Yang
Identifikasi Bahaya Penyebab
Dibutuhkan
 Membersihkan
pecahan kaca secara

 Terjatuh karena prak- hati-hati, dan

Pecahnya alat gelas. tikan kurang hati-hati. mengganti kaca arloji

 Akibat terlalu panas.  Bila terdapat bahan


berbahaya di
dalamnya gunakan
APD.
Tumpahnya suspensi  Terjatuh karena prak- Membersihkan tumpahan

di meja dan dilantai. tikan kurang hati-hati. dengan air atau di pel
dengam pembersih lantai.
Anggota tubuh ter- Praktikan kurang berhati- Bilas dengan air mengalir

kena bahan kimia ber- hati saat menggunakan 10-20 menit dan lepaskan

bahaya, dan beracun. bahan. pakaian yang terkena


bahan.

Anda mungkin juga menyukai