Anda di halaman 1dari 21

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida

2.1.1. Pengertian Pestisida

Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau

mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti

hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan

sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman

yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematode, siput, tikus, burung dan hewan

lain yang dianggap merugikan (Djojosumarto, 2008).

Menurut Permenkes RI, No.258/Menkes/Per/III/1992 Semua zat kimia/bahan

lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk membrantas atau mencegah

hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil

pertanian, memberantas gulma, mengatur/merangsang pertumbuhan tanaman tidak

termasuk pupuk, mematikan dan mencegah hama-hama liar pada hewanhewan

piaraan dan ternak, mencegah/memberantas hama-hama air, memberantas/mencegah

binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat

angkutan, memberantas dan mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang

dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi

dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

Universitas Sumatera Utara


8

Menurut Rhudy (2003), pembagian jenis pestisida dapat dapat dibagi

berdasarkan tujuannnya, bahan aktifnya, dan cara kerjanya. Berdasarkan tujuannya,

pestisida dibagi menjadi beberapa jenis:

a. Insektisida : untuk serangga.

b. Fungisida : untuk cendawan (fungus).

c. Herbisida : untuk tanaman pengganggu.

d. Bakterisida : untuk bakteri.

Berdasarkan bahan aktifnya, pestisida dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

a. Pestisida organik : pestisida yang bahan aktifnya adalah bahan organik yang

berasal dari bagian tanaman atau binatang, misal : neem oil yang berasal dari

pohon mimba.

b. Pestisida elemen : pestisida yang bahan aktifnya berasal dari alam seperti:

sulfur.

c. Pestisida kimia/sintetis : pestisida yang berasal dari campuran bahan-bahan

kimia.

Berdasarkan cara kerjanya, pestisida dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

a. Pestisida sistemik : adalah pestisida yang diserap dan dialirkan keseluruh bagian

tanaman sehingga akan menjadi racun bagi hama yang memakannya.

Kelebihannya tidak hilang karena disiram. Kelemahannya, ada bagian tanaman

yang dimakan hama agar pestisida ini bekerja. Pestisida ini untuk mencegah

tanaman dari serangan hama. Contoh : Neem oil.

b. Pestisida kontak langsung: adalah pestisida yang reaksinya akan bekerja bila

bersentuhan langsung dengan hama, baik ketika makan ataupun sedang berjalan.

Universitas Sumatera Utara


9

Jika hama sudah menyerang lebih baik menggunakan jenis pestisida ini. Contoh :

Sebagian besar pestisida kimia.

2.1.2 Pestisida Sintetis Kimia

Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang

lalu (2.500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di

Sumeria. Sedangkan penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan

serbuk timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-

15. Kemudian pada abad ke-17 nicotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai

digunakan sebagai insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami

yaitu, pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari

akar tuba Derris eliptica (Miller, 2002).

Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis

DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru

ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan

penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau

Medicine pada tahun 1948 (NobelPrize.org). Pada tahun 1940an mulai dilakukan

produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Daly et

al., 1998). Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai

“era pestisida” (Murphy, 2005).

Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun

1950, dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya

(Miller, 2002). Dari seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75%

digunakan di negara-negara berkembang (Miller, 2004). Reaksi terhadap bahaya

Universitas Sumatera Utara


10

penggunaan pestisida kimia terutama DDT mulai nampak setelah Rachel Carson

menulis buku paling laris yang berjudul “Silent Spring” tentang pembengkakan

biologi (biological magnification) tahun 1962. Sehingga minimal ada 86 negara

melarang penggunaan DDT, meskipun masih digunakan di beberapa negara

berkembang untuk memberantas nyamuk malaria (Willson 1996).

Menyadari besarnya bahaya penggunaan pestisida kimia, sehingga di

beberapa negara maju, penjualan dan penggunaan pestisida diatur oleh pemerintah.

Sebagai contoh pada tahun 1972 di Amerika Serikat dibentuk Environmental

Protection Agency (EPA) yang bertanggung jawab atas regulasi pestisida (Willson,

1996). Akan tetapi dalam implementasinya penggunaan pestisida sulit untuk

dikontrol, maka pada tahun 1979 Presiden Carter mendirikan Interagency Integrated

Pest Management Coordinating Committe untuk memberi jaminan pengembangan

dan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management

(IPM). PHT merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk

memilih dan menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang

dikoordinasi secara harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa

biaya dan keuntungan yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan

lingkungan (Kogan, 1998).

2.1.3. Pestisida Nabati

Pestisida nabati merupakan produk alam dari tumbuhan seperti daun, bunga,

buah, biji, kulit, dan batang yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau

senyawa bioaktif. Beberapa tanaman telah diketahui mengandung bahan- bahan kimia

yang dapat membunuh, menarik, atau menolak serangga. Beberapa tumbuhan

Universitas Sumatera Utara


11

menghasilkan racun, ada juga yang mengandung senyawa-senyawa kompleks yang

dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan, atau mengubah

perilaku serangga (Supriyatin dan Marwoto, 2000).

Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang terinfeksi

organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap fotisintesa, pertumbuhan atau

aspek fisiologis tanama lainnya, namun berpengaruh terhadap sistem saraf otog,

keseimbangan hormon, reproduksi, perilaku berupa penolak, penarik, “anti makan”

dan sistem pernafasan OPT (Rhudy, 2003).

Menurut Rhudy (2003), secara evolusi tumbuhan telah mengembangkan

bahan kimia yang merupakan bahan metabolit sekunder dan digunakan oleh

tumbuhan sebagai alat pertahanan alami bioaktif. Lebih dari 2 400 jenis tumbuhan

yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida, oleh

karena itu apabila tumbuhan tersebut dapat diolah menjadi bahan pestisida, maka

masyarakat petani tersebut akan sangat terbantu dengan memanfaatkan sumberdaya

yang ada di sekitarnya. Ada 4 kelompok insektisida nabati yang telah lama dikenal

yaitu :

a. Golongan nikotin dan alkaloid lainnya, bekerja sebagai insektisida kontak,

fumigan atau racun perut, terbatasnya pada serangga yang kecil dan bertubuh

lunak.

b. Piretrin, berasal dari Chrysanthemum cinerarifolium, bekerja menyerang urat

syaraf pusat, dicampur dengan minyak wijen, talk atau tanah lempung digunakan

untuk lalat, minyak, kecoa, hama gudang dan hama penyerang daun.

Universitas Sumatera Utara


12

c. Rotenone dan rotenoid, berasal dari tanaman Derris sp dan bengkuang

(Pachyrrzus eroses) aktif sebagai racun kontak dan racun perut untuk berbagai

serangga hama, tapi bekerja sangat lambat.

d. Azadirachta indica, bekerja sebagai “antifeedant” dan selektif untuk serangga

pengisap sejenis wereng dan penggulung daun, baru terurai setelah satu minggu.

Senyawa bioaktif ini dapat dimanfaatkan seperti layaknya sintetik,

perbedaannya bahan aktif pestisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat

lebih dari satu macam (campuran). Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji,

kulit, batang dan sebagainya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun

ekstrak (air atau senyawa pelarut organik). Bila senyawa (ekstrak) ini akan digunakan

di alam, maka tidak boleh mengganggu kehidupan hewan lain yang bukan sasarannya

(Rhudy, 2003).

2.2. Menyimpan Pestisida

Pestisida senantiasa harus disimpan dalam keadaan baik, dengan wadah atau

pembungkus asli, tertutup rapat, tidak bocor atau rusak. Sertakan pula label asli

beserta keterangan yang jelas dan lengkap. Dapat disimpan dalam tempat yang

khusus yang dapat dikunci, sehingga anak-anak tidak mungkin menjangkaunya,

demikian pula hewan piaraan atau temak. Jauhkan dari tempat minuman, makanan

dan sumber api. Buatlah ruang yang terkunci tersebut dengan ventilasi yang baik.

Tidak terkena langsung sinar matahari dan ruangan tidak bocor karena air hujan. Hal

tersebut kesemuanya dapat menyebabkan penurunan kemanjuran pestisida

(Kementerian Pertanian RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara


13

Untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu pestisida tumpah, maka harus

disediakan air dan sabun ditergent, beserta pasir, kapur, serbuk gergaji atau tanah

sebagai penyerap pestisida. Sediakan pula wadah yang kosong, sewaktu-waktu untuk

mengganti wadah pestisida yang bocor (Kementerian Pertanian RI, 2011).

2.3. Prosedur Penggunaan Pestisida

Persyaratan dan tata cara penggunaan Pestisida dilapangan melalui beberapa

tahapan, sebagai berikut (Kementerian Pertanian RI, 2011):

1. Persiapan

Sebelum melaksanakan aplikasi Pestisida perlu adanya langkah-langkah

persiapan, antara lain :

a. Menyiapkan bahan-bahan, seperti Pestisida yang akan digunakan (harus

terdaftar), fisiknya memenuhi syarat (layak pakai), sesuai jenis dan

keperluannya, dan peralatan yang sesuai dengan cara yang akan digunakan

(volume tinggi atau volume rendah).

b. Menyiapkan perlengkapan keamanan atau pakaian pelindung, seperti sarung

tangan, masker, topi, dan sepatu kebun.

c. Memeriksa alat aplikasi dan bagian-bagiannya, untuk mengetahui apakah ada

kebocoran atau keadaan lain yang dapat mengganggu pelaksanaan aplikasi

Pestisida.

d. Memeriksa alat-alat aplikasi sebelum digunakan, jangan menggunakan alat

semprot yang bocor. Kencangkan sambungan-sambungan yang sering terjadi

kebocoran.

Universitas Sumatera Utara


14

e. Waktu mencampur dan menggunakan Pestisida sebaiknya jangan langsung

memasukkan Pestisida kedalam tangki. Siapkan ember dan isi air secukupnya

terlebih dahulu, kemudian tuangkan Pestisida sesuai dengan takaran-takaran

yang dikehendaki dan aduk hingga merata. Kemudian larutan tersebut

dimasukkan kedalam tangki dan tambahkan air secukupnya.

2. Kalibrasi

Untuk memperoleh hasil aplikasi yang optimal, maka alat aplikasi Pestisida

harus dikalibrasi agar dosis yang kita capai sesuai dengan anjuran. Langkah-langkah

kalibrasi alat aplikasi Pestisida (cair), sebagai berikut :

a. Menyiapkan alat aplikasi dalam kondisi baik ember berukuran sedang, gelas

ukur 100 ml atau 500 ml, stop watch, air, tali rapia, dan meteran.

b. Memasukan air kedalam tangki ± ¾ dari kapasitas tangki. Kemudian, setelah

tangki tertutup, alat aplikasi diberi tekanan atau dipompa sampai mencapai

tekanan yang dianjurkan.

c. Selanjutnya air dari dalam tangki, disemprotkan ke dalam ember (hindari agar

air jangan sampai ada yang keluar dari ember) selama beberapa menit. Lalu

air dari ember ditakar dengan gelas ukur. Dengan demikian diketahui waktu

yang diperlukan untuk mengeluarkan cairan/ droplet dalam volume yang

sudah terukur.

d. Untuk mengatur kecepatan jalan pada saat aplikasi Pestisida di lapangan

dihitung dengan menggunakan data tersebut di atas (misal volume cair yang

terukur 10 liter dalam waktu 10 menit), maka waktu aplikasi yang diperlukan

perhektar (misal volume larutan yang diperlukan adalah volume tinggi sekitar

Universitas Sumatera Utara


15

500 liter/ hektar atau disebut volume tinggi) adalah : 500/10X10 menit = 500

menit. Dengan demikian luas area yang dapat disemprot per menit adalah :

10.000/500 =20 m² /menit. Hal ini dapat dipraktekkan dengan membuat suatu

area yang terukur (misal 4 m X 5 m) dan dibatasi dengan tali rapia, lalu

dilaksanakan penyemprotan berulang-ulang sampai diperoleh kecepatan

berjalan untuk aplikasi seluas 20 m², menghabiskan 1 (satu) liter dalam waktu

1 (satu) menit.

3. Ketentuan Aplikasi

Selama pelaksanaan aplikasi dilapang, hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai

berikut :

a. Pada waktu aplikasi Pestisida, operator pelaksana atau petani harus memakai

perlengkapan keamanan seperti sarung tangan, baju lengan panjang, celana

panjang, topi, sepatu kebun, dan masker/ sapu tangan bersih untuk menutup

hidung dan mulut selama aplikasi.

b. Pada waktu aplikasi, jangan berjalan berlawanan dengan arah datangnya angin

dan tidak melalui area yang telah diaplikasi Pestisida. Aplikasi sebaiknya

dilakukan pada waktu pagi hari atau sore hari.

c. Selama aplikasi Pestisida, tidak dibenarkan makan, minum, atau merokok.

d. Satu orang operator/ petani hendaknya tidak melakukan aplikasi

penyemprotan Pestisida terus menerus lebih dari 4 (empat) jam dalam sehari.

e. Operator/petani yang melakukan aplikasi pestisida hendaknya telah berusia

dewasa, sehat, tidak ada bagian yang luka, dan dalam keadaan tidak lapar.

f. Pada area yang telah diaplikasi dipasang tanda peringatan bahaya.

Universitas Sumatera Utara


16

4. Pembuangan Sisa

Setelah melaksanakan aplikasi Pestisida, beberapa hal yang perlu

diperhatikan, antara lain adalah :

a. Sisa campuran Pestisida atau larutan semprot tidak dibiarkan/ disimpan terus

di dalam tangki, karena lama-kelamaan akan menyebabkan tangki berkarat

atau rusak. Sebaiknya sisa tersebut disemprotkan kembali pada tanaman

sampai habis. Tidak membuang sisa cairan semprot di sembarang tempat,

karena akan menyebabkan pencemaran lingkungan.

b. Cuci tangki yang telah kosong dan peralatan lainnya sebersih mungkin

sebelum disimpan. Simpan peralatan semprot yang telah dicuci terpisah dari

dapur, tempat makanan, kamar mandi, dan kamar tidur serta jauhkan dari

jangkauan orang yang tidak berkepentingan (terutama anak-anak).

c. Air bekas cucian tidak mencemari saluran air, kolam ikan, sumur, sumber air

dan lingkungan perairan lainnya.

d. Memusnahkan/ membakar kantong/ wadah bekas Pestisida atau bekas

mencampur benih dengan Pestisida, atau dengan cara menguburnya ke dalam

tanah di tempat yang aman.

2.4. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia

Penggunaan pestisida sangat berdampak terhadap kesehatan manusia. Setiap

hari ribuan petani dan para pekerja di pertanian diracuni oleh pestisida dan setiap

tahun diperkirakan jutaan orang yang terlibat dipertanian menderita keracunan akibat

penggunaan pestisida. Dalam beberapa kasus keracunan pestisida langsung, petani

Universitas Sumatera Utara


17

dan para pekerja di pertanian lainnya terpapar (kontaminasi) pestisida pada proses

mencampur dan menyemprotkan pestisida (Pan AP, 2001). Di samping itu

masyarakat sekitar lokasi pertanian sangat beresiko terpapar pestisida melalui udara,

tanah dan air yang ikut tercemar, bahkan konsumen melalui produk pertanian yang

menggunakan pertisida juga beresiko terkontaminasi pestisida.

Menurut data WHO (World Health Organization), penggunaan pestisida

semakin lama semakin tinggi, terutama di negara-negara berkembang di Asia, Afrika,

Amerika Tengah dan Amerika Latin. Tetapi, negara-negara berkembang ini hanya

menggunakan 25% dari total penggunaan pestisida di seluruh dunia. Yang

mengejutkan adalah, walaupun negara-negara berkembang ini hanya menggunakan

25% saja dari pestisida di seluruh dunia (world-wide), tetapi dalam hal kematian

akibat pestisida, 99% dialami oleh negara-negara di wilayah tersebut. Mengapa?

Menurut WHO, hal ini disebabkan rendahnya tingkat edukasi petani-petani di negara-

negara tersebut sehingga cara penggunaannya sangat tidak aman dan cenderung

“ngawur”.

Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida terhadap keselamatan nyawa

dan kesehatan manusia sangat mencengangkan. WHO (World Health Organization)

dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta orang yang bekerja pada

sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar

18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya (Miller, 2004). Di Cina

diperkirakan setiap tahunnya ada setengah juta orang keracunan pestisida dan 500

orang diantaranya meninggal (Lawrence, 2007). Beberapa pestisida bersifat

karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian terbaru

Universitas Sumatera Utara


18

dalam Environmental Health Perspctive menemukan adanya kaitan kuat antara

pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa

tuanya (Barbara and Mary, 2007). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Harvard

School of Public Health di Boston, menemukan bahwa resiko terkena penyakit

parkinson meningkat sampai 70% pada orang yang terekspose pestisida meski dalam

konsentrasi sangat rendah (Ascherio et al, 2006)

Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana akan menimbulkan efek samping

bagi kesehatan manusia, sumber daya hayati dan lingkungan pada umumnya.

Penggunaan pestisida pada petani dengan cara penyemprotan. Petani yang tidak

dilengkapi alat pelindung diri pada saat menggunakan pestisida, besar kemungkinan

akan terpapar pestisida yang dapat memasuki tubuh baik melalui pernapasan maupun

kontak dengan kulit. Selain kecerobohan pada saat penggunaan pestisida di bidang

pertanian, juga ketidaktahuan atau karena higiene perorangan masyarakat yang

menggangap remeh dampak buruk terhadap kesehatan (Achmadi, 1993)

Dampak pestisida pada tubuh sebagai penghambat kerja enzim kolinesterase

dengan cara menempel enzim tersebut. Sehingga asetilkolin tidak dapat dipecah

menjadi kolin dan asam asetat oleh enzim kolinesterase. Apabila terdapat pestisida

organofosfat di dalam tubuh, kolinesterase akan mengikat pestisida organofosfat

tersebut, sehingga terjadi penumpukan substrat asetilkolin pada sel efektor. Keadaan

ini dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf (Achmadi, 1993).

Menurut WHO (1996), penurunan aktivitas kolinesterase sebesar 30% dari

normal sudah dinyatakan sebagai keracunan. Sedangkan Ames, et, al, (1999), di

negara bagian California menetapkan penurunan aktivitas kolinesterase dalam butir

Universitas Sumatera Utara


19

darah merah sebesar 30% dan plasma 40% sebagai keracunan. Penetapan keracunan

yang dilakukan menurut ketentuan Direktorat Jenderal PPM & PLP. Depkes. RI.

(2001), menggunakan tintometer kit. Subyek dinyatakan keracunan jika mempunyai

aktivitas kolinesterase ≤ 75%, dengan kategori 75– 100% kategori normal; 50 –

<75% kategori keracunan ringan; 25 – <50% kategori keracunan sedang; dan 0 –

<25% kategori keracunan berat.

Siswanto dalam Suwarni (1997), menyatakan pemaparan pestisida terhadap

petani dapat melalui kulit, sistem pernapasan maupun oral. Selanjutnya dijelaskan

akibat pemaparan pestisida golongan organofosfat dan karbamat dapat menimbulkan

keracunan yang bersifat akut, efek sistemik biasanya timbul setelah 30 menit terpapar

melalui inhalasi; 45 menit setelah tertelan (ingested); 2 – 3 jam setelah kontak dengan

kulit.

Gejala yang ditimbulkan dari keracunan pestisida (Sudarmo, 2007) antara

lain: (1) golongan organoklorin, yaitu sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah,

mencret, badan lemah, gugup, gemetar dan kesadaran hilang. Mekanisme terjadi

keracunan yaitu pestisida mempengaruhi sistem saraf pusat dan cara kerjanya belum

diketahui dengan jelas; (2) golongan organofosfat, yaitu timbulnya gerakan otot

tertentu, pupil atau mata menyempit menyebabkan penglihatan kabur, mata berair,

mulut berbusa dan berair liur banyak, sakit kepala, pusing, keringat banyak, detak

jantung sangat cepat, mual, muntah-muntah, kejang perut, mencret, sukar bernafas,

otot tidak dapat digerakkan atau lumpuh dan pingsan. Mekanisme terjadi keracunan

adalah pestisida berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur

kerjanya saraf, yaitu kolinesterase. Apabila kolinesterase terikat, maka enzim tidak

Universitas Sumatera Utara


20

dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirimkan

perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga otot-otot bergerak tanpa dapat

dikendalikan; dan (3) Golongan karbamat gejala dan tanda keracunan sama dengan

golongan organofosfat. Mekanismenya juga sama yaitu menghambat enzim

kolinesterase tetapi berlangsung singkat, karena karbamat cepat terurai di dalam

tubuh. Menurut Hallenbeck dan Cunningham (1995) bahwa gejala yang timbul akibat

paparan pestisida antara lain: mual, muntah, susah tidur, penurunan kadar

kolinesterase darah, hipertensi, sakit kepala, otot-otot kejang, depresi pernapasan, dan

diare.

2.5. Gejala Keracunan Pestisida dan Perawatan

1. Golongan Organofosfat

Pestisida yang termasuk dalam golongan ini antara lain : asetat (Lancer 75

SP), dimetoat (Decafen 400 EC), fention (Lebaycid 500 EC), malation (Fyfanon 440

EW), profenofos (Akron 500 EC, Curacron 500 EC dan profile 430 EC).

Tanda dan gejala keracunan : Timbulnya gerakan-gerakan otot tertentu,

pupil atau celah iris mata menyempit menyebabkan penglihatan kabur, mata berair,

mulut berbusa dan berair liur banyak, sakit kepala, pusing, keringat banyak, detak

jantung cepat, mual,

muntah-muntah, kejang perut, mencret, sukar bernafas, otot tak dapat digerakkan atau

lumpuh dan pingsan.

Mekanisme : Masuk kedalam tubuh melalui kulit, mulut, saluran pencernaan,

pernafasan. Berkaitan dalam enzim dalam darah yang berfungsi mengatur kerjanya

Universitas Sumatera Utara


21

syaraf, yaitu kholinesterase. Apabila kholinesterase terikat, enzim tak dapat

melaksanakan tugasnya dalam tubuh terus menerus mengirimkan perintah kepada

otot-otot tertentu, sehingga senantiasa otot-oto bergerak tanpa dapat dikendalikan

(Kementerian Pertanian RI, 2011).

2. Golongan Karbamat

Pestisida yang termasuk golongan ini antara lain :karbaril (Petrovin 85 WP

dan Sevin 85 SP), karbofuran (Curater 3 GR, Dharmafur 3 GR, Kumbokarno 3 GR),

BPMC (Bassa 500 EC, Baycarb 500 EC dan Dharmabas 500EC) dan MIPC (Ancin

50 WP, Tamacin 50 WP dan Mipcin 50 WP).

Tanda dan gejala Keracunan : sama seperti golongan organofosfat.

Mekanisme : Sama seperti golongan organofosfat, menghambat enzim

kholinesterase tetapi berlangsung singkat, karena karbamat cepat terurai dalam tubuh

(Kementerian Pertanian RI, 2011).

3. Golongan Bipiridilium.

Pestisida yang termasuk golongan ini antara lain : Paraquat diklorida

(Gramoxone S, Para-Col 250/180 SL dan Herbatop 276 SL dan Supretox 276 SL).

Tanda dan gejala keracunan : Keracunan baru terlihat setelah 24-72 jam dan

bersifat ringan, sakit perut,mual,muntah dan diare.Setelah 48-72 jam terjadi

kerusakan ginjal seperti albunaria,proteinnura,haematuria dan peningkatkan kreatin

lever. Dan 72 jam-14 hari timbul kerusakan paru-paru.

Mekanisme : Karena terbentuk ikatan yang merusak jaringan ephitel

kulit,kuk,saluran pernafasan dan pencernaan,dan yang pekat menyebabkan

peradangan (Kementerian Pertanian RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara


22

4. Golongan Antikoagulan.

Pestisida yang termasuk golongan ini antara lain : Brodifakum (Klerat 0,005

BB), kumatetralil (Racumin 0,0375 GR,Racumin 0,0375 PA), warfarin (Dora 0,105

GR).

Tanda dan gejala keracunan : Nyeri punggung,nyeri lambung dan

usus,muntah-muntah pendarahan pada hidung dan gusi,timbul bintikbintik merah

pada kulit,air seni dan tinja berdarah,timbul lebam pada lutut,siku dan pantat,juga

merusak ginjal.

Mekanisme : Bekerja menghambat pembekuan darah dan merusak jaringan

pembuluh darah.Akibatnya terjadi pendarahan di bagian dalam tubuh (Kementerian

Pertanian RI, 2011).

2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan

Hasil pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah dapat digunakan sebagai

penegas (konfirmasi) terjadinya keracuan pestisida pada seseorang. Sehingga dengan

demikian dapat dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

keracunan juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya aktifitas

kholenisterase darah. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida

adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-

faktor tersebut adalah (Achmadi, 2005) :

1. Faktor di dalam tubuh (internal) antara lain :

a. Usia, usia merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka

usiapun akan bertambah. Seseorang dengan bertambah usia maka kadar rata-

Universitas Sumatera Utara


23

rata cholinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan

mempermudah terjadinya keracunan pestisida.

b. Status gizi, buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya

tahan dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk,

protein yang ada tubuh sangat terbatas dan enzim kholinesterase terbentuk

dari protein, sehingga pembentukan enzim kholinesterase akan terganggu.

Dikatakan bahwa orang yang memiliki tingkat gizi baik cenderung miliki

kadar rata-rata kholinesterase lebih besar.

c. Jenis Kelamin, kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-

rata 4,4 µg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan

bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga

relatif konstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian

oral sejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh

untuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis

kelamin sangat mempengaruhi akatifitas enzim kholinestrase, jenis kelamin

laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada

perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian

tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan pestisida, karena

pada saat kehamilan kadar rata-rata kholinesterase cenderung turun.

d. Tingkat Pendidikan, pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan

memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan

bahayanya juga lebih baik jika di bandingkan dengan tingkat pendidikan yang

Universitas Sumatera Utara


24

rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan

lebih baik.

e. Pengetahuan, sikap dan praktek (tindakan), seseorang telah setuju terhadap

objek, maka akan terbentuk pula sikap positif terhadap obyek yang sama.

Apabila sikap positif terhadap suatu program atau obyek telah terbentuk,

maka diharapkan akan terbentuk niat untuk melakukan program tersebut. Bila

niat itu betul-betul dilakukan, hal ini sangat bergantung dari beberapa aspek

seperti tersediannya sarana dan prasarana serta kemudahan-kemudahan

lainnya, serta pandangan orang lain disekitarnya. Niat untuk melakukan

tindakan, misalnya menggunakan alat pelindung diri secara baik dan benar

pada saat melakukan penyemproan pestisida, seharusnya sudah tersedia dan

praktis sehingga petani mau menggunakannya. Hal ini merupakan dorongan

untuk melakukan tindakan secara tepat sesuai aturan kesehatan sehingga

risiko terjadinya keacunan pestisida dapat dicegah atau dikurangi.

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)

a. Dosis, semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin

mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis

pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini

ditentukan dengan lama pemajanan. Untuk dosis penyempotan di lapangan

khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5-1,5 kg/Ha.

b. Lama kerja sebagai petani, semakin lama bekerja menjadi petani akan

semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko keracunan pestisida

semakin tinggi. Penurunan aktifitas kholinesterase dalam plasma darah karena

Universitas Sumatera Utara


25

keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2

minggu setelah melakukan

c. penyemprotan. Tindakan penyemprotan pada arah angin, arah angin harus

diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan penyemprotan. Penyemprotan

yang baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh

melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot yang melawan arah

angin akan mempunyai risiko lebih besar bila dibanding dengan petani yang

saat menyemprot tanaman searah dengan arah angin.

d. Waktu penyemprotan, perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan

pestisida, hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan

keluarnya keringat lebih banyak terutama pada siang hari. Sehingga waktu

penyemprotan semakin siang akan mudah terjadi keracunan pestisida terutama

penyerapan melalui kulit.

e. Frekuensi Penyemprotan, semakin sering melakukan penyemprotan, maka

semakan tinggi pula risiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan

sesuai dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dapat

kontak dengan pestisida maksimal 5 jam perhari.

f. Jumlah jenis pestisida yang digunakan, jumlah jenis pestisida yang digunakan

dalam waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar

bila dibanding dengan pengunaan satu jenis pestisida karena daya racun atau

konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping

yang semakin besar.

Universitas Sumatera Utara


26

g. Penggunaan Alat Pelindung Diri, penggunaan alat pelindung diri dalam

melakukan pekerjaan bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya

tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan kerja. Alat

pelindung diri berguna dalam mecegah atau mengurangi sakit atau cidera.

Pestisida umumnya adalah racun bersifat kontak, oleh sebab itu penggunaan

alat pelindng diri pada petani waktu menyemprot sangat penting untuk

menghindari kontak langsung dengan pestisida.

Jenis-jenis alat pelindung diri adalah (Djojosumarto, 2008) :

1) Alat pelindung kepala dengan topi atau helm kepala.

2) Alat pelindung mata, kacamata diperlukan untuk melindungi mata dari

percikan, partikel melayang, gas-gas, uap, debu yang berasal dari

pemaparan pestisida.

3) Alat pelindung pernafasan adalah alat yang digunakan untuk melindungi

pernafasan dari kontaminasi yang berbentuk gas, uap, maupun partikel zat

padat.

4) Pakaian pelindung, dikenakan untuk melindungi tubuh dari percikan

bahan kimia yang membahayakan.

5) Alat pelidung tangan, alat ini biasanya berbentuk sarung tangan, untuk

keperluan penyemprotan sarung tangan yang digunakan terbuat dari bahan

yan kedap air serta tidak bereaksi dengan bahan kimia yang terkandung

dalam pestisida.

Universitas Sumatera Utara


27

6) Alat pelindung kaki, biasanya berbentuk sepatu dengan bagian atas yang

panjang sampai dibawah lutut, terbuat dari bahan yang kedap air, tahan

terhadap asam, basa atau bahan korosif lainnya.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemakain alat

pelindung diri, yaitu (Djojosumarto, 2008) :

1) Perlengkapan pelindung diri tersebut harus terbuat dari bahan-bahan yang

memenuhi kriteria teknis perlindungan pestisida.

2) Setiap perlengkapan pelindung diri yang akan digunakan harus dalam

keadaan bersih dan tidak rusak.

3) Jenis perlengkapan yang digunakan minimal sesuai dengan petunjuk

pengamanan yang tertera pada label/brosur pestisida tersebut.

4) Setiap kali selesai digunakan perlengkapan pelindung diri harus dicuci dan

disimpan di empat khusus dan bersih.

2.6. Kerangka Konsep

Perilaku Penggunaan Pestisida:


a. Pengetahuan Petani
b. Sikap Petani

Keluhan Kesehatan

Aplikasi Penggunaan Pestisida

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai