Dari Sa'd bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu (HR. Bukhari 56 dan Muslim 1628). Memberi nafkah keluarga itu menjalankan kewajiban Wahb bin Jabir menceritakan, bahwa mantan budak Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu pernah pamit kepadanya, Saya ingin beribadah penuh sebulan ini di Baitul Maqdis. Sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu, langsung bertanya kepada beliau, Apakah engkau meninggalkan nafkah untuk keluargamu yang cukup untuk makan bagi mereka selama bulan ini? Belum. Jawab orang itu. Kembalilah kepada keluargamu, dan tinggalkan nafkah yang cukup untuk mereka, karena saya mendengar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Seseorang dianggap melakukan dosa, jika dia menyia-nyiakan orang yang orang yang wajib dia nafkahi. (HR. Ahmad 6842, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth). Karena itulah, memberi nafkah keluarga dalam batas cukup, memiliki pahala lebih besar dibandingkan sedekah untuk orang miskin. Karena nafkah keluarga hukumnya wajib, sementara sedekah hukumnya sunah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Dinar (uang) yang kamu infakkan (untuk kepentingan berjihad) di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu infakkan untuk (kebutuhan) keluargamu, yang paling besar
pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan untuk keluargamu (HR.