Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biopestida
Biopestisida dapat digunakan untuk mengendalikan hama-hama yang sering
mengganggu tanaman. Biopestisida merupakan salah satu pestisida yang bahan
aktifnya berasal dari makhluk hidup berupa mikroorganisme seperti cendawan,
bakteri, nematoda dan virus. Mikroorganisme memiliki kemampuan yang setara
dengan pestisida sintetik. Biopestisida memiliki banyak jenisnya yaitu sesuai
dengan target sasaran oraganisme pengganggu dan penyebab penyakit. Jenis
pestisida yang digunakan keseharian yaitu dari herbisida, insektisida dan fungida.
Pemahaman mengenai biopestisida tidak dapat terlepas dari perkembangan dan
penerapannya pada proses pengendalian hama dan penyakit (Suwahyono, 2009).
Biopestisida memiliki senyawa organik yang mudah terdegradasi oleh
alam. Penggunaan biopestisida kurang disukai oleh petani karena efektivitasnya
relatif tidak secepat pestisida kimia. Efektivitas biopestisida sangat bervariasi
bergantung pada jenis bahan baku dan dosis. Biopestisida cocok dimanfaatkan
untuk pecegahan sebelum terjadi serangan hama pengganggu dan penyakit pada
tenaman. Tanaman yang mengandung senyawa tertentu yang dapat dimanfaatkan
sebagai antimikroba seperti lengkuas, nimba, dan cengkeh (Sumartini, 2016).
Pemahaman istilah pestisida baru muncul setelah berkembangnya industri
agrokimia di Eropa dan Amerika yang memproduksi pupuk dan pestisida kimia
sintetis. Zat racun kerjanya sangat radikal dan dapat membahayakan keselamatan
hayati secara berkelanjutan, tetapi petani tradisional menyebutnya dengan isitlilah
obat. Muncul produk pestisida yang bahan aktifnya berasal dari organisme hidup
yang diistilahkan dengan biopestisida (Suwahyono, 2009). Biopestisida seringkali
bereaksi lambat tetapi aman bagi manusia dan memiliki efek residu yang minim
terhadap lingkungan jika dibandingkan dengan pestisida sintetik (Pohan, 2014).
Biopestisida dapat diistilahkan sebagai pestisida biorasional yang tidak
mengakibatkan pemusnahan total dari populasi hama yang ada dan organisme lain
tidak menjadi target. Lembaga perlindungan lingkungan membaginya menjadi
tiga kelompok besar. Pemilihan ini banyak yang menjadi rujukan lembaga lain di

3
4

dunia seperti Badan Pertanian dan Pangan dunia (FAO) serta badan Kesehatan
Dunia (WHO). Salah satunya adalah pestisida mikrobial yaitu jenis produk
biopestisida yang mengandung mikroorganisme sebagai bahan aktif. Secara
sempit, kelompok ini sering disebut juga sebagai agen pengendali hayati atau agen
hayati. Kelompok pestisida lainnya yaitu Protektan Bagian Integral Tanaman
(PBIT). Bahan materi genetik yang bersifat pestisidal artinya faktor keturunan
(DNA) dapat membentuk senyawa racun (Suwahyono, 2009).

2.2. Mekanisme Kerja Biopestisida pada Bakteri Parasit


Jenis bakteri juga ada yang menyebabkan kerusakan jaringan pada tubuh
serangga. Mekanismenya bisa secara oral atau termakan serangga dan masuk ke
dalam pencernaan serangga. Mekanisme bakteri tersebut akan mengakibatkan
serangga mati. Bakteri yang dapat membunuh serangga dapat disebut dengan
istilah bakteri entomopantogen. Bakteri yang dapat membunuh jamur dapat
diisitilahkan sebagai bakteri mikopatogen. Menurut Salaki dan Sembiring (2009),
jenis bakteri entomopantogenik sakah satunya adalah bakteri pembentuk spora
yaitu Bacillus thuringiensis. Bakteri ini merupakan pilihan utama dalam
pemanfaatan mikrobia sebagai agensia pengendalian hayati serangga hama. B.
thuringiensis dalam proses pertumbuhannya akan menghasilkan badan inklusi
parasporal berupa kristal protein Delta-endotoksin dan bersifat toksik terhadap
beberapa serangga seperti anggota ordo lepidoptera, ciptera, dan coleoptera.
Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang
mampu menginfeksi serangga dengan cara masuk ke dalam tubuh serangga inang
melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum
cendawan yang menempel pada tubuh serangga inangnya kemudian berkecambah.
Inokulum cendawan berkembang membentuk tabung kecambah kemudian masuk
menembus kulit tubuh. Penembusan cendawan dilakukan secara mekanis atau
kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Cendawan berkembang dalam
tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh sehingga serangga mati.
Misela pada cendawan menembus keluar tubuh inang dan tumbuh menutupi tubuh
inang, serta memproduksi konidia. Jenis cendawan yang efektif mengendalikan
hama adalah Beauveria sp., dan Nomuraea rileyi (Herdatiarni dkk, 2014).
5

Biopestisida bekerja dengan cara merusak perkembangan telur, larva dan


pupa, menghambat pergantian kulit, mengganggu komunikasi antara serangga
satu dengan lainnya dan dapat mengusir serangga. Biopestisida dapat bekerja
dengan cara mengurangi nafsu makan sehingga serangga menolak untuk makan
dan bisa memblokir kemampuan makan serangga. Biopestisida juga dapat bekerja
dengan cara menghambat reproduksi (Sudarmono dan Mulyaningsih, 2014).
Mekanisme kerja biopestisida dalam membasmi serangga hama tanaman
dibagi menjadi dua yaitu dengan cara meracuni makanannya dan dengan langsung
meracuni serangga tersebut. Menurut Hasibuan (2015), terdapat tiga cara masuk
insektisida ke dalam tubuh serangga yaitu racun lambung, racun kontak dan racun
pernafasan. Racun lambung atau perut merupakan insektisida yang pengendalian
sasarannya dengan cara masuk ke pencernaan serangga melalui makanan yang
mereka makan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan serangga dan diserap
oleh dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan
sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida. Insektisida menuju ke pusat syaraf
serangga, menuju organ-organ respirasi, dan meracuni sel-sel lambung.
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam serangga melalui
kulit, celah atau lubang alami pada tubuh (trakea). Racun kontak juga bisa
langsung mengenai mulut serangga. Serangga akan mati apabila serangga tersebut
kontak langsung dengan insektisida. Racun kontak secara umum berperan sebagai
racun perut. Racun pernafasan adalah insektisida yang masuk melalui trakea
serangga dalam bentuk partikel mikro yang melayang di udara. Serangga akan
mati apabila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup.
Racun pernafasan ini berbentuk gas, asap, atau uap air dari insektisida cair.
Cara kerja insektisida mempunyai spesifikasi terhadap aplikasinya seperti
mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman, contohnya hama
penggerek batang. Penanganannya berupa dilakukan dengan insektisida sistemik
atau sistemik lokal. Residu insektisida akan ditranslokasikan ke jaringan di dalam
tanaman. Hama yang memakan jaringan di dalam tanaman akan mati keracunan.
Hama yang berada di dalam tanaman tidak sesuai dikendalikan dengan aplikasi
penyemprotan insektisida kontak karena ada di dalam jaringan (Hasibuan, 2015).
6

2.3. Macam-Macam Biopestisida


Biopestisida merupakan cara yang paling efektif dalam membasmi hama.
Biopestisida sebagai pengendali hama yang digunakan petani hingga saat ini
memiliki beberapa macam. Penggolongan dari berbagai macam biopestisida ini
didasarkan pada mikroorganisme yang digunakan untuk mengendalikan hama
pada tanaman. Macam-macam biopestisida tersebut digolongkan menjadi tiga
yaitu insektisida biologi, herbisida biologi dan fungisida biologi (Lingga, 1994).
2.3.1. Herbisida Biologi
Bioherbisida merupakan salah satu jenis biopestisida yang banyak sekali
digunakan dalam bidang pertanian. Golongan bioherbisida ini memiliki fungsi
sebagai pengendalian berbagai gulma. Cara yang dilakukan dalam bioherbisida
untuk mengendalikan gulma adalah dengan cara menimbulkan serangan penyakit
yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus yang akan menyebar pada gulma,
sehingga akan mudah terikut terserang penyakit. Bioherbisida yang pertama kali
digunakan ialah Devine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang
digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman jeruk. Gulma tersebut
dikenal dengan Morrenia odorata. Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan
Colletotrichum gloeosporioides, jenis ini digunakan untuk mengendalikan gulma
pada tanaman padi dan kedelai di Amerika Serikat (Sukman dan Yakup, 2002). 
2.3.2.   Insektisida Biologi
Bioinsektisida berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida.
Mikroorganisme yang dalam bioinsektisida yang menyebabkan penyakit pada
serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan maupun tumbuhan
lainnya. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai
sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran, dan
tidak menyerang serangga yang tidak megganggu tanaman. Insektisida biologi
saat ini hanya beberapa yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas.
Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi
salah satu jenisnya adalah Bacillus thuringiensis Jenis insektisida ini efektif untuk
membasmi larva nyamuk dan lalat. Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah
Nosema locustae untuk membasmi belalang dan jengkrik (Purnomo, 2010).
7

2.3.3. Fungisida Biologi


Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek
dagang Ganodium P. Produk ini direkomendasikan untuk tanaman mengendalikan
busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium rolfsi. Jenis biofungsida
lain yang sudah lama dikenal yaitu Bacillus subtilis. Jenis bifungsida ini
merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp.
pada pembusukan batang dan akar tanaman tomat. Biofungisida merupakan
biopestisida yang digunakan untuk tanaman dengan fungsinya mengendalikan
jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah Trichoderma. Jenis
mikroorganisme ini digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada
tanaman karet. Biofungisida lainnya yaitu Gliocladium (Amaria dkk, 2016).
Biofungisida merupakan salah satu jenis pestisida dari organisme tertentu
yang digunakan untuk mengendalikan suatu penyakit yang disebabkan oleh jamur
pada tanaman. Fungisida adalah pestisida yang secara sfesifik membunuh atau
menghambat cendawan penyebab penyakit. Fungisida dapat berbentuk cair gas,
butiran, dan serbuk. Fungisida dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu
fungisida selektif dan juga non selektif. Fungisida selektif ialah fungisida sulfur,
tembaga, quinon dan heterosikli. Fungisida non selektif sebagai fungisida
hidrokarbon aromatik, anti-oomycota, oxathiin, organofosfat, dan fungisida yang
menghambat sintesis dari sterol, serta fungisida. Fungisida selektif ini berfungsi
membunuh jamur tertentu namun tidak menyakiti jamur lain (Amaria dkk, 2016).

2.4. Daun Sirih


Sirih merupakan tanaman menjalar dan merambat pada batang pokok di
sekelilingnya dengan daunnya yang memiliki bentuk pipih seperti gambar hati,
tangkainya agak panjang, tepi daun rata, ujung daun meruncing, pangkal daun
berlekuk, tulang daun menyirip, dan daging daun yang tipis. Permukaan daunnya
berwarna hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek
atau hijau agak kecoklatan dan permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut.
Sirih hidup subur dengan ditanam di atas tanah gembur yang tidak terlalu lembab
dan memerlukan cuaca tropika dengan air yang mencukupi. Sirih merupakan
tumbuhan obat yang sangat besar manfaatnya (Moeljanto, 2003).
8

Sirih merupakan tanaman yang dikenal merupakan tanaman yang


tingginya mencapai 15 m. Daun berbentuk jantung, jika diremas mempunyai
aroma sedap. Bagian tanaman yang digunakan adalah daunnya. Daun sirih
mengandung minyak atsiri sebanyak 4% (hidroksi kavikol, kavikol,kavibetol,
estragol, eugenol, metil eugenol, karvakrol, terpen, dan seskuiterpen), tanin,
diastae, gula, dan pati. Kandungan minyak atsirinya memiliki daya membunuh
kuman (bakteriosid), fungi, dan jamur. Rasa sirih pedas, bersifat hangat, astringen,
aromatik, dan stimulan. Chavikol yang menyebabkan sirih berbau khas dan
memiliki khasiat antibakteri atau daya bunuh bakteri yang lima kali lebih kuat dari
pada fenol serta imunomodulator (Liunessi dan Ula, 2018).
Sirih dalam pengobatan tradisional digunakan untuk menguatkan gigi,
menyembuhkan luka-luka kecil yang berada dimulut, menghilangkan bau badan,
menghentikan pendarahan di gusi dan sebagai obat kumur. Air rebusan daun sirih
hijau digunakan untuk membersihkan kemaluan kaum wanita. Cara ini terbukti
dapat merawat vagina dan menghindari keputihan. Kandungan fenol (karvakrol)
dan fenilpropan (eugenol dan kavikol) di dalam minyak atsiri daun sirih hijau
berfungsi sebagai antiseptik (bakterisida dan fungisida yang sangat kuat) daripada
fenol biasa) serta imunomodulator. Antibakteri pada fenol daun sirih sangat
efektif untuk mengurangi bahkan menekan pertumbuhan bakteri tanaman. sirih
memiliki kandungan fenol yang khas (Liunessi dan Ula, 2018).
Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri
1-4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C,
yodium, gula, dan pati. Berbagai kandungan tersebut, dalam minyak atsiri terdapat
fenol alam yang mempunyai daya antiseptik 5 kali lebih kuat dibandingkan fenol
biasa (bakterisid dan fungisid) tetapi tidak sporasid. Minyak atsiri merupakan
minyak yang mudah menguap dan mengandung aroma atau wangi yang khas.
Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol dan beberapa derivatnya.
Minyak atsiri terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol,
metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin. Kavikol
merupakan komponen paling banyak dalam kandungan minyak atsiri yang
memberi bau khas pada tanaman sirih (Moeljanto, 2003).
9

2.5. Pestisida Nabati


Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat
pertahanan alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung banyak
bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Tumbuhan kaya
akan bahan bioaktif, walaupun hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit
sekunder yang telah teridentifikasi. Jumlah bahan kimia yang terdapat pada
tumbuhan melampaui 400.000. 1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida
nabati dapat digunakan untuk pengendalian hama. Di Indonesia sebenarnya sangat
banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar
2400 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 235 famili (Kardinan, 1999). Jenis
tanaman tersebut dari famili Asteraceae, Fabaceae, dan Euphorbiaceae banyak
mengandung bahan insektisida nabati yang sering digunakan.
Nenek moyang kita memakai pestisida nabati sebagai pembasmi hama
pada tumbuhan atas dasar kebutuhan praktis serta disiapkan menggunakan cara
tradisional. Kelebihan dalam penggunaaan pestisida nabati dibandingkan dengan
penggunaan pestisida secara konvensional diantaranya (Sastrosiswojo, 2002):
1) Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang unik, yaitu tidak
meracuni (non-toxic).
2) Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif
aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang.
3) Penggunaannya dalam jumlah (dosis) yang kecil atau rendah.
4) Mudah diperoleh di alam, contohnya di Indonesia sangat banyak jenis
tanaman-tanaman penghasil pestisida nabati.
5) Cara pembuatannya yang relatif mudah dan secara sosial-ekonomi
penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil.
Pestisida nabati bersifat pukul dan lari, saat diaplikasikan akan membunuh
hama saat itu juga dan setelah hamanya mati, residunya akan hilang di alam.
Kondisi ini mengakibatkan produk terbebas dari residu pestisda sehingga aman
dikonsumsi manusia. Pestisida nabati menjadi alternatif pengendalian hama yang
aman dibanding pestisida sintetis. Penggunaan pestisida nabati memberikan
keuntungan ganda, menghasilkan produk yang aman, lingkungan tidak tercemar.
10

2.5. Degradasi Residu Pestisida


Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai dengan baik di
dalam lingkungan yang abiotik maupun lingkungan biotik. Beberapa faktor yang
berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan,
dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun fotokimia. Hidrolisis
diazinon menjadi IMHP (2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxy pyrimidine) terutama
diatur oleh proses abiotik. Degradasi dari diazinon dapat meningkat disebabkan
oleh mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisme menjadi faktor yang lebih
dominan dari faktor abiotik dalam penguraian pestisida (Leland 1998).
Formulasi diazinon terdegradasi menjadi tetraetilpirofosfat menghasilkan
sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP). Kedua dari senyawa
tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dibandingkan dengan diazinon.
Senyawa tersebut merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP
yaitu 14000 kali lebih toksik daripada diazinon (Allender dan Britt, 1994).
Oksidasi diazinon menjadi diazoxon yang lebih toksik, terjadi pada tumbuhan.
Oksidasi yang terjadi di mikrosom hati, dalam kondisi ada oksigen dan
NADPH2 pada vertebrata. Oksidasi terjadi dalam lemak tubuh dan metabolitnya
dikeluarkan pada insekta. Kecepatan proses oksidasi dari diazinon menjadi
diazoxon, dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10oC–60oC, diazoxon tidak
bisa diisolasi dari tanah. Degradasi diazinon lebih cepat pada air dengan suhu
lebih hangat, maka degradasi menjadi 2-4 kali lebih cepat pada air dengan suhu
21oC dibandingkan pada air dengan suhu (Leland 1998).
Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik)
terjadi melalui reaksi primer yaitu hidrolisis yang diikuti dengan reaksi
pemecahan rantai cincin diazinon. Diazinon akan terdegradasi pada reaksi primer
menjadi 2-isopropyl-4-methyl-6-pyrimidinol dan juga tiofosfonat. Diazinon dapat
mengalami dekomposisi secara fotolisis pada pH 3 menghasilkan bentuk organik
antara yang bisa diekspresikan sebagai jumlah dari IMHP dan tiofosfonat sebagai
C diikuti dengan pembentukan ion SO4-2. Produk dari hidrolisis dan fotolisis
tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya lebih rendah
dibandingkan senyawa diazinon (Bollag, 1974). Degradasi diazinon di air dapat
disebabkan oleh hydrolisis, terutama pada kondisi asam.
11

Degradasi diazinon di tanah akan terurai menghasilkan CO2 (Roberts dan


Hutson 1999). Degradasi diazoxon yang diaplikasi pada tanah silt loam pada pH
8,1 dan suhu 25oC ditemukan mengikuti kurva linier dan half-life dalam tanah
ditemukan 18 jam. Half-life diazinon studi laboratorium di tanah dengan pH 7,8
selama 39 hari. Diazinon dan diazoxon dihidrolisis menjadi IMHP yang memiliki
toksisitas sangat rendah dan ada dalam dua bentuk isomer yaitu keton dan enol.
Kecepatan hidrolisis diazoxon adalah 10 kali diazinon pada pH 8,4. Diazinon dan
diazoxon masing-masing dikatalis dalam kondisi asam dan basa. Kondisi pH air
alami 5,5-8,5 dan suhu kurang dari 25oC, residu diazinon akan bertahan lama.
Hidrolisis dalam tanah lebih baik diadsorpsi daripada dikatalisis asam.
Aplikasi insektisida di lingkungan tidak hanya mempengaruhi jumlah dan
aktifitas metabolik mikroorganisme, tetapi juga bisa merubah struktur komunitas
mikroorganisme dalam tanah, beberapa mikroorganisme bisa tertekan dan lainnya
berkembangbiak (Johansen dkk, 2001). Akumulasi pestisida disebabkan adanya
adsorbsi oleh alam melalui tanah, air dan makhluk hidup lainnya (Tarumingkeng,
1992). Diazinon dapat diserap oleh akar tanaman dan di translokasikan pada
tanaman dan cepat didegradasi di daun, buah dan rumput-rumputan dengan half-
life berkisar 2-14 hari. Diazinon di tanaman mengalami metabolisis menghasilkan
produk hidrolisis pyrimidinol (hydroxyl pyrimidinol) dan diazoxon.
Pestisida yang masih tertinggal di biosfer harus didegradasi agar menjadi
berkurang atau hilang secara keseluruhan. Diazinon dilepas ke air permukan atau
tanah melalui volatilisasi, fotolisis, hidrolisis dan biodegradasi. Biodegradasi pada
kondisi aerob merupakan alur proses utama diazinon di tanah dan air. Degradasi
diazinon pada kondisi anaerob berlangsung baik. Half-life diazinon dipengaruhi
oleh pH dan tipe tanah, pada pH 4, 7 dan 10, half-life diazinon adalah 66, 209.
Kecepatan degradasi di alam dipengaruhi oleh banyak pestisida dan faktor waktu.
Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun akibat metabolisme yang
berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut (Leland 1998).
Ameliorasi merupakan suatu teknologi untuk menurunkan residu pestisida di
lingkungan pertanian. Arang aktif merupakan salah satu jenis bahan amelioran
potensial yang dapat menurunkan residu pestisida.
12

2.6. Penelitian Terkait


Penelitian yang berkaitan dengan percobaan ini ialah Hidayat dkk, (2010)
yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) untuk
Mengendalikan Damping-Off pada Tanaman Cabai (Capsicum annum).
Perendaman benih cabai dengan ekstrak daun sirih 60% pada perendaman 1 jam
dan 2 jam terbukti mampu memberikan daya berkecambah yang lebih tinggi.
Senyawa aktif pada ekstrak daun sirih mampu mencegah serangan Scelorotium
rolfsii melalui mekanisme pereduksian miselium, sehingga terjadi pemendekan
pada ujung hifa, dan miselium lisis. Senyawa pada ekstrak daun sirih tidak hanya
berpengaruh pada cendawan Scelorotium rolfsii namun juga pada benih melalui
mekanisme penghambatan metabolisme sel, mengakumulasi globula lemak di
dalam sitoplasma sel, dan mengurangi jumlah mitokondira.
Penelitian yang berkaitan dengan percobaan ini Suhartini, dkk (2017) yang
berjudul Pemanfaatan Pestisida Nabati pada Pengendalian Hama Plutella
Xylostella Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Menuju Pertanian Ramah
Lingkungan. Ekstrak daun yang berpengaruh pada mortalitas Plutella xylostella
secara berurutan adalah tembakau, daun sirih, daun kayu kuning dan tapak liman.
Pengaruh ekstrak daun terhadap berat basah sawi secara berurutan ialah daun kayu
kuning, daun sirih hijau, daun tapak liman dan daun tembakau. Ekstrak daun
tembakau, tapak limau, daun kayu kuning dan daun sirih hijau dengan konsentrasi
10% dari ekstrak belum memberikan pengaruh pada mortalitas Plutella xylostella.
Penelitian yang berkaitan dengan percobaan ini ialah Sritamin dan
Singarsa (2017) yang berjudul Utilization of Betel Leaf Extract as Botanical
Pesticides to Control meloidogyne spp. and Tomato Plant Production. Kondisi
saat menuju pertumbuhan tanaman, konsentrasi dari ekstrak daun sirih yang
digunakan, telah memberikan efek berbeda terhadap perubahan yang diamati.
Perilaku tersebut dapat dilihat pada konsentrasi 20% yang mana telah memberikan
hasil bagus terhadap pertumbuhan tanaman. Kondisi tersebut berbanding terbalik
dengan penggunaan konsentrasi yang lebih rendah yang menyebabkan
pertumbuhan melambat. Konsentrasi terbaik dari penggunaan daun sirih sebagai
biopestisida pada tanaman tomat ialah pada konsentrasi 30%.
DAFTAR PUSTAKA

Allender, W. J. and Britt, A. G. 1994. Analysis of liquid diazinon formulations


and breakdown products: An Australia-wide survey. Bull. Environ.
Contam. Toxicol. Vol. 53(1): 902-906.
Amaria, W., Ferry, Y., dan Soesanthy F. 2016. Keefektifan Biofungisida
Trichoderma Sp. dengan Tiga Jenis Bahan Pembawa Terhadap Jamur Akar
Putih. J. TIDP. Vol 3(1): 37-44.
Bollag, J-M. 1974. Microbial transformation of pesticides. Adv Appl Microbiol.
Vol. 18(1): 75-130.
Hasibuan, R. 2015. Insektisida Organik Sintetik dan Biorasinal. Yogyakarta:
plantaxia.
Herdatiarrni, F., Himawan, T., dan Rchmawati, R. 2014. Eksplorasi Cendawan
Entomopatogen Beauveria sp. Menggunakan Serangga Umpan pada
Komoditas Jagung, Tomat dan Wortel Organik di Batu, Malang. Jurnal
HPT. Vol. 1(3): 1-11.
Hidayat, T., Supriyadi., dan Sarjiyah. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun
Sirih (Piper betle L.) untuk Mengendalikan Damping-Off pada Tanaman
Cabai (Capsicum annum). Jurnal Agro Science. Vol. 3(1): 60-66.
Johansen, K., Jacobsen, CS., dan Torsvik, V. 2001. Pesticide Effect on Bacterial
Diversity in Agricultural Soil. Biol. Ferti. Soil. Vol. 33(1): 443-453.
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, pameran dan Aplikasi. Jakarta: PT. Penebar
Swadaya.
Leland, J. E. 1998. Evaluating the Hazard if Land Applying Composted Diazinon
Waste Using Earthworm Biomonitoring. Virginia: Faculty of The Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Lingga, P. 1994. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya.
Liunesi, D. F., Dan Ula, Z. 2018. Pengaruh Penggunaan Air Rebusan Daun Sirih
Hijau (Piper Betle L.) Terhadap Flour Albus Pada Wanita Usia Subur.
Jurnal Kesehatan. Vol 8(2): 39-44.
Moeljanto R. 2003. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih. Jakarta: Agromedia Pustaka
Pohan, S. D. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Tanaman sebagai Pestisida Alami
(Biopestisida) dalam Pengendalian Hama Serangga. Jurnal Pengapdian
kepada Masyarakat. Vol. 20(75): 94-99.
Purnomo H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta: Andi Offset.
Roberts, TR. dan Hutson, DH. Insecticides and Fungicides. 1999. Cambridge:
The Royal Society of Chemistry.
Salaki, C. L., dan Sembiring, L. 2009. Prospek Pemanfaatan Bakteri
Entomopatogenik Sebagai Agensia Pengendali Hayati Serangga Hama.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA. Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. 16
Mei 2009. 21-27.
Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Penggunaan
Biopestisida di Indonesia. Yogyakarta: Lokakarya Keanekaragaman
Hayati Untuk Perlindungan Tanaman.
Sudarmono, S., dan Mulyaningsih, S. 2014. Mudah Membuat Pestisida Nabati.
Jakarta: PT AgroMedia Pustaka.
Sukman, Y. dan Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sumartini. 2016. Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi. Iptek Tanaman Pangan. Vol. 11(2): 159-165.
Suwahyono, U. 2009. Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadya.
Tarumingkeng, R.C. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor:
IPB Press.
Suhartini, Suryadarma, dan Budiwari. 2017. Pemanfaatan Pestisida Nabati pada
Pengendalian Hama Plutella xylostella Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Menuju Pertanian Ramah Lingkungan. Jurnal Sains Dasar. Vol. 6(1): 36-
43.
Sritamin, M., dan Singarsa, I. D. P. 2017. Utilization of Betel Leaf Extract as
Botanical Pesticides to Control meloidogyne spp. and Tomato Plant
Production. Journal of Advances in Tropical Biodiversity and
Environmental Sciences. Vol. 1(1): 15-17.

Anda mungkin juga menyukai