Anda di halaman 1dari 14

IDDAH, IHDAD & RUJU’

Agama Islam II

Rochmad Afandi, M.Pd.I

Madha Fadilah Sandi (16310730063)

Marco Bintang Purnama (16310730082)

|
Universitas Islam Kadiri

Teknik Elektro

2017
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan islam.
Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah rasul yang harus di jalani dalam mengarungi
sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara
kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan
hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada
dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal
dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi
kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat
berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat
dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk
mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat
melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan
rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan
bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan
penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan
demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan
baik yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa atau
cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh langsung menikah lagi dengan laki-laki lain,
melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi
wanita yang bercerai itu disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk
mengetahui apakah selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika
ternyata hamil maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu,
iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk menetukan
kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali
perceraian mereka, mereka bias rujuk atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang
lama.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Iddah, Ihdad dan ruju’ itu?
2. Apa dasar hukum Iddah dan ruju’?
3. Hak dan kewajiban suami-istri dalam masa iddah?
4. Hal-hal yang dilarang dalam masa Iddah dan ihdad?
5. Apa hikmah Ihdad?
6. Bagaimana proses ruju’?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Iddah, Ihdad dan ruju’


1. Iddah dan Ihdad

Iddah berasal dari bahasa arab yang berasal dari akar kata adda – ya’uddu – ‘idatan dan
jamaknya adalah ‘idad yang secara etimologi berarti “menghitung” atau “hitungan”. Kata
ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-
iddah menunggu berlalunya waktu dan masa bersihnya.1

Dalam istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu
dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari suaminya.2

Jadi iddah artinya satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai
hidup ataupun cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah
berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan
menjadi anak, maka dalam waktu beriddah itu akan terlihat tandanya. Itulah sebabnya ia
diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. Andai kata ia menikah dalam masa
beriddah, tentu dalam rahimnya akan tercampur dua sel dan di takutkan ketika lahir
seorang anak, anak itu tidak tentu siapa ayahnya (anak syubhat) dan pernikahannya tidak
sah.

Secara etimologi ihdad berarti menahan atau menjauhi. Secara definitive,


sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fiqh, adalah menjauhi sesuatu yang dapat
menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”. Pembicaraan disini
menyangkut untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat, apa yang tidak boleh dia perbuat
dan hukum berbuat.

Yang dimaksud dengan Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal
mati suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari, dengan larangan-larangannya antara
lain : bercelak mata, berhias diri, keluar rumah (kecuali dalam keadaan terpaksa).

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 303.
2 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.
121-122.
Mengenai untuk siapa dia melakukan ihdad, hampir semua ulama berpendapat bahwa
ihdad hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang
meninggal dunia dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.

Tentang kenapa dia harus berkabung, menjadi bahasan di kalangan ulama. Hal yang
disepakati adalah, bahwa ihdad atau berkabung hanya berlaku terhadap perempuan yang
bercerai dari suaminya karena kematian suaminya. Inilah maksud semula dari
ditetapkannya berkabung dalam islaam. Tujuannya ialah untuk menghormati dan
mengenang suaminya yang meninggal.

2. Ruju’

Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian


terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah
dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam
hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji (Ali, 2006: 90).

Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337) mendefinisikan rujuk sebagai


kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa
iddah.

B. Dasar Hukum Iddah dan Ruju’


1. Dasar Hukum Iddah

Yang menjalani iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, bukan laki-
laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup
atau mati, sedang dalam masa hamil atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu.3

Iddah sudah dikenal juga pada masa jahiliyah. Mereka hampir tidak pernah
meninggalkan kebiasaan iddah. Kemudian ketika islam datang, kemudian kebiasaan itu diakui
dan terus dilestarikan karena ada beberapa kebaikan didalamnya. Para ulama sepakat bahwa
iddah itu wajib hukumnya. Karena Allah swt berfirman dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 228 :

ُ ‫ص َن َو ا لْ ُم طَ ل َّ ق َ ا‬
‫ت‬ ِ ُ ‫ي َ ْك ت ُ ْم َن أ َ ْن ل َ هُ َّن ي َ ِح ل َو َل ۚ ق ُ ُر وء ث َ ََل ث َة َ ب ِ أ َنْ ف‬
ْ َّ ‫س ِه َّن ي َ ت َ َر ب‬
‫ق َم ا‬َ َ ‫ّللا ُ َخ ل‬ َّ ‫اّلل ِ ي ُ ْؤ ِم َّن كُ َّن إ ِ ْن أ َ ْر َح ا ِم ِه َّن ف ِ ي‬ َّ ِ ‫اْل ِخ ِر َو ا لْ ي َ ْو ِم ب‬
ْ ۚ ‫َو ب ُع ُو ل َ ت ُهُ َّن‬

3 Amir Syarifuddin, Op. cit. hlm. 320.


‫ص ََل ًح ا أ َ َر ا دُوا إ ِ ْن َٰذ َ لِ َك ف ِ ي ب ِ َر دِ ِه َّن أ َ َح ق‬ ْ ِ ‫عَ ل َ يْ ِه َّن ا ل َّ ِذ ي ِم ث ْ لُ َو ل َ هُ َّن ۚ إ‬
ِ ‫لر َج ا ِل ۚ ب ِ ا لْ َم عْ ُر و‬
‫ف‬ ِ ِ‫ّللا ُ ۗ دَ َر َج ة عَ ل َ يْ ِه َّن َو ل‬
َّ ‫َح ِك يم ع َِز يز َو‬
Artinya :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Juga sabda Nabi SAW kepada Hatimah binti Qais:

ِ‫ِىِفىِبَيْتِاُمِ ُك ْلِث ُ ْوم‬


ْ ‫اِ ْعتَد‬
Artinya : “Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kulsum…”

Mengenai Ihdad (berkabung) dan permasalahannya, Ibn Rusyd menjelaskan sebagai


berikut:

Kaum muslimin telah sepakat bahwa ihdad wajib hukumnya atas wanita muslimah yang
merdeka dalam iddah kematian suami, kecuali Al-Hasan yang berbeda pendapatnya.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai wanita-wanita selain itu, mengenai selain
iddah kematian suami, serta mengenai hal-hal dilarang bagi wanita yang sedang berihdad dan
hal-hal yang dibolehkan untuknya.4

Abu Muhammad mengatakan, berdasarkan hadits ini maka wajib bagi kita berpegang
dengan pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu wajib hukumnya.

Akan halnya hadits Ummu Habibah ra, sewaktu ia meminta minyak wangi, kemudian ia
mengusapkan pada dadanya, lalu berkata:

4 Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 302.
ِ:‫س ْو َل ِهللا ِصلىِهللاِعليهِوسلمِيقول‬ َ ُ‫سم ْعت‬
ُ ‫ِر‬ َ ِ‫وّللا ِماَلى ِبه ِم ْن ِحا َ َجة ِ َغي ُْر ِأَنى‬
ِ،‫ِاالَخرِِِِأ َ ْنِتُحدَِّ َعلَىِ َميتِفَ ْوقَ ِثَالَِثِلَيَال‬ ِ ْ ‫اهللِو ْاليَ ْوم‬
َ ‫الَيَح ُّلِال ْم َرأَةِ ُمؤْ منَةِتُؤْ ِم ُنِب‬
َّ ‫االَِّ َعلَىِزَ ْوجِأ َ ْر َب َعةَِأ َ ْش ُهر‬
.‫ِو َع ْش ًرا‬
“Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mendengar Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal
bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, untuk berihdad atas
orang mati lebih dari tiga hari, kecuali karena ditinggal mati oleh suaminya, yaitu (ihdadnya)
4 bulan 10 hari.”

Maka Hadits ini bukan merupakan hujjah karena disebutkan didalamnya merupakan
pengecualian dari hal-hal yang dilarang, sehingga karenanya hadits ini memberikan
pengertian kebolehan (ibahah), bukan kewajiban. Demikian pula halnya hadits Zainab binti
Jahsy ra.5

2. Dasar Hukum Ruju’

Rujuk merupakan hak suami. Bila ia benar bermaksud baik, ia boleh mempergunakan
haknya itu dan sah hukumnya. Suka atau tidak sukanya istri tidak menjadi halangan untuk
sahnya rujuk.

Dalam kitab Fat-Hul Qarib 6 dijelaskan bahwa tanpa izin dari istrinya , suami boleh
merujuk istrinya :

‫ق َو ِإذَا‬َ َ‫ام َرأَتَهُ( ش َْخص ) َطل‬ ِ ‫لَ ْم َما ُم َرا َجعَت ُ َها( ِإ ْذنِ َها ِبغَ ْي ِر )فَلَهُ اثْنَت َ ْي ِن أ َ ْو َو‬
ْ ً‫اح َدة‬
ِ َ‫ِع َّدت ُ َها ت َ ْنق‬
‫ض‬
“ Jika seorang suami menalak istrinya satu atau dua kali , maka baginya boleh merujuk
istri tanpa seizinnya, selama masa iddahnya belum habis.”

Sebagaimana keterangan diatas bahwa dalam rujuk tidak di syaratkan kerelaan bagi
perempuan . karena rujuk merupakan hak suami,selama talak raj’i dan dalam masa
iddah, dengan tidak memandang suka atau tidak sukanya si istri. Begitu juga tidak dipandang
rela atau tidak relanya walinya.

5 Abdul Rahman Ghozali, Op.cit., hlm 307.


6 Syekh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998) , hlm. 449.
C. Hak dan kewajiban suami-istri dalam masa iddah

Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami dalam masa iddah (talak raj’i) yaitu
memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya. Dan jika dia punya seorang anak maka
dia juga berkewajiban membiayai anaknya. Sedangkan yang menjadi hak dan kewajiban
seprang istri dalam masa iddah ialah:

1) Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara
sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh
dipinang dengan sindiran.

2) Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak
ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali
kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan
dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.

3) Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.

4) Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak
mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru
tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di
rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.

5) Wanita tersebut wajib berihdad (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak
mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh
hari.

6) Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari
suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak
mendapatkanya.

D. Hal-hal yang dilarang dalam masa Iddah dan ihdad

Hadits Nabi saw “seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari
tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan
celak mata, dan memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambut
kecuali jika ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu
wangi.7

1. Tidak boleh bercelak secara mutlak


2. Tidak boleh berwangi-wangian
3. Tidak boleh mempercantik diri dengan bersolek
4. Tidak boleh berpakaian yang menarik
5. Tidak boleh memakai perhiasan

Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang melakukan ihdad dilarang
melakukan perbuatan yang membikin orang laki-laki tertarik pada dirinya perempuan yang
melakukan berkabung tersebut, seperti memakai perhiasan intan, celak, memakai pakaian
yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam.
Mengenai memakai celak ini masih ada perbedaan para fuqaha tentang tidak boleh dan
bolehnya memakai celak ini. Satu golongan berpendapat bahwa seorang perempuan yang
sedang melakukan ihdad diperboleh kan memakai celak dengan syarat pada siang malam hari,
tetapi menurut pendata yang lainnya mengatakan tidak harus malam hari pada waktu siang
haripun boleh dengan syarat bukan untuk berhias dir,tetapi karena ada darurat dan kebutuhan
seperti sakit mata dan lainnya.
Ringakasnya mengenai pendapat-pendapat diatas bahwa seorang seorang perempuan yang
sedang melaksanakan ihdad tentang larangan bagi seorang perempuan sangatlah berdekatan
dan hamper sama pendapatnya, yaitu perempuan harus menjauhi memakai pakaian atau
sesuatu yang bisa menarik perhatian laki-laki. Yang mendorong para ulama mewajibkan ihdad
bagi seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah hadits Shahih dibawah ini:
“Bahwa seorang perempuan datang kepada nabi kemudian berkata:yarasulullah,
sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh
karena sakit pada kedua matanya, bolehkan ia bercelak wahai rasulrasulullah?rasulullah
menjawa, tidak boleh (2x)atau (3x)yang pada masing masing beliau tidak memperbolehkan.
Kemudian beliau berkta:sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan dan 10 hari,dan
sesungguhnya dulu ada yang melakukan ihdad selama satu tahun ”.
Abu Muhammad menyatakan hadits tersebut menunjukkan kita wajib berpegangan pada
pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu hukumnya wajib.

7 Ibid, hlm 309.


E. Hikmah Iddah dan ihdad

Perempuan yang berada dalam masa iddah, apabila iddahnya adalah iddah talak raj’i
, maka suami masih berhak merujuknya kembali. Akan tetapi, apabila ia hendak menikah
dengan laki-laki lain, maka ia harus menunggu sampai iddahnya habis.

Sedang dalam talak ba’in , suami tidak berhak merujuknya kembali kecuali dengan akad
nikah baru apabila telah habis masa iddahnya.

Adapun hikmah adanya iddah dan ihdad adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur


antara keturunan seorang dengan yang lain.8

2. Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada
kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.

3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif


mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberi
kesempatan demikian, maka tidak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar
disusun, sebentar lagi dirusaknya.9

4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup
lama dalam ikatan akadnya.

5. Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi atau berpisah dan ihdad adalah rentan
waktu/ masa berpikir untuk merencanakan menikah lagi, atau tetap tanpa “suami”dalam
masa berkabungnya, mengingat Sifat wanita yang cenderung mengedepankan
perasaannya dan loyal terhadap pasangannya.

6. Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah.

7. Masa peralihan untuk menentukan hidup baru.

8. Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal.

9. Masa untuk menentukan kosong tidaknya istri dari suami

10. Sebagai hukum ta’abudy

8 Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah & Kontrak, (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 234.
9 Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.cit ., hlm. 138-139
F. Syarat dan proses Ruju’
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk mantan suami dan
mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
a) Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai
berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia
menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu mestilah
seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa
dan sehat akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih
belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya. Begitu pula
bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya
rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang memabukkan, ulama
berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang
dilakukan oleh orang mabuk.
b) Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu
adalah: perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk, istri itu telah
diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali
perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak ba’in, istri itu masih berada
dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang
ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah
hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri
itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada istri yang
diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena rujuk hanya berlaku bila
perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak
mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya (Syariffudin, 2009: 341-343).

Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan (2004: 267-268) mengatakan
bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu: kerelaan istri, dalam rujuk tidak
disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah hak suami yang tidak tergantung
pada izin atau persetujuan pihak lain, tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya
karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami, dan saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan
bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa
adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati belaka

Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk.
Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:

1) suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami
istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan,
2) rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pencatat Nikah,
3) pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu
memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah
istrinya,
4) setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk dan
5) setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang
hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk (Ramulyo, 1996:
165-166)

Pasal 168 KHI:


Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar
rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya,
disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk
dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari sesudah rujuk
dilakukan danapabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang
sebab-sebab hilangnya (Abdullah, 1994: 127).

Menurut Hakim, (2000: 213) tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 ialah sebagai
berikut Pasal 169 KHI:
a) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
b) Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke
Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil
Kutipan Akta Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam
ruang yang tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
c) Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor
dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.10

10 http://lihahcute.blogspot.co.id/2012/12/rujuk-dan-permasalahannya.html
BAB III

PENUTUP

Demikianlah makalah tentang konsep Iddah, Ihdad & Ruju’ telah kami sampaikan. Dapat
diketahui bahwasanya Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah hukum syarak
rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada
tiga kali dalam masa iddah dengan syarat-syarat tertentu. Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang
menjalani masa iddahnya Karena ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia
harus menjauhi apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak
mengenakan perhiasan apa saja yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat menyebabkan laki-
laki lain tertarik melihatnya. Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam
keadaan berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah kecuali
dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada intinya menjauhi perkara
yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia.

Ad-Duraiwisy, Yusuf. 2010. Nikah Siri, Mut’ah & Kontrak. Jakarta: Darul Haq.

Ghazali, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

Kamil Muhammad, Syekh. 1998. Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.

Kamil Muhammad, Syaikh. 1998. ‘Uwaidah Fiqh Wanita diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar
E. M Jakarta : Pustaka Al Kautsar.

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

http://lihahcute.blogspot.co.id/2012/12/rujuk-dan-permasalahannya.html

Anda mungkin juga menyukai