Anda di halaman 1dari 10

Makalah Ekofisiologi Tumbuhan

Analisis Skripsi : Pengaruh Umur Tanaman dan Altitude terhadap Produksi Pucuk
Tanaman Teh Gambung 7 di Area Perkebunan eh PT Pagilaran Batang
RUSTAMAJI, IKIP PGRI Semarang


Oleh:
Nama : Maya Nurani
NIM : M0411040

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
I. Pendahuluan
Teh merupakan komoditi perkebunan yang cukup mempunyai arti penting bagi Indonesia
karena dapat menghasilkan devisa bagi negara, dapat berfungsi sosial berupa kesempatan kerja
bagi warga negara, serta dapat memelihara sumber daya alam yang berupa tanah, air, dan
lingkungan.
Umur tanaman teh menurut produksinya dibagi atas tanaman teh pra produktif, tanaman
teh produktif, dan tanaman teh pasca produktif. Tanaman teh produktif adalah tanaman teh
dimana teh belum bisa menghasilkan pucuk teh untuk diproduksi dan umurnya berkisar antara 0-
5 tahun, sedangkan tanaman teh produktif adalah tanaman teh pada masa produksi pucuk tehnya
paling maksimal dan umurnya berkisar antara 540 tahun, dan tanaman teh pasca produksi
adalah tanaman teh yang masih dapat memproduksi pucuk teh tapi hasil produksinyatidak
maksimal dan hanya menghasilkan sedikit pucuk teh dan umurnya >30 tahun.
Altitude (ketinggian tempat) sangat mempengaruhi pertumbuhan pucuk tanaman teh.
Altitude (ketinggian tempat) dapat mempengaruhi laju pertumbuhan pucuk daun tanaman teh
karena altitude (ketinggian tempat) dapat mempengaruhi suhu, sedangkan suhu dapat
mempengaruhi banyak proses fisiologis tanaman. Suhu udara merupakan faktor penting dalam
menentukan tempat dan waktu penanaman yang cocok.
Berdasarkan pentingnya peranan altitude (ketinggian tempat) bagi pengembangan
budidaya tanaman teh dan informasi dalam bidang perkebunan agar mendapatkan hasil yang
lebih baik maka kami mengadakan penelitian pengaruh altitude (ketinggian tempat) terhadap
produksi pucuk tanaman teh Gambung 7 di area perkebunan teh PT Pagilaran.
II. Tinjauan Pustaka
A. Ekologi Teh
Tanaman teh adalah tanaman dataran tinggi, altitude (ketinggian tempat) sangat erat
kaitannya dengan cuaca. Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi letak kebun, maka
akan makin baik kualitas teh yang dihasilkan. Sementara apabila tempat terlalu tinggi sering kali
terjadi pembekuan embun (night frost) yang berakibat fatal bagi tanaman (Setiawati dan
Nasikun,1991). Pembekuan yang ringan hanya akan merusak ranting-ranting petikan dan hanya
mengakibatkan kerugian hasil tanpa merusak tanamannya sendiri. Tetapi pembekuan yang berat
dapat mengakibatkan matinya cabang-cabang dan perdaunannya. (Setyamidjaja, 2000).
Menurut Setyamidjaja, perbedaan altitude (ketinggian tempat)menyebabkan perbedaan
suhu, mempengaruhi sifat pertumbuhan perdu teh. Daerah pertanaman teh dapat dibagi menjadi
tiga daerah berdasarkan altitude (ketinggian tempat) yaitu
1. Daerah dataran rendah (400800 m dpl).
2. Daerah dataran sedang (8001200 m dpl).
3. Daerah dataran tinggi (di atas 1200 m dpl).

B. Produksi Pucuk Teh
Pemetikan adalah pekerjaan memungut sebagian dari tunas-tunas teh beserta daunnya
yang masih muda, untuk kemudian diolah menjadi produk teh kering yang merupakan komoditi
perdagangan. Penelitian harus dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan sistem petikan dan
syarat-syarat pengolahan yang berlaku. Pemetikan berfungsi pula sebagai usaha membentuk
kondisi tanaman agar mampu berproduksi tinggi secara berkesinambungan (Setyamidjaja, 2000).
C. Giliran atau Daur Petik
Giliran atau daur petik adalah jangka waktu antara satu pemetikan dengan pemetikan
berikutnya, dihitung dalan hari. Panjang pendeknya giliran petik tergantungpada kecepatan
pertumbuhan pucuk. Kecepatan pertumbuhan pucuk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain sebagai berikut
a. Iklim
Musim kemarau pertumbuhan tunas makin lambat sehingga giliran petik lebih panjang
daripada saat musim hujan.
b. Altitude atau Ketinggian tempat
Makin tinggi letak kebun dari permukaan laut, makin lambat pertumbuhan, sehingga
makin panjang giliran petik, sebaliknya juga semakin rendah letak kebun dari permukaan air laut
juga dapat menghambat pertumbuhan dan bahkan dapat menyebabkan tanaman teh mati.
c. Kesehatan tanaman
Makin sehat tanaman, makin cepat pertumbuhan pucukm, sehingga makin pendek giliran
petik bila dibandingkan denga tanaman yang kurang sehat (Setyamidjaja, 2000).
d. Varietas
Varietas memiliki karakter masing-masing Pada tanaman teh varietas Gambung 7
adalah tanaman teh unggul, Gambung 7 yaitu merupakan kultivar tanaman teh hasil pemuliaan
oleh PPTK Gambung (Ghani, 2002)

D. Pengaruh Altitude (Elevasi) Terhadap Produksi Pucuk Teh
Altitude (ketinggian tempat) mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin tinggi suatu
tempat, misalnya pegunungan, semakin rendah suhu udaranya. Semakin rendah daerahnya
semakin tinggi suhu udaranya. Suhu optimum diperlukan tanaman agar dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh tanaman. Suhu yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman
bahkan akan dapat mengakibatkan kematian bagi tanaman, demikian pula sebaliknya suhu yang
terlalu rendah. Suhu udara merupakan faktor lingkungan yang penting karena berpengaruh pada
pertumbuhan tanaman dan berperan hampir pada semua proses pertumbuhan. Suhu berpengaruh
terhadap proses fisiologis tumbuhan seperti
1. Fotosintesis
Suhu berpengaruh terhadap fotosintesis (Lakitan, 1996). Pengaruh ini akan tampak dalam
bentuk menghambat atau mendukung terjadinya fotosintesis tergantung pada spesies tanaman
(Abidin, 1984).
2. Respirasi
Secara umum semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula respirasi. Tetapi pada suhu
yang terlalu tinggi respirasi akan menurun, hal ini disebabkan karena enzim-enzim yang
berperan akan mengalami denaturasi (Lakitan, 1996).
3. Transpirasi
Menurut Loveles (1987),suhu mempengaruhi laju transpirasi karena suhu mempunyai
efek yang berbeda terhadap tekanan uap diluar dan didalam daun. Daun-daun cenderung
menyamakan suhunya dengan suhu udara sekitarnya dan karena udara dalam ruang-ruang antar
sei biasanya dipertahankan dalam keadaan jenuh pada suhu yang berlaku. Kenaikan suhu udara
akan menyebabkan kenaikan tekanan uap dalam daun.
4. Metabolisme
Seperti umumnya semua reaksi kimia, kecepatan reaksi kimia dalam metabolisme yang
dikatalis oleh enzim dipengaruhi oleh suhu. Menurut Mila (2009), seiring perubahan suhu
beberapa derajat saja sudah menyebabkan perubahan yang nyata dalam laju pertumbuhan. Laju
pembentukan daun (jumlah daun per satuan waktu) relatif konstan jika tanaman ditumbuhkan
pada kondisi suhu yang juga konstan. Suhu yang optimal diperlukan dalam pembelahan sel-sel
daun. Semakin optimal suhu, maka pembelahan sel akan semakin cepat (Salisbury, 1995). Dalam
hubungannya dengan produksi pucuk teh, berarti semakin optimal suhu maka akan semakin
besar produksi pucuk yang dihasilkan oleh tanaman teh.







III. Pembahasan
A. Pengaruh Umur Tanam dan Altitude terhadap Produksi Pucuk Teh

Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa altitude mempengaruhi
produksi pucuk tanaman teh Gambung 7 di perkebunan PT Pagilaran. Hal ini bisa dilihat
terjadi kenaikan dan penurunan produksi pucuk. Pada altitude 750 m dpl produksi pucuk dau teh
99,9 gram, pada altitude 1000 m dpl produksi pucuk teh 136,6 gram, dan pada altitude 1250 m
produksi pucuk daun teh 97,7 . Hal ini disebabkan karena altitude mempengaruhi produksi pucuk.
Apabila semakin tinggi, maka akan menghasilkan perdu yang banyak dan hasil produksi
pucuknya juga banyak dan bila altitude terlalu rendah tanaman teh akan layu atau bahkan mati
karena terlalu panas suhu lingkungannya sehingga produksinya akan sedikit.
Pemilihan altitude merupakan langkah yang tepat dalam penaman tanaman teh. Hal ini
disebabkan karena altitude juga berpengaruh terhadap kondisi suhu pada suatu wilayah. Suhu
udara merupakan faktor lingkungan yang penting karena berpengaruh pada pertumbuhan
tanaman dan berperan hampir pada semua proses pertumbuhan. Suhu berpengaruh terhadap
fotosintesis (Lakitan, 1996). Pengaruh ini akan tampak dalam bentuk menghambat atau
mendukung terjadinya fotosintesis tergantung pada spesies tanaman (Abidin, 1984). Adanya
perbedaan ini menyebabkan laju fotosintesis tanaman berbeda dan hasil fotosintesis yang akan
digunakan untuk mendukung proses pembelahan dan pemanjangan sel juga berbeda, sehingga
akan mempengaruhi produksi pucuk teh.
B. Umur Tanam dan Altitude yang Optimal Bagi Produksi Pucuk Tanaman Teh Gambung7
Pengaruh altitude pada produksi pucuk teh Gambung 7 pada penelitian ini merupakan
pengukuran produksi pucuk teh dengan terpenuhinya suhu optimal yang diperlukan tanaman
guna pertumbuhannya. Perbedaan elevasi memberikan perbadan terhadap produksi pucuk teh.
Hasil produksi pada umur 11 < 24 < 36 dan pada altitude 750 < 1050 > 1330. Hal ini
menunjukkan bahwa tanaman teh lebih optimal produksinya pada usia sekitar 3438 bulan dan
tanaman teh juga membutuhkan suhu optimal dalam memacu pertumbuhan tanaman.

IV. Analisis Pengaruh Ketinggian terhadap Fisiologi Tanaman
Dari pembahasan skripsi ini dapat di analisis hubungan ketinggian tempat atau altitude
terhadap fisiologi tanaman. Pada skripsi ini pengaruh yang dironjolkan dari factor ketinggian
tempat yaitu efek suhu. Pada ketinggian tempat yang berbeda mempunyai tingkat suhu yang
berbeda pula, yang dari dasar ini dapat mempengaruhi metabolism tanaman berupa fotosintesis
dan produksi hormone endogen.
Dari beberapa jurnal, dibahas tentang pegaruh ketinggian tempat terhadap fisiologi
tumbuhan. Ketinggian tempat selain memunculkan factor suhu, juga intensitas cahaya, dan
kelembaban. Whitten et al. (1984) dalam Fatchurrozak et al., (2013) menyebutkan bahwa
Penambahan ketinggian menyebabkan suhu udara semakin turun. Laju penurunan suhu
umumnya sekitar 0,6C setiap penambahan ketinggian sebesar 100m dpl. Namun hal ini
berbeda-beda tergantung pada tempat, musim, waktu, kandungan uap air dalam udara, dan faktor
lingkungan lain.
Semakin tinggi ketinggian tempatnya, maka semakin tinggi pula stress lingkungan,
misalnya suhu semakin rendah, kelembaban semakin tinggi, intensitas cahaya matahari semakin
kecil, lama penyinaran semakin singkat. Stres suhu, cahaya, kelembaban, dan lain-lain dapat
mempengaruhi produksi metabolit sekunder tanaman (Sudarmaji, Slamet, (1989) dalam
Fatchurrozak et al., (2013) ).
Penelitian Kusumayadi et al., (2013) menyebutkan bahwa pada lokasi tanam di dataran
tinggi (Candikuning) tanaman sereh yang memiliki habitat tumbuh di daerah dengan suhu yang
panas akan mengalami gangguan fisiologis yaitu laju fotosintesis tidak berjalan dengan
maksimal karena kurangnya intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman sereh. Sedangkan
di lokasi tanam dataran sedang Luwus tanaman sereh dapat tumbuh dengan baik karena suhu
lingkungan yang cukup panas sehingga laju fotosintesis tanaman dapat berjalan secara baik,
sehingga tinggi tanaman lebih tinggi dari lokasi tanam dataran tinggi Candikuning.
Dalam penelitian Fitriani et al., (2011) disebutkan bahwa rendahnya suhu di Bandungan
(240C) daripada suhu di Semarang (30,50C) dan Ungaran (300C)dapat mengganggu enzim
dalam bekerja pada proses fisiologis. Intensitas cahaya yang rendah dapat mengganggu jalannya
proses fotosintesis.
Masih dalam penelitian Fitriani et al., (2011), intensitas cahaya yang tinggi akan memacu
laju fotosintesis menjadi optimum, sehingga komponen-komponen sel yang mendukung berat
kering tanaman akan meningkat. Menurut Sunu & Wartoyo (2006), untuk menghasilkan berat
kering yang maksimal, tanaman memerlukan intensitas cahaya maksimal. Santosa (1990) juga
menyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan meningkatkan kecepatan fotosintesis.
Hasil fotosintesis yang tinggi akan mempercepat translokasi. Hal ini diperkuat oleh penelitian
Sulistyaningsih dkk (2005), pada Brassica chinensis yang diberi perlakuan dengan sungkup
(intensitas cahaya 624 luks) dan tanpa sungkup (intensitas cahaya 1.184 luks) menunjukkan
bahwa berat basah dan berat kering akan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas
cahaya.
Kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan penurunan aktivitas transpirasi, sehingga
mengakibatkan penurunan penyerapan unsur hara (Sulandjari dkk, 2005 dalam Fitriani et al.,
2011). Defisiensi unsur hara akan mempengaruhi proses fotosintesis, sehingga hasil
pertumbuhan menjadi terganggu (Fitriani et al., 2011).
Dalam Fatchurrozak et al., (2013) dijelaskan pengaruh ketinggian tempat terhadap
kamdungan metabolit sekunder khususnya vitamin C, disebutkan bahwa semakin rendah
ketinggian tempat, intensitas sinar matahari dan temperature semakin tinggi, maka vitamin C
semakin mudah teroksidasi, sehingga kadar vitamin C di ketinggian 1400 m dpl lebih rendah
disbanding pada ketinggian 1900 dan 2400 m dpl. Menurut Raharjo dan Darwati, 2000, faktor
lingkungan seperti cekaman defisit air dapat meningkatkan metabolit sekunder pada tanaman
obat. Respon tanaman terhadap cekaman defisit air selain menurunkan produktivitas,
meningkatkan kadar K dan asam amino prolin, juga dapat meningkatkan produk metabolit
sekunder. Kadar flavanoid daun tempuyung tertinggi apabila mendapat cekaman defisit air 60 %
KL (kapasitas lapang).

V. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis skripsi dan beberapa jurnal, dapat disimpulkan bahwa ketinggian
tempat dapat mempengaruhi fisiologi tumbuhan karena pada ketinggian tempat yang berbeda
terdapat factor-faktor lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya, kelembaban, dan lama
penyinaran yang kesemuanya dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi pada tumbuhan.
Daftar Pustaka:
Abidin, Z. 1984. Dasar pengetahuan ilmu tanaman. Bandung: Angkasa
Fatchurrozak , Suranto , dan Sugiyarto. 2013. Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Kandungan
Vitamin C dan Zat Antioksidan pada Buah Carica pubescens di Dataran Tinggi Dieng. L-VIVO
Vol.1, No.1, hal 15 22, September 2013
Fitriani Sarmita, Endah Dwi Hastuti dan Sri Haryanti. 2011. Pertumbuhan Legume pada
Ketinggian yang Berbeda. BIOMA, Vol. 13, No. 2, Hal. 67-72
Ghani, M. A. 2002. Dasar-dasar budi daya teh. Jakarta: Penebar swadaya.
Kusumayadi I wayan H., I Made S., I Ketut S., I Nyoman S.A. 2013. Pengaruh Ketinggian
Tempat, Mulsa dan Jumlah Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Rendemen Minyak Sereh Dapur
(Cymbopogon Citratus). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
Lakitan, B. 1996. Fisiologi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Loveles, A. R. 1987. Prinsip-prinsip biologi tumbuhan untuk daerah tropik 1. Jakarta: PT
Gramedia.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi tumbuhan. Bandung: ITB
Setiawati, I., dan Nasikun. 1991. Teh kajian sosial-ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Setyamidjaja, D. 2000. Teh budi daya dan pengolahan pascapanen. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai