PENDAHULUAN
1
terakumulasi di dalam tubuh, justru terbalik, bahkan akan menjadikan bumerang bagi
kita. Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah
mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.
Salah satu teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan yang sudah kita
dengar adalah Pertanian Organik. Pertanian Organik merupakan suatu tekhnologi
budidaya tanaman yang pada penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan,
agar tidak terjadi perubahan ekosistem secara drastis sehingga tidak menggangu dan
memutuskan mata rantai makhluk hidup. maka tidak heran banyak gejala penyakit yang
salah satu penyebabnya adalah bahan kimia.
1.3. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui pengertian
biokontrol, potensi mikroba sebagai pengendali hayati, kelebihan dan kelemahan
penggunaan mikroba pengendali hayati, dan prinsip-prinsip dasar pengendalian
hayati dengan menggunakan mikroba pengendali hayati untuk melindungi
tanaman budidaya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Agen Biokontrol Rhizoctonia solani dan Bakteri sebagai Agen Pengendali
Antibiotik.
Antibiotik umumnya adalah senyawa organik dengan berat molekul
rendah yang dikeluarkan oleh mikroorganisme. Pada kadar rendah, antibiotik
dapat merusak pertumbuhan atau aktivitas metabolit mikroorganisme lain.
Pengeluaran antibiotik sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan nutrisi
mikroorganisme. Contohnya adalah Bacillus spp. dapat menghasilkan zat
antibiotik berupa basitrasin, subtilin, polimixin, tritosin, bulbivormin dan dapat
juga menghasilkan senyawa volatil.
2.2. Potensi Mikroba Sebagai Pengendali Hayati Hama, Penyakit Dan Gulma
Tanaman Budidaya.
Pengendalian hayati dalam bidang hama dan penyakit tanaman sudah dirintis
sejak lama. Beberapa aspek yang terkait dalam pengendalian sistim terpadu seperti
penggunaan agen predator, antagonist, parasit, patogen, virus, pemakaian materi
organik, penggunaan tanaman unggul, pembentukan tanaman resisten, imunisasi
dengan penggunaan pathogen yang tidak ganas (hyphovirulent), penggunaan bahan
kimia selektif, penggunaan senyawa sida bahan alam, pengaturan kondisi fisik seperti
pengaturan pH, penanaman bergilir (rotasi) dan pengeringan.
Dalam kaitan dengan pengendalian OPT, aspek yang perlu disimak secara
seksama adalah peran mikroba sebagai penghasil senyawa
penghubung (infochemicals) dalam mengatur pertumbuhan populasi dan musuh
alami. Konsep ini kemudian juga berkembang menjadi konsep three-trophic-level
yang mengatur populasi musuh alami. Semiokimia adalah suatu senyawa yang dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama dalam lingkungan PHT.
semiokimia dikelompokkan lagi menjadi feromon dan alelokimia. Alelokimia
dikelompokkan lagi menjadi alomon, kairomon, dan sinomon, antibiotika.
4
Rose (1979) mengatakan bahwa pada tahun 1979 diperkirakan telah
dikenal 3000 jenis antibiotik dengan penambahan 50-100 jenis antibiotik baru
setiap tahunnya. Hubungan antara akitivitas pengendalian hayati antibiotik secara
in vivo dengan aktifitas secara in vitro. Keluaran antibiotik chetomin secara in
vitro oleh Chaetomium globosum berkorelasi positif dengan antagonisnya
terhadap Venturia inequalis pada bibit pohon apel. Hal yang sama adalah adanya
zon hambatan Agrobacterium radiobacter terhadap A. tumefaciens secara in
vitro dan kemampuannya sebagai agen pengendalian hayati di lapang pada
tanaman persik. Satu penelitian yang dilakukan oleh Broadbent et al. (1971) telah
rnenguji secara in vitro 3500 mikroorganisme sebagai agen antagonis, dari
penelitian ini diperkirakan 40% mikroorganisme menekan pertumbuhan satu atau
lebih patogen dan 4% diantaranya berpotensi sebagai agen pengendalian hayati
di tanah. Broadbent et al (1971) berkesimpulan bahwa organisme yang menekan
pertumbuhan secara in vitro juga akan menekan pertumbuhan patogen di tanah,
mikroorganisme yang tidak menekan pertumbuhan secara in vitro juga tidak
menekan pertumbuhan dalam tanah. Namun perlu diketahui bahwa pengeluaran
antibiotik sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan nutrisi mikroorganisme.
Filtrasi medium pembiakan bebas sel atau ekstrak dari filtrasi telah diuji
kemungkinan peranannya sebagai antibiosis dalam pengendalian hayati. Filtrasi
bebas sel T. flavus efektif terhadap mikrosklerotium V. dahliae pada tanah steril.
Filtrasi dari medium pertumbuhan mutan T. harzianum menekan pertumbuhan
patogen busuk basah S. cepivorum. Manakala filtrasi steril dari kultur Bacillus
subtilis diaplikasikan tiga kali seminggu mengendalikan penyakit karat pada
tanaman kacang dilapangan nyata lebih baik dari fungisida mancozeb dengan
aplikasi satu kali seminggu.
Baru-baru ini satu penelitian tentang peranan antibiotik di dalam tanah
menunjukkan bahwa kebanyakan hasil metabolit seperti antibiotik terikat pada
tanah liat dan bahan organik tanah, atau terurai dengan cepat oleh mikroflora.
Kebanyakan antibiotik tidak dapat terlepas dari tanah liat. Howell dan Stipanovic
(1979) telah mengidentifikasi antibiotik pyrrolnitrin (3-chloro- 4-[2 -nitro-3 -
chloro-phenyl]-pyrrole) dari kultur P. fluorescens. Pada penetiannya, antibiotik
ini sangat efektif menekan pertumbuhan Rhizoctonia solani, patogen penyebab
5
penyakit rebah kecambah pada anak tanaman kapas. Antibiotik ini juga menekan
pertumbuhan jamur lain yang berinteraksi dengan penyakit rebah kecambah
diantaranya Thielaviopsis basicola, Alternaria sp., Vertiicillium dahliae, dan
beberapa jenis Fusarium, bagaimanapun dikatakan bahwa antibiotik ini tidak
berpengaruh terhadap Pythium ultimum. Selanjutnya Howell dan Stipanovic
(1979) mengatakan bahwa perlakuan bakteri P. fluorescens pada tanah yang
terkontaminasi R. solani telah menambah ketahanan anak tanaman kapas
terhadap patogen tersebut 30-79 persen, sedangkan perlakuan antibiotik
pyrrolnitrin menambah ketahanan 13-70 persen. Ini berarti bakteri P.
fluorescens berpotensi sebagai agen pengendalian hayati penyakit tumbuhan.
Howell dan Stipanovic (1980) telah mengidentifikasi P. fluorecens strain
Pf-5 yang antagonis terhadap Pythium ultimum. Dari kultur P. fluorescens Pf-5
diisolasi antibiotik pyolutcorin (4,5-dichloro-1 H-pyrrol-2-yl-2,6-dihydrokxy-
phenyl ketone). Antibiotik ini menekan pertumbuhan P. ultimum tapi tidak
berpengaruh terhadap R. solani. Perlakuan benih kapas langsung dengan kultur
bakteri P. fluorerscens Pf-5 telah menambah ketahanan benih terhadap
serangan P.ultimum 28-71 persen, sedangkan perlakuan benih dengan antibiotik
pyoluteorin meningkatkan ketahanan benih 33-65 persen. Kedua percobaan di
atas menunjukkan bahwa penggunaanlangsung kultur bakteri P. fluorescen lebih
efektif mengendalikan penyakit dibandingkan penggunaan antibiotiknya.
6
kuning-kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor disebut
sebagai pseudobactin bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman. Pigmen
pendarfluor hijau-kekuningan larut dalam air, dikeluarkan oleh kebanyakan
spesies Pseudomonas. Diantara spesies yang banyak diteliti sehubungan dengan
pigmen ini adalah P. airuginosa, P. ovalis, P. mildenbergil, P. reptilivora, P.
geniculata, P. calciprecipitans. Pengenalan terhadap pigmen ini tidak susah,
terutama jika bakteri dikulturkan pada medium Kings B (KB). Ciri-ciri sebagai
pengeluar pigmen ini masih digunakan sebagai penanda taksonomi untuk
identifikasi bakteri ini yang disebut sebagai bakteri Pseudomonas pendarfluor.
Pseudobaktin akan dihasilkan Pseudononas B 10 jika dikulturkan pada medium
stress besi. Penelitian menunjukkan bahwa pseudobactin hijau-kekuningan
efektif menekan pertumbuhan E. carotovora, manakala pseudobactin merah-
kecoklatan tidak menekan pertumbuhan E. carotovora.
Menurut Kloepper et al. (1980) secara in vitro, pseudobactin menekan
pertumbuhan karena pengikatan besi (III). Perlakuan tumbuhan umbi kentang
dengan suspensi sel bekteri strain B 10 clan pseudoboktin menunjukkan
pertambahan pertumbuhan yang berarti. Populasi jamur patogen parlesekitar akar
juga menjadi berkurang karena perlakuan bakteri strain B 10 (2.3 unit
pembentukan koloni (cfu) per 10 cm akar; atou berkurang 59 persen) dan dengan
pcrlakuan pseudobaktin (1.4 cfu per 10 cm akar; atau berkurang 74 persen)
berbanding perlakuan dengan air (5.5 cfu per 10 cm akar), sedangkan perlakuan
bakteri mutan takberpendarfluor yang tidak menghasilkan siderofor tidak
menekan pertumbuhan E. carotovora dan tidak pula menyebabkan pertambahan
pertumbuhan pada umbi kentang walaupun bakteri mengkoloni akar tumbuhan
(Kloepper et al. 1980).
Hasil di atas menunjukkan bahwa pseudomonad pendarfluor berperan
dalam mempercepat pertumbuhan karena siderofor yang dihasilkannya efisien
mengikat besi (III) pada zon akar, menyebabkan besi (III) tidak tersedia
bagi mikroorganisme rhizoplane termasuk mikroorganisme patogen tumbuhan.
Menurut Neilands dan Leong (1986) mungkin semua pseudomonad pendarfluor
dapat menghasilkan siderofor sejenis pseudobaktin yang masing-masing berbeda
dalam hal jumlah dan susunan asam amino dalam rantai peptide. Pseudomonas
7
pendarfluor banyak diteliti sehubungan dengan kemampuan bakteri ini sebagai
perangsang pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria=PGPR) dan
menekan serangan penyakit yang disebabkan Fusarium oxysporum dan penyakit
akar yang disebabkan Gaeumannomyces graminis. Mekanisme kerja PGPR
diketahui sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pemasok zat makanan, bersifat
antibiosis, atau sebagai hormon pertumbuhan, atau penggabungan dari berbagai
cara tersebut. Pseudomonad pendarfluor yang diisolasi dari tanah yang secara
alami menekan pertumbuhan Fusarium juga menekan
pertumbuhan Gaeumannomyces graminis var.tritici penyebab penyakit take-all,
penelitiannya membuktikan bahwa tidak hubungan antara hambatan antibiosis
yang dihasilkan bakteri secara in vitro di atas agar dan hambatannya terhadap
penyakit pada tanaman di dalam polibag. Menurut Wong dan Baker (1984) hasil
ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian patogen karena persaingan zat
besi. Menurut Neilands dan Leong (1986) jamur-jamur patogen tidak
menunjukkan kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama dengan yang
dihasilkan bakteri Pseudomonas spp. sehingga jamur patogen mengalami defisit
unsur besi menyebabkan pertumbuhan patogen menjadi terhambat.
8
yang sangat merugikan, antara lain: ketahanan serangga hama (resistensi), peledakan
serangga hama sekunder (resurjensi), matinya musuh alami, mencemari air minum,
merusak lingkungan dan membahayakan manusia. Dengan semakin meningkatnya
kesadaran manusia akan kualitas lingkungan hidup yang tinggi, maka pengendalian
serangga hama yang bertumpu pada penggunaan pestisida harus ditekan sekecil-
kecilnya atau tidak sama sekali, karena akan menimbulkan masalah-masalah yang
negatif. Dengan banyaknya dampak negatif pemakaian pestisida serta pembatasan
pemakaian insektisida sintetik tertentu sebagai pengendali serangga hama maka
peluang pengendalian hayati akan sangatlah besar.
9
Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan pengawasan
pakar dalam bidangnya.
Dalam mengembangkan pengendalian hayati harus selalu dikawal/
dimonitor.
10
Pengendalian hayati dalam pengertian ekologi didefinisikan sebagai pengaturan
populasi organisme dengan musuh-musuh alam hingga kepadatan populasi organisme
tersebut berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
Pengendalian hayati menggunakan atau memanfaatkan spesies-spesies mahluk hidup
tertentu untuk mengendalikan hama-hama tanaman. Spesies-spesies tersebut
mewakili sejumlah hewan invertebrata, seperti serangga, tungau dan nematoda,
spesies-spesies tumbuhan golongan rendah seperti cendawan, bakteri dan virus serta
mewakili golongan vertebrata seperti ular, burung, kodok dan ikan. Pemanfaatan ini
dimungkinkan karena adanya interaksi antara dua spesies mahluk hidup atas
keuntungan yang satu karena memangsa atau memarasit dan lainnya dirugikan karena
dimakan atau diparasit. Musuh alami merupakan salah satu komponen dalam PHT.
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Diharapkan agar mahasiwa atau pembaca memahami apa itu mikroba sebagai
agen hayati (biokontrol). Dan diharapkan agar kita mampu memanfaatkan mikroba
seperti bakteri sebagai pengendali hama, penyakit dan gulma yang ramah lingkungan dan
aman bagi manusia.
12
DAFTAR PUSTAKA
Baker, C.J., Stavely, J.R., & Mock. N. 1985. Biocontrol of bean rust by Bacillus
subtilis under field conditions. Plant Disease. 69: 770-772.
Howell. C.R. & Stipanovic, R.D. 1979. Control of Rhizoctonia solani on cotton seedling
with Pseudomonas fluorescens and with an antibiotic produced by the bacterium.
Phytopnlhology. 69: 480-482.
Kloepper, J.W., Leong, J., Teintze, M. & Schroth, M.N. 1980. Enhanced plant growth
by siderophores produced by plant growth-promoting rhizobacteria. Nature. 286:
885-886.
Leong, .T. 1986. Siderophore : Their biochemistry and possible roling the biocontrol
of plant pathogens. Annu. Rev. Phytopathology. 24: 187-209.
Rose, A.H. 1979. Economic microbiology. Secondary products of metabolism. Vol. 3.
Academic. New York.
Wijiyovan, 2008. Mikroba Biokontrol. https://wijiyovan.wordpress.com/2008/12/10/
mikroba-biokontrol/. Diakses pada tanggal 19 April 2017.
Wong, P.T.W., & Baker, R. 1984. Suppression of wheat take-all and Ophiobolus patch
by fluorescent pseudomonads from a Fusarium-supressive soil. Soil , Biol. Bichem.
16:397-403.
13