Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN TETAP

BIOPESTISIDA
LABORATORIUM REKAYASA PROSES, PRODUK INDUSTRI KIMIA

DISUSUN OLEH:
META PRATIWI (03031181823116)
AHMAD JULIANTO (03031281823030)
ADE AZURA RAHMANIA (03031281823040)
DINA SABRINA (03031281823044)
ROBBY KURNIAWAN (03031281823058)
JUICY LOWISE TAMBA (03031381823072)

NAMA CO-SHIFT : 1. M. PRAYOGO PUTRA KUSUMA NUGROHO


2. RIKA KOMALA SARI
NAMA ASISTEN : 1. M. PRAYOGO PUTRA KUSUMA NUGROHO
2. PUTRA MAYHENDRA

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
ABSTRAK

Biopestisida merupakan jenis pestisida untuk membunuh hama penyakit tanaman


yang dihasilkan dari hasil olahan ekstraksi maserasi nabati dan hayati, misalnya
daun sirih. Prinsip maserasi adalah metode ekstraksi dengan proses perendaman
antara bahan pelarut yang sesuai dan senyawa aktif, lalu dilakukan pemanasan
rendah. Pembuatan biopestisida dari daun sirih secara garis besar dimulai dari
drying, ekstraksi maserasi, evaporasi, pengukuran volume residu dan destilat, serta
pengenceran. Pelarut yang digunakan pada proses ini adalah metanol dan dilakukan
variasi saat 20g daun sirih. Hasil pembuatan dilakukan uji mortalitas pada hama
dengan melihat persentase hama yang bertahan atau tidak. Percobaan penggunaan
biopestisida terhadap jangkrik sebanyak 10 ekor, dilakukan variasi konsentrasi pada
zat terlarutnya sebesar 25%, 50% dan 75%. Hasil ekstraksi setelah evaporasi adalah
200 mL biopestisida dengan 40 mL volume metanol. Karakteristik biopestisida
yang dihasilkan dari daun sirih adalah cair, berbau khas daun sirih, dan berwarna
gelap. Waktu yang dibutuhkan untuk jangkrik mati seluruhnya pada percobaan
dengan persen zat terlarut sebesar 25% yaitu minimal 15 menit dan minimal 5 menit
untuk persen zat terlarut sebesar 75% dan 100%. Hal itu berarti semakin tinggi
konsentrasi maka akan semakin tinggi mortalitas serangga. Semakin lama maserasi
yang dilakukan akan memperbanyak jumlah sel dan bahan aktif terlarut. Faktor-
faktor yang mempengaruhi biopestisida dari daun sirih adalah konsentrasi, suhu,
dan pelarut.

Kata kunci: biopestisida, daun sirih, maserasi, uji mortalitas, metanol, evaporasi.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pertanian adalah salah satu sektor sumber daya alam dan pengolahan yang
dominan di negara agraris, termasuk Indonesia, terlebih dengan kondisi geografis
yang mendukung proses pengairan dan pengolahan produk pertanian yang sedang
dibudidayakan. Lahan dan tumbuhan yang ada di lahan tersebut harus diolah dan
dijaga dari berbagai macam hama, baik hewan dan organisme merugikan lainnya,
yang dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman dan merugikan petaninya.
Kondisi tersebut membuat pentingnya penggunaan pestisida bagi setiap petani.
Pestisida sudah banyak dijual di pasaran dengan rentang harga yang beragam, jenis
pestisida, dan jenis hama yang ingin dimusnahkan. Penggunaan pestisida juga yang
tidak menyusahkan petani karena hanya disemprotkan dengan jangka waktu
tertentu dan tidak perlu dijaga dengan rutin.
Pestisida dapat diproduksi dengan penggunaan bahan dasar kimia dan
biologi atau tumbuhan. Pestisida berbahan dasar kimia, selain memberikan manfaat
dalam membunuh hama, juga dapat memberikan dampak negatif bagi tanaman dan
lahan pertanian. Pestisida kimia dapat membuat hama menjadi lebih resisten
sehingga cenderung untuk susah dimusnahkan kembali. Residu pestisida yang
masuk ke dalam tanah dapat meracuni organisme non target lainnya. Kandungan
bahan kimia pestisida tersebut juga lebih tidak sehat bagi kesehatan manusia. Oleh
karena itu, penggunaan pestisida berbahan dasar biologi atau dari tumbuhan,
biasanya disebut biopestisida, lebih baik digunakan untuk jangka panjang karena
lebih ramah lingkungan dibandingkan pestisida kimia.
Tumbuhan yang dapat digunakan untuk memproduksi biopestisida harus
memiliki kandungan flavonoid, fenol, tanin, dan sterol, agar biopestisida tetap
efektif untuk membunuh hama tanaman, salah satunya yaitu daun sirih. Praktikum
ini penting untuk dilakukan, terlebih di lingkup teknik kimia, guna mengenal dan
mempelajari mengenai pembuatan dan hasil biopestisida dari daun sirih secara
eksperimental yang bisa dikembangkan untuk skala industri.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimana karakteristik biopestisida yang dihasilkan dair daun sirih?
2) Bagaimana pengaruh rendemen terhadap kualitas yang dihasilkan
biopestisida dari daun sirih?
3) Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi biopestisida dari daun sirih?

1.3. Tujuan Percobaan


1) Mengetahui karakteristik biopestisida yang dihasilkan dari daun sirih.
2) Mengetahui pengaruh rendemen terhadap kualitas biopestisida daun sirih.
3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi biopestisida dari daun sirih.

1.4. Manfaat Percobaan


1) Secara penelitian, dapat dijadikan sumber informasi karakteristik
biopestisida yang dihasilkan dari daun sirih.
2) Secara penelitian, dapat dijadikan bahan pembelajaran mengenai pengaruh
rendemen terhadap kualitas biopestisida daun sirih.
3) Secara konvensional, dapat dijadikan acuan informasi pembuatan
biopestisida dari daun sirih dengan skala yang lebih kecil atau besar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biopestisida
Biopestisida dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan asalnya yaitu
pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati adalah jenis pestisida hasil
ekstraksi bagian tertentu dari tanaman seperti daun, buah, biji, dan batang yang
mempunyai senyawa metabolit sekunder dengan sifat racun terhadap hama. Jenis
pestisida ini digunakan untuk mengendalikan hama yang bersifat insektisidal atau
juga penyakit yang bersifat bakterisidal (Suwahyono, 2013).
Pestisida hayati adalah formulasi yang mengandung mikroba tertentu, baik
berupa jamur, bakteri maupun virus. Mikroba tersebut memiliki sifat yang
antagonis terhadap mikroba lain penyebab penyakit tanaman. Mikroba tersebut juga
dapat menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga
maupun nematoda penyebab penyakit tanaman (Soenandar dan Tjachjono, 2012).
Syarat suatu tanaman dapat dijadikan sebagai biopestisida antara lain yaitu
serangga atau hewan yang kurang menyukai daun atau batang sehingga terlihat utuh
karena mempunyai bulu halus. Tanaman tersebut mempunyai aroma atau bau yang
tajam sehingga kurang disukai oleh serangga, tanaman juga mempunyai rasa yang
pahit atau getir. Selain itu tanaman tersebut hendaknya mempunyai daya racun baik
pada batang, buah dan umbi atau pada getah.
Penggunaan biopestisida dapat memberikan banyak manfaat. Manfaat
biopestisida terdiri atas berbagai macam sesuai dengan bahan yang digunakan
sebagai bahan utama dalam pembuatan biopestisida yang diinginkan, Penggunaan
biopestisida terbukti dapat meningkatkan hasil panen selain efektif mengendalikan
hama dan penyakit. Penggunaan biopestisida umumnya lebih efektif pada dosis
rendah dan cepat terurai sehingga pemaparannya lebih rendah dan terhindar dari
dari masalah pencemaran. Biopestisida selain mencegah hama pada tanaman juga
dapat memberikan manfaat pada lingkungan, sehingga lingkungan dapat menjadi
lebih sehat dengan pemanfaatan lingkungan secara maksimal tanpa bahan kimia.
Hal itu berbeda dengan pestisida kimia yang sering menimbulkan dampak residu.

3
4

2.2. Dampak Penggunaan Pestisida


Pestisida merupakan racun yang dapat membunuh makhluk hidup, maka
dalam penggunaannya dapat memberikan pengaruh yang tidak diinginkan pada
kesehatan manusia serta lingkungan. Pestisida merupakan bahan kimia, campuran
dari bahan kimia, atau bahan lain yang bersifat bioaktif. Oleh karena itu pestisida
memiliki dampak negatf. Penggunaan pestisida tersebut dapat berdampak pada
konsumen, keselamatan pengguna dan juga berdampak pada lingkungan.
2.2.1. Dampak Bagi Konsumen
Dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis
yang tidak segera terasa. Gangguan kesehatan dalam jangka waktu lama mungkin
bisa timbul. Pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal
konsumen mengonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah
besar (Djojosumarto, 2008). Penggunaan pestisida khususnya tanaman ini akan
meninggalkan residu pada suatu produk pertanian. Menurut Sudarmo dan
Mulyaningsih (2014), pentingnya residu pestisida dalam produk pertanian sangat
ditentukan oleh besarnya residu dan juga oleh daya racun baik akut atau kronik.
2.2.2. Dampah Bagi Keselamatan Pengguna
Penggunaan pestisida bisa mengkontaminasi pengguna secara langsung
sehingga mengakibatkan keracunan. Keracunan terhadap pestisida dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yaitu keracunan ringan, akut berat, dan kronis. Keracunan
akut ringan akan menimbulkan pusing, sakit kepala, badan terasa sakit dan diare.
Keracunan akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sukar
bernapas, dan denyut nadi meningkat. Keracunan pada pestisida ini secara kronik
maupun akut dapat terjadi pada pemakai dan pekerja yang berhubungan dengan
pestisida. Keracunan tersebut dapat juga terjadi karena adanya kontaminasi yang
melalui mulut, saluran pencernaan, kulit, dan juga pernapasan.
2.2.3. Dampak Bagi Lingkungan
Dampak penggunaan pestisida bagi lingkungan dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu, dampak bagi lingkungan umum dan dambak bagi
lingkungan pertanian. Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan umum ini
antara lain yaitu pencemaran lingkungan, terbunuhnya organisme non-target, dan
5

juga menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme. Dampak yang


ditimbulkan bagi lingkungan pertanian meliputi timbulnya resistensi Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) terhadap pestisida, meningkatnya populasi hama.
Dampak lainnya yaitu bisa timbulnya hama baru, terbunuhnya musuh alami hama,
perubahan flora dan fitotoksik atau meracuni tanaman.
Menurut Sudarmo dan Mulyaningsih (2014), dampak yang ditimbulkan
pada lingkungan oleh penggunaan pestisida dapat berupa keracunan terhadap ikan,
keracunan terhadap satwa liar, dan keracunan pada tanaman. Penggunaan pestisida
yang tidak bijaksana dapat menimbulkan keracunan yang berakibat kematian pada
satwa liar seperti burung, lebah, serangga penyerbuk. Keracunan terjadi langsung
karena adanya kontak dengan biopestisida yang telah semprotkan ke tanaman.

2.3. Senyawa Fitokimia


Fitokimia terdapat pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang
tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh dan memiliki efek bagi kesehatan.
Fitokimia lebih diarahkan untuk mengetahui zat kimia metabolit sekunder dari tiap
tanaman. Polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat adalah penyusun utama
mahluk hidup, karena itu disebut metabolit primer. Struktur dari senyawa metabolit
sekunder menunjukkan adanya modifikasi (Endarini, 2016).
Modifikasi disebabkan karena adanya reaksi sekunder pada hidrokarbon
utama, seperti oksidasi, reduksi, atau alkilasi. Pengujian fitokimia dilakukan untuk
menentukan ciri senyawa aktif di dalam ekstrak tumbuh-tumbuhan sebagai
penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat (Robinson, 1991). Biogenetik
fitokimia yang terdapat dalam tanam-tanaman dibagi menjadi empat jenis yaitu
acetogenin, karbohidrat, nsoprena dan nitrogenous yang termasuk senyawa alami.
2.3.1. Terpenoid
Terpenoid merupakan unit isoprene yang berupa senyawa berwarna dan
berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi yang umumnya sukar dicirikan
karena tak ada kereaktifan kimianya (Dini, 2008). Terpenoid terbagi atas dua kelas
utama, diantaranya yaitu karotenoid dan non-karotenoid. Karotenoid adalah salah
satu komponen utama fitokimia yang penting bagi kesehatan, terutama untuk
mejaga kesehatan mata. Karotenoid pada umumnya terdapat pada buah-buahan
6

yang berwarna merah hingga kuning. Terpenoid terdiri atas beberapa macam
senyawa diantaranya mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan
sesquiterepena yang mudah menguap. Masing-masing golongan terpenoid tersebut
penting, baik dalam pertumbuhan, metabolisme ataupun di ekologi tumbuhan.
2.3.2. Nitrogeneous
Nitrogen merupakan kompenen dasar dalam sintesis protein, enzin, asam
amino, asam nukleat, dan bagian integral dari klorofil, yang berperan dalam
mengontrol semua reaksi metabolism di dalam tanaman. Nitrogen merupakan unsur
hara makro yang dibutuhkan dalam jumlah paling banyak oleh tanaman, yang dapat
memacu pertumbuhan dan perkembangan daun, cabang, dan produksi buah.
Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk ion nitrat dan ammonium. Nitrat
bermuatan negatif, sehingga selalu berada dalam larutan tanah dan mudah diserap
oleh tanaman tetapi lebih mudah tercuci. Amonium bermuatan positif, sehingga
terkait oleh keloid tanah dan tidak mudah tercuci. Amonium dapat dimanfaatkan
oleh tanaman melalui pertukaran ion.
Tanaman selalu membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang berbeda untuk
pertumbuhannya. Tingkat kekurangan atau kelebihan nitogen dapat diukur dengan
beratnya gejalan dan tingkat pertumbuhan tanaman. Gejala kekurangan dan
kelebihan nitrogen dapat diamati secara visual dan analisi daun tanaman. Analisis
daun dilakukan unutk membantu memberikan identifikasi yang lebih akurat, karena
gejala yang tampak tersebut dapat menyerupai gejala yang ditimbulkan oleh
penyakit atau keracunan peptisida yang diberikan ( Efendi dkk, 2017).
2.3.3. Flavonoid
Senyawa fenol yang telah ada di alam telah banyak diketahui strukturnya.
Flavonoid adalah golongan terbesar dari senyawa fenol. Senyawa fenol berasal dari
tumbuhan yang mempunyai cincin aromatik, yang di dalamnya terkandung satu
atau dua gugus hidroksif (Fessenden, 1990). Senyawa flavonoid memiliki struktur
hidrokarbon C6-C3-C6. Senyawa yang termasuk dalam flavonoid antara lain yaitu,
katecin, anthosianin, flavon, flavonol, isoflavon, dan juga acetogenin. Flavonoid
terdapat pada setiap bagian dari tanaman seperti pada biji, buah, benang sari, akar
dan bagian-bagian yang lainnya (Najib, 2018).
7

2.4. Metode Pembuatan Biopestisida


Pengertian pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama. Umumnya
pestisida dapat diartikan sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk
mengendalikan bangkai yang merugikan kepentingan masyarakat. Pestisida dalam
sejarah peradaban manusia telah digunakan sejak lama, terutama di bidang
kesehatan dan pertanian. Pestisida dalam perawatan kesehatan merupakan alat
penting untuk melindungi masyarakat dari serangan serangga dan berbagai jenis
penyakit menular. Serangga yang dapat menularkan penyakit berbahaya kepada
manusia telah berhasil dibasmi dengan pestisida. Berkat pestisida, masyarakat
terbebas dari berbagai jenis bahaya yang berkaitan dengan penyakit berbahaya,
seperti malaria, demam berdarah, kaki gajah, hipertensi (Yunita dkk, 2009).
Pestisida merupakan salah satu bagian penting dalam pertanian yang dapat
membantu para petani untuk mengatasi permasalahan organisme pengganggu.
Pestisida memiliki kemampuan untuk melawan hama yang merusak tanaman Anda.
Dipercaya secara luas bahwa penggunaan pestisida di bidang pertanian
meningkatkan produksi produk pertanian. Saat ini, pestisida merupakan alat yang
sangat diperlukan. Terutama digunakan untuk melindungi tanaman dan tanaman,
ternak dan ikan dari kerugian akibat berbagai jenis hama yang mengganggu
budidaya. Para petani percaya bahwa dengan menggunakan pestisida nabati dapat
terhindar dari kerugian akibat serangan hama tanaman. Keyakinan ini dari waktu
ke waktu menyebabkan peningkatan pesat dalam penggunaan pestisida.
Biopestisida merupakan pestisida alami yang berasal dari tanaman.
Penggunaan biopestisida ini diketahui lebih aman dibandingkan pestisida sintetik.
Kandungan metabolit sekunder pada beberapa jenis tanaman diketahui memiliki
efektifitas dalam membasmi hama serangga. Efek pemberian ekstrak tanaman
diantaranya adalah sebagai repellent, anti-feeding, dan toksik. Beberapa jenis
metabolit sekunder seperti rotenon, azadirachtin, quassin, nicotine, pyrethrin,
piperin diketahui efektif mempengaruhi hama serangga baik secara fisik, fisiologis
maupun genetis (Adeyemi dan Hassan, 2010).
Bioinsektisida berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida.
Mikroorganisme dalam bioinsektisida penyebab penyakit pada serangga tidak
8

boleh menjadi perhatian hewan atau tumbuhan lain. Jenis mikroorganisme yang
akan digunakan sebagai insektisida harus memiliki sifat yang spesifik yaitu harus
menyerang serangga sasaran dan bukan serangga yang tidak mengganggu tanaman.
Saat ini, hanya sedikit insektisida biologis yang digunakan dan dijual dalam skala
besar. Salah satu jenis mikroorganisme patogen yang berhasil dan berpotensi
sebagai insektisida hayati adalah Bacillus thuringiensis (Suwahyono, 2010).
Insektisida jenis ini efektif melawan larva nyamuk dan lalat. Jenis insektisida
biologis lainnya adalah Nosema locustae, sejenis protozoa yang dikembangkan.
Pembuatan biopestisida umumnya menggunakan metode ekstraksi langsung
dari bagian tanaman yang akan digunakan (Turgeon dkk, 1985). Metode ekstraksi
yang cenderung digunakan dalam mengekstraksi zat yang berguna sebagai pestisida
nabati adalah metode maserasi. Penelitian sebelumnya menggunakan daun sirsak
menggunakan metode maserasi dalam mengekstraksi kandungan daun sirsak
(Sastroutomo, 1992). Tidak hanya maserasi yang dilakukan, dalam memisahkan
ekstrak dari pelarutnya, pelarut diuapkan menggunakan rotary evaporator. Hasil
pemisahan dari evaporator dipekatkan kembali menggunakan hotplate stirer
hingga diperoleh ekstrak daun sirsak yang diinginkan. Ekstrak yang sangat pekat
disimpan pada suhu ruang tidak mengalami penurunan (Karyadi dkk, 2011).
Metode maserasi cenderung digunakan karena maserasi merupakan teknik
yang dapat dilakukan dimana saja dan sederhana kemudian, metode ini cocok pada
bahan yang tidak tahan panas (Djunaedy, 2009). Maserasi dilakukan dalam suhu
ruangan yang bertujuan untuk menghindari penguapan pelarut secara berlebih yang
dapat diakibatkan perubahan suhu. Selama maserasi berlangsung dapat dilakukan
pengadukan agar pelarut dan ekstrak yang dituju tercampur. Menurut Kenichi dan
Masanori (dalam Djunaedy, 2009), maserasi baik dilakukan pada suhu 20-30℃.
Penyaringan dari ekstrak dapat dilakukan setelah maserasi selesai yaitu 1-9 hari
setelah maserasi. Metode lainnya yang dapat dilakukan adalah metode penyaringan
bertingkat yang dilakukan pada tanaman kangkong yang akan digunakan.
Metode penyaringan bertingkat dilakukan dengan memotong kangkung
menjadi potongan-potongan kecil secara terpisah. Batang dan daun kangkung
dipotong terpisah untuk melihat efektivitas masing-masing komponen sebagai
9

biopestisida. Setiap bagian diekstraksi secara terpisah. Batang dan daun yang sudah
dipotong kecil-kecil digerus menggunakan lesung. Tambahan air steril dengan
perbandingan 200 mililiter untuk 80 gram kangkung yang kemudian disaring secara
bertahap. Filter vakum dan filter kain kasa digunakan untuk memisahkan ampas
kale. Dilanjutkan dengan penggunaan kertas whatman 0,4 nanometer bersama-
sama dengan filter vakum untuk mendapatkan ekstrak dari masing-masing
komponen sebagai biopestisida yang akan digunakan (Soekarno dkk, 2012).

2.5. Biopestisida dari Nabati


Pada umumnya, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang
bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. pestisida nabati dimasukkan ke dalam
kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin. Pestisida biokimia
adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan
mekanisme non toksik. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang
merupakan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat
pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan
bahan bioaktif, walaupun hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder
yang telah teridentifikasi, tetapi sesungguhnya jumlah bahan kimia pada tumbuhan
dapat melampaui 400.000 ( Kardinan, 1999).
2.5.1. Sirsak
Sirsak merupakan buah yang sejak lama dipercaya memiliki khasiat sebagai
penstabil tekanan darah pada manusia. Dapat digunakan sebagai obat alami untuk
mengobati tekanan darah tinggi, asam urat, rematik bahkan kanker payudara. Buah
sirsak juga dapat diolah menjadi jus atau minuman segar lainnya yang berkhasiat
untuk menjaga kebugaran dan melancarkan pencernaan. Selain buahnya yang
sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh manusia ternyata bagian tanaman sirsak
yaitu bagian akar, kulit batang dan daunnya sangat efektif dalam mengusir dan
mengendalikan berbagai jenis serangga pengganggu tumbuhan nantinya.
2.5.2. Cengkih
Cengkih merupakan tanaman yang sangat dikenal sebagai bahan campuran
utama tembakau untuk membuat rokok kretek. Pengusir hama eugenol dari ekstrak
cengkeh dapat menyebabkan kematian imago hama gudang Stegobium paniceun
10

sebesar 90% dengan konsentrasi 3% dan kematian ulat uret Exopholis hypoleuca
sebesar 95 dan 100%, masing - masing dengan konsentrasi 7,5% dan 10%
(Whitmore, 1975).
Cengkeh digunakan sebagai biopestisida dalam dunia pertanian daun dan
kulit batang, karena mengandung minyak atsiri yang aromanya tidak disukai oleh
berbagai jenis serangga. Minyak atsiri dari daun dan kulit batang cengkeh ini dapat
digunakan sebagai campuran untuk membuat biopestida. Dengan penambahan
kapur barus atau belerang, seluruh bagian tanaman cengkeh dapat mengendalikan
hama yang berada di bawah permukaan tanah. Campuran ini juga dapat digunakan
untuk mengendalikan dan mencegah serangan jamur akar pada tanaman tahunan
seperti kopi, kakao dan jeruk serta buah buah lainnya yang akan digunakan.
2.5.3. Brotowali
Bahan aktif yang terkandung di dalam akar, batang, daun, buah dan bunga
brotowali, yang dapat mengendalikan OPT di antaranya adalah alkaloid, tanin,
saponin, glikosida, terpenoid dan flavonoid beserta turunannya. Selain bersifat
toksik untuk serangga, tanaman brotowali juga bersifat antijamur, antinematisida
dan antimoluska. Batang brotowali dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan
serangga diantaranya tungau, Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata
lugens, Plutella xylostella, Phyliotera sinuata Ateph, Scirtothrips dorsalis Hood,
Phyllocnistis citrella Stainton dan larva nyamuk Culex quinquefasciatus (vektor
penyakit filariasis) dengan nilai efektivitas diatas 50% dan rasio efisiensi biaya
produksi yang lebih rendah dari pestisida sintetik (Shahabuddin, 2009).
2.5.4. Tembakau
Semua orang tahu bahwa tembakau merupakan bahan utama dalam
produksi rokok yang konon merugikan kesehatan manusia karena kandungan
nikotinnya.Mungkin sedikit orang yang tahu bahwa daun tembakau juga dapat
digunakan sebagai agen pengendali hama tumbuhan alami. Kandungan racun daun
tembakau cukup efektif melawan berbagai jenis ulat dan belalang yang menyerang
tanaman semusim seperti tomat, cabai, kentang, beras, jagung, dan kacang-
kacangan. Penggunaannya cukup mudah, cukup hancurkan tembakau lalu taburkan
pada semua bagian yang ingin dihindari dari hama (Kardinan, 2004).
11

2.6. Mekanisme Kerja Pestisida


Biopestisida berupa senyawa organik dan mikrobia antagonis yang dapat
menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman. Biopestisida memiliki
senyawa organik yang mudah terdegradasi di alam (Sumartini, 2016). Pestisida
dapat membunuh atau mengganggu hama dan juga penyakit melalui cara yang
spesifik. Begitu juga dengan pestisida nabati. Pestisida nabati memiliki cara kerja
yang unik, baik secara tunggal maupun melalui berbagai cara yang dilakukan.
Menurut Sudarmo dan Mulyaningsih (2014) menjelaskan bahwa, cara kerja
dari pestisida nabati sangat spesifik, yaitu dengan merusak perkembangan telur
hama, menghambat pergantian kulit, mengganggu komunikasi serangga, dan
penolak makan. Pestisida nabati juga dapat digunakan untuk menghambat proses
reproduksi pada serangga betina, mengurangi nafsu makan serangga, memblokir
kemampuan makan, dan menghambat perkembangan penyakit. Ada beberapa cara
insektisida agar dapat membunuh hama sasaran yaitu, dari fisik, merusak enzim,
merusak syaraf, menghambat metabolisme dan meracuni otot. Berpengaruh secara
fisis yaitu bahan insektisida memblokade proses metabolisme, bukan dengan reaksi
biokimia atau neurologis, melainkan dengan cara mekanis dan cara yang lainnya.

2.7. Daun Sirih


Sirih merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan
sebagai pengobatan. Tumbuhan ini merupakan family Peperaceae, yang tumbuh
merambat dan menjalar dengan tinggi mencapai 5-15 m tergantung pertumbuhan
dan tempat rambatnya. Bagian dari tumbuhan sirih (Pipper batle L.) seperti akar,
biji, dan juga daun berpotensi untuk pengobatan, tetapi yang paling sering untuk
dimanfaatkan adalah pada bagian daun. Daun sirih memiliki bentuk yang seperti
jantung, berujung runcing, tumbuh berselang seling, bertangkai, teksturnya kasar
jika diraba, dan juga mengeluarkan bau yang sedap atau aromatis.
Daun sirih dimanfaatkan sebagai antisariawan, antibatuk, astrigent, dan
antiseptik. Kandungan kimia tanaman sirih adalah saponin, flavonoid, polifenol,
dan minyak astari. Senyawa saponin dapat bekerja sebagai antimikroba. Senyawa
ini akan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel. Senyawa flavonoid
diduga memiliki mekanisme kerja mendenaturasi protein sel bakteri.
12

2.8. Penelitian Terkait


Penelitian terkait mengenai biopestisida dari daun sirih yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Agustina dkk. (2017) yaitu Pengaruh Penambahan Surfaktan dalam
Ekstrak Daun Sirih (Piper Aduncum L) untuk Mengendalikan Ulat Grayak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi surfaktan yang lebih baik
sehingga dapat meningkatkan keefektifan konsentrasi ekstrak daun sirih hutan di
bawah 10% yaitu konsentrasi 75 g/l air dalam mengendalikan S. litura. Tanaman
kedelai merupakan jenis tanaman kacang-kacangan penghasil protein nabati yang
berperan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan selain beras dan jagung.
Kendala utama dalam budidaya kedelai yang dapat menjadi penghambat
produksi adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman, terutama hama
ulat grayak yang merupakan hama perusak daun pada tanaman kedelai. Alternatif
yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan insektisida nabati. Tumbuhan
yang berpotensi sebagai insektisida nabati yang dapat mengendalikan hama S. litura
adalah daun sirih hutan. Kemampuan daun sirih hutan yang efektif dalam
mengendalikan serangga karena terdapat kandungan piperamidin yang ada pada
daun sirih hutan yaitu sebagai racun kontak terhadap serangga.
Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimen menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi surfaktan 0%,
0,025%, 0,037% dan 0,050% yang diberikan dalam ekstrak daun sirih hutan dengan
konsentrasi 75 g/l air yang dilakukan 4 kali pengulangan. Parameter yang diamati
adalah awal kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan beberapa
konsentrasi surfaktan belum mampu meningkatkan keefektifan pada konsentrasi
ekstrak daun sirih hutan di bawah 10% sebagai insektisida nabati. Namun
pemberian surfaktan yang tealah dilakukan pada konsentrasi 0,05% (dosis anjuran)
dapat meningkatkan mortalitas S. litura sebesar 7,5%.
Penilitian lainnya mengenai biopestisida yaitu penilitian yang dilakukan
oleh Sritamin dan Singarsa (2017) berjudul Utilization of Betel Leaf Extract as
Botanical Pesticides to Control meloidogyne spp. and Tomato Plant Production.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas konsentrasi daun sirih dalam
menghambat pengembangan nematoda pada akar Meloidogyne spp. dan pada
13

pertumbuhan tanaman tomat. Konsentrasi daun sirih 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 20%
adalah konsentrasi yang paling efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan pada
tanaman tomat maupun menghambat perkembangan nematoda pada simpul akar.
Penelitian mengenai pemanfaatan biopestisida juga dilakukan oleh Hidayat
dkk. (2015) yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
L.) untuk Mengendalikan Damping-Off pada Tanaman Cabai (Capsicum annum).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi dan lama perendaman
benih cabai yang paling efektif di dalam larutan ekstrak daun sirih agar dapat
mengendalikan penyakit damping-off yang disebabkan oleh jamur S. rolfsii. Cabai
merah merupakan tanaman hortikultura semusim untuk rempah-rempah yang
diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai penyedap masakan.
Budidaya cabai merah mengalami banyak gangguan, salah satunya berasal
dari faktor biotik seperti serangan jamur, bakteri dan virus yang menyebabkan
kehilangan hasil panen dalam jumlah besar. Salah satu serangan jamur adalah busuk
pangkal batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii. Alternatif yang dapat
digunakan untuk mengendalikan penyakit damping-off yaitu mengunakan pestisida
nabati atau bahan yang berasal dari tumbuhan. Bahan tanaman yang diduga
mengandung senyawa anti bakteri dan anti jamur salah satunya adalah daun sirih.
Daun sirih mengandung minyak atsiri, yang terdiri dari 82,8% senyawa fenol, dan
hanya 18,2% merupakan senyawa bukan fenol.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktor tunggal, yang terdiri dari 9 perlakuan, yaitu pemberian ekstrak daun
konsentrasi 0%, 40%, 60% atau 80% dengan waktu1 jam, 2 jam atau 3 jam. Setiap
perlakuan terdiri dari 3 ulangan, setiap unit percobaan terdiri dari 20 benih cabai.
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu pembuktian viabilitas spora,
intensitas serangan, daya berkecambah, indeks vigor, koefisien perkecambahan,
dan kecepatan berkecambah first count. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan pestisida nabati dengan ekstrak daun sirih yang mampu memberikan
perlindungan terhadap serangan cendawan Sclerotium rolfsii adalah pemberian
ekstrak daun sirih konsentrasi 60% dengan lama perendaman 1 jam.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1) Oven.
2) Rotary evaporator.
3) Cawan.
4) Botol.
5) Gelas kimia.
6) Gelas ukur.
7) Spatula.
8) Ayakan.
9) Blender.
10) Neraca analitik.
3.1.2. Bahan
1) Daun sirih1 kg.
2) Pelarut metanol 300 mL.

3.2. Prosedur Percobaan


1) Daun sirih dipotong, ditimbang, lalu dikeringkan.
2) Oven diatur temperaturnya 60ºC sampai sirih mengering (8 jam)
3) Kehilangan air dihitung

Y = Y2 -Y1 (3.1)
Keterangan:
Y = Jumlah air (g)
Y1 = Berat awal masuk oven (g)
Y2 = Berat berat akhir keluar oven (g)
Prosedur tersebut diulang sampai berat daun sirih tidak berubah lagi atau
kering.
4) Daun sirih dihaluskan hingga berupa bubuk (seperti bubuk kopi) dan diayak
menggunakan saringan mesh berukuran 60 mesh.

14
15

5) Bubuk jangan terkena sinar matahari.


6) Selanjutnya bubuk sirih diambil sebanyak 20 g dilarutkan dalam 200 ml
metanol selama 6 jam (maserasi) lalu disaring.
7) Filtrat dimasukkan dalam rotary evaporator secara bertahap untuk
pemisahan metanol sehingga didapatkan ekstrak pekat (temperatur 80ºC).
8) Produk disimpan di tempat yang gelap dengan suhu ruangan dengan tujuan
untuk mengecek sitronellal, geraniol, dan sitral.
16

3.3. Blok Diagram

Daun sirih dipotong,


ditimbang, lalu dikeringkan.

Oven diatur pada temperatur 60ºC sampai daun mengering (selama 8 jam).

Kehilangan air dihitung dan diulang sampai berat daun sirih


tidak berubah lagi.

Daun sirih dihaluskan dan diayak.

Bubuk jangan terkena sinar matahari.

Bubuk sirih diambil 20 g dilarutkan dalam 300


mL metanol selama 6 jam lalu disaring.

Filtrat dimasukkan dalam rotary


evaporator secara bertahap.

Produk disimpan di tempat


yang gelap dengan
suhuruangan.

Gambar 3.1. Blok Diagram Pembuatan Biopestisida


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Praktikum Biopestisida
Parameter yang Diamati Hasil Pengamatan
Perbandingan bubuk : metanol 1:15
Massa bubuk daun mula-mula 20 g
Volume metanol mula-mula 300 mL
Volume sebelum evaporasi 242 mL
Massa bubuk daun sisa 24,27 g
Volume biopestisida setelah evaporasi 200 mL
Volume metanol setelah evaporasi 40 mL
Losses 2 mL

Tabel 4.2. Pengaruh Konsentrasi Biopestisida terhadap Mortalitas Jangkrik


Persen
Konsentrasi Jumlah Awal Total Jangkrik
Mortalitas
Daun Sirih (%) Jangkrik Mati
Jangkrik
25 10 10 100%
50 10 10 100%
75 10 10 100%

17
18

Tabel 4.3. Pengaruh Konsentrasi Biopestisida terhadap Kecepatan Mortalitas Jangkrik


Waktu Jumlah Jangkrik pada Konsentrasi
(menit) 25% 50% 75% 100%
5 8 4 3 0
10 5 9 0 0
15 0 0 0 0
20 0 0 0 0
25 0 0 0 0
30 0 0 0 0
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan
Percobaan kali ini bertujuan untuk dapat mengetahui suatu prinsip dan cara
kerja pembuatan biopestisida. Alat yang digunakan dapat berupa suatu oven, rotary
evaporator, cawan, botol, tensiometer, gelas kimia, gelas ukur, spatula, blender,
dan neraca analitik. Bahan yang digunakan yaitu daun sirih dan metanol. Prinsip
dari percobaan ini adalah dengan menggunakan suatu metode maserasi.
Maserasi adalah merendam bahan di dalam pelarut (Said, 2007). Cara ini
sangat sederhana namun membutuhkan waktu yang lama. Maserasi adalah proses
ekstraksi yang menggunakan pelarut dingin dengan cara perendaman tanpa
perlakuan khusus (Saidi dkk, 2018). Proses ekstraksi dengan cara ini tidak
memberikan hasil yang sempurna. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan
proses perendaman bahan dengan pelarut yang sesuai dengan senyawa aktif yang
akan diambil dengan pemanasan rendah atau tanpa adanya proses pemanasan.
Ekstraksi dengan metode maserasi memiliki kelebihan yaitu terjaminnya zat
aktif yang diekstrak tidak akan rusak. Umumnya ekstraksi metode maserasi
menggunakan suhu ruang pada prosesny. Hasil ekstraksi menjadi kurang sempurna
dikarenakan menggunakan suhu ruang yang menyebabkan senyawa menjadi
kurang terlarut dengan sempurna. Semakin lama waktu maserasi yang diberikan
maka semakin lama kontak antara pelarut dengan bahan yang akan memperbanyak
jumlah sel yang pecah dan bahan aktif yang terlarut.
Percobaan ini mula-mula dilakukan persiapan bahan baku yaitu daun sirih
dengan melakukan drying manual pada oven dengan suhu 50-70°C selama 3-5 jam.
Penimbangan bahan baku sebanyak 20 gram ditambah metanol. Bahan baku
dimaserasi pada suhu ruang selama 24-72 jam. Ekstrak dipindahkan dari padatan
setelah dimaserasi. Persiapan rangkaian alat evaporasi dilakukan lalu dilakukan
evaporasi pada suhu 70-75°C selama 1 jam. Pengukuran volume residu dan destilat.
Pengenceran ekstrak dengan aquades. Hasil pembuatan dilakukan uji mortalitas
pada hama dengan melihat persentase hama yang bertahan atau tidak.

19
20

Biopestisida merupakan metode alternatif dalam mengendalikan hama dan


penyakit di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang sesuai dengan
prinsip pengendalian hama (Surahmaida dan Sudarwati, 2018). Prinsip kerja
biopestisida sama dengan pestisida kimia yaitu mengendalikan hama dan penyakit
tanaman (Soenandar dan Tjachjono, 2012). Perbedaannya pada bahan aktif
pestisida kimia memiliki pengaruh negatif terhadap hasil panen, lingkungan, dan
kesehatan. Biopestisida memiliki suatu bahan aktif berupa mikroorganisme yang
bersifat ramah pada lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia.
Biopestisida adalah pestisida yang bahan aktifnya adalah senyawa metabolit
sekunder yang diproduksi oleh tumbuhan itu sendiri, seperti pada akar, batang,
daun, bunga, buah, dan biji. Biopestisida termasuk dalam kelompok pestisida
biokimia karena mengandung biotoksin. Biopestisida merupakan senyawa organik
dan mikroba antagonis yang menghambat atau membunuh hama dan penyakit
tanaman. Percobaan kali ini menggunakan daun sirih yang memiliki kandungan
berupa fenol dan khavikol dalam pembuatan suatu biopestisida.
Biopestisida memiliki karakteristik berupa toksisitas pada mamalia rendah,
selektivitas tinggi, potensi merusak tanaman rendah, cepata terurai, dan ramah
lingkungan. Pestisida kimia memliki karakteristik berupa toksisitas pada mamalia
relatif tinggi, selektivitas rendah, potensi merusak tanaman rendah, tidak cepat
terurai, dan tidak ramah lingkungan. Petani di Indonesia saat ini masih cenderung
memilih pestisida kimia dikarenakan lebih praktis yang penggunaannya tidak perlu
digunakan secara berkesinambungan, lama terurai, dan berskala besar.
Insektisida berdasarkan cara kerja masuknya racun ke hama penggangu
dapat dibedakan menjadi racun sistemik, racun kontak, racun lambung, dan racun
pernapasan. Racun sistemik yang cara kerjanya tak langsung membunuh hama.
Racun ini dapat membunuh hama yang ada dalam jaringan tanaman seperti jamur
dan bakteri. Racun kontak yang akan bekerja dengan baik jika terkena atau kontak
langsung dengan hama sasaran. Racun Lambung yang terdapat dalam insektisida
ini baru bekerja jika bagian tanaman yang telah disemprot dimakan oleh hama.
Racun Pernapasan Insektisida dapat membunuh serangga jika terhisap melalui
pernafasan hama. Racun ini sering digunakan untuk mengendalikan hama gudang.
21

Kandungan pada biopestisida dapat berupa saponin, flavonoid, tanin, asam


format, dan minyak atsiri. Saponin merupakan perpaduan glikosida triterpene dan
sterol. Saponin adalah kelompok kimia alami yang pada umumnya
sebagai racun ikan dan digunakan untuk pengendalian hama tambak udang dan
tambak ikan. Saponin dapat menghambat suatu pergantian kulit sehingga bisa
digunakan untuk racun kontak. Serangga akan mati jika bersinggungan langsung
dengan insektisida tersebut. Saponin memiliki karakter mirip deterjen yang mampu
merusak membran tubuh larva. Zat ini dapat merusak lapisan lipoid epikutikula dan
lapisan protein endokutikula sehingga dapat meningkatkan suatu penetrasi senyawa
toksik ke dalam suatu tubuh larva. Saponin dapat juga masuk ke dalam suatu tubuh
larva melalui saluran pada pencernaannya (Aidah, 2020).
Flavonoid adalah substansi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (herbal).
Flavanoid merupakan antioksidan yang potensial. Flavanoid terdapat pada buah-
buahan, sayuran, teh, dan anggur merah (Soeharto, 2004). Flavonoid merupakan
kelompok senyawa fenolik terbesar yang terdapat di alam. Flavonoid memiliki ciri
khas bau yang sangat tajam, dapat larut dalam air, dan pelarut organik. Senyawa ini
dapat digunakan sebagai bahan aktif pembuatan insektisida nabati. Senayawa
flavonoid dapat mempengaruhi kerja sistem pernapasan larva atau sebagai inhibitor
kuat pernafasan. Flavonoid dapat masuk ke dalam tubuh larva melalui siphon yang
akan menyebabkan kelayuan syaraf serta kerusakan pada sistem pernafasan
sehingga larva tidak dapat bernafas dan akhirnya mengalami mati.
Tanin adalah senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi
sebagai antioksidan kuat , antiperadangan, dan antikanker. Tanin merupakan
polifenol tanaman yang larut dalam air dan memiliki rasa sepat. Tanin berperan
sebagai pertahanan tumbuhan dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna
makanan. Tanin dapat memasuki tubuh larva melalui saluran pencernaan.
Mekanisme kerja tanin bersifat sebagai racun perut, yaitu menurunkan aktivitas
enzim pencernaan dan penyerapan makanan. Tanin akan mengikat protein dalam
sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan, sehingga
penyerapan protein akan terganggu. Tanin memiliki rasa sepat menyebabkan larva
tidak mau makan sehingga larva dapat mengalami gangguan nutrisi dan mati.
22

Asam format merupakan sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas
dan dapat membuat lepuh. Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya. Zat dapat
menyebabkan orang seperti merasa digigit semut (Thayyarah, 2014). Asam format
adalah zat kimia yang menjengkelkan dalam racun yang disemprotkan dari
beberapa spesies semut dan sekresi yang dilepaskan dari beberapa hewan
penyengat. Asam format Ini berbahaya pada konsentrasi tinggi, namun pada
konsentrasi rendah, ini sangat berguna. Manusia menggunakan asam format sebagai
pengawet makanan, karena merupakan zat antibakteri. Asam format digunakan
untuk mengobati hama, menghasilkan makanan, kosmetik dan membantu berbagai
proses industri terjadi. Asam format adalah anggota keluarga asam karboksilat yang
paling sederhana dan dikenal sebagai asam metanoat.
Asam format adalah zat antibakteri, zat ini sering ditambahkan ke pakan
hewan ternak untuk mencegah pertumbuhan bakteri. zat ini juga kadang-kadang
digunakan sebagai pengawet makanan manusia. Asam format juga digunakan untuk
menciptakan rasa buatan untuk makanan dan minuman dan aroma buatan untuk
parfum. Asam format dapat digunakan dalam penyamakan kulit dalam pengolahan
tekstil dan kertas dan dalam konversi lateks dari pohon karet menjadi karet. Bahaya
asam format bergantung pada konsentrasinya. Konsentrasi yang lebih tinggi, asam
format bersifat korosif, memiliki bau yang kuat dan menghasilkan asap berbahaya.
Bahan ini menghasilkan luka bakar, lecet pada kulit, melukai mata, selaput lendir
di mulut, tenggorokan dan sistem pernapasan.
Minyak atsiri adalah komponen ekstrak dari tumbuhan, yang dipercaya
memiliki berbagai manfaat kesehatan. Minyak atsiri sering digunakan dalam
aromaterapi. Kandungan minyak atsiri telah digunakan sebagai pengganti pestisida
kimia dalam bentuk insektisida, bakterisida, dan nematisida (Latumahina dkk,
2020). Pestisida berbasis minyak atsiri juga mempunyai nilai MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) dan LD (Lethal Dose) yang rendah, kompatibel, dan
menghasilkan produk pertanian yang bebas residu. Minyak atsiri juga mempunyai
peluang untuk dikembangkan menjadi produk-produk derivat lainnya seperti
pestisida. Pengembangan produk-produk derivat dari minyak atsiri diharapkan
dapat mengurangi atau menggantikan produk berasal dari bahan kimia sintetik.
23

Pengambilan senyawa aktif flavonoid dalam daun sirih dilakukan dengan


ekstraksi pelarut. Jenis ekstraksi pelarut yang digunakan pada proses ini adalah
maserasi. Pelarut yang digunakan pada proses ini adalah metanol dan dilakukan
variasi saat 20g daun sirih. Metanol dan air dapat digunakan sebagai pelarut karena
bersifat polar, sehingga dapat mengikat senyawa polar dalam daun sirih yaitu
flavonoid. Flavonoid berikatan dengan gula sebagai glikosida, sehingga flavonoid
yang bersifat polar dapat larut pada pelarut polar (Gazali dkk, 2019). Komposisi
metanol lebih banyak karena sifat kelarutan flavonoid lebih mendekati metanol
dibandingkan air, sehingga flavonoid lebih melarut terhadap metanol. Selektifitas
pada metanol terhadap senyawa flavonoid daun sirih lebih tinggi dibandingkan air.
Alasan lain penggunaan metanol sebagai pelarut yaitu titik didih methanol yang
cukup rendah, mudah didapatkan dan harganya relatif terjangakau.
Proses dalam pembuatan biopestisida diawali dengan tahap pengeringan
bertujuan untuk menghilangkan kadar air didalam daun sirih. Kandungan air dapat
larut terhadap metanol karena sifat yang sama yaitu polar sehingga pengambilan
senyawa flavonoid dapat terhalang oleh air. Pengecilan ukuran pada daun sirih yang
telah kering bertujuan untuk mempebesar luas permukaan pada daun sirih, sehingga
kontak antara bubuk daun sirih dan pelarut dapat terjadi lebih cepat. Pengecilan
ukuran dapat dilakukan sampai menjadi bubuk yang halus tetapi akan sulit dalam
proses pemisahannya karena membutuhkan saringan dengan jumlah mesh yang
besar. Proses pemisahan antara bubuk dan pelarut perlu dilakukan agar saat
melakukan proses evaporasi hanya larutan dengan terkandung senyawa yang telah
diesktrak tanpa kontaminan padatan bubuk daun.
Hasil ekstraksi setelah evaporasi didapatkan biopestisida sebanyak 200 mL
dengan volume methanol setelah evaporasi yang diperoleh yaitu 40mL. Percobaan
penggunaan biopestisida terhadap jangkrik sebanyak 10 ekor, dilakukan variasi
konsentrasi pada zat terlarutnya sebesar 25%, 50% dan 75%. Hasil percobaan
menunjukkan semakin besar konsentrasi biopestisida maka akan semakin cepat dan
banyak jangkrik yang akan mati. Waktu yang dibutuhkan untuk jangkrik mati
seluruhnya pada percobaan dengan persen zat terlaut sebesar 25 % yaitu minimal
15 menit dan minimal 5 menit untuk persen zat terlarut sebesar 75% dan 100%.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1) Karakteristik biopestisida yang dihasilkan dari daun sirih adalah cair,
berbau khas daun sirih, dan berwarna gelap.
2) Semakin tinggi nilai rendamen yang dihasilkan maka semakin rendah mutu
yang di dapatkan.
3) Faktor-faktor yang mempengaruhi biopestisida dari daun sirih adalah
konsentrasi, suhu, dan pelarut.
4) Semakin lama waktu maserasi maka semakin lama kontak antara pelarut
dengan bahan yang memperbanyak jumlah sel dan bahan aktif terlarut.
5) Semakin tinggi konsentrasi maka akan semakin tinggi mortalitas serangga.

5.2. Saran
1) Praktikan harus menjaga kondisi operasi.
2) Pensterilan peralatan dan bahan.
3) Ketelitian dalam pengukuran bahan.
4) Lakukan praktikum sesuai prosedur.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aidah, S.N. 2020. Ensiklopedi Lengkuas: Deskripsi, Filosofi, Manfaat, Budidaya


dan Peluang Bisnisnya. Jogjakarta: KBM Indonesia.
Agustina, E. K., Fauzana, H., dan Sutikno, A. 2017. Pengaruh Penambahan
Surfaktan dalam Ekstrak Daun Sirih Hutan (Piper Aduncum L.) untuk
Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera Litura F.) pada Tanaman Kedelai
(Glycine Max (L.) Merril). JOM Faperta UR. Vol. 4(1): 1-11.
Dini, I. 2008. Senyawa Terpenoid Turunan Lupeol dari Ekstrak Kloroform Kulit
Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.). Jurnal Chemical.
Vol. 9(2): 26-29.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Djunaedy, A. 2009. Biopestisida sebagai Pengedali Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) yang Ramah Lingkungan. Jurnal Embryo. Vol. 6(1): 88-
95.
Efendi, E., Mawarni, R., dan Junaidi. 2017. Pengaruh Pemberian Pupuk Nitrogen
Endarini, L. 2016. Farmakognisi dan Fitokimia. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Fessenden, R. J. 1990. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Gazali, M., Nufus, H., Nurjanah, dan Zuriat. 2019. Eksplorasi Senyawa Bioaktif
Ekstrak Daun Nipah (Nypa fruticans Wurmb) Asal Pesisir Aceh Barat
Sebagai Antioksidan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol.
22(1): 155-163.
Hidayat, T., dan Sarjiyah, S. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper
betle L.) untuk Mengendalikan Damping-Off pada Tanaman Cabai
(Capsicum annum). Plant Tropika Journal of Agro Science. Vol. 3(1): 60-
66.
Karyadi, K., dkk. 2011. Akumulasi logam berat timbal (Pb) sebagai residu pestisida
pada lahan pertanian (Studi kasus pada lahan pertanian bawang merah di
kecamatan Gemuh Kab. Kendal). Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 9(1). 1-9.
Latumahina, F.S., Mardiatmoko, G., Tjoa, M., dan Wattimena, C.M.A. 2020.
Penggunaan Biopestisida Nabati. Indramayu: Adab.
Lutviandhitarani, G., Harjanti, D. W., dan Wahyuno, F. 2015. Green Antibiotic
Daun Sirih (Piper Betle l.) sebagai Pengganti Antibiotik Komersial untuk
Penanganan Masitis. Agripet. Vol.15(1): 28-29
Najib, A. 2018. Ekstraksi Senyawa Bahan Alam. Yogyakarta: Deepublish.
Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi Edisi 6. Bandung:
Penerbit ITB.
Said, A. 2007. Khasiat & Manfaat Temulawak. Jakarta: Sinar wadja Lestari.
Saidi, N., Ginting, B., dan Murniana, M. 2018. Analisis Metabolis Sekunder. Aceh:
Syiah Kuala University Press.
Sastroutomo, S. 1992. Pestisida, dasar-dasar dan dampak penggunaanya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Soeharto, I. 2004. Pencegahan & penyembuhan penyakit jantung koroner. Jakarta:
Gramedia Pusataka Utama.
Soekarno, B. P. W., Surono, dan Marhaenis, E. 2012. Potensi Ekstrak Kangkung
sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Busuk Buah Fusarium
pada Tomat. Jurnal Fitopatologi Indonesia. Vol. 8(5): 121.127.
Soenandar, M., dan Tjachjono, H. 2012. Membuat Pestisida Organik. Jakarta: PT
AgroMedia Pustaka.
Sritamin, M., dan Singarsa, I. D. P. 2011. Utilization of Betel Leaf Extract as
Botanical Pesticides to Control meloidogyne spp. and Tomato Plant
Production. Journal of Advances in Tropical Biodiversity and
Environmental Sciences. Vol. 1(1):15-17.
Sudarmo, S., dan Mulyaningsih, S. 2014. Mudah Membuat Pestisida Nabati
Ampuh. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Sumartini. 2016. Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi. Iptek Tanaman Pangan. Vol. 11(2): 160-161.
Surahmaida, S., dan Sudarwati, T.P.L. 2018. Potensi Dan Senyawa Aktif
Ganoderma Lucidum Sebagai Biopestisida Nabati. Gresik: Graniti.
Suwahyono, U. 2010. Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan Biopestisida.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Suwahyono, U. 2013. Membuat Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.
Thayyarah, N. 2014. Buku Pintar Sains dalam Al-Qur'an. Jakarta: Zaman.
Turgeon, B., dkk. 1985. Transformation of the Fungal Maize Pathogen Cochiobolus
Heterostrophus Using the Aspergillus Nidulans and S Gene. Mol. Gen.
Genet. Vol. 201(1). 450-453.
Yunita dkk, 2009. Pengaruh Ekstrak Daun Teklan (Eupatorium riparium) terhadap
Mortalitas dan Perkembangan Larva Aedes Aegypti. Jurnal Universitas
Diponegoro. Vol. 11(1): 11-17.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN

A.1. Menghitung Persentase Mortalitas


Sampel pada waktu ke 5 menit

A.1.1 Konsentrasi Biopestisida 25%

2
Persen mortalitas = × 100% = 20%
10

A.1.2 Konsentrasi Biopestisida 50%

6
Persen mortalitas = × 100% = 60%
10

A.1.3 Konsentrasi Biopestisida 75%

7
Persen mortalitas = × 100% = 70%
10

A.2. Menghitung Persentase Mortalitas


Sampel pada waktu ke 10 menit

A.2.1 Konsentrasi Biopestisida 25%

5
Persen mortalitas = × 100% = 50%
10

A.2.2 Konsentrasi Biopestisida 50%


9
Persen mortalitas = × 100% = 90%
10

A.2.3 Konsentrasi Biopestisida 75%

10
Persen mortalitas = × 100% = 100%
10

A.3. Menghitung Persentase Mortalitas


Sampel pada waktu ke 15 menit

A.3.1 Konsentrasi Biopestisida 25%

10
Persen mortalitas = × 100% = 100%
10

A.3.2 Konsentrasi Biopestisida 50%

10
Persen mortalitas = × 100% = 100%
10

A.3.3 Konsentrasi Biopestisida 75%

10
Persen mortalitas = × 100% = 100%
10
LAMPIRAN B
RANGKAIAN ALAT

Gambar 1. Gelas Ukur Gambar 2. Blender

Gambar 3. Gelas Beker Gambar 4. Neraca Analitik

Gambar 5. Rotary Gambar 6. Ayakan


Evaporator
Gambar 7. Serbuk Sirih Gambar 8. Botol

Gambar 9. Metanol Gambar 10.Campuran Maserasi


LAMPIRAN C
HASIL DETEKSI PLAGIAT

Gambar 1. Hasil Cek Plagiat


LEMBAR DATA KESELAMATAN
BAHAN

Judul Percobaan Biopestisida


Shift/Kelompok Selasa 13.00-15.30 WIB/ 1 (Satu)
Nama Praktikan 1. Meta Pratiwi 03031181823116
2. Ahmad Julianto 03031281823030
3. Ade Azura Rahmania 03031281823040
4. Dina Sabrina 03031281823044
5. Robby Kurniawan 03031281823058
6. Juicy Lowise Tamba 03031381823072

Tindakan
No. Bahan Sifat Bahan
Penanggulangan
Sifat Kimia Sifat Fisika
1. Metanol • Cairan tidak • Berat jenis 79,18 • Jika terkena mata,
(CH3OH)
berwarna kg/m3 segera bilas
• Baunya khas • Berat molekul dengan air
• Larut dalam 32,04 g/mol mengalir selama
air • Titik lebur -97oC 15 menit
• Beracun • Titik didih 64,7oC • Jika terhirup,
• Mudah • Titik nyala 11oC segera keluar
menguap • Ph 15,5 ruangan dan
bernafas seperti
biasa
• Jika terkena kulit,
basuh dengan air
mengalir selama
15 menit dan
lepas pakaian
apabila
terkontaminasi
• Jika tertelan,
segera kumur-
kumur, perbanyak
minum dan
jangan paksa
dimuntahkan
• Hubungi dokter
JOB SAFETY ANALYSIS

Judul Percobaan Biopestisida


Shift/Kelompok Selasa 13.00-15.30 WIB/ 1 (Satu)
Nama Praktikan 1. Meta Pratiwi 03031181823116
2. Ahmad Julianto 03031281823030
3. Ade Azura Rahmania 03031281823040
4. Dina Sabrina 03031281823044
5. Robby Kurniawan 03031281823058
6. Juicy Lowise Tamba 03031381823072

Tindakan
Identifikasi Bahaya Penyebab yang
Dibutuhkan
1. Pecahnya gelas beaker Terpeleset, tersenggol Mengganti gelas beaker
oleh praktikan yang dan segera
bercanda atau berbicara membersihkan area
ketika praktikum kerja
2. Membahayakan Alat-alat yang Dilakukan proses
kesehatan mengalami katode pelindung
korosi/perkaratan
3. Menghirup bahan kimia Tidak memakai APD Memakai APD lengkap
salah satunya masker saat melakukan
ketika melakukan percobaan
percobaan
4. Tersengat listrik ketika Tangan tidak dalam Memakai APD sarung
melakukan percobaan keadaan kering ketika tangan dan sepatu
melakukan percobaan tertutup saat melakukan
dan tidak menggunakan percobaan
sepatu tertutup
5. Terjatuh, terpeleset Lantai area kerja licin Bersihkan lantai area
kerja
6. Cidera pinggang Tidak mengangkat Gunakan Teknik
peralatan dalam posisi mengangkat yang benar
yang benar dan jika mengangkat
yang berat minta
bantuan kepada rekan
sekerja atau alat bantu
angkat
7. Iritasi Tidak menggunakan Memakai APD lengkap
APD masker saat saat melakukan
melakukan percobaan percobaan

Anda mungkin juga menyukai