Anda di halaman 1dari 6

HARAMNYA ASURANSI BPJS KESEHATAN : DIMENSI ASURANSI,

JAMINAN KESEHATAN, DAN AGENDA ASING


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan
BPJS tak henti-hentinya menimbulkan kontroversi, baik dari segi
kesesuaiannya dengan syariah, gaji direktur utamanya yang gila-gilaan
(500 juta lebih), pelayanannya yang tidak memuaskan, maupun rencana
BPJS akhir-akhir ini untuk menaikkan iuran bulanan (premi) yang akhirnya
ditunda oleh Presiden Jokowi khususnya bagi golongan miskin.
Kontroversi mengenai kesyariahan BPJS bermula dari fatwa MUI
bahwa asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai
tidak sesuai syariah. Ketetapan itu adalah hasil Ijtima Ulama MUI di
Tegal 7-10 Juni 2015 yang lalu. Fatwa tidak sesuai syariah tersebut lalu
ditafsirkan media bahwa BPJS haram. Inilah yang meledakkan pro kontra
yang luas di masyarakat ketika diungkap ke media akhir-akhir ini. MUI
menjadi sasaran kecaman dan bahan bulan-bulanan oleh sebagian warga,
termasuk artis yang tidak tahu menahu urusan agama dan fatwa.
Akhirnya, MUI mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak terkait
seperti BPJS, pemerintah, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan menyepakati
tiga butir kesepakatan. Pertama, bahwa hasil Ijtima Ulama MUI tersebut,
tidak menggunakan kosakata haram. Kedua, masyarakat dihimbau
tetap mendaftar BPJS. Ketiga, akan dilakukan penyempurnaan mekanisme
BPJS.
Tulisan ini mengritisi BPJS dalam tiga dimensi, yaitu; pertama,
tinjauan terhadap BPJS sebagai asuransi. Kedua, tinjauan terhadap BPJS
sebagai jaminan kesehatan. Ketiga, tinjauan terhadap BPJS sebagai
agenda asing.
Asuransi BPJS Tidak Sesuai Syariah
Fatwa MUI bahwa asuransi BPJS tidak sesuai syariah itu
sebenarnya sudah tepat, karena sekarang faktanya BPJS adalah asuransi
konvensional, yang menurut sebagian ulama diharamkan dengan alasanalasan karena adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba
(bunga), dan maisir (judi/spekulasi).
Alasan-alasan tersebut memang ada pada BPJS saat ini. Misalnya
BPJS ternyata menginvestasikan dana iuran pesertai BPJS dalam deposito
dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Padahal riba jelas-jelas
diharamkan dalam Islam. Selain itu, surplus dan defisit underwriting
dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga
(riba). Ini juga haram.

Tapi alasan-alasan tersebut sebenarnya tidak lengkap. Perlu


ditambahkan alasan lain untuk haramnya asuransi, yaitu akadnya yang
memang tak sesuai syariah, bukan sekedar karena adanya gharar, riba,
dan maisir. Mengapa akadnya tak sesuai syariah? Karena objek akad
(maquud alaihi) asuransi tidak dapat dikategorikan objek akad yang sah,
yaitu barang atau jasa. Objek akad asuransi, adalah janji (at taahhud),
yakni perusahaan asuransi berjanji akan membayar dana pertanggungan
jika terjadi suatu peristiwa (risiko) penyebab turunnya dana
pertanggungan,
seperti
kematian,
kecelakaan,
kebakaran,
dan
sebagainya. Nah, janji seperti ini tidak dapat dikategorikan barang atau
jasa, maka asuransi itu haram hukumnya.
Selain aspek objek akad itu, akad asuransi juga haram karena tak
sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al
dhamaan) dalam Islam. Dalil mengenai ketentuan-ketentuan akad ini
adalah hadits shahih dari Jabir bin Abdillah RA. Suatu saat Rasulullah SAW
tidak bersedia mensholatkan satu jenazah yang masih punya utang dua
dinar kepada orang lain. Lalu seorang sahabat bernama Abu Qatadah Al
Anshari berkata,Dua dinar itu menjadi kewajiban saya wahai Rasulullah.
Maka kemudian Rasulullah SAW bersedia mensholatkan jenazah itu. (HR
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no 3345, Bab Tasydiid Ad Dain).
Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al
Iqtishadi fil Islam hlm. 185, hadits tersebut menunjukkan ketentuanketentuan akad pertanggungan Islami, sbb ; terdapat 3 (tiga) pihak yang
terlibat, yaitu penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun anhu), dan
penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan
tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan
pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apaapa untuk mendapatkan dana pertanggungan.
Ketentuan-ketentuan itu jelas bertolak belakang dengan ketentuan
asuransi. Karena dalam asuransi hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak),
yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta
asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak
tertanggung (madhmun anhu). Juga, dalam asuransi tak terjadi
penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan
perusahaan asuransi, karena peserta asuransi sebenarnya tidak sedang
punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi
pihak penerima tanggungan (peserta asuransi) harus membayar premi
(iuran) per bulan kepada penanggung (perusahaan asuransi). Kalau dalam
Islam, penerima tanggungan tidak membayar apa-apa kepada pihak
penanggung. Jadi, jelas sekali akad asuransi tidak sesuai dengan akad
pertanggungan dalam Islam, sehingga haram hukumnya.
Memang ada yang mengatakan bahwa walau BPJS tidak sesuai
dengan syariah, tidak otomatis hukumnya haram. Jawabannya sebagai
2

berikut : bahwa ketidaksesuaian dengan syariah itu bentuknya memang


ada dua macam. Pertama, meninggalkan kewajiban (tarkul wajibat),
misalnya meninggalkan sholat lima waktu. Kedua, melakukan keharaman
(irtikabul haraam), seperti berzina, minum khamr (minuman keras), dsb.
Jadi, penyimpangan syariah itu memang tidak otomatis haram,
karena bisa jadi bentuk ketidaksesuaian itu bukan mengerjakan yang
haram, tapi meninggalkan yang wajib. Nah, orang yang meninggalkan
yang wajib tidak disebut berbuat haram, tapi melakukan dosa atau
maksiat.
Untuk konteks BPJS, ketidaksesuaian dengan syariahnya terletak
pada aspek mengerjakan yang haram, yaitu melakukan akad yang tidak
disyariahkan dalam Islam. Karena akad asuransi (at ta`miin) itu akad yang
berasal dari sistem kapitalisme Barat, bukan berasal dari Syariah Islam.
Maka melakukan akad asuransi hukumnya haram, karena ada larangan
dari Rasulullah SAW yang bersifat umum, yang melarang perbuatan apa
pun yang tidak disyariahkan Islam :

Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perintah
kami, maka perbuatan itu tertolak. (HR Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani,
Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/232, Bab An Nahyu An Al Tasharrufaat
wa Al Uquud).
Asuransi BPJS dan Jaminan Kesehatan dalam Islam
Selain karena alasan akadnya berupa asuransi, Asuransi BPJS juga
diharamkan karena tidak sesuai dengan jaminan kesehatan dalam Islam.
Karena dalam BPJS, untuk mendapat jaminan kesehatan rakyat dipaksa
membayar iuran. Sedang dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh
rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar
sama sekali.
Banyak dalil-dalil syari yang menjelaskan bahwa negara dalam
Islam wajib memberikan jaminan ksesehatan secara gratis bagi rakyatnya.
Di antaranya dalil umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah
bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap
rakyatnya (gembalaannya). (HR Bukhari no 4904 & 6719; Muslim no
1827).
Dalil di atas adalah dalil umum bahwa negaralah yang menjamin
seluruh urusan rakyatnya, termasuk jaminan kesehatan. Selain dalil
3

umum tersebut, juga terdapat dalil-dalil khusus yang menunjukkan


wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma,
tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim
diriwayatkan sebagai berikut :
:

Dari Jabir RA, dia berkata,Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter
kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah
satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi
panas) pada urat itu. (HR Muslim no 2207).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam
telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara
mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya
dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur,
2/143).
Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al
Mustadrak Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, sebagai berikut :


Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,Aku pernah sakit pada
masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar
memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku
diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus
menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu. (HR Al Hakim,
dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah (kepala
negara Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan
cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta
sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah
Ad-Dustur, 2/143).
Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa
dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara
kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa
rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari
negara.
Namun hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli
obat dari apotek swasta hukumnya haram. Karena yang diperoleh secara
4

gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan


kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter
praktek swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek
pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau
membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil
umum bolehnya berobat dengan membayar dan dalil umum bolehnya jual
beli. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Asuransi BPJS Bagian Agenda Neoliberalisme
Asuransi BPJS perlu dipahami pula dalam konteks yang luas, yaitu
sebagai bagian agenda neoliberalisme yang dipaksakan oleh Barat atas
Indonesia. Mereka yang menelusuri konsep jaminan sosial menurut Barat,
akan mendapatkan bahwa Asuransi BPJS sebenarnya berakar pada konsep
neoliberalisme yang berusaha menghilangkan peran negara/pemerintah
dalam mengurus rakyat. Konsep neoliberalisme menegaskan bahwa
layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan melalui asuransi
sosial daripada diselenggarakan oleh pemerintah.
Dengan kata lain, Asuransi BPJS pada dasarnya adalah pengalihan
tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada
di pundak pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap
berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama
peserta jaminan sosial. Institusi yang dimaksud, untuk konteks Indonesia,
adalah BPJS. (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). (Rini Syafri,
Mengapa JKN Wajib Ditolak, www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 2).
Konsep asuransi sosial melalui BPJS ini berasal dari WTO (Word
Trade Organization), institusi perdagangan global bentukan Barat
pimpinan Amerika, yang memasukkan layanan kesehatan sebagai salah
satu kesepakatan perdagangan global, atau yang disebut dengan GATS
(General Agreements Trade in Services) tahun 1994. (Rini Syafri,
Mengapa JKN Wajib Ditolak, www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 1).
Konsep yang menganggap layanan kesehatan sebagai komoditi
bisnis ini akhirnya menyusup ke Indonesia dan menjelma dalam bentuk
undang-undang produk DPR, yaitu UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) (UU No 40 Tahun 2004) dan BPJS (badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) (UU No 24 Tahun 2011). Semua itu terjadi lantaran pemerintah
Indonesia dipaksa oleh Barat untuk mengadopsi dan melaksanakannya,
melalui program yang disebut Structural Adjusment Program (program
penyesuaian struktural) melalui LoI (Letter of Intent) antara pemerintah
Indonesia dengan IMF, pada saat Indonesia berupaya mengatasi krisis
tahun 1998 yang lalu. (Arim Nasim, SJSN dan BPJS : Memalak Rakyat Atas
Nama Jaminan Sosial, Tabloid Media Umat, Edisi 118, 20 Desember 2013
2 Januari 2014, hlm. 14).

Kedua UU tersebut dalam proses penyusunannya ternyata dibiayai


oleh Asia Development Bank (ADB). Lembaga ini menyetujui pinjaman
sebesar 1,4 miliar dolar AS kepada pemerintah Indonesia yang
digelontorkan dalam 2 (dua) tahap untuk Program Tata Kelola Keuangan
dan Reformasi Jaminan Sosial (Financial Governance and Social Security
Program/FGSSR). Tahap I sebesar 250 juta USD diberikan pada periode
2002 -2003, sebagaimana tercatat di dalam dokumen ADB bernomor
33399 tahun 2001. Sebagian utang ini diperuntukkan untuk mendukung
penyusunan UU SJSN.
Indonesia tentu harus membayar utang dari ADB itu plus bunganya
(riba). Indonesia diwajibkan membayar bunga utang dengan biaya
komitmen sebesar 0,75% per tahun dan front end fee sebesar 1%. Di
dalam kesepakatannya, ADB berhak melakukan audit terhadap
penggunaan utang dan melakukan validasi serta verifikasi terhadap
kebijakan perizinan di Indonesia. Sebagai pelaksana penggunaan
anggaran ini adalah kementerian keuangan yang saat itu dijabat
Boediono. ADB menyetujui utang ini setelah menerima Surat Permohonan
yang ditandatangani Surat Menteri Keuangan No. S-370/MK.06/2002
tanggal 14 Nov 2002. Kemudian pada tanggal 10 Desember 2002, ADB
menyetujui
permohonan
utang
tersebut.
(Sumber
:
http://politik.kompasiana.com/2013/11/25/kebijakan-sjsn-dan-bpjsdibiayai-oleh-utang-luar-negeri-613980.html).
Berdasarkan fakta tersebut, jelaslah bahwa Asuransi BPJS
sebenarnya adalah bagian dari agenda asing yang memaksakan
neoliberalisme atas masyarakat Indonesia.
Walhasil, asuransi BPJS sebenarnya bukan sekedar halal haramnya
dari segi asuransi, bukan pula sekedar masalah jaminan kesehatan,
namun juga merupakan bagian agenda neoliberalisme yang dipaksakan
kepada rakyat Indonesia, melalui pemerintah Indonesia yang telah rela
menjadi antek-antek kaum kafir penjajah.
Maka dari itu, asuransi BPJS sebenarnya bukan saja haram karena ia adalah asuransi,
juga tak hanya haram karena bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam, tapi juga
haram karena merupakan jalan bagi hegemoni dan dominasi asing.
Padahal Islam telah tegas mengharamkan segala macam jalan yang dapat
menimbulkan dominasi asing itu, sebagaimana firman Allah SWT :

Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk
menguasai orang-orang yang beriman. (QS An Nisaa` : 141). Wallahu alam. [ ]

Anda mungkin juga menyukai