Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan pestisida kimia atau bahan kimia lain banyak dikurangi
berkaitan dengan dampak negatif yang dapat berakibat fatal terhadap manusia
dan

juga

lingkungan

ditimbulkan

akibat

penggunaannya.

Dalam

perkembangannya, disadari bahwa penggunaan pestisida kimia dapat


menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Selain itu penyemprotan pestisida
kimia yang tidak bijaksana menyebabkan kekebalan terhadap hama dan
menimbulkan pencemaran lingkungan dan memberikan efek negatif pada
kesehatan manusia Hal tersebut mendorong seseorang untuk meminimalkan
penggunaan pestisida kimia, dengan cara memanfaatkan agen pengendali
hayati.
Biopestisida diperkenalkan sebagai alternatif cara baru menangani hama
yang lebih ekologis, murah, serta dapat diterima oleh para petani, yang tidak
memiliki dampak negatif seperti pestisida kimia. Dalam pembuatan pestisida
pengganti pestisida kimia, ilmu bioteknologi banyak berperan untuk membuat
pestisida dari tanaman, pestisida dari mikroba, biokontrol, penggunaan
feromon dan atraktan dalam pengontrolan hama, tanaman terproteksi/plantincorporated protectants (PIPs)/GM crops.
Menurut Rachman Sutanto (2002) dalam bukunya Penerapan pertanian
Organik, mengatakan bahwa sesungguhnya penggunaan biopestisida ini telah
lama dikenal dan diterapkan oleh nenek moyang kita sebagai salah satu
kearifan lokal. Sangat disayangkan bahwa kearifan lokal ini sudah banyak
dilupakan oleh masyarakat kita, padahal keuntungan dari penerapannya dapat
dirasakan dalam jangka panjang. Bahan-bahan pembuatannya pun mudah dan
relatif murah, bahkan terkadang melimpah di alam. Dalam kaitannya dengan
program penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan pun, biopestisida
merupakan salah satu komponen teknologi yang direkomendasikan oleh
banyak ahli.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan biopestisida berasal dari


bahan hidup seperti tumbuh-tumbuhan (empon-empon, jarak, jengkol, biji
srikaya, tembakau, nimbi, danlain-lain) dan mikroba (cendawan, bakteri, virus
dan protozoa). Berdasarkan penelitian, sebagian tumbuhan mengandung bahan
kimia yang dapat membunuh, menarik dan menolak serangga, sebagian juga
menghasilkan racun, mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem
pencernaan atau mengubah perilaku serangga.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian biopestisida
2. Golongan biopestisida
3. Keberadaan biopestisida
4. Keunggulan dan kelemahan biopestisida
1.3 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar dapat memberikan pengetahuan
yang bermanfaat bagi para pembaca, dan khususnya agar kita lebih
mengetahui tentang biopestisida atau pestisida biologi.

BAB II
ISI
2.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida
berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh.
Yang dimaksud hama bagi petani sangat luas yaitu: tungau, tumbuhan

pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria


dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan
hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida adalah semua zat kimia atau
bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
2.
3.

merusak tanaman atau hasil-hasil pertanian.


Memberantas rerumputan.
Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian

4.

tanaman, tidak termasuk pupuk.


Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan

peliharaan dan ternak.


5. Memberantas dan mencegah hama-hama air.
6. Memberikan atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas
atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada
tanaman, tanah dan air.
Gangguan pada tanaman bisa disebabkan oleh faktor abiotik maupun
biotik. Faktor abiotik diantaranya:
1.
2.
3.
4.

Keadaan tanah (struktur tanah, kesuburan tanah, kekurangan unsur hara)


Tata air (kekurangan, kelebihan, pencemaran air)
Keadaan udara (pencemaran udara)
Faktor iklim.
Gangguan dari faktor abiotik bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian

atau tidak bisa dikoreksi dengan penggunaan pestisida. Sedangkan faktor


biotik yang menyebabkan gangguan pada tanaman atau biasa disebut dengan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu
1. Hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung dan moluska)
2. Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda)
3. Gulma (tumbuhan pengganggu).
Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan dengan
pestisida.
2.2 Pestisida Biologi

Pestisida biologi disebut juga biopestisida. Istilah biopestisida terdiri dari


tiga suku kata, yaitu bio yang artinya hidup, pest artinya hama atau organisme
pengganggu yang dapat berupa penyakit atau bahkan menyebabkan kematian,
dan cide artinya pembunuh. Jadi biopestisida dapat diartikan sebagai semua
bahan hayati, baik berupa tanaman, hewan, mikroba atau protozoa yang dapat
digunakan untuk memusnahkan hama dan penyebab penyakit pada manusia,
hewan, dan tanaman. Dalam istilah Indonesia sering juga para pakar di bidang
ini menyebutnya dengan istilah agensia pengendali hayati (Untung, 2009).
Pestisida biologi juga disebut sebagai musuh alami yang menjadi salah satu
cara pengendalian yang cukup bagus diterapkan di Indonesia.
Secara alami, tiap spesies memiliki musuh alami (predator, parasit, dan
patogen) yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama tanaman.
Peningkatan penggunaan pestisida hayati dengan bahan aktifnya jasad renik
penyebab

penyakit

hama

khususnya

serangga

akan

mengurangi

ketergantungan terhadap insektisida kimiawi.


Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni
pestisida nabati dan pestisida hayati.
1. Pestisida nabati, merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman
baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit
sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu.
Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama
(bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
2. Pestisida hayati, merupakan formulasi yang mengandung mikroba
tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis
terhadap

mikroba

lainnya

(penyebab

penyakit

tanaman)

atau

menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga


(hama) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).
Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis
insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis
fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lainnya
seperti bakterisida biologi, nematisida biologi dan herbisida biologi.
2.3 Pestisida Nabati

Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman


baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder
dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida
nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat
insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
Pestisida Nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya bersumber dari
tumbuh-tumbuhan, seperti akar, daun, batang atau buahnya. Bahan kimia
yang terkandung dalam tumbuhan memiliki bioakivitas terhadap serangga,
seperti bahan penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant),
penghambat perkembangan serangga (insect growth regulator), dan
2.3.1

penghambat peneluran (oviposition detterent).


Tanaman Penghasil Pestisida Nabati
Beberapa jenis tumbuhan dapat digunakan dan berkhasiat dalam
mengendalikan hama pada tanaman, diantaranya:

1. Mimba (Azadirachta indica)

Senyawa-senyawa yang terkandung dalam tanaman mimba dapat


menghambat serangan hama. Pestisida dari tumbuhan ini mampu
mengendalikan hama seperti ulat, kumbang, jamur, dan kutu daun
secara efektif. Beberapa metabolit sekunder yang terkandung dalam
tanaman mimba adalah azadirachtin, meliantriol atau triol, salanin,
nimbin dan nimbidin. Kandungan racun pada biji mimba lebih tinggi
dibandingkan kandungan racun pada daun mimba.
dengan menurunkan nafsu makan pada serangga hama.

Cara kerjanya

azadirachtin
Daun dan biji ini diformulasikan dalam bentuk minyak atau dalam
bentuk serbuk. Minyak yang terbuat dari biji mimba telah banyak
dijual dipasaran dengan dosis 5-10 ml per liter air. Minyak ini cukup
efektif saat digunakan untuk mengendalikan beberapa jenis hama yang
merusak tanaman. Pestisida dari bahan ini tidak meninggalkan residu
berbahaya pada tanaman dan lingkungan, karena di alam senyawa
yang terkandung dalam tumbuhan ini mudah terurai. Walaupun begitu
ada efek toksisitas yang ditimbulkan yaitu dapat menyebabkan iritasi
mata dan jaringan lunak.
Cara pembuatan:
Haluskan daun atau biji mimba, campurkan dengan daun
tembakau, larutkan dengan air dan diamkan selama 1 malam
kemudian semprotkan pada tanaman yang terserang hama atau
penyakit.
2. Tembakau (Nicotinae tobacum L.)

Tembakau merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan


sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan berbagai hama yang
merusak tanaman. Bagian yang dapat dimanfaatkan untuk pestisida
nabati adalah daun dan batangnya. Zat aktif yang terkandung dalam
tanaman tembakau adalah nikotin dengan kadar tertentu.

Spesies Nicotiana tabacum dan N. rustica mengandung nikotin


antara 6% 18%. Nikotin adalah racun yang keras. Kandungan toksin
dalam daun tembakau cukup efektif untuk mengendalikan berbagai

jenis ulat dan belalang yang menyerang pada tanaman semusim. Cara
kerja pestisida nabati jenis ini yaitu sebagai racum kontak, racun perut
dan racun pernafasan.
Cara pembuatan:
- Keringkan daun atau batang tanaman tembakau sebanyak 100200 gram. Dengan cara ini, daun dan batang tanaman tembakau
-

dapat disimpan lebih lama.


Dihaluskan dengan cara ditumbuk atau diblender
Daun atau batang yang telah halus kemuadian direndam atau

dilarutkan dalam satu liter air selama satu malam.


Disaring larutan dengan menggunakan saringan halus
Larutan hasil saringan kemudian diencerkan dengan menambah
satu liter air.
Nikotin merupakan racun yang keras. Hindari kontak dengan

kulit. Gunakan masker agar tidak masuk ke system pernafasan.


Racun ini memerlukan 3-4 hari untuk terurai. Buah atau sayuran
yang disemprot dengan ekstrak tembakau tidak berpengaruh pada
kumbang macan dan larvanya ataupun capung.
3. Tuba (Derris elliptica)

Tanaman ini sangat mudah ditemukan dimana-mana. Beberapa


tahun yang lalu tanaman ini sering digunakan orang untuk meracuni
ikan. Kandungan aktifnya yaitu rotenone dan rotenoid.

Bahan aktif paling banyak terdapat pada akar. Insektisida nabati ini
aktif sebagai racun kontak dan perut berbagai spesies serangga hama.

Akar tuba dalam bentuk tepung dan ekstraknya berpotensi mengatasi


gangguan hama gudang.
Cara pembuatan:
Bagian akar dihaluskan kemudian dicampur dengan air dan
disemprotkan pada tanaman yang terserang hama. Untuk efektifitas
penggunaan pestisida jenis ini cukup ditambahkan bahan perekat.
4. Serai (Andropogon nardus)

Tanaman serai mempunyai aroma yang khas dan tidak disukai oleh
tikus. Oleh karena itu, serai yang ditanam dipinggiran sawah dapat
dugunakan sebagai tanaman yang menghambat serangan tikus. Zat
aktif dalam serai yang tidak disukai nyamuk dan beberapa serangga
lainnya adalah dipentena, farnesol, geraniol, mirsena, metil heptenol,
nerol, stiral dan sitronela.
Farnesol

garnesol

Cara pembuatan:
Menghaluskan daun dan batangnya mengunakan blender atau
ditumbuk. Hasil tumbukan lalu ditambah air untuk diencerkan.
Larutan ini dapat langsung diaplikasikan sebagai pestisida untuk

mengendalikan hama ulat dan kutu daun.


5. Bunga Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium)

Piretrum merupakan tanaman introduksi dengan daerah asal bagian


Timur Pesisir Laut Adristik. Kandungan bahan kimia yang terdapat
pada piretrum adalah piretrin, cinerin, dan jasmolin. Bagian tanaman
yang digunakan adalah bunga, tangkai bunga, daun dan akar.

Zat piretrin ini sudah sejak lama diketahui sebagai pestisida nabati
yang efektif untuk mengendalikan hama tanaman yaiu ulat, kutu dan
serangga. Pestisida nabati ini aktif sebagai racun kontak yang
mempengaruhi system syaraf serangga, masuk ke dalam tubuh
serangga melalui spirakel. Piretrin bersifat reversible yaitu apabila
serangga yang teracuni tidak mati karena dosis racunnya kurang, maka
serangga tersebut dapat pulih kembali. Menghambat perkembangan
serangga, penolak (repellent) dan penetasan telur.
Cara pembuatan:
Rendam 50 gram serbuk bunga piretrum dengan 5 liter air,
tanbahkan 2 sendok makan sabun colek atau detergen, aduk sampai
rata dan diamkan selama 1 malam. Setelah 1 malam kemudian
disaring, pestisida siap digunakan dengan mencampurkan 500 ml
larutan pestisida dengan 10 liter air dan disemprotkan pada
tanaman.
2.4 Pestisida Hayati
2.4.1 Insektisida Biologi (Bioinsektisida)
Bioinsektisida berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida.
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat
menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan.
Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai
sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran
dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Agen hayati yang paling banyak
digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari jenis bakteri, jamur dan

virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk


jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda
yakni Heterorhabditis indicus. Mikroba patogen yang telah sukses dan
berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus
thuringiensis.
2.4.1.1 Bacillus thuringiensis (Bakteri Patogen Serangga)
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi
lingkungan dan makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis
dengan

menggunakan

insektisida

mikroba.

Bakteri

Bacillus

thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering digunakan


sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama seperti
Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera. Bacillus thuringiensis ditemukan
pertama kali pada tahun 1911 sebagai patogen pada ngengat (flour moth)
dari Provinsi Thuringia, Jerman. Bakteri ini digunakan sebagai produk
insektisida komersial pertama kali pada tahun 1938 di Perancis dan
kemudian di Amerika Serikat (1950).
Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang berasal dari genus Bacillus
yang berbentuk batang dan menghasilkan endospora pada saat sporulasi.
Sporulasi adalah proses pembentukan endospora dalam sel vegetatif.
Bacillus thuringiensis sudah dikenal luas sebagai bakteri patogen terhadap
serangga. Berbagai macam spesies B. thuringiensis telah diisolasi dari
serangga golongan Lepidoptera (kupu-kupu), Diptera (insekta yang
bersayap tipis; nyamuk, lalat), dan Coleoptera (kumbang/kepik), baik
yang sudah mati ataupun dalam kondisi sekarat. Sebagian subspesies B.
thuringiensis didapatkan dari tanah, permukaan daun, dan habitat lainnya.
Pada lingkungan dengan kondisi yang baik dan nutrisi yang cukup, spora
bakteri ini dapat terus hidup dan melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya.
Bioinsektisida berbahan bakteri Bacillus thuringiensis pada saat ini
sudah banyak ditemukan pada air cucian beras dan digunakan untuk
pengendalian hama karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya tidak
menimbulkan bahaya bagia manusia.

10

Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis berbentuk sel batang dengan ukuran lebar 1,0


1,2 mikron dan panjang 3-5 mikron, membentuk delta-endospora, dan
membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5-6 sel dan berwarna merah
ungu. Bacillus thuringiensis menghasilkan Kristal protein yang disebut
dengan toksin Bt yang beracun bagi ulat dan ngengat. Namun, terdapat
varietas lain yang beracun bagi larva lalat dan nyamuk.
A. Berbagai macam B. thuringiensis
1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis menyerang kumbang
kentang colorado dan larva kumbang daun.
2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki menyerang berbagai jenis
ulat tanaman pertanian.
3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis menyerang nyamuk dan
lalat hitam.
4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai menyerang larva ngengat
dan berbagai ulat, terutama ulat ngengat diamond back.
Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah
kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri
dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap
hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah
terurai dan tidak menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.
Bacillus thuringiensis akan menghasilkan Kristal protein saat
sporulasi yaitu ICP (Insecticidal Crystal Protein) B. thuringiensis.

Kristal Bacillus thuringiensis

Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering disebut dengan


delta-endotoksin. Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini
sebenarnya merupakan pro-toksin. Kristal protein tidak dapat larut pada
kondisi normal, sehingga aman bagi manusia, atau hewan tingkat tinggi

11

lainnya. Namun, dapat larut pada kondisi pH sekitar 9,5. Kondisi ini
ditemukan dalam usus serangga (dalamhal ini, ulat). Hal ini lah yang
menyebabkan Bt merupakan agen insektisida yang spesifik.
Bacillus thuringiensis mudah dikembangbiakkan,

dan

dapat

dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian


biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul
dari pemakaian pestisida kimia.
B. Cara kerja Bacillus thuringiensis
Bacillus thuringiensis bekerja secara spesifik, karena hanya akan
berikatan dengan reseptor dari sel usus serangga (ulat) berikatan
dengan reseptor dinding sel usus dan akan membuat lubang dan
menyebabkan tidak seimbangnya pH. Sehingga usus lumpuh dan
serangga berhenti makan. pH usus dan darah menjadi tidak seimbang
dan mengakibatkan spora berkecambah dan bakteri merusak inang.
Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi
inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair.
Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan
ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam
hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan
isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau
kuning, ketika membusuk.

Cara kerja Bacillus thuringiensis pada seranggga (ulat)

1. Serangga memakan tanaman yang telah disemprotkan Bacillus


thuringiensis sehingga kristal dan spora masuk ke dalam
tubuhnya.
2. Toksin akan berikatan dengan reseptor tertentu diusus.

12

3. Toksin

akan

merusak

dinding

sel

epitel

dan

merusak

keseimbangan pH, sehingga mengakibatkan spora berkecambah


dan bakteri merusak sel inang (serangga).
4. Serangga mati.
C. Potensi Sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora
atau protein kristal Bacillus thuringiensis dalam bentuk kering atau
padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi selsel Bacillus thuringiensis yang telah disaring atau diendapkan dan
dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat
dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata,
dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
Beberapa merk dagang dan formulasi dari bioinsektisida ini adalah
Bacillin WP, Xentari WDG, Turex WP, Bactospeine ULV, Thuricide
HP, Costar OF, Cutlass WP, Florbac FC, dan Dipel WP.

2.4.2

Fungisida Biologi
Turex(Biofungisida)
WP
Xentari WDG
Fungisida berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang
berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan. Fungisida
biologi adalah semua jenis organisme hidup yang dapat digunakan untuk
mengendalikan jamur yang berperan sebagai hama atau penyebab penyakit
pada tanaman, hewan, dan manusia. Dari pengalaman di lapangan,
penyakit yang dominan pada tanaman budidaya disebabkan oleh jamur.
Penyakit ini dapat menyebabkan busuk pada akar atau pangkal batang
tanaman.
Fungisida biologi (biofungisida) merupakan alternatif yang digunakan
untuk penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Beberapa fungisida
yang telah digunakan adalah:

13

Spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar

putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.


Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. untuk mengendalikan

busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.


Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu
mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat.
Biofungisida

yang

paling

banyak

digunakan

adalah

spora

Trichoderma sp. yang digunakan sebagai pengendali penyakit akar putih


pada tanaman karet dan penyakit layu fusarium pada cabai.
2.4.2.1 Spora Trichoderma sp.
Trichoderma sp. adalah sejenis cendawan atau fungi yang termasuk
kelas ascomycetes. Trichoderma sp. Memiliki aktivitas antifungal. Yakni
memiliki sifat antagonis terhadap cendawan patogen. Patogen yang artinya
bersifat

menimbulkan

penyakit

atau

merugikan

bagi

tanaman.

Trichoderma sp. Banyak ditemukan di tanah hutan maupun tanah


pertanian atau pada substrat berkayu.

Trichoderma

Aktivitas antagonis Trichoderma dapat meliputi persaingan, parasitisme, predasi atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Trichoderma
dapat digunakan untuk menangani masalah kerusukan tanaman akibat
cendawan patogen.
Dalam aktivitasnya sebagai penghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan patogen, Trichoderma memiliki kemampuan dan
mekanisme yang bervariasi pada setiap spesiesnya. Perbedaan kemampuan
ini disebabkan oleh faktor ekologi yang membuat produksi bahan
metabolit yang bervariasi pula.
Metabolit yang diproduksi Trichoderma bersifat volatile dan non
volatile. Metabolit non volatile lebih efektif dibandingkan dengan yang

14

volatile. Metabolit yang dihasilkan Trichoderma dapat berdifusi melalui


membran dialisis yang kemudian dapat menghambat pertumbuhan
beberapa cendawan patogen.
Beberapa spesies Trichoderma yang berfungsi sebagai agen hayati
antara

lain

Trichoderma

Trichoderma
konigili.

harzianum,

Trichoderma

Trichoderma
sp.

mampu

viridae,

dan

menghambat

perkembangan pertumbuhan beberapa jenis cendawan patogen yang


menyebabkan penyakit pada tanaman, seperti fusarium oxysporum,
Scleroyium rolfsii, Rigidiforus lignosus, Rhizoctonia solani, Lentinus
Lepidus, Phytium sp., Botrytis cinerea dan Gloesporium gloesporoides.
Sebagai agen hayati Trichoderma berpotensi menjaga sistem ketahanan
tanaman misalnya dari serangan cendawan patogen. Tanaman seperti
sengon yang rentan terhadap serangan penyakit busuk akar (Ganoderma
sp.), tanaman kubis yang rentan penyakit akar gada, penggunaan
Trichoderma sebagai agen antagonis merupakan salah satu alternatif
pengendalian yang aman.
A. Trichoderma harzianum
Spesies Trichoderma harzianum merupakan salah satu spesies yang
memiliki aktivitas paling tinggi sebagai antifungal, sehingga spesies inilah
yang paling banyak diteliti dan dipelajari. Trichoderma harzianum
memiliki

kemampuan

berkompetisi

dengan

cendawan

patogen,

menghambat berbagai jenis cendawan patogen, dapat membantu


pertumbuhan tanaman dan dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik
antifungal.

Trichoderma harzianum

Trichoderma harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat,


etanol, dan berbagai enzim seperti urease, selulase, glukanase, dan

15

kitinase. Hasil metabolit ini dipengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat


dalam media. Trichoderma harzianum dapat memproduksi bebrapa
pigmen yang bervariasi pada media tertentu seperti pigmen ungu yang
dihasilkan pada media yang mengandung ammonium oksalat, pigmen
jingga yang dihasilkan pada media yang mengandung gelatin dan glukosa,
serta merah pada medium cair yang mengandung glisin dan urea. Saat
berada pada kondisi yang kaya akan kitin, Trichoderma harzianum
memproduksi protein kitionik dan enzim kitinase. Enzim ini berguna untuk
meningkatkan efsiensi aktivitas biokontrol terhadap cendawan patogen
yang mengandung kitin.
Dalam aplikasinya dilapangan, pencegahan penyakit yang ditimbulkan
oleh cendawan patogen seperti layu fusarium dapat dilakukan dengan
pemberian pupuk organik yang dilengkapi/dicampur dengan jamur
Trichoderma sp. atau mengunakan produk fungisida nabati yang
mengandung Trichoderma sp. Trichoderma sp. dapat dibuat dan
dikembangbiakkan sendiri menggnakan media dedak. Saat ini sudah
banyak tersedia di pasaran produk pupuk maupun fungisisda nabati yang
dilengkapi dengan Trichoderma. Salah satu cara untuk memperbanyak
jamur Trichoderma sebagai berikut.

Langakah-lagkah perbanyakan jamur Trichoderma


- Alat
1. Dandang sabluk
2. Kompor gas/kompor minyak
3. Bak plastic
4. Plasik meteran (dalam bentuk lembaran)
5. Entong kayu
- Bahan
1. Sekam
2. Bekatul (dedak)
3. Air
4. Alkohol 96%
5. Isolat (bibit) jamur Trichoderma
- Cara membuat

16

1. Campurkan media (sekam dan bekatul) dengan perbandingan


1 : 3 dalam bak palstik. Berikan air ke dalam media tersebut,
aduk sampai rata.
2. Tambahkan air sampai keembaban media mencapai 70% (dapat
dicek dengan meremas media tersebut, tidak ada air yang
menetes namun media menggumpal)
3. Masukan media ke dalam kantung plastik. Siapkan dandang
sabluk untuk mensterilakn media.
4. Media disterilkan selama 1 jam setelah air mendidih. Sterilisasi
diulang dua kali, setelah media dingin sterilkan kembali media
selama 1 jam. Sterilisasi bertingkat ini bertujuan untuk
membunuh mikroorganisme yang masih dapat bertahan pada
proses sterilisasi yang pertama.
5. Tiriskan media di dalam ruangan yang lantaina telah beralas
plastik.
Sebelum digunakan semprot alas plastic dengan menggunakan
alcohol 96%.
1. Ratakan permukaan media dengan ketebalan 1-5 cm.
2. Semprot media dengan suspense jamur Trichoderma (isolat
jamur Trichoderma yang telah dilarutkan ke dalam air. 1
isolat dilarutkan dengan 500 ml air)
3. Tutp dengan plastic lalu inkubasikan selama 7 hari.
Ruangan inkubasi diusahakan minim cahaya, dengan suhu
ruangan berkisar 25o-27Oc.
4. Amati pertumbuhan jamur Trichoderma, jamur sudah dapat
dipanen setelah seluruh permukaan media telah ditumbuhi
jamur Trichoderma (koloni jamur berwarna hijau).

Beberapa contoh produk dipasaran yang dilengkapi Trichoderma sp. antara


lain:

17

Pupuk Prima
EvaGROW
Pupuk TABUR MAS
Tsunami MGP
M-Dec
Top Fungi
Marfu-P
Super Trico,
dan lain-lain.

2.5 Keunggulan dan Kelemahan Biopestisida


Keunggulan
Murah dan mudah dibuat
Tidak menyebabkan keracunan pada
tanaman (toksisitas)
Tidak menimbulkan kekebalan pada
hama
Relatif aman bagi lingkungan
Kompatibel bila digabung dengan cara
pengendalian yang lain.
Hasil pertanian yang sehat dan bebas
residu pestisida.
Mengalami degradasi/penguraian yang
cepat oleh sinar matahari.
Memiliki efek/pengaruh yang cepat,
yaitu menghentikan nafsu makan
serangga walapun jarang menyebabkan
kematian.
Toksitasnya umumnya rendah terhadap
hewan dan relatif lebih aman pada
manusia (lethal dosage (LD) >50
Oral).
Memiliki spektrum pengendalian yang
luas (racun lambung dan syaraf) dan
bersifat selektif.
Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT
yang telah kebal pada pestisida sintetis.

18

Kelemahan
Daya kerja relatif lambat
Tidak membunuh langsung
jasad sasaran
Tidak tahan terhadap sinar
matahari
Kurang praktis
Tidak tahan disimpan
Penyemprotan
dilakukan
berulang- ulang
Cepat terurai dan aplikasinya
harus lebih sering.
Daya racunnya rendah (tidak
langsung mematikan serangga/
memiliki efek lambat).
Kapasitas produksinya masih
rendah dan belum dapat
dilakukan dalam jumlah massal
(bahan tanaman untuk pestisida
nabati belum banyak dibudidayakan secara khusus).
Ketersediaannya di toko-toko
pertanian masih terbatas

Phitotoksitas rendah,
yaitu
tidak
meracuni dan merusak tanaman.
Bahan baku sangat melimpah dan
tersedia di alam
Karena bersifat selektif maka relatif
aman terhadap organisme yang bersifat
sebagai predator atau pemangsa alami
Mudah dibuat dan diperbanyak sendiri
bahkan oleh petani awam sekalipun
Selain itu juga berfungsi sekaligus
sebagai pupuk organik cair.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penggunaan biopestisida adalah salah satu solusi untuk mengurangi
penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT) yang membawa dampak buruk bagi lingkungan dan manusia.
Penggunaan biopestisida memiliki banyak keunggulan diantaranya ramah
lingkungan dalam pengendalian OPT pada tanaman, dapat mencegah ledakan
hama sekunder, produk pertanian yang dihasilkan bebas dari residu pestisida,
dan menghemat biaya produksi karena biaya pengendalian OPT berlebih.
Pembuatan biopestisida seperti pestisida nabati menggunakan bahan yang
berasal dari tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan seperti daun dan buah
sedangkan pestisida hayati berasal dari mikroba seperti jamur, bakteri,
maupun virus.
Biopestisida dapat dibuat sendiri dan juga dapat diperoleh dari produk
yang sudah ada dipasaran. Selain memiliki keunggulan penggunaan
biopestisida ini juga memiliki kekurangan seperti tidak langsung membunuh
hama dan bekerja lambat sehingga perlu berkali-kali penyemprotan, tidak
tahan sinar matahari, tidak tahan simpan.

19

DAFTAR PUSTAKA

Enceng Surachman dan Widodo Agus. 2007. Hama Tanaman, Pangan,


Hortikultura dan Perkebunan. Jakarta : Kanisius.
Madigan, Michael T., Martiko, John M., Dunlap, Paul V. Clark & David P.
Brock. . Biology of Microorganism. 12th ed. 2009. San Fransisso: Pearson
Benjamin Cummings.
Soenandar, Meidiantie dkk. 2010. Petunjuk Praktis Menggunakan Pestisida
Organik. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Suwahyono, Untung. 2009. Biopestisida. Jakarta : Penebar Swadaya
Tortora, Gerrard J., Funke, Berdell R., Case, Christine L. Microbiology. 10th ed.
2010. San Fransisso: Pearson Benjamin Cummings.
Deacon, Jim. The Microbial World: Bacillus thuringiensis.
https://archieves.bio.ed.ac.uk.jdeacon/microbes/bt.htm
Fajar Rizky Hogantara. 2013. TRICHODERMA Sp.
https://fajarrizkyashtercytin.wordpress.com/2013/03/31/07-trichoderma-sp/.
diakses Minggu, 5 Juni 2016
buatbelajarbiologi.blogspot.co.id/2013/12/peran-bacillus-thuringensissebagai_6406.html?m=1
http://sriapriantifransiska.blogspot.co.id/2012/04/biopestisida.html
mitalom.com/trichoderma-sp-sebagai-antifungal-pengendali-penyakit-cendawan/

20

21

Anda mungkin juga menyukai