Anda di halaman 1dari 23

BAB III

BIOINSEKTISIDA MIKROBA DAN VIRUS

3.1 Pendahuluan

Serangan hama merupakan salah satu penyebab kerusakan yang dapat


mengganggu pertumbuhan tanaman atau pepohonan, bahkan dapat menimbulkan
kerugian dalam bentuk kematian, menurunkan produktivitas dan atau kualitas kayu
sehingga secara ekonomis pohon yang ditanam tidak akan memberikan hasil yang
diharapkan. Untuk menanggulangi serangan hama, cara yang paling sering digunakan
adalah menggunakan insektisida kimia, karena dianggap paling cepat dan ampuh
mengatasi gangguan hama. Namun penggunaannya sering menimbulkan dampak negatif
berupa resistensi, resurjensi, terbunuhnya serangga atau organisme yang berguna, dan
dapat membahayakan bagi manusia dan ternak serta dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan.

Salah satu pemecahannya adalah usaha alternatif pengendalian yang lebih aman
dan efektivitasnya minimal sama dengan insektisida kimia. Bioinsektisida atau insektisida
hayati pada saat ini semakin banyak dimanfaatkan dalam pengendalian hama karena
memiliki beberapa kelebihan, antara lain tidak membunuh organisme non target karena
memiliki spesifikasi infeksi, tidak berbahaya bagi manusia, mamalia dan ikan serta tidak
meninggalkan residu terhadap lingkungan. Dukungan dari para peneliti terhadap
bioinsektisida ini juga sangat besar, terbukti dengan banyaknya hasil penelitian mengenai
pemanfaatan bioinsektisida sebagai agen pengendali hayati yang ramah lingkungan.
Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrochemical atau bahan
insektisida kimia telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai
teknologi alternatif untuk menurunkan populasi hama.

Dengan memperhatikan semua kekurangan dari penggunaan insektisida kimia,


insektisida alternatif untuk mengendalikan insekta yang berbahaya telah dicari selama lebih
dari 20 tahun. Insektisida yang dihasilkan secara alami oleh mikroorganisme atau tanaman
merupakan pilihan yang tepat. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan pilihan yang aman,
spesifik, efektif dan biodegradable. Kebaikan insektisida alami adalah sangat spesifik
terhadap spesies insekta target. Namun, kelemahannya adalah daya bunuhnya rendah dan
biaya produksinya tinggi. Sisi negatif ini dapat diatasi dengan teknologi DNA rekombinan.
Para peneliti telah memanipulai gen yang mengkode toksin insektisida mikroba untuk
meningkatkan efektivitas dari insektisida tersebut.

1
Bioinsektisida adalah mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agen
pengendalian serangga hama. Pemanfaatan bioinsektisida sebagai agen hayati pada
pengendalian hama merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT).
Hama serangga juga peka terhadap virus, sehingga virus sebagai dasar bioinsektisida
bermanfaat untuk mengendalikan penyebaran hama. Contoh virus yang telah diujicobakan
adalah kelompok Baculovirus. Baculovirus mempengaruhi hama serangga seperti hama
penggerek jagung, hama penggerek kentang, kutu penggerek, dan kumbang penghisap.
Bioinsektisida pun memiliki siklus hidup yang pendek dan efektif di jumlah kecil, aman bagi
manusia dan hewan, jika dibandingkan dengan pestisida sintetik, seringnya berpengaruh
hanya pada satu spesies serangga. Walaupun demikian, bioinsektisida juga memiliki
kekurangan, yaitu cara kerjanya lamban dan cara pengaplikasiannya relatif rumit. Namun
begitu banyaknya agen bioinsektisida ini sebagai organisme hidup, keberhasilan sumber
dasar bioinsektisida pun dipengaruhi oleh faktor lain seperti temperatur, pH, pengembunan,
sinar ultraviolet, kondisi tanah, dan mikroba kompetitor lainnya yang ada di lingkungan.
Kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, antara lain
yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia. Pada bagian ini akan
difokuskan pembahasannya pada penggunaan bioinsektisida dari kelompok mikroba dan
virus.

3.2 Bioinsektisida dari mikroba

Bioinsektisida adalah bahan-bahan alami yang bersifat racun serta dapat


menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai
pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi organisme pengganggu
tanaman (Agrios, 1998).

Menurut Sastrosiswojo (2002) bioinsektisida atau insektisida hayati adalah suatu


jenis insektisida yang berasal dari bahan alami, misalnya binatang, tanaman, bakteri, dan
mineral tertentu. Bioinsektisida terdiri dari tiga kelompok sebagai berikut :

1. Insektisida Mikrobial
Insektisida mikrobial mengandung mikroorganisme sebagai bahan aktif (contohnya
bakteri, fungi, virus, dan protozoa). Jenis insektisida mikrobial yang paling banyak
digunakan adalah bakteri Bacillus thuringiensis, virus, dan fungi karena banyak
menyerang serangga dengan tingkat penyebaran dan serangan lebih intensif
dibanding kelompok mikroorganisme lain.
2. Protektan-Bagian Integral-Tanaman (PBIT)
PBIT adalah bahan insektisida yang telah ditambahkan (dimasukkan) ke dalam
tanaman. Kelompok ini sering disebut sebagai tanaman transgenik.
3. Insektisida Biokimia
Insektisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami yang dapat
mengendalikan hama dengan mekanisme non-toksik. Insektisida biokimia mencakup
bahan-bahan seperti feromon seks dan berbagai ekstrak tanaman yang memikat
serangga hama kepada perangkap. Insektisida hayati tumbuhan atau insektisida
nabati dimasukkan ke dalam kelompok insektisida biokimia karena mengandung
biotoksin.
4. Insektisida Hayati Tumbuhan
Penggunaan insektisida hayati tumbuhan merupakan salah satu alternative pilihan.
Secara alamiah nenek moyang telah mengembangkan insektisida hayati tumbuhan
yang ada di lingkungan pemukiman. Nenek moyang memakai insektisida hayati atas
dasar kebutuhan praktis dan disiapkan secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang
karena desakan teknologi yang tidak ramah lingkungan.

A. Penggunaan Bioinsektisida Mikroba

Pemanfaatan bioinsektisida mikroba dapat menggunakan berbagai organisme,


misalnya parasitoid, predator maupun mikroorganisme patogen seperti jamur, bakteri
bahkan virus.

Insektisida mikroba adalah senyawa toksik yang dihasilkan oleh mikroba yang
berfungsi untuk membunuh spesies insekta atau mempunyai kemampuan menginfeksi
insekta target spesifik. Insektisida mikroba yang paling efektif dan paling sering digunakan
adalah toksin yang disintesis oleh Bacillus thuringiensis.

Bacillus thuringiensis (Bt), merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal


protein di inclusion body-nya pada saat ia bersporulasi. Bioinsektisida Bt merupakan 90-
95% dari bioinsektisida yang dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di berbagai negara.
Dengan kemajuan teknologi, gen insektisidal Bt ini telah dapat diisolasi dan diklon sehingga
membuka kemungkinan untuk diintroduksikan ke dalam tanaman.

B. thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat


membunuh serangga (insektisidal) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan
Whiteley, 1989).
Bakteri ini terdiri dari sejumlah strain yang berbeda (subspecies disingkat subsp.),
dimana masing-masing subspecies menghasilkan toksin yang berbeda yang membunuh
insekta yang berbeda pula. B. thuringiensis subsp. kurstaki, misalnya, menghasilkan toksin
yang membunuh larva lepidopteran meliputi moth, butterfly, skipper, cabbage worm, dan
spruce budworm. B. thuringiensis subsp. israelensis membunuh diptera seperti, mosquito
dan black fly. B. thuringiensis subsp. tenebrionis (juga dikenal sebagai san diego) efektif
membunuh beetle, seperti potato beetle dan boll weevil. Ada banyak strain B. thuringiensis
yang lain dan masing-masing menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap insekta
yang berbeda.

Kerja toksin insektisida B. thuringiensis mengalami hambatan dalam aplikasinya.


Untuk membunuh hama insekta, B. thuringiensis harus dicerna oleh insekta. Kontak bakteri
atau toksin insektisida dengan permukaan insekta tidak mempunyai pengaruh terhadap
insekta target. Bakteri B. thuringiensis umumnya diterapkan dengan penyemprotan,
sehingga bakteri ini selalu dicampurkan dengan zat penarik insekta untuk meningkatkan
kemungkinan insekta mencerna toksin. Akan tetapi, insekta yang terdapat di dalam
tanaman atau insekta yang menyerang akar tanaman tidak dapat dijangkau oleh toksin
insektisida B. thuringiensis dengan penyemprotan, sehingga strategi yang lain harus dipilih
untuk mengendalikan hama insekta tersebut. Salah satu kemungkinannya adalah membuat
tanaman transgenik yang membawa dan mengekspresikan gen toksin B. thuringiensis.
Faktor pembatas kedua dari kerja toksin insektisida B. thuringiensis adalah toksin ini hanya
membunuh insekta pada tahap perkembangan spesifik. Dengan demikian, toksin harus
diterapkan ketika populasi hama pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya.

B. thuringiensis subsp. kurstaki pertama kali ditemukan pada tahun 1902. Sampai
dengan tahun 1951, bakteri ini belum diketahui mempunyai kemampuan membunuh
insekta. Mulai tahun 1950-an, B. thuringiensis subsp. kurstaki sangat penting artinya dan
telah digunakan untuk mengontrol spruce budworm di Canada. Pada tahun 1979, kira-kira
1% atau kira-kira 2 juta hektar hutan di Canada disemprot dengan B. thuringiensis subsp.
kurstaki untuk melawan spruce budworm. Pada tahun 1986, penggunaan B. thuringiensis
subsp. kurstaki meningkat drastis. Bakteri ini digunakan untuk menangani kira-kira 74%
hutan di Kanada yang diserang oleh spruce budworm. Di negara lain, B. thuringiensis
subsp. kurstaki digunakan untuk membasmi caterpillars, gypsy moth, cabbage worm,
cabbage looper, dan tobacco hornworm. Kendala utama aplikasi B. thuringiensis subsp.
kurstaki adalah harganya 1,5 sampai 3 kali lebih mahal dari insektisida kimia.

Aktivitas insektisida dari B. thuringiensis subsp. kurstaki dan strain yang lain
terdapat dalam struktur yang sangat besar yang disebut dengan kristal paraspora,
disintesis pada tahap sporulasi bakteri. Kristal paraspora terdiri dari 20-30% massa kering
dari kultur sporulasi dan penyusun utama adalah protein (>95%) dan sisanya adalah
sejumlah kecil karbohidrat (<5%). Kristal merupakan agregasi satu jenis protein yang dapat
didisosiasi oleh suasana basa menjadi subunitnya, masing-masing dengan massa molekul
kira-kira 250 kDa. Kira-kira 20 residu glukosa dan 10 residu manosa diasosiasikan pada
masing-masing subunit polipeptida. Subunit dapat didisosiasikan secara in vitro oleh β-
merkaptoetanol (yang mereduksi ikatan disulfida) menjadi dua rantai polipeptida identik,
masing-masing dengan massa molekul kira-kira 130 kDa (Gambar 4.1).
Kristal paraspora bukan merupakan bentuk aktif dari insektisida mikroba, melainkan
merupakan protoksin, yaitu prekursor dari toksin aktif. Jika kristal paraspora dicerna oleh
insekta target, protoksin diaktivasi di dalam usus insekta oleh basa dengan pH 7,5 – 8,0
dan protease pencernaan spesifik, dan merubah protoksin menjadi toksin aktif dengan
massa molekul kira-kira 68 kDa (Gambar 4.1). Dalam bentuk aktif, protein toksin terinsersi
ke dalam membran dari sel epitel usus dan selanjutnya membentuk saluran ion sehingga
terjadi kehilangan ATP seluler (Gambar 4.2). Setelah kira-kira 15 menit setelah saluran ion
terbentuk, metabolisme sel berhenti, insekta berhenti makan akan mengalami dehidrasi
dan pada akhirnya akan mengalami kematian. Perubahan protoksin menjadi toksin aktif
memerlukan suasana basa dan enzim protease spesifik, dimana proses tersebut tidak akan
mempengaruhi non target seperti manusia dan hewan pertanian, seperti burung.

Gambar 3.1 Representasi skema dari kristal paraspora B. thuringiensis. Masing-masing


subunit protein 250 kDa dari kristal paraspora mengandung dua polipeptida
130 kDa. Pengubahan protoksin 130 kDa menjadi toksin aktif 68 kDa
memerlukan kombinasi basa (pH 7,5 – 8,0) dan kerja protease spesifik,
keduanya ditemukan dalam usus insekta.
Gambar 3.2 Insersi toksin B. thuringiensis ke dalam membran sel epitel usus insekta.
Toksin membentuk saluran ion antara sitoplasma sel dan lingkungan luar.

Untuk pengendalian hama insekta secara biologi, B. thuringiensis subsp. kurstaki


diterapkan dengan penyemprotan kira-kira 1,3 sampai 2,6x10 8 spora per kaki pada areal
target. Waktu hidup kristal paraspora sangat pendek di lingkungan karena kristal paraspora
sangat sensitif terhadap sinar matahari. Sinar matahari dapat mendegradasi lebih dari 60%
residu triptofan dari kristal paraspora selama 24 jam. Kristal paraspora mungkin tahan di
lingkungan selama satu hari atau bahkan selama sebulan tergantung pada adanya sinar
matahari.

Gambar 3.3: Proses infeksi B. thuringiensis subsp. kurstaki sebagai bioinsektisida pada
ulat.
Adapun proses dan mekanisme keracunan dan kematian ulat yang disebabkan oleh
bioinsektisida B. thuringiensis ditunjukkan pada Gambar 4.3 adalah berturut turut sebagai
berikut:
1. Larva ulat memakan tanaman yang telah mengandung spora dan kristal protein Bt.K
2. Dalam beberapa menit, kristal protein berikatan dengan reseptor spesifik pada
dinding usus dan ulat berhenti makan.
3. Beberapa menit kemudian, dinding usus pecah sehingga spora dan bakteri
memasuki jaringan tubuh, toksin pun larut dalam darah.
4. Dalam waktu 1-2 hari ulat akan mati.

Protein insektisida B. thuringiensis subsp. israelensis sangat toksik jika dicerna oleh larva
nyamuk. Akan tetapi, krista paraspora dari spesies ini tenggelam dengan cepat setelah
disemprotkan di atas air sehingga efektivitasnya terhadap larva nyamuk dan daya
bunuhnya berkurang. Untuk mengatasi masalah ini, gen toksin insektisida dapat
dimasukkan ke dalam organisme yang merupakan sumber makanan bagi larva nyamuk.
Proses toksifikasi kristal protein Bt. terhadap larva nyamuk dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 3.4: Proses toksifikasi kristal protein Bt. terhadap larva nyamuk.

Calon organisme yang cocok untuk tujuan ini adalah Synechocystis dan
Synechcoccus spp. serta sianobacteri fotosintesis yang merupakan sumber makanan
utama bagi larva nyamuk. Organisme lain yang potensial dijadikan induk untuk ekspresi
gen toksin insektisida asing adalah Caulobacter crescentus, suatu bakteri air yang
umumnya ditemukan tersebar secara luas dalam lingkungan air, di mana larva nyamuk
makan. Gen toksin dari B. thuringiensis subsp. israelensis dimasukkan dan diekspresikan
dalam organisme ini. Pada percobaan lain, toksin insektisida dihasilkan oleh sianobakteri
yang ditransformasi sangat toksik terhadap larva nyamuk.

B. Isolasi bakteri B. thuringiensis

Isolat Bt dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan
bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan
seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan
bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat
tersebut menghambat pertumbuhan spora Bt. menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam
media tersebut dipanaskan pada suhu 80 °C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan
membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-
spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah
dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan
ke media sporulasi Bt. Koloni yang tumbuh pada media ini dikonfirmasi keberadaan spora
atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat Bt.

C. Isolasi Gen Toksin B. thuringiensis

Hasil panen dapat diserang oleh lebih dari satu jenis spesies insekta. Oleh karena
itu, perlu untuk membuat toksin insektisida yang efektif melawan insekta target pada
spektrum yang luas. Toksin insektisida yang mempunyai spesifisitas yang luas dapat
diperoleh melalui :
1. Mentransfer gen toksin tertentu (misalnya toksin terhadap diptera) ke dalam strain B.
thuringiensis yang normalnya mensintesis toksin spesifik terhadap spesies yang
berbeda (misalnya toksin terhadap coleoptera), atau
2. Menggabungkan dua gen toksik spesifik terhadap spesies yang berbeda sehingga
dihasilkan toksin yang bekerja ganda (toksin hybrid).

Tidak semua isolat Bt. beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan
penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang
dapat dilakukan untuk hal ini yaitu, pertama dengan pendekatan molekular dan kedua
dengan bioasay.
Pendekatan molekular dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer-primer
yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal
(gen cry). Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat
tanpa terlebih dulu melakukan bioasay terhadap serangga target. Dengan demikian
penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan
cepat dan terarah.

Untuk menguji lebih lanjut daya toksisitas dari suatu isolat maka perlu dilakukan
bioasay dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada
serangga target. Dari bioasay ini dapat dibandingkan daya toksisitas antar isolat. Dengan
pendekatan seperti ini perusahaan BB-Biogen telah mengidentifikasi beberapa isolat Bt.
lokal yang mengandung gen cry1 dan beracun terhadap beberapa serangga dari ordo
Lepidoptera seperti Ostrinia furnacalis (penggerek jagung), Plutella xylostella (hama kubis),
Spodoptera litura (ulat grayak), S. exigua (hama bawang merah) dan Etiella zinckenella
(penggerek kedelai).

Untuk mengembangkan bioinsektisida B. thuringiensis yang mempunyai


kemampuan membunuh lebih besar dan lebih luas terhadap sejumlah spesies insekta, gen
protoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis perlu diisolasi dan dikarakterisasi. Sebelum
mengisolasi dan mengkarakterisasi gen protoksin, perlu ditentukan apakah gen protoksin
terletak dalam DNA plasmid atau DNA kromosom. Untuk menguji gen protoksin yang
terdapat dalam DNA plasmid, sumber strain B. thuringiensis dapat dikonjugasikan dengan
strain yang tidak mempunyai aktivitas insektisida. Jika strain yang tidak mempunyai
aktivitas insektisida sekarang mendapat kemampuan mensintesis toksin insektisida, maka
gen protoksin tersebut terdapat dalam DNA plasmid karena pemindahan DNA kromosom
selama konjugasi jarang terjadi.

Prosedur untuk mengisolasi DNA pengkode protoksin sama dengan prosedur


umum yang biasa dilakukan untuk mengisolasi dan mengkloning DNA rekombinan. Sel B.
thuringiensis ditumbuhkan dalam kultur dan dilisis. DNA dari sel total diisolasi dan
dipisahkan menjadi fraksi DNA plasmid dan DNA kromosom dengan sentrifugasi gradien
CsCl2. Jika gen protoksin merupakan bagian dari genom (kromosom), pustaka genom
harus dibentuk dari DNA kromosom. Sebaliknya, jika gen protoksin dikode oleh DNA
plasmid, DNA plasmid dapat difraksionasikan lebih lanjut menggunakan sentrifugasi
gradien sukrosa, yang memisahkan plasmid berdasarkan ukuran basanya.

B. thuringiensis subsp. kurstaki mengandung gen protoksin insektisida yang


terdapat pada salah satu dari tujuh plasmid yang berbeda, masing-masing dengan ukuran
2,0; 7,4; 7,8; 8,2; 14,4; 45; dan 71 kb. Untuk menentukan DNA plasmid B. thuringiensis
subsp. kurstaki yang membawa gen protoksin, sentrifugasi gradien sukrosa diterapkan
untuk memisahkan ke tujuh DNA plasmid menjadi menjadi tiga fraksi, yaitu plasmid dengan
ukuran kecil (2,0 kb), sedang (7,4; 7,8; 8,2; dan 14,4 kb), dan besar (45 dan 71 kb). Fraksi
yang mengandung plasmid ukuran kecil (2,0 kb) dibuang karena plasmid ini terlalu kecil
untuk mengkode protein yang equivalen dengan protoksin 130 kDa. Protoksin insektisida
paling sedikit dikode oleh DNA dengan ukuran 4,0 kb. Fraksi plasmid dengan ukuran
sedang dan besar selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi Sau3AI dan kemudian
diligasi ke dalam sisi BamHI dari plasmid pBR322 dengan bantuan enzim DNA ligase.

D. Rekayasa Genetika Strain B. thuringiensis

Pada kondisi normal, protein protoksin B. thuringiensis hanya disintesis selama fase
pertumbuhan sporulasi. Ini sangat menguntungkan di mana gen toksin ditranskripsi dan
ditranslasi selama pertumbuhan vegetatif. Produksi toksin insektisida selama pertumbuhan
vegetatif akan memungkinkan toksin disintesis melalui proses fermentasi kontinyu,
sehingga biaya produksi toksin dapat ditekan. Pada proses fermentasi kontinyu
diselenggarakan pada skala lebih kecil dan lebih murah dalam bioreaktor daripada
fermentasi bath konvensional.

Gambar 3.5. Prosedur untuk subkloning gen toksin Bt dari B. thuringiensis subsp. kurstaki
sehingga gen ini diekspresikan secara kontinyu di bawah pengendalian
promoter gen resisten tetrasiklin (pTet). Gen toksin B. thuringiensis yang
diisolasi dihilangkan promoternya dengan menggunakan enzim restriksi 1
dan 2 (RE1 dan RE2). Gen toksin digabungkan oleh DNA T4 ligase ke dalam
vektor plasmid sehingga terletak di bagian downstream dari pTet
menggantikan posisi gen resisten tetrasiklin yang telah dihilangkan
sebelumnya oleh RE1 dan RE2.
Selama sporulasi B. thuringiensis, faktor inisiasi spesifik (faktor sigma) berinteraksi
dengan promoter dari gen yang aktif hanya dalam bagian siklus hidup bakteri. Faktor ini
mengaktivasi transkripsi pada fase sporulasi. Jika gen toksin B. thuringiensis dengan
promoter spesifik diklon dan diekspresikan dalam sel Bacillus subtilis atau B. megaterium,
transkripsi gen hanya terjadi selama fase sporulasi. Dengan demikian, untuk
mengekspresikan toksin insektisida B. thuringiensis selama pertumbuhan vegetatif, perlu
menempatkan gen penginduksi toksin di bawah pengendalian promoter yang aktif selama
pertumbuhan vegetatif.

Jika fragmen DNA mengandung gen toksin yang tidak mengandung promoter
aslinya diklon dalam plasmid di bawah pengendalian promoter konstitutif dari gen resisten
tertasiklin yang diisolasi dari plasmid Bacillus cereus, kemudian dimasukkan ke dalam B.
thuringiensis, protein aktif akan dihasilkan secara terus-menerus selama siklus hidup sel. Di
samping itu, jika konstruksi ini digunakan untuk mentransform mutan defektif sporulasi dari
B. thuringiensis, sintesis toksin terjadi tanpa harus mengalami fase sporulasi. Pada kondisi
ini, sintesis toksin lebih efisien daripada sel wild type; yaitu jumlah protein toksin yang
diperoleh lebih besar dalam sel yang ditransformasi, dan waktu serta substrat yang
diperlukan lebih sedikit. Gen toksin yang telah dimodifikasi ini dapat diintegrasikan ke
dalam DNA kromosom dari B. thuringiensis yang defektif sporulasi. Manipulasi ini akan
menjamin bahwa gen insektisida toksin tidak akan hilang selama ketidakstabilan plasmid
pada proses fermentasi kontinyu.

E. Aplikasi Penggunaan Bioinsektisida Mikroba

Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan beberapa aplikasi penggunaan


bioinsektisida mikroba baik itu dalam skala laboratorium ataupun dalam skala lapangan.

1. Skala Laboratorium
Pengujian pada skala laboratorium menunjukkan beberapa insektisida mikroba B.
thuringiensis (B.t) dan insektisida nabati mimba efektif menyebabkan kematian larva
Clouges glauculalis, hama daun pulai Alstonia spp. (Asmaliyah dan Ismail, 1998; Asmaliyah
et al., 2005). Aplikasi insektisida mikroba ini juga efektif menyebabkan kematian larva
Eurema sp., hama daun sengon (Paraserianthes falcataria); larva Lamprosema charesalis,
hama daun sungkai (Peronema canescens), dan larva Hypsipyla robusta, hama penggerek
pucuk mahoni (Swietenia macrophylla) (Asmaliyah, 2001).
Larva yang masih bertahan hidup sampai hari ketujuh, pada hari berikutnya ada
yang mati sebelum menjadi pupa tapi ada yang dapat berkembang menjadipupa. Pupa
yang terbentuk sebagian besar bentuknya normal, tetapi ukurannya relatif lebih kecil dari
ukuran pupa normal. Pupa ini seluruhnya berkembang menjadi imago dengan ukuran
abdomen dan sayap yang lebih kecil. Dari hasil penelitian ini hanya ada satu pupa yang
terbentuk tidak normal, agak mengkerut dan apabila dipegang tidak bereaksi. Pupa ini tidak
akan berkembang menjadi imago.

Pengujian bioinsektisida mikroba B. thuringiensis yang dibungkus Pseudomonas


flourescens terhadap larva Lymantria sp. (hama daun mangrove Bruguiera sp.) pada
berbagai konsentrasi efektif menyebabkan kematian larva Lymantria sp. (Hardi dan Siringo-
ringo, 2000). Pemberian ekstrak mimba pada daun mahoni dengan berbagai konsentrasi
dapat mengurangi luas daun mahoni yang dimakan oleh H. robusta dan dapat
menyebabkan kematian larva Xystrocera festiva (hama penggerek batang sengon) sebesar
100 %, baik yang diaplikasikan langsung ke tubuh larva maupun ke makanan buatan
(Suharti et al., 1995).

Aplikasi fungi B. bassiana pada larva X. festiva yang disemprotkan langsung ke


tubuh larva, makanan buatan, dan tempat pemeliharaan efektif menyebabkan kematian
larva X. festiva.

2. Skala Lapangan
Aplikasi berbagai jenis insektisida mikroba B. thuringiensis terhadap serangan hama
H. robusta dan belalang Valanga nigricornis pada tanaman mahoni di Lampung, efektif
menekan luas serangan H. robusta dan V. nigricornis serta tingkat kerusakan tanaman
akibat serangan V. nigricornis (Asmaliyah, 2001). Aplikasi insektisida mikroba B.
thuringiensis (Florbac FC) terhadap hama kutu sisik (Chionapsis sp.) yang menyerang
daun dan ranting tanaman mangrove di Bali, memberikan hasil yang lebih baik dalam
menekan serangan hama kutu sisik dibandingkan perlakuan insektisida kimia (Intari, 1997).

Smitley dan Davis (1993) membuktikan bahwa penyemprotan insektisida mikroba


B. thuringiensis (Foray 48B dan Dipel 8AF) dengan dosis 74 BIU/ha, volume semprot 5,6
liter lebih baik dalam melindungi daun dari penggundulan oleh Lymantria dispar (21,1 %
dan 26,7 % penggundulan) dibandingkan dengan tanpa perlakuan penyemprotan (80,9 %
penggundulan).

Penyemprotan yang dilakukan pada saat populasi L. dispar (hama pemakan daun
Quercus spp.) berada pada puncaknya, B. thuringiensis yang diaplikasikan pada 74 BIU/ha
memberikan perlindungan daun yang terbaik (21,1 % penggundulan) daripada
diaplikasikan pada 30 BIU/ha (dosis standar) (46,3 % penggundulan).

Aplikasi bioinsektisida mikroba B. thuringiensis secara individual dan kombinasi


serta bioinsektisida nabati mimba efektif dalam menekan tingkat kerusakan tanaman pulai
akibat serangan hama C. glauculalis.

F. Prospek Penggunaan B. thuringiensis

Dengan diperbaikinya sistem perbanyakan dan formulasi bioinsektisida Bt. maka


microbial spray tetap merupakan komponen yang penting dalam program pengendalian
hama di luar negeri. Pencarian strain baru di Indonesia merupakan langkah penting untuk
mendapatkan strain Bt yang tinggi virulensinya serta mempunyai potensi untuk digunakan
di lapangan. Perbaikan sistem fermentasi dan formulasi merupakan bidang penelitian yang
seharusnya mendapat perhatian. Hal ini memungkinkan Indonesia dapat memproduksi dan
menggunakan bioinsektisida Bt lokal yang lebih murah harganya dibandingkan dengan
mikrobial Bt impor. Penelitian tentang tanaman transgenik Bt baik di luar negeri maupun di
Indonesia telah berkembang pesat. Tanaman transgenik Bt di luar negeri telah
dikomersialkan dan permintaan benihnya meningkat karena dapat menurunkan biaya
produksi akibat penggunaan pestisida yang menurun secara drastis. Seiring dengan
perakitan tanaman transgenik Bt lainnya, penelitian mengenai dampak negatif tanaman
transgenik Bt dan managemen resistensi terhadap Bt juga telah berkembang di luar negeri.
Hal ini membantu kita untuk merancang penelitian yang bertujuan sama untuk kondisi
Indonesia. Dengan berkembangnya penelitian tersebut, diharapkan dapat menghasilkan
suatu paket teknologi yang menggunakan tanaman transgenik Bt sebagai salah satu
komponennya menjadi lebih ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan teknologi
yang umum digunakan saat ini.

3.3 Bioinsektisida dari virus

Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organik biologis.
Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan
memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk
bereproduksi sendiri. Dalam sel inang, virus merupakan parasit obligat dan di luar inangnya
menjadi tak berdaya. Virus biasanya mengandung sejumlah kecil asam nukleat (DNA atau
RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya) yang diselubungi semacam bahan pelindung yang
terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus menyandi
baik protein yang digunakan untuk memuat bahan genetik maupun protein yang dibutuhkan
dalam daur hidupnya. Istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang
menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan banyak jenis organisme sel tunggal),
sementara istilah bakteriofag atau fag digunakan untuk jenis yang menyerang jenis-jenis
sel prokariota (bakteri dan organisme lain yang tidak berinti sel). Virus sering diperdebatkan
statusnya sebagai makhluk hidup karena ia tidak dapat menjalankan fungsi biologisnya
secara bebas. Karena karakteristik khasnya ini virus selalu terasosiasi dengan penyakit
tertentu, baik pada manusia (misalnya virus influenza dan HIV), hewan (misalnya virus flu
burung), atau tanaman (misalnya virus mosaik tembakau/TMV) (Anonim, 2010a).

Virus dibagi berdasarkan komposisi asam nuleat, struktur genom dan morfologi
eksternal dari pembungkus. Ukuran virus dapat dari kecil ke besar sehingga dapt dilihat
dengan mikroskop cahaya . Virus terbesar adalah pox virus, mempunyai ukuran virion
mencapai 470 nanometer. Morfologi virus harus diinvestigasi menggunakan mikroskop
electron dan menggunakan teknik biologi molecular. Struktur dasar virus adalah viral DNA
atau RNA yang dikelilingi oleh kapsul protein dan ini dikenal sebagai virion (Anonim,
2010b).

Penyakit pada serangga yang diakibatkan oleh virus telah ditemukan pada hampir
13 ordo serangga. Virus adalah organisme yang sederhana yang terdiri asam nukleat dan
protein yang dikenal sebagai kapsid. Nukleokapsid mungkin saja dilapisi oleh lapisan lipid
yang dikenal sebagai virion. Beberapa virus occluded dalam matrik protein. Matrik ini
dikenal sebagai tubuh Occlusion. Tubuh Occlusion ini ditemukan pada 3 famili virus. Virus
serangga mungkin saja double stranded atau single stranded DNA (dsDNA dan ssDNA)
atau juga double atau single stranded RNA (dsRNA dan ssRNA), atau enveloped atau
unenveloped dan mungkin juga occluded atau nonoccluded dalam matriks protein. Diantara
virus yang menyerang serangga, ada 3 famili yang mempunyai struktur yang spesial untuk
beradaptasi dan survival di lingkungan. Baculoviridae, Poxviridae dan Reoviridae
memproduksi tubuh oklusi, struktur yang melindungi partikel virus atau virion. Tubuh oklusi
resisten terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Tubuh oklusi dari 3 famili ini
terbentuk dari matrik protein yang mengandung satu atau lebih virion. Virion yang tidak
terlindungi akan rentan dan mati cepat karena desikasi dan sinar langsung matahari. Matrik
protein dari tubuh oklusi melindungi virion dari lingkungan sebelum menginfeksi inang,
sehingga meningkatkan tingkat survival virus. Tubuh oklusi bervariasi dalam bentuk dan
ukuran. Diantara Baculoviridae, NPV mempunyai banyak bentuk tubuh oklusi (0.5-15 μm)
yang megandung banyak virion. Granulosis virus (GVs) mempunyai mempunyai bentuk
kapsul berukuran (200 x 600 nm) yang mengandung satu virion setiap tubuh oklusion
(Anonim, 2010b).
Salah satu agen hayati yang berperan penting sebagai pengendali hama secara
alamiah adalah Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) yang berstatus sebagai musuh alami
bagi ulat grayak. Virus ini memiliki sifat menguntungkan antara lain (Widyariska, Tanpa
Tahun) :

1. Memiliki inang spesifik.


2. Tidak mempengaruhi parasitoid dan predator.
3. Dapat mengatasi masalah resistensi akibat penggunaan insektisida serta ramah
lingkungan.
Klasifikasi virus serangga berdasarkan International Committee on Taxonomy
Viruses (1991) adalah sebagai berikut (Anonim, 2010b) :
A. Virus DNA
1. Baculoviruses
a. Nuclear polyhedrosis viruses (NPV)
b. Granuloviruses (GV)
2. DNA Virus lain
a. Ascoviruses
b. Iridoviruses
c. Parvoviruses
d. Polydnaviruses
e. Poxviruses
B. Virus RNA
1. Reoviruses
a. Cytoplasmic polyhedrosis viruses
2. RNA Virus
a. Nodaviruses
b. Picorna-like viruses
c. Tetraviruses pathogen serangga
Gambar 3.6 Penyakit yang ditimbulkan akibat infeksi baculoviridae

Famili Baculoviridae terdiri atas nuclear polyhedrosis virus (NPV) dan granulosis
virus (GV). Virus ini dsDNa dengan rod-shape nukleocapsid. Partikel virus infektif atau
virion adalah occluded dalam tubuh protein dikenal sebagai polyhedra (NPV) atau granula
(GV). NPV polyhedra lebih besar dibandingkan dengan virion (1-15 μm) dan mengandung
beberapa virion. Infeksi Baculovirus akan terjadi ketika Polyhedra atau granula tertelan oleh
serangga inang yang peka, yang selanjutnya akan terlarut dalam isi saluran pencernakan.
Virion akan dikeluarkan ketika polyhedra pecah. Virion akan memasuki sel midgut seperti
pada tubuh lemak, epidermis dan sel darah. Infeksi baculovirus sering dikenal sebagai
wilting diseases, karena jaringan tubuh inang menjadi liquid dan infeksi pada epidermis
menyebabkan tubuh inang melting melepas partikel virus di alam. Famili Baculoviridae
sangat penting di dalam program pengendalian hayati, oleh sebab itu studi tentang
patogenisitas dan host spesifik dari baculoviridae sangat intensif. Famili ini sering
menyerang Lepidoptera, Sawfly dan larva nyamuk (Anonim, 2010b).

Gambar 3.7: Siklus hidup virus NPV dalam tubuh serangga patogen serangga.
Nuclear Polyhedrosis Viruses (NPV) banyak menginfeksi serangga dan setiap
spesies mempunyai spesifik spesies . NPV menginfeksi lebih dari 500 spesies, Lepidoptera
adalah inang yang penting dari NPV. Partikel infektif dari virus atau virion ini dapat
terbungkus oleh single SNPV atau multiple MNPV. Polyhedra dari NPV mengandung
beberapa sampai banyak virion. Sesudah tertelan oleh inang dan akan berreproduksi di
dalam sel midgut, atau jaringan lain dan organ serangga menjadi terinfeksi terutama tubuh
lemak, epidermis dan sel darah. Serangga yang terinfeksi umumnya akan mati setelah 5-12
hari sesudah infeksi tergantung pada dosis virus, temperatur dan stadia larva instar ketika
terjadi infeksi. Seperti pada serangan cendawan, perilaku seperti summit diseases terjadi
pada serangga yang terserang NPV. Serangga yang akan mati akan naik ke atas tanaman
di mana mereka mati dan. Jutaan polyhedra yang terkandung pada cairan tubuh serangga
yang mati dan pecah akan jatuh ke bawah dalam feeding zone (daun, sisa-sisa daun) yang
mungkin akan termakan oleh ulat sehat yang lain (Anonim, 2010b).

3.3.1 Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)

Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan suatu agen pengendali bagi hama,
statusnya sebagai musuh alami bagi ulat grayak. Keunggulan dari penggunaan NPV efektif
membunuh hama ulat yang menyerang tanaman.Ulat yang telah terinfeksi virus ini akan
mati, kemudian dapat dijadikan pengendali hama berikutnya bagi ulat yang sehat.

Bahan aktif virus Sl NPV berasal dari patogen serangga Spodoptera litura Nuclear
Polyhedrosis Virus. Secara spesifik hanya digunakan sebagai pengendali ulat grayak
Spodoptera exigua dan Spodoptera litura yang menyerang tanaman. Bahan itu tidak
berbahaya bagi musuh alami ulat, tidak berbau dan tidak berbahaya, atau beracun bagi
manusia dan hewan peliharaan/ternak.

NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion
bodies yang disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel (nukleus). NPV memiliki
badan inklusi berbentuk polihedral yang merupakan kristal protein pembungkus virion
dengan diameter 0.2 – 20 mm. Kristal protein ini disebut dengan protein polihedrin yang
berukuran kurang lebih 29.000 sampai 31.000 Dalton. Kristal protein ini berfungsi sebagai
pelindung infektifitas partikel virus dan menjaga viabilitasnya di alam serta melindungi DNA
virus dari degradasi akibat sinar ultra violet matahari.

NPV telah ditemukan pada 523 spesies serangga, sebagian besar NPV bersifat
spesifik inang, yaitu hanya dapat menginfeksi dan mematikan spesies inang alaminya.
Sehingga pada mulanya penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang asli dimana dia
pertama kali diisolasi sebagai contoh NPV yang menginfeksi ulat Spodoptera litura dinamai
Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV) dan yang menginfeksi ulat Spodoptera
exigua dinamai Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV).

Gambar 3.8 Ulat Spodoptera litura Ulat Spodoptera exigua

Melihat besarnya manfaat SlNPV dan SeNPV sebagai agensia hayati pada ulat
grayak yang biasanya menyerang tanaman kacang-kacangan, tembakau dan sayuran,
maka NPV berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai bio-pestisida yang memiliki
prospek komersial, tidak berdampak negatif bagi pengguna (user) serta ramah lingkungan.

Bio-insektisida VIR-X (VIREXI) secara spesifik hanya digunakan sebagai


pengendali ulat grayak Spodoptera exigua yang menyerang tanaman bawang merah,
bawang putih, bawang daun dan kucai. Sedangkan VIR-L (VITURA) hanya untuk
mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura yang biasanya menyerang tanaman cabe,
kedelai/kacang-kacangan, dan tembakau. Namun tidak menutup kemungkinan juga
menyerang tanaman sayuran daun/buah yang lain, karena ulat Spodoptera litura tergolong
polifag (memiliki banyak inang).

3.3.2 Pemanfaatan NPV sebagai Bioinsektisida

Potensi pemanfaatan NPV untuk mengendalikan hama pertama kali diketahui pada
awal tahun 1900-an. Saat ini di luar negeri, beberapa jenis NPV telah diperjualbelikan
sebagai produk bio-insektisida, misalnya : Elcar (berbahan aktif HzNPV) digunakan untuk
mengendalikan Helicoverpa zea pada tanaman kapas di Amerika Serikat, Helicoverpa
armigera NPV digunakan pada tanaman kapas, tomat dan tembakau di Cina, SAN 404
(berbahan aktif AcMNPV) dan Diprion (berbahan aktif NsSNPV) telah dipasarkan secara
bebas.

Di Indonesia pemanfaatan NPV sebelumnya hanya terbatas pada tingkat petani-


petani pemandu PHT yang jumlahnya sangat kecil, dan belum diproduksi secara komersial
di dalam negeri. Pada tahun 1999, Laboratorium Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa,
melakukan uji coba bio-pestisida NPV secara massal di Kab. Brebes pada tanaman
bawang merah dan kedelai sebagai bagian dari program pengembangan PHT. Mulai tahun
2002, LPS-DD mengembangkan SeNPV dan SlNPV tersebut dalam bentuk produk bio-
pestisida dengan merk VITURA (VIR-L) dan VIREXI (VIR-X) yang memiliki efektivitas
tinggi, ekonomis dan mudah diaplikasikan oleh petani.

3.3.3 Mekanisme dan Siklus Hidup NPV di Alam

Di alam, NPV biasanya ditemukan pada permukaan tanaman dan tanah. Manakala
termakan oleh serangga inang (ulat) dan masuk ke dalam saluran pencernaan yang
memiliki pH tinggi (> 10), maka polihedra akan pecah melepaskan virion infektif. Virion
yang terlepas dari matrik protein (pembungkus) akan memulai infeksi ke dalam sel-sel
saluran pencernaan ulat yang kemudian DNA akan mengadakan reflikasi di inti sel.

Proses infeksi SlNPV atau SeNPV dimulai dari tertelannya polihedra (berisi virus)
bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis, polihedra larut
sehingga membebaskan virus (virion). Selanjutnya virus menginfeksi sel-sel yang rentan.
Dalam waktu 1 – 2 hari setelah polihedra tertelan, ulat yang terinfeksi akan mengalami
gejala abnormal secara morfologis, fisiologis dan perilakunya.

Secara morfologis, hemolimfa ulat yang semula jernih berubah keruh dan secara
fisiologis, ulat tampak berminyak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat kemerahan,
terutama bagian perut. Sedangkan secara perilaku, ulat cenderung merayap ke pucuk
tanaman, yang kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada
bagian tanaman.

Permukaan kulit ulat akan mengalami perubahan warna dari pucat mengkilap pada
awal terinfeksi kemudian akan menghitam dan hancur. Apabila tersentuh, tubuh ulat akan
mengeluarkan cairan kental berbau seperti nanah yang berisi partikel virus. Ulat mati dalam
waktu 3 – 7 hari setelah polihedra VIR (berisi virus) tertelan. Sebelum mati ulat masih dapat
merusak tanaman, namun kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat
rendah, karena terjadi penurunan kemampuan makan dari ulat grayak sampai 84 %.

3.3.4 Aplikasi dan Efektivitas Pemakaian Bioinsektisida

VIR-L dan VIR-X yang berbahan aktif SeNPV dan SlNPV diaplikasikan dengan alat
semprot, sama seperti yang digunakan untuk menyemprot pestisida (knapsack sprayer).
Aplikasi sebaiknya ditujukan untuk mengendalikan ulat instar 1–3. Penyemprotan
sebaiknya diarahkan ke permukaan daun bagian bawah dan dilakukan pada sore atau
malam hari agar tidak langsung terkena pengaruh sinar matahari, disamping itu ulat grayak
Spodoptera memiliki sifat nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari (instar : fase
antar 2 ganti kulit larva/ulat)

Cara penyimpanan, letakkan dus VIR ditempat yang tidak terkena langsung sinar
matahari dan VIR dapat disimpan pada suhu kamar selama lebih kurang 4 bulan. Untuk
penggunaan VIR dalam waktu yang cukup lama, sebaiknya simpan dus VIR tersebut dalam
lemari es (virus akan bertahan hidup pada suhu dingin).

Sinar ultra violet matahari penyebab utama menurunnya efektivitas NPV di


lapangan. Selain itu NPV juga peka terhadap suhu. Pada suhu 40 °C efektivitasnya masih
stabil, tetapi dengan meningkatnya suhu efektivitasnya cepat berkurang. Untuk mengurangi
kepekaan terhadap sinar matahari, maka virus ini diberi bahan pelindung berupa talk dan
molase. Persistensi/ketahanan NPV di lapangan setelah disemprotkan, mampu bertahan
sampai dengan 7 hari.

3.3.5 Keuntungan NPV


1. Memiliki inang spesifik dalam genus/famili yang sama, sehingga aman terhadap
organisme bukan sasaran.
2. Tidak mempengaruhi parasitoid, predator dan serangga berguna lainnya.
3. Dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida kimia.
4. Kompatibel dengan insektisida kimiawi yang tidak bersifat basa kuat.
5. Efektif membunuh hama/ulat sasaran yang menyerang pada tanaman bawang
merah, bawang putih, bawang daun, kacang-kacangan, tembakau, tomat dan cabe.
6. Ulat yang telah terinfeksi akan mati, kemudian dapat dijadikan pengendali hama
berikutnya bagi ulat yang sehat.
7. Tidak berbahaya bagi musuh alami ulat tersebut
8. Tidak berbau dan tidak berbahaya atau beracun bagi manusia dan hewan
perliharaan/ternak.
9. Dapat dicampur dengan perekat atau pupuk organik cair
10. Ramah lingkungan
11. Spesifik selektif (hanya dapat menginfeksi ulat dari spesies atau genus dimana dia
diisolasi)
12. Efektif untuk hama-hama yang sudah resisten terhadap pestisida
13. Dapat dipadukan dengan teknologi pengendalian yang lainnya
3.4 Ringkasan

Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, bioinsektisida yang berbahan aktif
bakteri B. thuringiensis, fungi B. bassiana, dan ekstrak tumbuhan cukup prospektif untuk
dimanfaatkan sebagai alternatif dalam pengendalian hama pada hutan tanaman karena
efektif, selektif, dan aman terhadap lingkungan. Penggunaan B. thuringiensis dalam dua
bentuk, yaitu sebagai microbial spray biopesticide dan tanaman transgenik Bt. Cara kerja
Bt adalah sebagai racun pencernaan di mana dendotoksin (protein) yang telah mengalami
proteolisis dari nonaktif menjadi aktif menempel di sel pada epithelial, yang menyebabkan
keseimbangan osmosis sel terganggu, dan menyebabkan sel pecah dan disertai matinya
serangga.
NPV adalah virus yang berbentuk segi banyak dan terdapat di dalam inclusion
bodies yang disebut polihedra dan bereplikasi di dalam inti sel (nukleus). NPV telah
ditemukan pada 523 spesies serangga, sebagian besar NPV bersifat spesifik inang, yaitu
hanya dapat menginfeksi dan mematikan spesies inang alaminya. Virus NPV merupakan
virus yang dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami terutama dalam menurunkan populasi
hama. Oleh karena itu, daripada memberantas hama menggunakan insektisida yang
dimana tidak aman bagi lingkungan dan manusia sebaiknya menggunakan virus NPV yang
aman terhadap lingkungan dan sebagai agen hayati.

Contoh Soal:

1. Sebutkan dan jelaskan apa yang dimaksud dengan bioinsektisida dan


pengelompokkan bioinsektisida berdasarkan karakteristik bahan kimianya.
2. Jelaskan secara singkat disertai gambar dari proses toksifikasi kristal protein Bt.
terhadap larva nyamuk atau insekta lainnya.
3. Sebutkan dan jelaskan kelebihan dan kekurangan bioinsektisida dibadingkan
dengan insektisida kimiawi.
4. Sebutkan dan jelaskan pengelompokan virus yang biasa digunakan sebagai
bioinsektisida dan kelebihan serta kekurangan penggunaan bioinsektisida yang
berasal dari material virus.
5. Jelaskan secara singkat mengapa paparan sinar UV dapat menurunkan sensitivitas
dari bioinsektisida Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV).
6. Sebutkan dan jelaskan peranan bidang rekayasa genetika dalam pengembangan
bioinsektisida mikroba serta kelebihan dan kekurangan dari penggunaan
bioinsektisida mikroba hasil rekayasa genetika.
DAFTAR PUSTAKA

Agrios. 1998. Plant Pathologi.Hlmn : 262. ISBN 0120445654. New York: Academic Press.
Anonim, 2010a, Virus (Online), www.wikipedia.com, diakses tanggal 9 Mei 2010 pukul
12.36 wita
Anonim, 2010b, Patogen Serangga, diakses tanggal 9 Mei 2010 pukul 13.17 wita
Anonim, 2011, Bioinsektisida (online), http://id.wikipedia.org/wiki/Bioinsektisida, diakses
tanggal 10 September 2011, Makassar.
Asmaliyah dan B. Ismail. 1998. Uji Pengendalian Hama Pemakan Daun (Clouges
glauculalis pada Tanaman Pulai (Alstonia scholaris) dengan Insektisida Biologi
secara In-Vitro. Buletin Teknologi Reboisasi 08. Palembang.
Asmaliyah, 2005, Prospek Pemanfaatan Bioinsektisida Sebagai Alternatif Dalam
Pengendalian Hama Pada Hutan Tanaman, 115-124.
Asmaliyah, E. Martin dan F.W. Sari. 2005. Karakteristik Serangan Hama Clouges
glauculalis pada Hutan Tanaman Pulai (Alstonia spp.) dan Upaya Pengendaliannya
Makalah Disampaikan pada Ekspose Hasil Penelitian Hutan Tanaman”Optimalisasi
Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan,
Baturaja 7 Desember 2005.
Asmaliyah. 2001. Pengujian Efektivitas Insektisida Mikroba Bacillus thuringiensis
Terhadap Penggerek Pucuk Mahoni Hypsipyla robusta. Buletin Teknologi Reboisasi
11(1). Palembang
Bahagiawati, 2002, Buletin AgroBio, Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai
Bioinsektisida, 5(1):21-28.
Firn, R.C., 2005, The Implications of the Screening Hypothesis, The Pharmaceutical
Industry and Bioprospecting, Biology Module 867. 3 pp.
Hardi, T.W dan H.H. Siringoringo. 2000. Identifikasi Mangrove dan Pengendalian dengan
Bakteri. Bul.Pen.Hut. 621:55-64. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Hofte, H. and H.R. Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis.
Microbiol. Rev. 53:42-255.
Intari, S.E. 1997. Pengendalian Hama Kutu Sisik (Chionapsis sp.) yang Menyerang
Tanaman Mangrove di Bali. Bul.Pen.Hut. 605:19-26. Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
News Room, 2010, Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman dengan Bioinsektisida
(Online), diakses tanggal 9 Mei 2010 pukul 12.28 wita
Redana, I. W., 2011, Insektisida Mikroba (online), http://elangbiru3004.blogspot.com/,
diakses tanggal 10 September 2011, Makassar.
Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Ekonomi dan Budaya Penggunaan Biopestisida di
Indonesia. Kumpulan Makalah Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk
Perlindungan Tanaman, Yogyakarta 7 Agustus 2002.
Smitley, D.R dan T.W. Davis. 1993. Aerial Application Bacillus thuringiensis for
Suppression of Gypsy Moth (Lepidoptera; Lymantridae) pada Populus, Quercus
Forest. Forest Entomology.
Suharti, M, Asmaliyah dan P. Hawiati. 1995. Tanaman Mimba (Azadirachta indica)
Sebagai Sumber Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman Hutan.
Bul.Pen.Hut. 589. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Sunarlim, N., dan Sutrisno, 2003, Perkembangan Penelitian Bioteknologi di Indonesia.
Buletin AgroBio 6(1): 1−7.
Widyariska, tanpa tahun, Teknologi Produksi Tanaman (Online), diakses tanggal 9 mei
2010 pukul 10.48 wita.

Anda mungkin juga menyukai