Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)


mempunyai arti penting bagi masyarakat, karena dapat
menimbulkan kerusakan serta kerugian pada tanaman atau hasil
olahannya. Pada umumnya petani menggunakan pestisida kimia
untuk menekan kerusakan tanaman tersebut, karena dianggap
lebih cepat memberikan efek hasil, mudah diaplikasikan serta
mudah untuk mendapatkannya. Dalam perkembangannya,
disadari bahwa penggunaan pestisida kimia dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan dan memberikan efek negatif pada
kesehatan manusia. Hal tersebut mendorong seseorang untuk
meminimalkan penggunaan pestisida kimia, dengan cara
memanfaatkan agen pengendali hayati.
Penggunaan agen pengendali hayati dalam mengendalikan
OPT semakin berkembang, karena cara ini lebih unggul dibanding
pengendalian berbasis pestisida kimia. Beberapa keunggulan
tersebut adalah Aman bagi manusia, musuh alami dan
lingkungan, dapat mencegah ledakan hama sekunder, produk
pertanian yang dihasilkan bebas dari residu pestisida, terdapat
disekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi
ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis dan
menghemat biaya produksi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan biopestisida?
2. Apa saja jenis-jenis biopestisida?
3. Apa saja manfaat biopestisida?
4. Bagaimana cara membuat biopestisida?
5. Apa saja kelebihan dan kelemahan biopestisida?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
biopestisida.
2. Untuk mengetahui apa saja jenis biopestisida.
3. Untuk mengetahui apa saja manfaat biopestisida.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara membuat
biopestisida.
5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan
biopestisida.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Biopestisida

Bio Pestisida adalah Senyawa/bahan alami/dibuat dari bahan


alami yang terdapat di alam (lingkungan sekitar kita) dan
digunakan untuk mengendalikan hewan penganggu atau dibuat
dari hewan, tanaman atau mikrobia dengan tujuan untuk
melindungi tanaman dari kerugian. Bio pestisida sering disebut
juga pestisida nabati, pestisida hayati/insektisida organik.
Biopestisida adalah pestisida yang mengandung
mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur.
Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis
insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan
jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-
jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi.
Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya
berasal dari alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan
pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama
dengan cepat, pestisida nabati bersifat ramah lingkungan karena
bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi
manusia maupun lingkungan.
Alasan pengunaan bio pestisida untuk menghemat
pengeluaran/biaya (uang) serta untuk menjaga kseimbangan
alam baik ekologi, bebas residu/racun dan memperkaya
keanekaragaman hayati. Bila kondisi tersebut telah tercipta
maka alam telah seimbang/selaras antara musuh alami dan
organisme penganggu tanaman sehingga pengendalian hama
dilakukan sebagai alternatif terahir.
B. Jenis-jenis Biopestisida

Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan


menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati.
1. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu
dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang
senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun
terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada
umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat
insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
2. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung
mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus
yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab
penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu
yang bersifat racun baik bagi serangga ( hama ) maupun
nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Bipestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam
dengan berdasarkan fungsi dan asalnya. Penggolongan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Fungisida Biologi (Biofungisida)
Biofungisida berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani
spongos yang berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur
atau cendawan.
Beberapa fungisida yang telah digunakan adalah:
Spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan
penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium
pada cabai.
Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. untuk
mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur
Sclerotium Rolfsii.
Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu
mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman
tomat.
2. Herbisida Biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian
gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh
bakteri, jamur dan virus. Phytophthora palmivora yang
digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada
tanaman jeruk. Colletotrichum gloeosporioides digunakan pada
tanaman padi dan kedelai.
3. Insektisida Biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida.
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga
tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan
lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan
sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya
harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada
jenis-jenis lainnya. Mikroba patogen yang telah sukses dan
berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah
Bacillus thuringiensis.
Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal
dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk
membasmi belalang dan jangkrik. Cacing yang pertama kali
sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae. Insektisida
ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap.
4. Nematisida Biologi (Bionematisida)
Bionematisida berasal dari kata latin nematoda atau
bahasa Yunani nema yang berarti benang, berfungsi untuk
membunuh nematoda (semacam cacing yang hidup di akar).
Insektisida Biologi (Bioinsektisida)
Secara alami, penyakit serangga disebabkan oleh berbagai
jenis mikroba, seperti bakteri, jamur, fungi, virus dan protozoa
yang sering disebut sebagai entomopatogen. Selama masa
keterjangkitan penyakit (epizootic) sering terjadi tingkat kronis
yang dapat menyebabkan perubahan luar biasa pada populasi
serangga. Beberapa keuntungan penting dari pemakaian
entomopatogen ini adalah pengaruhnya yang spesifik hanya
pada serangga tertentu. Belum ada jenis entomopatogen yang
dilaporkan menyebabkan pengaruh serius pada manusia,
mamalia dan vertebrata lain. Hal ini berarti pemakaian pestisida
biologi ini dapat meminimalisasi pengaruh buruk pada makhluk
lain yang bukan OPT. Sifat ini menyebabkan pestisida biologi
banyak dipakai untuk tanaman pangan dan tanaman hias yang
dekat dengan lalu lintas manusia.
Insektisida biologi membunuh serangga dengan cara yang
sangat berbeda dengan pestisida sintesis. Hal ini membuat
pestisida biologi dapat dijadikan alternatif yang layak
dipertimbangkan untuk mengatasi kasus-kasus serangga yang
telah kebal terhadap pestisida sintesis. Meskipun demikian,
bukan berarti pada suatu saat serangga tertentu tidak bisa kebal
terhadap pestisida biologi.
Sebagian besar mikroba entomopatogen memperbanyak diri
di dalam tubuh serangga inang. Hala ini menyebabkan
entomopatogen secara alami mudah tersebar dengan
tersendirinya (penyebaran sekunder) setelah aplikasi pertama
dan menyebabkan efek pengendalian yang lebih lama.
Agen Hayati yang berperan sebagai insektisida biologi
Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai
insektisida biologi adalah dari jenis bakteri, jamur dan virus.
Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk
jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan
nematoda yakni Heterorhabditis indicus.
1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang
aman bagi lingkungan dan makhluk hidup lain adalah
pengendalian secara biologis dengan menggunakan insektisida
mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu
jenis bakteri yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba
untuk mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera, Diptera,
dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis
mampu menghasilkan suatu protein yang bersifat toksik bagi
serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini
bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah
masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus
thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan
sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian
biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif
yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi
ke dalam dua kelompok besar, yakni bakteri yang tidak
membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri
yang tidak membentuk spora terdapat dalam saluran
pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial
menyerang bagian pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri
patogen ini rendah. Sedangkan bakteri pembentuk spora
menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian membentuk
spora dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga. Tingkat
kematian karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies
bakteri entomopatogen yang diisolasi dari serangga yang sakit
adalah bakteri yang tidak membentuk spora, akan tetapi untuk
produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih mudah
untuk diformulasikan dan dapat di simpan lebih lama karena
dalam bentuk spora bakteri tidak membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai
insektisida hayati adalah species Bacillus thuringiensis (Bt). Salah
satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah
kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya
bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak
beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah
lingkungan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu
yang mencemari lingkungan.
a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus thuringiensis
b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah
bakteri tanah gram positif,
pembentuk spora, berbentuk
batang dengan lebar 1,0 sampai
1,2 m dan panjang 3,0 sampai
5,0 m (Sembiring, 2004). Bakteri
Spora dan kristal Bacillus
ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman
thuringiensis morrisoni strain T08025
konifer maupun pada tanah.
Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri
ini akan membentuk fase sporulasi.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun
1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri
ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah
kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan
dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian
besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer
melalui konjugasi antargalur B. thuringiensis, maupun dengan
bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif
terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-
macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat
merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian
subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksi
yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk
manusia dan insekta.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah
kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora)
bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel
mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek
protein yang mengandung toksin ( d endotoksin ) yang
terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial
dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis
setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal
terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari
asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima
persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.
Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein
murni yang kaya akan asam glutamate dan asam aspartat.
Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai
macam bentuk antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi
panjang, dan jajaran genjang. Ada hubungan nyata antara
bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B.
thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri
dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang
mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang
pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih
mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran
molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul
asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan
dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila
termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif,
makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian
kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran
tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam
hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan
menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam
kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai
aktivitas tertentu yang dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan
aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri
akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk
hidup lain.
Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme
umumnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu metabolit
primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya
bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya
metabolit primer dihasilkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel
yang disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam
kantong-kantong khusus diantara sel atau jaringan didalam
tubuhnya.
Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk
kristal protein-toksin. Kristal tersebut bersifat toksik terhadap
serangga. Penelitian H eimpel (1967) diketahui bahwa B.
thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin, seperti (alfa),
(beta), (gamma)-eksotoksin, dan (delta)-endotoksin, serta
faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa yang
berperan penting sebagai insektisida
adalah protein -eksotoksin dan -
endotoksin.
Berbagai macam B. thuringiensis
diantaranya:
1. Bacillus thuringiensis varietas
tenebrionis menyerang kumbang
kentang colorado dan larva kumbang
Struktur tiga dimensi
dari toksin Bt. daun.
2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki
menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk
dan lalat hitam.
4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva
ngengat dan berbagai ulat, terutama ulat ngengat
diamondback.
d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus
thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat
mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun
pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif
untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan
lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan
produk bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia -
eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard.
Peneliti tersebut mengatakan bahwa -eksotoksin terdiri dari
komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose,
glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain
itu, -eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa
senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi,
maka digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut
didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat.
Sementara -eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika
terkena panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit
dan ulat (Plutella xylostella).
Reaksi toksisitas terhadap serangga dari -endotoksin dan
strain B. thuringiensis terhadap serangga tampaknya juga sangat
bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan
rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera
menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap -
endotoksin.
Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B.
thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari -
eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun,
senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan
cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh DNA-
dependen RNA-polymersae.
e. Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan
oleh serangga akan larut dalam
lingkungan basa pada usus
serangga. Pada serangga target,
protein tersebut akan teraktifkan
oleh enzim pencerna protein
serangga.
Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein
receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus.
Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya
pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis.
Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan
pencernaan dan mati.
f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari
tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan
bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup
efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber
isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal
LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media
asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B.
thuringiensis menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media
tersebut dipanaskan pada suhu 80C selama beberapa menit.
Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau
mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora
bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi
yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni
yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B.
thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek
keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan
apakah koloni tersebut termasuk isolat B. thuringiensis.
g. Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu
perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah
diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini.
Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan
bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan
primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu
dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini
dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat
tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap serangga target.
Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-
gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat
maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau
kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari
bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat
dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang
diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka
diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal
tersebut. Media yang mengandung tryptose telah diuji cukup
efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 25 hari
B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan
pengocokan pada suhu 30C. Perbanyakan B. thuringiensis ini
dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan
fermentor.
i. Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel
spora atau protein kristal Bt
dalam bentuk kering atau
padatan. Padatan ini dapat
diperoleh dari hasil fermentasi
sel-sel Bt yang telah disaring
atau diendapkan dan
dikeringkan. Padatan spora dan
protein kristal yang diperoleh
Larvasida, produk untuk membunuh
dapat dicampur dengan bahan- larva nyamuk yang terbuat dari
kompleks protein B. thuringiensis
bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain
israelensis.

dalam formulasi bioinsektisida.

2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria bassiana)


Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria
bassiana. Cendawan ini biasa dikenal sebagai cendawan patogen
serangga yaitu cendawan yang dapat menimbulkan penyakit
pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat
dikendalian oleh Beauveria bassiana antara lain berbagai jenis
wereng, walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep beluk
(penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat didalam tanah
sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah
sangat dipe ngaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan
bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga,
adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum,
suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan
adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat
pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen
serangga ordo Monililes, famili Moniliaceae. Jamur Beauveria
bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya
kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya
ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga
mampu menyerang serangga pada tanaman atau pohon.
a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)
Kerajaan
:
Filum Ascomycota
:
Kelas Sordariomycetes
:
Ordo Hypocreales
:
Famili Cordycipitaceae
:
Genus Beauveria
:
Spesies Beauveria bassiana
:
b. Karakteristik Beauveria bassiana
1. Cendawan berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau
terbawa angin.
2.

Menginfeksi serangga melalui integument/jaringan lunak.


Selanjutnya hifa tumbuh dari konidia dan merusak jaringan.
3. Cendawan tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat
cendawan siap menghasilkan spora untuk disebarkan.
4. Apabila keadaan tidak mendukung, perkembangan cendawan
hanya berlangsung didalam tubuh serangga tanpa keluar
menembus integument.
5. Tubuh serangga mati yang terinfeksi Beauveria bassiana
mengeras seperti mumi.
c. Teknik/ Cara Memperoleh Jamur Beauveria bassiana
Jamur entomopatogen Beauveria bassiana dapat diperoleh
dari tanah terutama pada bagian atas (top soil) 5-15 cm dari
permukaan tanah, karena pada horizon ini diperkirakan banyak
terdapat inokulum B. Bassiana. Teknik untuk memperoleh jamur
entomopatogen B. Bassiana dari tanah adalah dengan
menggunakan metode umpan serangga (insect bait method).
Teknik untuk memperoleh jamur dengan metode umpan
serangga
Isolat jamur B. bassiana diambil dari tanah. Tanah asal isolat
diambil secara acak di sekitar pertanaman pisang. Tanah diambil
dengan menggalinya pada kedalaman 510 cm masing-masing
sebanyak 4 x 500 g kemudian dimasukkan ke kantongan plastik
diberi label berupa lokasi dan tanggal pengambilan sampel.
Tanah kemudian diayak dengan ayakan 600 mesh dan
dimasukkan ke dalam kotak plastik berukuran 13 x 13 x 10 cm
masing-masing sebanyak 400 g (tiap daerah menggunakan 4
buah kotak).
Larva T. molitor stadia larva instar 3 yang baru berganti kulit
(kulitnya masih berwarna putih) dimasukkan kedalam kotak yang
berisi tanah masing-masing sebanyak 10 ekor, sebagai
perangkap umpan agar terserang jamur B. bassiana (insect bait
methode). Larva ini kemudian ditutupi dengan selapis tipis tanah
dan dilembabkan dengan menyemprotkan aquadest steril
diatasnya. Selanjutnya kotak ditutupi dengan potongan kain
puring hitam ukuran 25 x 25 cm yang juga telah dilembabkan.
Larva T. molitor yang diduga terserang jamur B. bassianadiamati
3 hari setelah diperlakukan kemudian diamati setiap harinya dan
segera setelah terserang jamur B. bassiana diisolasi sebagai
sumber isolat.
Larva yang terinfeksi jamur B. bassiana terlebih dahulu
disterilisasi permukaan dengan 1% Natrium hipoklorit selama 3
menit. Kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan
dikering anginkan diatas kertas filter steril. Larva tersebut
kemudian diletakkan dalam petridish berisi tissu lembab steril
dan diinkubasikan untuk merangsang pertumbuhan jamur. Spora
yang keluar dari tubuhnya kemudian diambil menggunakan
jarum inokulasi dan dibiakkan pada PDA (Potato Dextrose Agar)
dan diinkubasikan selama 7 hari.
d. Mekanisme infeksi Beauveria bassiana terhadap
serangga
Cara cendawan Beauvaria
bassiana menginfeksi tubuh
serangga dimulai dengan kontak
inang, masuk ke dalam tubuh
inang, reproduksi di dalam satu

Gejala pada serangga dewasa yang atau lebih jaringan inang,


terinfeks jamur B.bassiana (a. Gejala
kemudian kontak dan
3 hari setelah kematian, b. Gejala 5
hari setelah kematian, c. Gejala 7 menginfeksi inang baru.
hari setelah kematian, d. Gejala 10
hari setelah kematian) Beauveria bassiana masuk ke
tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel
dan lubang lainnya.
Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang
akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung
kecambah, kemudian masuk menembu s kulit tubuh.
Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan
mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur
akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan
berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan
tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar
tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi
konidia. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga
yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati dengan
tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang
dengan warna putih.
Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan terlihat keluar
dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat
tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena,
antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks
dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda
(ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan
tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur
yang berwarna putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering
terjadi pada membran antara kapsul kepala dengan toraks atau
diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium
jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut.
Cara aplikasinya yaitu dengan
metode penyemprotan. Serangga yang
telah terinfeksi Beauveria bassiana,
selanjutnya akan mengkontaminasi
lingkungan, baik dengan cara Contoh produk B.
bassiana
mengeluarkan spora menembus
kutikula keluar tubuh inang, maupun
melalui fesesnya yang terkontaminasi.
Serangga sehat kemudian akan terinfeksi.

3. Nematoda Patogen Serangga (Heterorhabditis indicus)


Diantara spesies NPS yang diketahui efektif digunakan
sebagai agensia hayati untuk mengendalikan hama tanaman
adalah Heterorhabditis indicus. H. Indicus adalah nematoda yang
bersimbiosis mutualisme dengan bakteri gram negatif dari famili
Enterobacteriaceae. Kompleks nematoda-bakteri ini dalam
lingkungan yang sesuai dapat menjadi agen pengendali hayati
yang efektif terhadap hama sasaran. Species H. indicus,
membawa satu spesies bakteri simbion, Photorhabdus
luminescens. Sel-sel bakteri P. luminescens yang dorman
disimpan dalam saluran pencernaan H. indicus.
a. Klasifikasi Heterorhabditis indicus
Klasifikasi Heterorhabditis indicus menurut Poinar (1990) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secermentae
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditidae
Genus : Heterorhabditis
Species : Heterorhabditis indicus
b. Karakteristik Hoterorhabditis indicus
Hoterorhabditis indicus mempunyai bentuk tubuh
sebagaimana cacing, silindris, panjang tubuh betina 479 700
m, tubuh jantan 479-685 m, sedangkan tubuh juvenil infektif
(JI) 479 - 573 m. Tubuh simentris bilateral, tidak bersegmen-
segmen, mempunyai kutikula sehingga tubuhnya licin,
gerakannya fleksibel dan tidak ada gerakan kontraktil
memanjang. Terdapat alat pencernaan yaitu mulut, esofagus,
intestinum, rektum.
Betina dewasa Heterorhabditis indicus tubuhnya lebih besar
dan lebih panjang daripada jantan, pada pertengahan tubuhnya
terdapat vulva yang berfungsi untuk perkawinan. Pada bagian
kepala terdapat satu mulut dengan enam bibir yang menyerupai
gigi dan terdapat satu papilla. Jantan dewasa Heterorhabditis
indicus tubuhnya lebih kecil dan lebih pendek dari betina, ujung
posterior melengkung dan terdapat sepasang spikula sebagai
alat kopulasi. Kepala spikula pendek, berasal dari penyempitan
lamina dan gubernaculum, berukuran setengah dari panjang
spikula.
c. Mekanisme serangan Heterorhabditis indicus
Mekanisme patogenitas NPS terjadi melalui simbiosis
dengan bakteri patogen Photorhabdus luminescens. Infeksi NPS
dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif (JI)
terjadi melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi langsung
membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah
mencapai homocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan
dilepaskan ke dalam haemolim untuk berkembang biak dan
memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri juga
mampu menghasilkan toksin yang mematikan. Dua faktor ini
yang menyebabkan NPS mempunyai daya bunuh yang sangat
cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat mati dalam waktu 24
48 jam setelah infeksi.

d. Perilaku (behavior) Heterorhabditis indicus


Heterorhabditis indicus mempunyai kecendrungan untuk
menyebar di seluruh tanah dalam mencari inang. Strategi
menjelajah adalah aktif mencari dan mengejar serangga inang,
strategi ini digunakan untuk menginvasi inang yang diam.
Strategi ini dikarakterisasikan dengan motilitas yang tinggi dan
distribusi aktif keseluruh profil tanah, kemampuan untuk
orientasi, isyarat inang yang volatil dan penggantian lokasi
pencarian setelah kontak inang.
Stadia JI menyimpan sejumlah besar cadangan makanan di
dalam tubuhnya untuk melakukan mobilitas dan aktivitas
mangsa serta menginfeksi inang. Selama belum menemukan
inang daya tahan tubuhnya sangat bergantung pada cadangan
makanan yang dimilikinya. Penipisan cadangan makanan ini
selain menyebabkan penurunan viabilitas juga menurunkan
efektivitas H. indicus .
e. Siklus hidup (life cycle)
Heterorhabditis indicus memiliki siklus hidup yang
sederhana yang terdiri dari 4 stadia juvenil, dan dewasa. Siklus
hidup terbagi kedalam siklus reproduktif dan infektif. Siklus
infektif dimulai saat serangga terinfeksi oleh JI yang masuk
melalui lubang-lubang alami tubuh serangga. Pada siklus
reproduktif, JI berubah menjadi juvenil instar ketiga (J3) yang
aktif memakan produk samping hasil metabolisme bakteri
simbion, berganti kutikula menjadi juvenil instar keempat (J4)
kemudian berganti kutikula menjadi dewasa. Telur dipro duksi
tiga hari setelah invasi nematoda kedalam tubuh serangga. Telur
menetas dan berkembang di dalam tubuh induknya menjadi
juvenil instar pertama (JI) yang akan berganti kutikula menjadi
juvenil instar kedua (J2). Pada stadia J2 nematoda dapat
menjalani siklus reproduktif kembali atau memasuki siklus
infektif, tergantung kepadatan populasi dan nutrisi inang. Jika
nutrisi inang mencukupi dan kepadatan populasi rendah maka J2
berkembang menjadi J3, dan memasuki siklus reproduktif.
Sebaliknya bila kepadatan populasi tinggi dan nutrisi sedikit, J2
berkembang menjadi J3 khusus yang bersifat infektif (JI), tidak
makan dan mampu hidup di luar tubuh inang serangga.
f. Penyebaran
Pada stadia JI akan aktif meskipun hanya 90 cm ke arah
horizontal dan vertikal dalam kurun waktu 30 hari. Penyebaran
secara pasif oleh air, angin, inang yang terinfeksi, aktifitas
manusia, dan lain-lain dapat menempuh jarak yang luas dan
dapat dihitung distribusi penyebarannya. Faktor yang
berpengaruh pada motilitas/kematian JI adalah kelembaban,
suhu dan tekstur tanah. Faktor yang terpenting adalah
kelembaban karena nematoda membutuhkan film air yang
menyelubungi area tanah. Di Indonesia H. indicus telah
ditemukan di daerah Jawa, Ambon, Bali dan Seram yang
umumnya menyukai habitat pantai.
g. Kelangsungan hidup
Faktor abiotik dan biotik sangat mempengaruhi efikasi dan
persistensi nematoda entomopatogen untuk mengendalikan
serangga hama yang hidup di lingkungan tanah, habitat
tersembunyi dan daun. Persistensi JI yang digunakan sangat
dipengaruhi faktor instrinsik (tingkah laku, fisiologi, karakteristik
genetik) dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi faktor abiotik
(temperatur, kelembaban tanah, tekanan osmotik, tekstur tanah,
kelembaban, radiasi UV yang ekstrim) dan faktor biotik
(antibiosis, kompetisi, dan musuh alami).
h. Perbanyakan Nematoda Patogen Serangga (NPS)
1. NPS dengan populasi 200 juvenil infektil (JI) dalam 10 ml air
disebar merata dengan pipet pada dua lapis kertas koran
dalam boks plastik.
2. Sebanyak 50 gram ulat hongkong dimasukkan kedalamnya,
boks ditutup rapat selama 2 hari (48 jam), boks di bagian
atas diberi kain kasa.
3. Ulat yang mati terinfeksi akan berubah warna menjadi coklat
kemerahan, ulat yang terinfeksi kemudian diambil dan
diletakkan diatas kain kasa basah pada cawan petri (dalam
boks plastik) yang telah diberi aquades 250 ml.
4. Ulang hongkong tersebut diinkubasi selama 14 hari, dan
kemudian nematoda siap dipanen.
5. Pemanenan dilakukan 2 hari sekali hingga hari ke -21 setelah
inokulasi (panen 3-4 kali selama 7 hari)
6. Nematoda dicuci dengan cara membuang air permukaan,
sedimentasi nematoda sebanyak 1 2 kali dengan spoid
sehingga terlihat jernih.
7. Untuk penyimpanan nematoda dimasukkan ke dalam spon
lembab pada suhu 100 C, pada suhu tersebut nematoda
dapat hidup dan tetap aktif selama 8 bulan.
8. Untuk pemeliharaan Nematoda dapat disimpan dalam toples
dengan penambahan air serta dipasang aerator untuk suplai
oksigen.

i. Cara dan waktu aplikasi


Cara aplikasinya antara lain:
1. Lahan tanaman yang akan diaplikasikan NPS harus sangat
lembab atau macak-macak air.
2. Tangki semprot yang akan digunakan tidak boleh bekas
pestisida kimia.
3. Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 2,8 liter larutan NPS.
4. Dosis per tangki semprot 14 liter adalah 280 ml larutan NPS.
5. NPS yang disimpan dalam spon basah
direndam terlebih dahulu dalam air, agar
semua NPS keluar dari spon sebaiknya
spon diguyur air yang ditampung ke
Produk NPS siap pakai
dalam ember. berisi formulasi
nematoda di dalam spons
6. Jangan dicampur dengan pestisida kimia

Waktu aplikasi yang tepat adalah pada sore hari karena NPS
sangat rentan terhadap kekeringan. Waktu satu malam cukup
bagi NPS untuk menemukan dan menginfeksi inang.

C. Manfaat Biopestisida

Manfaat dan syarat bahan yang dapat digunaan untuk bio


pestisida antara lain :

Bahan bakunya mudah didapat/ditemukan disekitar kita.


Harga murah (bila harus membeli harganya murah) bahkan
tidak perlu membeli, mudah diperbanyak (mudah tumbuh)
Dalam proses pembuatannya petani dapat membuatnya
sendiri (mudah dibuat)
Hasil dari ramuanya tidak jauh berbeda dari bahan yang
kita beli
Tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan (mudah
terurai)
Mengurangi ketergantungan dengan dunia luar (luar
negeri) Bahan yang digunakan dapat berperan sebagai
pupuk dan zpt bagi tanaman

D. Cara Pembuatan Biopestisida

Ciri-ciri bahan atau tanaman yang dapat digunakan yaitu:

Serangga/hewan kurang menyukainya/daun/batangnya


sehingga terlihat utuh karena mempunyai bulu halus.
Tanaman tersebut mempunyai aroma/bau yang tajam
sehingga kurang disukai hewan/aroma penolak.
Mempunyai rasa yang pahit/getir sehingga hewan kurang
menyukainya
Tanaman tersebut mempunyai daya racun baik pada
batang, buah dan umbi atau pada getah sehingga hewan
kurang menyukainya/teracuni.

Bagian tanaman yang dapat digunakan untuk bahan


biopestisida adalah:

Dedaunan (tembakau, mimba)


Biji/buah/bunga (mimba)
Batang/kulit batang tanaman (suren/pule)
Getah tanaman tertentu (tuba)
Umbi/perakaran (gadung) Tanaman yang mengeluarkan
aroma (sereh/jahe)

Cara pembuatan Bio-pestisida:


1. Daun-daunan dicincang dan selanjutnya diberi larutan Bio-
starter.
2. Bahan selanjutnya direndam selama 3-5 hari. selama
direndam bahan ditutupi dengan plastik hitam.
3. Setelah 5 hari larutan dapat digunakan sebagai pestisida.
dosis pemakaian adalah 5 ml/ L air.

Beberapa jenis tanaman lain dan manfaatnya sebagai Bio-


pestisida alami, dapat anda lihat uraian di bawah ini.

1. Kaliandra

Kandungan : Zat tanin ( getahnya )

Fungsi : insektisida

Bagian yang digunakan : daun dan kulit batang

Sasaran hama/penyakit : Walang

Sifat racun : racun perut

2. Babadotan leutik

Kandungan : minyak terbang

Fungsi : Insektisida

Bagian yang digunakan : cabang dan daun

Organisme hama sasaran : kumbang hama gudang

Sifat racun : anti feedant

3. Bawang Merah. Fungsi :

Insektisida, bagian yang digunakan : daun, umbi. sasaran


hama/penyakit : Aedes triseriatus

Fungisida, bagian yang digunakan : daun, umbi. sasaran


hama/penyakit : layu leher akar, bercak daun kering.
Bakterisida, bagian yang digunakan : daun, umbi. sasaran
hama/penyakit : bakteri bintil akar.

4. Bawang Putih. Fungsi :

Insektisida, bagian yang digunakan : daun, umbi. sasaran


hama/penyakit : Aedes triseriatus

Fungisida, bagian yang digunakan : daun, umbi. sasaran


hama/penyakit : layu pucuk/petek, bercak kering.

Bakterisida, bagian yang digunakan : daun, umbi. sasaran


hama/penyakit : bakteri bintil akar.

5. Lidah Buaya

Fungsi : Fungisida

Bagian yang digunakan : daun ( juice/gel )

Sasaran hama/penyakit : layu leher akar

6. Laos

Fungsi: Bakterisida,

Bagian yang digunakan : umbi / rimpang, sasaran hama/penyakit


: bakteri bintil akar.

Fungisida

Bahan yang digunakan : umbi/rimpang, sasaran hama/penyakit :


layu leher akar.

7. Sirsak

Kandungan : buah yang mentah, biji, daun, dan akar :


mengandung senyawa annonain, biji mengandung minyak 42-
45%
Fungsi : Insektisida

Bagian yang digunakan : daun, biji, akar

Sasaran hama/penyakit : kutu daun, ulat perusak daun, ulat


grayak, dan hama gudang.

8. Srikaya

Kandungan biji : 42-45% lemak, annonain, dan resin.

Fungsi : Insektisida

Bagian yang digunakan : daun, biji, dan akar

Sasaran hama/penyakit : kutu daun, kupu-kupu ulat sutra, ulat


grayak, ulat batang/ penggerek batang.

9. Pinang

Fungsi : Nematisida

Bagian yang digunakan : daun dan biji

Sasaran hama/penyakit : bintil akar

Sifat racun : Narkotika

10. Jukut Lokot Mala

Fungsi : Insektisida

Bagian yang digunakan : daun dan biji

Sasaran hama/penyakit : belalang dan kupu-kupu

Sifat racun : Antifeedant

11. Belimbing Wuluh

Fungsi : Insektisida
Bagian yang digunakan : daun

Sasaran hama/penyakit : bercak coklat

Sifat racun : anti jamur

Cara pengunaan biopestisida adalah:

Bila terjadi peninggkatan jumlah organisme penganggu


tanaman yang jumlahnya melebihi ambang ekonomi,
artinya populasi per batang diduga akan menyebabkan
kerugian atau gagal panen.
Aplikasi penggunaan bio pestisida untuk pencegahan atau
sebagai proteksi/perlindungan dari serangan hewan
pengganggu atau pencegahan dilakukan bila terlihat gejala
serangan pada tanaman tetangga.

Cara kerja biopestisida untuk pengendalian adalah:

Mampu merusak perkembangan telur, larva dan pupa


serangga hama.
Menghambat pergantian kulit dari fase pupa
Mengganggu komunikasi serangga
Menyebabkan nafsu makn berkurang
Menghambat reproduksi serangga betina
Aroma yang ditimbulkan dapat mengusir hama (menolak)
Menghambat perkembangan patogen penyakit
Sangat baik untuk digabungkan dengan cara pengendalian
lain.

Bahan yang dugunakan untuk biopestisida adalah:

Beberapa hewan yang menjadi musuh alami dari OPT yang


bersangkutan misal : laba-laba pemangsa werang.
Jamur, virus atau bakteri yang sedang memarasiti
serangga tertentu misalnya jamur Beuverria bassiana,
Metharrizium anisopalie, Harsutella sp, Bacillus
thuringiensis dll (sebagai patogen hama)
Tanaman yang dapat meracuni atau membunuh serangga
baik yang berupa getah, bau dan rasa misal : gadung,
jengkol, tembakau dan tuba
Urine/air kencing hewan/manusia yang difermentasi
air/cairan yang berasal dari kumpulan serangngga/hewan
yang diblender/ditumbuk dan diambil airnya untuk
mengusir hama penganggu.

Bahan yang digunakan sebagai perekat/pencampur


biopestisida supaya melekat pada tanaman atau hewan:

Labu siam
Lerak/pucung
Sabun colek
Air bekas rebusan kentang/ubi kayu.
Tanaman yang bila dihaluskan mengeluarkan lender (bunga
sepatu, daun randu dan lain-lain)

Beberapa bahan yang digunakan untuk mencampur


bahan bio pestisida adalah:

Spritus, peranya adalah untuk memisahkan sari racun


dengan ampas bahan pembuat bio pestisida.
Alkohol, fungsinya sama dengan spritus
Sabun cuci (sabun colet), untuk perekat
Air panas, Kegunaanya adalah untuk mempercepat
pemisahan sari racun pada bahan/memperkuat rasa/bau
pada bahan pembuat bio pestisida.
Trusi (bahan pembuat lem) perannya untuk membuka
stomata pada daun sehingga aplikasi bio pestidida dapat
masuk kejaringan tanaman

Contoh beberapa bahan yang dapat dicampurkan saat


aplikasi bio pestisida adalah:

Pupuk Cair Organik Nutrisi (PCO nutrisi)


Pecin/penyedap rasa (penguat hijau daun/pemacu hijau
daun) perannya setara dengan pengunaan pupuk
nitrogen/urea
Air kelapa yang sudah difermentasi
Gula/tetestebu/molase sudah difermentasi
Urin/air kencing hewan sudah difermentasi Abu dapur
sudah direndam air dan disaring
Asap cair
Belerang Kapur sirih

E. Keuntungan dan Kerugian Biopestisida

Keuntungan pestisida biologi ialah :

Murah dan mudah dibuat


Tidak menyebabkan keracunan pada tanaman (toksisitas)
Tidak menimbulkan kekebalan pada hama
Relatif aman bagi lingkungan
Kompatibel bila digabung dengan cara pengendalian yang
lain.
Hasil pertanian yang sehat dan bebas residu pestisida.
Mengalami degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar
matahari.
Memiliki efek/pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan
nafsu makan serangga walapun jarang menyebabkan
kematian.
Toksitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif
lebih aman pada manusia (lethal dosage (LD) >50 Oral).
Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung
dan syaraf) dan bersifat selektif.
Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah kebal
pada pestisida sintetis.
Phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak
tanaman.
Bahan baku sangat melimpah dan tersedia di alam
Karena bersifat selektif maka relatif aman terhadap
organisme yang bersifat sebagai predator atau pemangsa
alami
Mudah dibuat dan diperbanyak sendiri bahkan oleh petani
awam sekalipun
Selain itu juga berfungsi sekaligus sebagai pupuk organik
cair

Kerugian pestisida biologi ialah:

Daya kerja relatif lambat


Tidak membunuh langsung jasad sasaran
Tidak tahan terhadap sinar matahari
Kurang praktis
Tidak tahan disimpan
Penyemprotan dilakukan berulang- ulang
Cepat terurai dan aplikasinya harus lebih sering.
Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan
serangga/ memiliki efek lambat).
Kapasitas produksinya masih rendah dan belum dapat
dilakukan dalam jumlah massal (bahan tanaman untuk
pestisida nabati belum banyak dibudidayakan secara
khusus).
Ketersediaannya di toko-toko pertanian masih terbata

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Ahlul. 2010. Biopestisida Jamur Kubis Entomopatogenik
http://ahlul-leogirl.blogspot.com/2010/05/biopestisida-
jamur-kubis.html

Ajuz Yayan. 2012. Makalah Peran Mikroorganisme dalam Pestisida


Biologi http://yayanajuz.blogspot.com/2012/07/makalah-
peran-mikroorganisme-dalam.html

Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah


Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka
Untung.1992. Pestisida Alami. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Jember.
https://repository.usd.ac.id/7016/2/121434062_full.pdf Diunduh
pada hari Senin, 03 April 2017 Pukul 15.50 WIB.

http://ditoaprianto.blogspot.co.id/2012/10/mengenal-pestisida-
organik-atabio.html Diakses pada hari Senin, 03 April
2017 Pukul 15.56 WIB.

Anda mungkin juga menyukai