Anda di halaman 1dari 18

NUSYUZ, SYIQAQ, DAN FUNGSI HAKAMAIN

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
KELOMPOK 8/PAI-6

1. NOVIDA SORMIN 2020100234


2. RAHMAT SUARI 2020100202

DOSEN PENGAMPU :
USWATUN HASANAH, M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula,
penulis kirimkan salam dan salawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah
Muhammad SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Makalah yang kami susun ini berjudul Nusyuz, Syiqaq dan Fungsi
Hakamain. Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Ibu
Uswatun Hasanah, M.Ag. Banyak pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini. Olehnya itu, kami ucapkan banyak terimakasih. Kami
menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Besar harapan kami, dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan
sumbangsih yang berarti demi kemajuan ilmu pengetahuan bangsa.

Padang Sidempuan, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 2
A. Defenisi Nusyuz............................................................................... 2
B. Dasar Hukum Nusyuz ...................................................................... 2
C. Tanda-tanda Isteri Nusyuz ............................................................... 6
D. Penyelesaian Isteri Nusyuz .............................................................. 8
E. Syiqaq .............................................................................................. 10
F. Hakamain ........................................................................................ 11
BAB III PENUTUP..................................................................................... 13
A. Kesimpulan ..................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana di
dalamnya hanya terdiri dari suami, istri dan sebagian anak. Dan setiap rumah
tangga pasti menginginkan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan
warahmah yang di dalamnya pasti terdapat kenyamanan, baik ketika berada di
rumah maupun berada di luar rumah. Dalam realitas sosial yang terjadi di
masyarakat pada umumnya di zaman sekarang seperti yang sering kita lihat dan
pernah kita dengar dari mana-mana bahkan media yang ada, sepertinya banyak
sekali keluarga yang mengalami perceraian. Di antara perceraian tersebut meliputi
berbagai macam faktor salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan
kewajiban antara suami istri, biasanya istri tidak menerima akhirnya terjadilah
nusyuz (pembangkangan) seorang istri kepada suaminya. Biasanya perselisihan
seperti ini dilatarbelakangi adanya suatu kecurigaan dan tidak ingin
bermusyawarah sebelumnya. Dan akhirnya suami istri tersebut bertengkar dan
berselisih sehingga terjadilah perceraian.
Melihat fenomena tersebut, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba
menguraikan tentang konsep nusyuz, syiqaq, dan hakamain.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah defenisi Nusyuz?
2. Bagaimana dasar hukum Nusyuz?
3. Bagaimana Tanda-tanda isteri Nusyuz?
4. Bagaimana penyelesaian isteri Nusyuz?
5. Bagaimana yang dinamakan Syiqaq?
6. Bagaimana yang dinamakan Hakamain?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Nusyuz
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang tinggi. Adapun secara
terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya
dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu
merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.1
Arti kata nusyuz ialah membangkang. Menurut Slamet Abidin dan
H.Aminuddin, Nusyuz berarti durhaka, maksudnya, seorang istri melakukan
perbuatan menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’.2
Menurut Ibnu Katsir, nusyuz artinya menantang. Istri yang nusyuz adalah
istri yang menantang suaminya, tidak melaksanakan perintahnya, berpaling dari
suami dan membuatnya marah.
Menurut Hussein Bahreisj, nusyuz adalah suatu sikap membangkang atau
durhaka dari isteri kepada suaminya atau terjadi penyelewengan yang tidak
dibenarkan oleh suami terhadap isterinya
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-
Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau
istri) terhadap pasanganya.
Istilah nusyuz ini diambil dari kata al-nasyaz yang berarti bagian bumi yang
tinggi menonjol, menentang atau durhaka. Dalam konteks pernikahan, makna
nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka” Sedangkan
dalam kajian terminologis, nusyuz pada umumnya dimaknai dengan tidak tunduk
kepada Allah SWT.3
B. Dasar Hukum Nusyuz
Timbulnya konflik dalam rumah tangga tersebut pada akhirnya kerap kali
mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh dengan istilah nusyuz. Hal ini dapat
ditemukan dalam Ayat al-Qur‟an:
1
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010) hal. 359
2
Tihami dan sohari, Fiqh Munakahat ( Jakarta: Rajawali press, 2014), hal. 185
3
Sulaiman rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: sinar baru Algensindo, 2016), hal. 398

2
َ َ َٓ َ
ۡ‫ًف ُلِا ْ وِي‬ َّٰ َ َ ‫ٱَّلل َب ۡػ َض ُُ ۡه‬ ّ َ َ َ ُ َّٰ َّ َ ُ َ ّ
ُ َّ ‫ٱمن ِ َسآءِ ة َىا فَ َّض َل‬
‫لَع َب ۡػ ٖض وبِىا أ‬ ِ ‫ٱلرجال كومِن لَع‬ ِ
َ ُ َ َ َّٰ َّ َ ُ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ّ ٞ َّٰ َ َّٰ َ ٌ َّٰ َ َّٰ َ ُ َّٰ َ َّٰ َّ َ ۡ َّٰ َ ۡ َ
‫ب ةِىا حفِظ ٱَّللۚۡ وٱل ِِت َتافِن‬ ِ ‫أوول ِ ُِ ۚۡه فٱمصنِحت قٌِتت حفِظت م ِنغي‬
َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َّ ُ ُ ۡ َ َ َۡ َّ َ‫و‬ُ ُ ُ ۡ َ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ُ ُ
‫ٱۡضبَِيَّۖ فإِن أطػٌكه فَل‬ ِ ‫و‬ ِ‫ع‬ ‫ج‬
ِ ‫ا‬ ‫ض‬ ‫ى‬ ‫ٱل‬ ‫ف‬ِ ‫ي‬ ‫نشِزَي فػِظَِي وٱَجر‬
ّٗ ‫ٱَّلل ََك َن َغن ِ ّّٗيا َكت‬ ‫َ ۡ ُ ْ َ َ ۡ َّ َ ا‬
َ َّ ‫يَل ۗ إ َّن‬
٣٤ ‫ريا‬ ِ ِ ِ ‫تتغِا غني ُِي سب‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.”4
Dari Hadits Nabi Saw

"Dari Muawiyah al-Qusyairiy berkata: aku pernah bertanya kepada Rasulullah,


"wahai Rasulullah, apakah hak istri kami?" Beliau menjawab, "memberinya
makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak mendiamkannya kecuali di
dalam rumah".( H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa'i)

4
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk, “Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani dan Terjemahan”,cet
III, (Bogor: Lembaga Percetakan Al-Qur‟an Kementrian Agama RI, 2012), An-Nisa' (4): 34. hlm.
84

3
Ayat di atas menurut Imam al-Syafi‟i diturunkan sesudah adanya larangan
seorang suami memukul istri.5 Larangan tersebut berasal dari sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn ‟Uyaynah, dari al-Zuhri, dari ‟Abdullah bin Abdillah bin
‟Umar, dari Iyas bin ‟Abdillah bin Abi Dzubab, Nabi SAW bersabda yang
artinya:

Dari Iyas bin Abdillah bin Abi dzubab, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah
kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah. Kemudian Umar RA datang
kapada Rasulullah SAW dan berkata: perempuan-perempuan itu telah berbuat
durhaka terhadap suaminya, kemudian Rasul memperbolehkan memukul mereka.
Kemudian perempuan-perempuan itu mendatangi keluarga Rasulullah untuk
mengadukan suami-suami mereka. Rasulullah bersabda: perempuan-perempuan
yang telah mengadukan suami- suami mereka,mereka bukanlah istri- istri yang
baik.6

‫الرجال قىامىه على الىساء‬, maksudnya bahwa kewajiban seorang laki-laki yaitu
melindungi dan mengatur perempuan. Sehingga perempuan harus taat pada laki-
laki karena seorang laki-laki memiliki peran khusus sebagai pelindung. Dan
pembagian laki-laki dalam warisan lebih banyak dari pada perempuan karena
seorang laki-laki mempunyai kewajiban nafkah terhadap keluarganya sedangkan
perempuan tidak memiliki kewajiban mencari nafkah.7 laki-laki baik dalam
konteks keluarga maupun bermasyarakat memang ditakdirkan sebagai pemimpin

5
Muhammad bin Idris as-Syafi‟I, “al-Umm”, ( Juz II, Beirut, Dar al-Fikr,tth.), hal.207
6
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006), hal. 830
7
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Darul „Ulum, 1946), Juz. V,
hal. 27

4
bagi kaum wanita. Disebabkan karena terdapat beberapa perbedaan yang bersifat
natural antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses
sosial, seperti dipahami oleh penganut teori culture.
Kemudian pada kalimat ‫ض هه ۡم َع َل ٰى بَعۡ ض‬ َّ َ‫“ ِب َما ف‬oleh karena Allah telah
َ ۡ‫ض َل ٱ َّّلله بَع‬
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Huruf ba‟nya adalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kalimat َ‫قَ ٰ َّى همىن‬
dengan begitu dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita
adalah karena kelebihan yang Allah berikan kepada laki laki.8 Di sini
diungkapkan suatu hikmah yang indah, bahwa antara laiki-laki dan perempuan
tidak ubahnya dengan anggota tubuh. Laki-laki berkedudukan sebagai kepala,
sedangkan perempuan berkedudukan sebagai badan. Sehingga tidak layak bagi
satu anggota merasa super terhadap anggota lainnya. Masing – masing memiliki
tugas dalam hidup, sehingga tidak ada seorangpun yang tidak perlu kepada yang
lain.
Pada ayat berikutnya, menerangkan tentang karakter perempuan dalam
َ ‫ب بِ َما َح ِف‬
rumah tangga. ‫ظ ٱ َّّلله‬ َ ٰ ‫ص ِل ٰ َحته ٰقَ ِى ٰت َتٌ ٰ َح ِف‬
ِ ‫ت ِل ۡلغ َۡي‬ٞ ‫ظ‬ َّ ٰ ‫فَٲل‬, ayat ini menjelaskan keadaan hal-
ihwal perempuan. Allah telah membagi mereka kepada dua bagian, yaitu:
Pertama, perempuan yang patuh. Perempuan yang patuh kepada Allah SWT,
patuh kepada suaminya, dan senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan menjaga
harta dan anak – anak di waktu suaminya tidak berada di dekatnya. Dan jika di
dekat suaminya, maka lebih dipeliharanya. Kedua, perempuan yang durhaka.
Perempuan yang menentang dan menampakkan kedurhakaannya kepada
suaminya, maka metodenya adalah dengan cara mendidik dan mengaturnya. 9
‫ َوٱ ٰلَّتِي تَخَافهىنَ وه ه‬, ayat ini menjelaskan perempuan yang durhaka. Menurut
‫شىزَ هه َّه‬
keterangan sebagian ulama, bermakna, jika diketahui dengan pasti bahwa istrinya
akan berbuat nusyuz. Sebagian ulama lain menafsirkan, jika dirasa istrinya telah

8
Ibid., hal. 54.
9
Arsal, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Bukittinggi: STAIN BKT-PRESS, 2007), hal. 231

5
melakukan nusyuz dengan memerhatikan qarinah perempuan tersebut, atau gerak-
geriknya telah berubah dari biasanya dalam melayani suaminya. 10
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan nusyuz
KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa
dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti
lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
Islam. Dan istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan
ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas
bukti yang sah.
C. Tanda-tanda Isteri Nusyuz
Menurut ulama fikih dan berbagai kalangan madzhab, beberapa perbuatan
istri yang dikategorikan sebagai nusyuz beserta batasan-batasannya adalah :
1. Istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami tanpa alasan yang syar’i
dianggap nusyuz. Menurut kesepakatan madzhab nafkah istri tidak berlaku.
Syafi’i dan Hambali menambahkan jika istri keluar rumah untuk kepentingan
suami, maka nafkah tetap berlaku.11 Jika istri kembali mentaati suami dan
tinggal di rumah maka kembali pula nafkah istri, namun nafkah yang
terlewatkan selama istri nusyuz tidak dapat diminta kembali.12 Tindakan-
tindakan dalam kategori nusyuz tidak selalu dihukumi sebagai tindakan
nusyuz. Dikutip dari putusan MARI Nomor 514 K/AG/1996 23 april 1998
menurut Anshary, tindakan istri yang meninggalkan rumah suami tanpa izin
dapat dipandang sah dan beralasan hukum jika bertujuan untuk menghindari
tindakan kekerasan suami, maka tidak termasuk nusyuz.13

10
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.264
11
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,terj. Afif Muhammad, (Jakarta:
Lentera, 2006), hal. 404
12
Muhammad Ya’qub Thalib Ubaidi, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri Dalam
Perspektif Islam, terj. M. Ashim (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), hal. 166
13
M. Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia: Masalah-masalah Krusial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 164-165

6
2. Istri menolak ajakan suami untuk pindah ke rumah suami yang telah
disediakan secara layak baginya. 14 Perbuatan istri ini dianggap nusyuz dan
menurut kesepakatan seluruh madzhab nafkah istri tidak berlaku. Syafi’i dan
Hambali menambahkan bahwa ketika istri keluar rumah karena urusan suami,
maka hak nafkah tidak berlaku. Namun ketika istri keluar rumah meskipun
dengan izin suami namun bukan untuk kepentingan suami, maka hak nafkah
baginya menjadi tidak berlaku.
3. Istri menolak untuk melakukan hubungan suami istri dengan suaminya tanpa
alasan termasuk bercumbu atau bentuk kenikmatan lainnya, baik penolakan
tersebut terjadi di rumah suami maupun rumahnya sendiri.15 Rasulullah
sangat memperhatikan hal tersebut karena bercinta merupakan elemen
terpenting untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. 16
4. Istri enggan melakukan perjalanan (safar) bersama suami, manakala jalur
transportasi dalam keadaan aman dan tidak dikhawatirkan bahaya atau
kesulitan. Dan tidak berhak atas nafkah ketika istri biasa bepergian sendiri
tanpa suami atau muhrim. Sebab kepergiannya dikarenakan kesalahannya
yang tidak menyertakan suami atau muhrimnya.17
5. Manakala istri membuka usaha, atau berpuasa sunnah dan suami tidak ridha,
ketika suami melarangnya namun istri tidak menghiraukan nasehat suami,
maka istri tersebut telah nusyuz atas perintah suami, dan nafkah tidak berlaku
baginya.18
6. Apabila istri menutup diri di rumah suami dan tidak keluar rumah tanpa izin
suami, maka istri masih disebut patuh meskipun tidak mau dicampuri tanpa
alasan syar’i, seluruh madzhab yang lain sepakat bahwa perbuatan istri
tersebut nusyuz dan nafkah tidak berlaku baginya. Menurut Imam Hanafi,
yang menjadi sebab kewajiban memberi nafkah adalah keberadaan istri di

14
Muhammad Ya’qub Thalib Ubaidi, Op.cit, hal. 166
15
Ibid., hal. 166
16
Erwan Roihan, Engkaulan Bidadari Itu, (Surakarta: P.T Era Adicitra Intermedia, 2008),
hal. 113-114
17
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, terj. Harist Fadly
dan Ahmad Khotib (Surakarta: Era Intermedia, 2005), hal. 268
18
Said bin abdullah, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam,terj. Agus Salim (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), hal. 148

7
rumah suami. persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada
hubungannya dengan kewajiban nafkah. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan
bahwa sekedar mau digauli sama sekali belum dipandang cukup kalau istri
tidak menawarkan dirinya kepada suami dengan mengatakan secara tegas,
“Aku menyerahkan diriku kepadamu.”
7. Apabila istri dikurung karena kejahatan istri atau hutangnya, walaupun
perbuatan tersebut menzalimi istri, nafkah tetap tidak berlaku. Hal ini
dikarenakan istri telah melanggar kewajibannya terhadap suami. Namun, jika
suami yang menuntut pengurungan atas hutang istri terhadap dirinya, maka
istri masih berhak atas nafkah.
8. Manakala istri keluar dari agama Islam (Murtad), menurut kesepakatan
seluruh ulama madzhab kewajiban memberi nafkah menjadi tidak berlaku.
Namun nafkah bagi ahli kitab tetap diwajibkan seperti halnya istri muslimah.
9. Wanita yang mau tinggal di rumah suami dan bersedia digauli kapanpun
suami menghendakinya, namun kasar dalam berbicara, selalu membentak dan
berbuat kasar terhadap suami, serta melawan suami dalam banyak hal. Ketika
perbuatan itu sudah watak asli si istri, yakni juga berbuat kasar terhadap
orang lain terlebih terhadap orang tuanya, maka perbuatan tersebut tidak
dianggap nusyuz dan tetap berhak nafkah. Namun ketika perbuatan itu bukan
watak aslinya, yakni istri bersikap baik terhadap orang lain dan bersikap kasar
hanya terhadap suami saja. Maka istri dianggap nusyuz dan tidak berlaku
nafkah baginya.
10. Ketika istri tidak mau menuruti suami kecuali setelah menerima maharnya.
Ada dua pendapat menurut ulama. Pertama, ketidakbersediaan istri sebelum
digauli, maka tidak diangap nusyuz dan tetap berhak atas nafkah. Kedua,
ketidakbersediaan istri setelah digauli suami secara sukarela, istri semacam
ini dianggap berbuat nusyuz dan tidak berlaku nafkah atas dirinya.
D. Penyelesaian Isteri Nusyuz
Berangkat dari surah an-Nisa’: 34, jika terjadi nusyuz istri maka syariat
Islam menjelaskan tentang tiga cara menangani istri nusyuz, diantaranya:

8
1. Menasehati dengan cara yang patut. Tindakan awal yang dilakukan suami
ketika mendapati istri nusyuz adalah dengan menasehati istri, namun dengan
tetap mengajaknya tidur bersama. Sebab tidur bersama merupakan bentuk
keharmonisan dalam hubungan suami istri. Sebagian ulama berpendapat
bahwa memberi nasehat tersebut dengan cara yang halus, artinya harus
memanfaatkan waktu ketika hubungan suami istri dalam keadaan yang baik
dan menasehatinya pada waktu yang tepat.19
2. Pisah ranjang. Sebagai sanksi terhadap istri, Islam mensyariatkan adanya
adanya langkah memisahkan tempat tidur, yaitu meninggalkan jimak.
Tindakan kedua yang dilakukan suami ketika istri sedang nusyuzadalah
dengan pisah ranjang, yakni memisah tempat tidurnya. Ini artinya suami
menjauhi atau mengabaikan istri di tempat tidur, yaitu suami tetap tidur
bersama istri dalam satu ranjang namun masing-masing di sisi yang berbeda.
Tidak dibenarkan pisah kamar atau tempat tidur dan mendiami istri. Sebab
memisahkan istri dengan cara tersebut akan membawa banyak mudharat.
Karena memilih mendiami istri dikhawatirkan hanya akan menambah
parahnya pertengkaran. Sebab dengan tetap adanya komuikasi dengan baik
diharapkan akan membuatnya mengubah sikap istri.20
3. Memukul. Dalam memberi sanksi hukum, Islam membenarkan pemukulan
terhadap istri. Ketika istri nusyuz, suami diperbolehkan memukul istri.
Pemukulan tersebut oleh sebagian ulama fiqh adalah pemukulan secara fisik.
Pemukulan tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,
yaitu pukulan yang tidak mengalirkan darah dan mematahkan tulang. Selain
itu pukulan tidak boleh mengenai wajah, karena memukul wajah berarti telah
merendahkan martabat dan melukai harga diri istri. Selain itu pemukulan
tidak boleh menggunakan alat yang menghinakan, misalnya memukul dengan
sandal atau menyepak dengan kaki. Pemukulan istri diartikan sebagai pukulan
yang tidak menyebabkan rasa sakit dan membuat cacat tubuh istri. Oleh sebab

19
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Suami Istri Berkarakter Surgawi, terj. Ibnu
Barnawa, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 165.
20
Muhammad Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri: Bingkisan Untuk
Sepasang Pengantin, terj. Wahid Ahmadi (Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2010), hal. 151.

9
itu, manakala ada kerusakan fisik, suami wajib menanggung resiko mengobati
istrinya hingga pulih. Pemukulan ini bertujuan sebagai pembelajaran bagi istri
agar kembali taat terhadap suami. Sedangkan para suami hanya berhak
menghukum kesalahan istri yang bersifat zhahir saja.21
E. Syiqaq
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq” yang berarti sisi,
perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau
persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang
sangat hebat antara suami istri. Hal ini dikarenakan adanya pencemaran
kehormatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak.22
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan
perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan
menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena
itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (hakam) untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqoq diartikan
sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian
syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah
memenuhi pengertian yang terkandung dalam Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian
dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan
pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun
1975, pasal 116 kompilasi hukum islam: ”antara suami, dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqaq terjadi antara suami istri dalam suatu rumah tangga dan
permusuhan diantara keduanya semakin kuat dan dikhawatirkan terjadi firqah dan
rumah tangga mereka nampak akan runtuh maka hakim mengutus dua orang
hakam untuk memberi pandangan terhadap problem yang dihadapi keduanya, dan

21
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Op.cit, hal. 168
22
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) hal. 95.

10
mencari mashlahat bagi mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah tangga. Allah
SWT berfirman:
ٓ َ ۡ َ ۡ ّ ّٗ َ َ َ ۡ َ ۡ ّ ّٗ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ ۡ
‫خفته ِشلاق ةيٌ ِ ُِىا فٱبػثِا حكىا وِي أَنٍِِۦ وحكىا وِي أَنُِا إِن‬ ِ ‫ِإَون‬
٣٥ ‫ريا‬ ّٗ ‫يىا َخت‬ َ َّ ‫ٱَّلل ةَيۡ ٌَ ُُ َىا ٓ ۗ إ َّن‬
‫ٱَّلل ََك َن َغن ِ ا‬ ُ َّ ‫يدا ٓ إ ۡص َل َّٰ ّٗحا يُ َِ ّفِق‬
َ ‫يُر‬
ِ ِ ِ ِ ِ
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-
isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”(Q.S An-Nisa Ayat 35)
Jika memang yang lebih mashlahah adalah talak maka diputuskanlah
perkaranya oleh hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara lain untuk
menghilangkan kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena apabila
diputuskan dengan talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa iddah
dan itu berarti akan kembali kepada madhorot yang telah dialami.
F. Hakamain
1. Pengertian Hakamain
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti
pendamai. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.
2. Persyaratan Hakamain
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau
cakap dengan hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan
kedua pendamai ini dari keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami
dan seorang hakam dari pihak istri sebagaimana yang tersirat dalam ayat. Jika
dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus
dua orang laki-laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut,
yakni orang yang cakap dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami
istri, dan dianggap mampu mendatangkan perdamaian di antara keduanya.
Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat

11
merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga
citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.23
3. Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain
yang juga sebagai mediator mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas
dari hakamain ialah harus bertindak dengan mempertimbangkan mashlahah,
baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan mengedepankan hajat
suami, istri atau perwakilannya. Ini adalah pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu
Salamah Bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id Bin Jubair,
Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Mundzir.
Terkait wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama’. Ulama’ Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan
perkara tanpa izin dari suami istri atau persetujuan hakim setelah hakamain
tidak mampu untuk mendamaikan keduanya. Dan jika mereka memutuskan
dengan pisah maka berarti talak bain. Adapun ulama’ Syafi’iyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami istri. Jadi
mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan menjatuhkan
talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama’ Hanafiyah
berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim,
lalu kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak bain sesuai dengan
yang ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam
menjatuhkan putusan tersebut.

23
Abdul Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka Sunnah), 2006, hal.
618.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nusyuz secara etimologi adalah tempat yang tinggi. Adapun secara
terminologis maknanya pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam
hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu merasa
yang paling tinggi. Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman
bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati.
Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal
yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Nusyuz adakalanya dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar,
meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi
nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab
nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan
dalam pembelanjaan.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”Syiqaqa” yang berarti sisi,
perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau
persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang
sangat hebat antara suami istri.
Secara Etimologi, hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam
dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.
Dan bagi kedua hakam disyaratkan harus berakal, baligh, adil, islam. Dan tidak
disyaratkan bahwa hakam itu harus dari salah seorang dari keluarga suami atau
istri, meskipun bukan anggota keluarga tetaplah dibolehkan. Namun disunnahkan
mengutus hakam dari keluarganya. hakamain harus bertindak dengan
mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan,
bukan mengedepankan hajat suami istri atau perwakilannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Jakarta: Pustaka Sunnah, 2006.

Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2011.

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, terj. Harist
Fadly dan Ahmad Khotib, Surakarta: Era Intermedia, 2005.

Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Mesir: Darul „Ulum, 1946),


Juz. V.

Arsal, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Bukittinggi: STAIN BKT-PRESS, 2007.

Erwan Roihan, Engkaulan Bidadari Itu, Surakarta: P.T Era Adicitra Intermedia,
2008.

M. Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia: Masalah-masalah Krusial,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Muhammad Ya’qub Thalib Ubaidi, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri


Dalam Perspektif Islam, terj. M. Ashim, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007.

Muhammad Abdul Halim Hamid, Bagaimana Membahagiakan Istri: Bingkisan


Untuk Sepasang Pengantin, terj. Wahid Ahmadi, Surakarta: Era Adicitra
Intermedia, 2010.

Muhammad bin Idris as-Syafi‟I, “al-Umm”, Juz II, Beirut, Dar al-Fikr,tth..

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,terj. Afif Muhammad,


Jakarta: Lentera, 2006.

Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Suami Istri Berkarakter Surgawi, terj. Ibnu


Barnawa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, Jakarta: Pustaka


Azzam, 2006.

Said bin abdullah, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam,terj. Agus Salim
Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986.

Sulaiman rasjid, Fiqh Islam, Bandung: sinar baru Algensindo, 2016.

Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2010.

14
Tihami dan sohari, Fiqh Munakahat, Jakarta: Rajawali press, 2014.

Tubagus Najib Al-Bantani, dkk, “Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani dan


Terjemahan”,cet III, Bogor: Lembaga Percetakan Al-Qur‟an Kementrian
Agama RI, 2012), An-Nisa' (4): 34.

15

Anda mungkin juga menyukai