1Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-Taqrirotu Al-Sadidah hal
31. Maktabah darululumil islamiyyah.
2Sebagian dari beberapa para Imam sudah menyusun sejarah Al-Imam Asy-Syafii
seperti Al-Hafidz bin Abi Hatim, Al- Imam Baihaqi, Al-Imam Fachruddin Ar-Rozi,Al-Imam Al-
Hafidz Ibnu Katsir yang sudah tercetak- , Al-Imam Al-Aburi, Al-Imam Abdul Qohhir Al-
Baghdadi, Khotib Al-Baghdadi, Al-Hafidz Ibnu Al-Muqri, Al-Hafidz Abi Hasan Al-Baihaqi yang
dikenal dengan nama Funduq- dan Ulama lainya )sairu alaminnubula hal 5:10).
Ilmu fiqih
S Suatu ilmu yang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, untuk menata
jalan kehidupan. Pada zaman sekarang ini globalisasi selalu memunculkan masalah- masalah
baru yang berkembang bagaikan arah jarum jam, disaat inilah ilmu fiqih berperan dominan
sebagai rujukan tatanan hukum. Pada bab ini al-Imam al-Shobban menerangkan :
Artinya : Dasar setiap macam ilmu ada 10 : batasan, sasaran, hasil, keutamaan,
hubungan, pencetus, nama ilmu, pengambilannya, hukum syara dan permasalahan yang
ada. Sebagiannya mencukupi pada sebagian yang lain. Dan orang yang mengetahui 10 dasar
tersebut secara keseluruhan akan mendapat kemulyaan.
1. Batasan ilmu fiqih (pengertian) : Sesuai ungkapkan oleh Al-imam Al-Subuki:
suatu ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariat sebangsa amaliah yang diambil dari dalil-
dalil asal secara terprinci[1]ungkapan ini meguraikan secara terminologi, sedangkan menurut
etimologi diartikan ilmu kefahaman (selaras dengan fitrah manusia)
2. Sasaran ilmu fiqih : perbuatan-perbuatan setiap orang mukalaf.
3. Hasil (faidah) ilmu fiqih : menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangannya.
4. Keutamaan ilmu fiqih : ilmu yang paling utama setelah ilmu tauhid yang
sudah diterangkan di al-quran dan hadits.
5. Hubungan ilmu fiqih : ilmu fiqih berhubungan dengan ilmu syariat.
6. Pencetus ilmu fiqih : para imam mujtahid, penyusunan pertama
oleh Al-imam zaid bin ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib, dan murid pertama yang menyusun
adalah Al-imam Al-mujtahid Abu hanifah Al-numan, dan di populerkan oleh Imam Abu
Hanifah[2], Imam Malik bin Anas[3], Imam Al-Syafii, Ahmad bin Hanbal[4].
7. Nama ilmu fiqih : Ilmu fiqih atau ilmu hukum-hukum syara atau ilmu halal dan
haram.
8. Pengambilan ilmu fiqih : ilmu fiqih diambil dari Al-quran, hadits, ijma(keputusan
ulama) dan qiyas.
9. Hukum ilmu fiqih :
a. Wajib ain : mengetahui hukum yang menentukan sahnya ibadah seperti ;
bersuci, sholat dan puasa, dan juga munentukan sahnya muamalah seperti ; jual beli dan
nikah.
b. Wajib kifaiy : mengetahui hukum secara lebih terperinci yang dapat mencapai
derajat fatwa[5].
c. Sunah: mengetahui hukum yang dapat mencapai derajat lebih tinggi dari fatwa.
Permasalahan ilmu fiqih (ketetapan yang dibahas didalamnya) itu sangat banyak
seperti ; bersuci sebagai syarat sah shalat dan wajibnya
[2]Imam Abu Hanifah, atau Abu hanifah al-Numan bin Tsabit bin Zufi al-Tamimi, lahir
di kufah pada 80 H./699 M, dari keluarga pedagang. Pada masa kecilnya, Imam Hanafi
belajar al-Quran kepada Imam Asin, dan sudah mampu menghafalnya sejak kecil. Beliau
pernah tinggal selama beberapa tahun di Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu, dan
berusaha memahami persoalam-persoalan hukum yang bersumber dari Umar bin Khatthab
dan Ali bin Abi Thalib melalui shahat-shahabatnya, diantaranya ialah Hammad bin Abi
Sulaiman, Ibrahim Al-Nakhai, Abdullah bin Masud, dan Abdullah bin Abbas. Beliau pernah
bertemu dengan beberapa shahabat Rasulullah seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa di
kufah, Sahal bin Saad di Madinah dan Abu Thufail Ibnu Wailah di Makkah. Karya-karya Abu
Hanifah antara lain adalah kitab Al-Musuan, Al-fiqh al-Akbar, Al-Risalah, Al-Alim wa Al-
Mutallim, dan Al-Washiyyah. Murid-murid Imam Hanifah antara lain Abu Yusuf bin Ibrahim Al-
Auzai, Zafr bin Al-Ajiil bin Qais, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan al-Hasan bin Ziyad
al-Lului. Mereka inilah yang merekam dan menulis pemikiran-pemikiran Abu Hanifah, baik
dibidang aqidah maupun hukum. Murid-murid di bidang tasawuf antara lain Ibrahim bin
Adham, Fudhail bin Iyad, Dawud al-Thai, dan Bisyt Hafi. Beliau pada 150 H. (767 M.) tepat di
usia 70 tahun dan dikebumikan di pemakaman Khizra. Menurut catatan terakhir, umat Islam
penganut madzhab Hanafi tersebar di 13 negara, yaitu Mesir, Suriah, Libanon, Turki, Tunisia,
Turkestan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, China, Rusia dan Iraq.
[3]Imam Malik bin Anas, lahir di Madinah pada 93 H. Dengan nama lengkap Malik bin
Anas bin Malik bin Amir al-Ashibihani. Masa belajarnya dimulai dengan mempelajari al-
Quran, dan sejak kecil sudah mampu menghafalnya. Di bidang ilmu fiqih dan hadits, Imam
Malik belajar pada banyak shahabat Nabi, diantaranya Ibnu Syihab. Setelah mencapi
kepastian keilmuan tinggi, Imam Malik kemudian mencurahkan semua waktunya untuk
mengajar, dan tetap memilih kota kelahirannya, Madinah, sebagai tempat berdomisili banyak
murid- murid beliau dikemudian hari menjadi ulama- ulama besar seperti Ibnu al-Wahhab
dan al-Syafii. Imam Malik dikenal luas sebagai orang yang paling ahli di bidang hadits di
Madinah, dan paling faham dengan keputusan- keputusan hukum shahabat. Kitab Muwatha
yang di tulisnya, merupakan salah satu rujukan yang paling monumental dibidang hadits dan
fiqih. Imam Malik sangat berhati- hati dalam mencetuskan satu produk hukum (fatwa). Beliau
selalu meneliti hadits- hadits Nabi dan bermusyawarah dengan shahabat- shahabatnya
sebelum mencetuskan satu fatwa. Beliau meninggal pada 179 H. (795 M.) tepat di usia le-86
tahun. Selain di Hijjaz, penganut madzhab Maliki saat ini juga tersebar di kawasan Afrika
Utara seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan kawasan Eropa seperti Sepanyol.
[4]Imam Ahmad bin Hambal, nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad
bin Hambal bin Hilal al-Syaibani. Lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. (780
M.) dalam headaan yatim. Sejak kecil beliau sudah menunjukkan sifat-sifat yang mulia dan
menaruk minat yang besar pada ilmu pengetahuan. Kebetulan pada saat itu Baghdad
merupakan pusat ilmu pengetahuan. Selain di Baghdad, Ahmad bin Hambal juga pergi ke
Bahrah, Yaman, dan Mesir untuk memperdalam ilmunya. Diantara dguru-gurunya adalah
Imam al-Syafii, Yusuf al-Hasan, Husyaim, Umair, Ibnu Humam, dan Ibnu Abbas. Dari guru-
gurunya itulah Imam Ahmad banyak meriwayatkan hadits, dan beliau tidak meriwayatkan
hadits kecuali telah diketahui keshahihannya. Dari situlah Imam Ahmad bin Hambal
mengarang kitab hadits yang diberi nama Musnad Ahmad bin Hambal. Beliau mulai mengajar
ketika berusia empat puluh tahun, yang pada akhirnya melahirlan ulama-ulama handal di
kemudian hari. Pendiri madzhab Hamnali ini oleh yang maha kuasa pada tahun 241 H. (855
M.) tepat di usia 77 tahun. Penganut madzhab Hambali umumnya tersebar di Irak, Mesir,
Suriah, Palestina, dan Arab Saudi (mayoritas).
[5]Derajat fatwa adalah kemampuan seorang mujtahid untuk menelorkan hukum-
hukum baru yang belum pernah dijelaskan oleh imam madzhab maupun oleh ashhabnya.
Namun dalam segi metodologi istinbath, ia tetap bersandar pada kaidah- kaidah maupun
metode ushul mereka (imam/ashhab) lihat, Hasyiah al-Husaini ala al-Asybab wa al-Nazhair li
ibnu Nujaym, I/8, hurufba.
Hukum-hukum syariat
Hukum syari terbagi menjadi dua : 1. Hukum syari taklifi 2. Hukum syari wadli
Hukum syari taklifi[1] adalah ketetapan allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf.[2] Hukum ini terbagi menjadi 5 bagian yaitu ; Fardu, Sunah, Haram, Makruh
dan Mubah. Menurut Al-imam Ibnu ruslan hukum ini menjadi 7 bagian yang diungkapkan di
kitab shofwatuzzubad karangan beliau ;
Artinya : Hukum-hukum syariat allah terbagi menjadi 7 yaitu : Fardlu, Sunah, Haram,
Makruh, Mubah, Bathil dan Shohih.[3]
v Al-fardlu secara etimology : tetap dan bagian. Secara terminology : hukum yang
diperintahkan syara dengan perintah secara pasti.[4]
Konsekuensi hukum : pahala bagi orang yang melaksanakannya dan siksa bagi
orang yang mininggalkan.
Sinonim dari fardlu ada 5 kata : Maktub, Wajib, Rukun, Lazim dan Al-mutahattim.
v As-sunah secara etimology : metode, cara dan system. Secara terminology :
perkara yang diperintahkan syara dengan perintah yang tidak pasti.[5]
Konsekuensi hukum : pahala bagi orang yang melaksanakan dan bagi yang
meninggalkan tidak mendapat siksaan.
Sinonim dari sunah ada 7 kata : Mandzub, Mustahab, Hasan, Muraggabfih,
Tathawwu, Nafilah dan Fadlilah.
v Al-haram secara etimologi : perkara yang dilarang. Secara terminologi : perkara
yang dilarang oleh syara dengan larangan secara pasti.
Konsekuensi hukum : pahala bagi orang yang menjauhinya dan siksa bagi orang
yang melanggar.
Sinonim dari haram ada 6 kata : Mahdzur, Mamnu, Dzanbu, Mashiyyah, Mazjur
anhu dan Mutawaadualaih.
v Al-makruh secara etimologi : perkara yang dibenci. Secara terminologi : perkara
yang dilarang syara.
Konsekuensi hukum : pahala bagi orang yang menjauhinya, dan untuk yang
melanggar tidak ada siksa.
v Al-mubah secara etimologi : perkara yang di perbolehkan. Secara terminologi :
perkara yang tidak dilarang dan di perintahkan oleh syara[6].
Konsekuensi hukum : tidak ada pahala dan siksa, kecuali ketika dilakukan dengan
niat yang baik, maka mendapatkan pahala.
Sinonim dari mubah ada 3 kata : Al-jaiz, Al-halal dan Al-thilqu.
Adapun Hukum syari wadli : ketetapan allah yang diturunkan sebagai sebab,
syarat, mani, shahih dan fasid[7]. Pengertian ini menetpkan 5 hukum, yang sesuai pendapat
jumhur ulama.
Hukum-hukum tersebut : Al-sabab, Al-syarat, Al-mani, Al-shahih dan Al-fasid.
v Al-sabab secara etimology : tali dan perkara yang menyambungkan suatu perkara
dengan perkara lain. Secara terminology : perkara yang menetapkan wujud ketika wujud, dan
menetapkan tidak ada ketika tidak adanya dengan sendirinya[8].
v Al-syartu secara etimology : menggantungkan suatu perkara dengan perkara lain,
yang satu-persatu dari keduanya terdapat pada waktu yang akan dilakukan. Secara etimologi
: perkara yang menetapkan ketiadaan karena ketiadaannya, dan menetapkan wujud karena
wujudnya, dan perkara ini tidak menetapkan dan meniadakan dengan sendirinya[9].
v Al-mani secara etimologi : penghalang diantara dua perkara. Secara terminologi :
perkara yang menetapkan ketiadaan ketika perkara tersebut wujud, dan menetapkan wujud
ketika perkara tersebut tidak ada, dan perkara ini tidak meniadakan dengan sendirinya[10].
v Al-shahih secara etimologi : lawan dari sakit. Secara terminologi: perkara yang
sudah memenuhi syarat secara sempurna, baik berupa ubudiyyah (pengabdian spitual religi),
maupun muamalah (dialektika sosial kemasyarakatan).
Al-fasid secara etimologi : lawan dari benar atau sah. Secara terminologi : perkara
yang tidak memenuhi syarat sah, baik berupa ubudiyyah maupun muamalah.
[1] Syaih al- islam Abi Yahya Zakaria Al- anshori Al- syafii Goyatul ushul hal ; 6
Maktabah Al- haramain.
[2] Seseorang yang sudah balig, beraqal, sempurna panca indranya dan sudah
menerima dawah. Abi Abdulmuthi Muhammad bin umar bin ali nawawi Nihazatuzzain hal ; 9.
Maktabah Al- haramain
[3] Al-imam ibnu ruslan memasukkan bathil dan shohih mengikuti pendapat marjuh
(yang diungguli), sedangkan pendapat masyhur memasukkan bathil dan shohih pada hukum
syari wadli. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf At-taqriratu as-sadidah hal ;
49. Maktabah darul ulumilislamiyyah.
[4] Sebagian dari fardlu adalah fardlu kifayah, yaitu ; perkara yang di perintahkan
syara untuk dilakukan tanpa adanya ketentuan orang yang melakukan. Hukum ini gugur
ketika sudah ada yang melakukan. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf At-
taqriratu as-sadidah hal ; 49 Maktabah darul ulumilislamiyyah
[5] Sebagian dari sunah adalah sunah kifayah, yaitu perintah secara sunah yang
gugur ketika sudah ada yang melakukannya. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al
kaf At-taqrirotu as-sadidah hal ; 50 Maktabah darul ulumilislamiyyah
[6] Ulama mutaakhkhirin menambahkan hukum khilaf al-aula, meraka berpendapat
bahwa ketika ada perintah meninggalkan tidak secara pasti, maka dinamakan khilaf al-aula.
. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratu al-sadidatu hal
50. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[7] Syaih al- islam Abi Yahya Zakaria Al- anshori Al- syafii Goyatu al-ushul hal 6.
Maktabah Al- haramain
[8] Seperti masuknya waktu, menjadi sebab mwajibnya shalat, ketika waktu tiba maka
diwajibkan shalat, ketika waktu belum tiba maka tidak ada hukum wajib shalat.Hasan bin
ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratu al-sadidatu hal 51. Maktabah darul
ulumilislamiyyah
[9]Seperti suci menjadi syarat untuk shalat, ketika tidak suci maka shalat tidak
dilaksanakan, dan suci iti sendiri tidak menetapkan shalat dengan sendirinya, melainkan
tergantung pada terpenuhinya syarat lainnya, dan ketidak suci tikak mentiadakan dangan
sendirinya, melainkan turkadang disebabkan tidak sempurnanya syarat lain atau adanya
mani. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratu al-sadidatu hal
52. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[10]Seperti haidl, sebagai mani (penghalang) dari wajibnya shalat, maka ketika haidl
tidak ada , maka diwajibkan shalat, tetapi bukan karna haidl itu sendiri, terkadang shalat tidak
dilaksanakan sebab sempurnanya beberapa syarat wajib. Hasan bin ahmad bin muhammad
bin salim al kaf Al-taqriratu al-sadidatu hal 52. Maktabah darul ulumilislamiyyah
BERSUCI
K
ita tahu, setiap manusia tidak nyaman dengan badan dan pakaian kotor ketika
berkumpul dengan orang lain. Sering kita jumpai seseorang yang berusaha tampil sempurna,
apalagi masalah penampilan. Sebagai agama yang suci, Islam sangat memperhatikan
kebersihan ummatnya, baik jasmani maupun rohaninya. Karena kotoran merupakan sumber
dari segala jenis penyakit, dalam rangka mengantisipasi wabah penyakit, ummatnya dituntut
untuk selalu menjaga kebersihan. Sehingga tak berlebihan seandainya dalam mengemban
misi ini. Nabi bersabda
Semua hal ini sangat wajar, karna itu sebuah tabiat manusia, yang sesuai dengan
firman allah dalam surat Al-taubah ayat 108 :
Artinya : didalamnya Masjid Quba- ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.
Dan allah menyukai orang-orang yang bersih.[1]
Dan firman allah dalam surat Al-maidah ayat 6 :
Artinya : Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Allah hendak membersihkan
kamu.[2]
Dan juga selaras dengan hadits nabi Muhammad SAW :
. :
Artinya : kunci ibadah shalat adalah bersuci di riwayatkan oleh abu dawud, al-
turmudzi dan lainnya.[3]
Dan hadist nabi :
Artinya : islam itu agama bersih, maka jagalah kebersihan (kesucian) karena
sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersih.[4]
Secara global, sesungguhnya bersuci hukumnya wajib secara syara maupun aqli.
Thoharoh secara etimology adalah bersih- bersih dan murni dari kotoran- kotoran
yang terlihat, seperti hadats[5] dan najis[6], maupun dari kotoran- kotoran yang tak terlihat,
seperti bangga diri, sombong, iri dan dengki. Sedangkan secara terminology adalah
mengerjakan hal- hal yang memperbolehkan seseorang untuk melakukan shalat atau ibadah
lain yang pelaksanaannya harus dalam keadaan suci, dengan menghilangkan hadats dan
najis atau menjalankan perbuatan yang semakna dengannya atau menjalankan perbuatan
yang berbentuk serupa. Pengertian semacam ini selaras dengan Imam Nawawi[7] yang telah
memperinci sebagai berikut :
Menghilangkan hadats, meliputi : wudlu untuk melaksanakan shalat, mandi
junub.
Menghilangkan najis, meliputi : istinjak dengan air, mencuci pakaian yang
terkena najis.
Perbuatan yang searti dengan menghilangkan hadats, meliputi : tayammum,
wudlunya orang yang punya halangan seperti orang yang beser kencing. Perbuatan ini
dikatakan searti dengan menghilangkan hadats karena perbuatan semacam ini tidak dapat
menghilangkan hadats walaupun menempati posisi menghilangkan hadats.
Perbuatan yang searti dengan menghilangkan najis, meliputi : istinjak dengan
batu yang pada hakikatnya perbuatan ini tidak dapat menghilangkan najis secara utuh dengan
masih menyisakan bekas.[8]
Perbuatan yang bebentuk meng hilangkan hadats, meliputi : basuhan sunah,
wudlu yang di perbarui (mujaddad), basuhan ketiga dan kedua pada basuhan tangan dan
selainya, karna praktek ini tidak menghilangkan hadats hanya saja berbentuk seperti basuhan
yang pertama.
Perbuatan yang berbentuk menghilangkan najis, meliputi : basuhan kedua dan
ketiga dalam menghilangkan najis, karna praktek keduanya tidak menghilangkan najis hanya
saja berbentuk seperti basuhan pertama.
v Perabot bersuci.
Beberapa perkara yang menjadi alat bersuci ada 4[9]:
1) Air : ketika adanya air itu di hukumi suci mensucikan (). Air adalah asal dari
alat sesuci berdasarkan hadits yang diriwayatkan anas bin malik r.a :
) (
Yang artinya : Ketika ada a'robi dating kemasjid kemudian kencing di masjid para
shahabat mencegahnya, maka nabi mencegah para shahabat untuk melarangnya, maka
ketika a'robi selesai kencing nabi memerintah pada para shahabat untuk menyiram bekas
kencing dengan setimba air.[10]
2) Debu : ketika adanya debu suci mensucikan dan tidak tercampur dengan
apapun serta berdebu. Berdasarkan firman allah dalam surat al maidah ayat 6 :
Yang artinya : Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan ajnabi, lalu kamu tidak menemukan air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).
3) Samak (dibag) : ketika adanya samak dari perkara yang kesat dan dapat
menghilangkan sisa- sisa kotoran dari kulit. Berdasarkan Hadist dari Ibnu Abbas rasul
bersabda: ketika kulit bangkai disamak maka menjadi suci.[11]
4) Batu istinjak: ketika adanya batu tersebut keras, suci, dapat melepaskan
kotoran dan tidak di muliakan. Berdasarkan hadist riwayat Bukhori :
:
Artinya : lebih utama- utamanya air adalah air yang keluar dari sela-
sela jari nabi Muhammad SAW, air zamzam, air telaga kautsar,
kemudian air Sungai Nil di negara Mesir, dan yang terakhir semua air sungai yang ada di
bumi[3].
Kesemua jenis dan macam air yang ada telah di bagi oleh agama islam menjadi 4
hukum :
v Suci dan mensucikan pada yang lainya, air ini di namakan air mutlaq, dalam arti
air yang tidak terkait oleh suatu batasan (nama) yang menetap menurut orang yang ahli
dalam bidang air baik secara pandangan orang umum maupun secara kebiasaanya, maka air
ini tidak butuh pada batasan. Dari pengertian di atas air mutlaq juga mencakup air yang
mumpunyai batasan tidak tetap seperti air sumur, air laut, maka air ini di sebut juga air mutlaq
di karenakan batasan sumur dan laut tidak bersifat menetap. Air mutlaq ini menjadi penentu
sahnya bersuci baik kemutlakanya di ketahui secara jelas maupun Praduga[4], sesuai dengan
dalil yang menerangkan tayamum dalam Al Quran, Hadits dan kesepakatan Ulama[5]. Di
kecualikan dari air mutlaq yang sudah di terangkan di atas yaitu: perkara cair seperti cuka dan
perkara yang beku seperti debu dan batu
v Suci mensucikan akan tetapi makruh untuk di gunakan, air ini ada 4 macam:
1. Air musyammas[6], karena di hawatirkan menimbulkan penyakit baros (penyakit
kulit)
2. Air yang sangat panas, karena air semacam ini tidak masuk dalam pori pori secara
sempurna
3. Air yang sangat dingin, dengan alasan seperti air panas
4. Air dari tempat yang di benci Allah, dan air air yang di hasilkan dengan cara tidak
halal[7].
Kemakruhan air musyammas diatas tergantung pada sembilan syarat maka ketika
sembilan syarat tersebut tidak terkumpul semuanya maka kemakruhan pada hukum air
musyammas tesebut, dan sembilan syarat tersebut terkumpul dalam ungkapan sebagian
Ulama :
[1] Ayat ini menjadi dalil asal wajibnya thoharah dengan air, dan para ulama mujtahid
sepakat semua macam air, suci dan mensucikan kecuali air laut karena ada yang berbeda
pendapat. Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Maqoshid hlm,16 juz1,
Maktabah Al- Hidayah
[2] Salju adalah air yang turun dari langit dalam keadaan cair kemudian membeku di
sebabkan hawa dingin dari bumi. Embun adalah air yang turun dari langit dalam keadaan
beku seperti garam kemudian mencair sebab hawa panas dari bumi.
[3] At-taqrirotussadidah. hlm 57.
[4] Praduga yang di dahului penelitian, praduga semacam ini di pergunakan ketika
terjadi keserupaan antara air najis dan air suci. Minhajul qowim maa hawasyi al
madaniyah.hlm.13
[5] Kesepakatan Ulama dalam permasalahan sahnya bersuci hanya dengan air
mutlaq di tentang imam rofiI yang mengungkapan bahwa sesungguhnya air sari kurma suci
mensucikan dan menurut imam abu hanifah air sari kurma suci mensucikan ketika
kekurangan air dalam perjalanan. Pendapat imam rofiI ini di jawab oleh ulama ulama yang
lainya bahwa kasus di atas memang di perbolehkan ketika adanya kesulitan (darurat), maka
sebenarnya kasus di atas tidak keluar dari ijma (kesepakatan ulama) dan kasus ini sama hal
nya kasus bangkai yang di halalkan bagi orang yang dalan\m keadaan terpaksa. Sedangkan
ibnu abi laili tetap menolak pendapat ulama ulama yang hanya menghukumi air mutlaq
sebagai penentu sahnya bersuci, dengan berpendapat manghilangkan hadats, najis boleh
dengan semua perkara cair yang suci. Takrirotun nafisah minl hasiyah al kubro wa ghoiriha.
Hal 13.
[6] Air musyammas yaitu air yang di panaskan denag terik panas matahari sehingga
keluar atom atom dari tempat air tersebut yang tampak pada permukaan air, yang mana
tempat air tersebut terbuat dari logam. Hasyiyah baijuri. Hlm.54.
[7] Sebagian Ulama manambahkan wudlu dari air yang tenang dan wudlu dari sisa air
perempuan dikarnakan ada perhilafan pada hukum sahnya bersuci dengan air tersebut.
[8] Maka tidak ada hukum makruh ketika di gunakan pada mayat dan benda mati,
pendapat ini di ungkapkan oleh imam Ibnu hajar, sedangkan menurut imam Romli tidak ada
perbedaan antara mayat dan benda hidup dalam hukum makruh.
[9] Emas dan perak di kecualikan karna bersih dan jernihnya emas dan perak, maka
keduanya tidak mengeluarkan atom- atom dan juga bau busuk.
[10] Dikarenakan dampak matahari di selain daerah panas sangat lemah sekali, maka
tidak ada kemakruhan di selain daerah panas.
[11] Imam Syafii pada permasalahan air ini mengungkapkan pendapat yang sangat
mashur, aku tidak memakruhkan air musyammas (air yang di panaskan dengan terik
matahari) kecuali karna memandang sisi kesehatan.
[12] Dalam penggunaan air mustamal untuk bersuci para ulama berbeda pendapat
sehingga terjadi tiga pendapat, yaitu :
pendapat pertama tidak diperbolehkan menggunakan air mustamal disemua
keadaan, pendapat ini di ungkapkan oleh imam syafii dan imam abi hanifah.
Pendapat kedua menghukumi makruh menggunakan air mustamal besertaan
haram tayamum ketika ada air mustamal, pendapat ini di ungkapkan oleh imam malik dan
murid- muridnya.
Pendapat ketiga tidak membedakan antara air mustamal dam air muthlaq,
pendapat ini di ungkapkan oleh abu staur dan abu dawud dan murid- muridnya.
Dan imam abu yusuf berpendapat bahwa air mustamal hukumnya najis, tapi pendapat
ini lemah dan syadz. Bidayatul mujtahid wanihayatul maqosid, juz 1, hlm,20.
[13] Qurrotul ain bi fatawi ismail zain hlm.39
[14] Termasuk sesucinya anak kecil walaupun belum diwajibkan sesuci, dan sesucinya
kafir wanita untuk menghalalkan dirinya untuk suami muslim, walau sesucinya tidak di anggap
ibadah, dan wudlunya orang madzhab hanafi yang tanpa mewajibkan niat, walaupun
wudlunya tidak sah menurut syafiiyyah.
[15] Ketka tidak dapat di mungkinkan untuk terhindar dari percikan maka hukum
mustamal di ampuni.
[16] Ibnu muqri berkata : jumhur mewajibkan orang yang wudu untuk berniat igtirof
setelah membasuh wajah, dan bagi yang tidak berniat airnya menjadi mustamal. Imam syasyi
dan ibnu abdissalam mentiadakan niat tersebut, imam bagowi, ibnu ujail tidak memakai niat
tersebut. Imam gozali dan syaih abdullah bin umar bamakhromah mentiadakan kewajiban niat
igtirof, maka bagi orang alim tidak boleh memberatkan orang awam pada masalah akan tetapi
harus berfatwa bahwa tidak ada hukum wajib untuk niat igtirof.
[17] Pada permasalahan air seperti in para ulama berbeda pendapat semua ulama
berpendapat air tersebut suci, dan tidak mensucikan menurut imam malik dam imam syafii,
dan mensucikan menurut imam abi hanifah selagi perubahannya tidak dari
masakan. Bidayatul mujtahid wanihayatul maqoshid, juz1 hlm,19.
[18] Pada masalah ini ketika air yang terkena najis salah satu sifatnya tidak berubah ,
para ulama berbeda pendapat : satu pendapat menghukumi air tersebut suci baik air tersebut
banyak maupun sedikit, pendapat ini muncul dari salah satu riwayat dari imam malik, dan
ulama yang lain membedakan antara air sedikit dan air banyak dengan berpendapat ketika
air sedikit maka dihukumi najis, dan ketika air banyak tidak dihukumi najis, akan tetapi ulama
ulama tersebut berbeda pendapat dalam hal batasan air sedikit dan banyak, imam abu
hanifah berpendapat bahwa batasan banyak yaitu ketika air banyak sekali sekiranya ketika
salah satu sisinya digerakkan menimbulkan gelombang yang banyak dan sampai pada sisi
yang lainnya, dan imam syafii berpendapat bahwa batasan air banyak ketika mencapai dua
kulah sekiranya ada 500 rithl (250 kg/217 L), dan ada satu ulama yang berpendapat tidak ada
batasan dalam masalah ini akan tetapi ulamak tersebut berpendapat bahwa najis dapat
merubah hukum air sedikit walaupun salah satu sifatnya tidak berubah, pendapat ini juga di
riwayatkan dari imam malik, dan imam malik juga berpendapat sesungguhnya air ini makruh,
dari pendapat tersebut imam malik dalam masalah air sedikit yang kemasukan najis sedikit
mempunyai tiga riwayat pendapat, pendapat pertama sesungguhnya najis dapat merusak
hukum air sedikit pendapat kedua sesungguhnya najis tidak merubah air sedikit kecuali
ketika salah satu sifat air berubah, dan pendapat terakhir air sedikit yang terkena najis
sedikit hukumnya makruh. Bidayatul mujtahid wanihayatul maqoshid juz1 hlm,17.
[19] Adapun untuk mai (perkara cair seperti minyak) ketika kemasukan najis maka di
hukumi najis walaupun perkara cair tersebut banyak (lebih dari 2 kulah) dan tidak berubah.
[20] Menurut imam ibnu hajar dan imam romli air tersebut dihukumi suci mensucikan
ketika perubahannya hilang.
[21] Batasan mahshurat (terbatasi) yaitu : ketika hitungannya dapat terlihat mata,
maka ketika adanya orang lain yang serupa tidak mahshurat (terbatasi) maka menurut imam
ibnu hajar diperbolehkan menikahi salah satu yang ditetapkan tanpa ijtihad, dan menurut
imam ramli diperbolehkan tanpa ijtihad menetapkan ajnabi hingga berbilang yang mahsur
(terbatasi). Attaqriratussadidah hlm,71.
[22] Syarat ini husus untuk air suci ketika serupa dengan air yang mutanajis (terkena
najis) , dan ketika kedua air tersebut dikumpulkan mencapai dua kulah tanpa salah satu
sifatnya tidak berubah maka tidak wajib ijtihad akan tetapi di perbolehkan memilih antara
ijtihad dan mengumpulkan air, dan ketika air tersebut dikumpulkan tidak mencapai dua kulah
atau dikumpulkan mencapai dua kulah besertaan adanya perubahan pada salah satu sifatnya
maka wajib ijtihad. Attaqriratussadidah hlm.72
[23] Dan di perbolehkan menuang salah satunya. Attaqriratussadidah hlm,73.
[24] Dan shalat yang pertama juga dihukumi sah tanpa iadah, dan tidak boleh
melakukan sesuci dengan ijtihat yang awal karna rusaknya ijtihat awal ketika masuk waktu
shalat yang kedua, dan juga tidak boleh melakukan sesuci dengan ijtihad yang kedua karena
ketika melakukan sesuci dengan ijtihat yang kedua secara otomatis ijtihad yang pertama
menjadi rusak. Attaqriratussadidah hlm,73.
HUKUM- HUKUM AANIAH
Aaniah jama dari lafadz inaain, awaani jama dari lafadz aaniah, sedangkan yang
dikehendaki dengan aaniah yaitu : setiap perkara yang mempunyai ruang kosong walaupun
kecil, atau setiap perkara yang dapat memindah sesuatu dari satu tempat ketempat lain.[1]
( :
)
Yang artinya : aku mendengar Rasullah SAW berkata : janganlah kalian semua
memakai sutra dan jangan jadi penjual sutra dan janganlah kalian meminum dari tempat yang
terbuat dari emas dan perak karena tempat tersebut disediakan untuk orang kafir didunia dan
untuk kalian diakhirat riwayat imam bukhori dan muslim[2].
HUKUM SIWAK
Bab ini juga dinamakan dengan bab merawat fitrah (tubuh), dan bab ini
dinamakan bab hukum siwak karena pembahasan siwak lebih dominan dibanding
pembahasan lainnya. Pada bab ini mempunyai beberapa pembahasan sebagai berikut :
Pembahasan pertama tentang siwak.
Menurut etimologi berarti menggosok, sedangkan siwak menurut terminologi berarti
menggosok gigi dan sekitarnya menggunakan setiap perkara yang kasar.
Siwak dilakukan atas dasar hadist nabi :
) ( ) ( :
Yang artinya : kalau aku tidak memberatkan ummatku aku perintahkan mereka untuk
bersiwak setiap akan melaksanakan shalat dan di riwayat lain setiap berwudlu.[1]
Dan nabi juga berkata :
)) ((
Yang artinya : siwak mensucikan mulut, mendatangkan ridlo allah, dan menerangkan
penglihatan.[2]
Dan hadist nabi :
)) ((
Yang artinya : shalat dua rokaat besertaan bersiwak lebih baik dari shalat tuju puluh
rokaat tanpa bersiwak.[3]
Dan hadist nabi :
)) ((
Yang artinya : keutamaan shalat besertaan bersiwak dengan yang tanpa bersiwak itu
terpaut tujupuluh ganda.[4]
[1] Diriwayatkan imam bukhori dibab jumat, dan imam muslim dibab thoharah. Hasan
bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 74. Maktabah darul
ulumilislamiyyah
[2] Imam bukhori menuturkan hadist in di bab puasa, dan imam nasai dikitabnya di bab
thoharah bagian siwak. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-
taqriratussadidatu hal 74. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[3] Diriwayatkan oleh abu naim pada bab hilyah dan oleh daruquthni, dengan rowi-
rowi yang kuat, kasyful khofa juz1 hlm,434.
[4] Diriwayatkan oleh imam ahamad dikitabnya juz6 hlm 272.
[5] Syaih ibrahim al bajuri Hasyiah bajuri juz1 hlm, 44. Maktabah Syaih muhammad bin
ahmad nabhan wa auladuhu.
[6] Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal
75. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[7] Syaih ibrahim al bajuri Hasyiah bajuri juz1 hlm, 44. Maktabah Syaih muhammad bin
ahmad nabhan wa auladuhu
[8] Al- Syihab Ahmad bin hajar al- haitami Minhajul qowim ma chawasyi al-
madaniyyah juz1 hlm,72. Maktabah al- haromain.
[9] Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan imam bukhari :
Yang artinya : siwak terakhir yang di gunakan bersiwak nabi ketika hendak wafat
terbuat dari pelapah kurma yang belum di tumbuhi daun kurma. Hasan bin ahmad bin
muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 76. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[10] Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan imam daruqutni :
Yang artinya kurang lebih : siwak kayu zaitun dari pohon yang penuh berkah itu
membuat bau mulut wangi dan mencegah timbulnya lobang gigi, dan ini siwak yang aku pakai
dan telah di pakai nabi- nabi sebelumku. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf
Al-taqriratussadidatu hal 76. Maktabah darul ulumilislamiyyah.
[11] Karena ada yang berpendapat kayu tersebut dapat menim bulkan penyakit
judzam (jenis penyakit lepra). Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-
taqriratussadidatu hal 76. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[12]Menurut al- Syaikh muhammad hanafi siwak jenis ini ada pada urutan yang paling
utama dengan alasan jens ini lebih kuat dalam menggilangkan perubahan bau yg terjadi pada
mulut. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 77.
Maktabah darul ulumilislamiyyah.
[13] Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 77.
Maktabah darul ulumilislamiyyah.
[14] Rasulullah tidak mengajarkan secara memanjang (membujur) pada gigi karena
dapat menimbulkan gusi berdarah. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-
taqriratussadidatu hal 77. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[15] Laki- laki disunahkan dengan cara mencukur dikarenakan dengan mencukur
dapat menguatkan syahwat maka laki- laki lebih berhak karena syahwat laki- laki lemah, dan
mencabut dapat melemahkan syahwat, maka perempuan lebih berhak karena syahwat
perempuan sangat kuat, bagi perempuan mencabut rambut dibagian bawah perut bisa
menjadi wajib ketika mendapat perintah dari suami. Syaih ibrahim al bajuri Hasyiah bajuri juz1
hlm, 222. Maktabah Syaih muhammad bin ahmad nabhan wa auladuhu.
[16]Hukum ini menurut Imam al- Syafii dan Imam Hambali, sedangkan menurut Imam
Hanafi dan Imam Malik khitan hukumnya sunah baik bagi laki- laki maupun perempuan, dan
ada satu pendapat lemah dan syad yang diceritakan oleh imam rofii bahwa khitan wajib bagi
laki- laki dan sunah bagi perempuan. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-
taqriratussadidatu hal 79. Maktabah darul ulumilislamiyyah.
[17] Bernama lengkap Abu yahya Zakaria al- Anshori (841-925/826-926 H) karya-
karya beliau antara lain syarah Ar-Roudl (fiqih), Lubbul Ushul beserta syarahnya ( ushul fiqih )
dan lain- lain.
[18] Ibnu Hajar Al- Haitami (909-973 H), bernama lengkap Syihabuddin Ahmad bin
Ahmad bin Hajar Al- Haitami, Al- Haitami merupakan julukan yang di nisbatkan pada sebuah
desa di mesir. Termasuk karya beliau yang terkenal adalah Al- Imdad, Fathul Jawad (syarah
Al- Irsyad) dan Tuhfatul Muhtaj syarah Al- Minhaj.
[19]Al- Ramli mempunyai nama lengkap Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad Ar-
Ramli (919-1004 H), beliau terkenal dengan julukan Syafii shogir karena sangat jenius dalam
bidang fiqih, termasuk karya- karya beliau : Nihayaul Muhtaj, Goyatul Bayan (syarah nadzom
Az- Zubad) dan lain- lain.
[20] Bernama Muhammad As- Syrbini Al- Khatib (-977 H).
[21]Ar- Ramli dalam kitab Al- Nihayah menerangkan bahwa makruh mencabutti uban
yang berada pada tempat (kondisi) yang tidak di anjurkan untuk di cabut, dan sunnah untuk
menyemir uban dengan semir merah dan lainnya selain hitam, dan haram bagi perempuan
menyambung rambut kepala dengan rambut manusia secara muthlaq baik di izini suami
maupun tidak baik dengan potongan rambutnya sendiri maupun rambut orang lain, baik
rambut suci maupun najis, dan haram juga menyambung dengan rambut najis seperti rambut
dari bangkai kuda baik mendapat izin suami maupun tidak. Dan untuk penyambungan dengan
rambut suci selain dari manusia hukumnya halal ketika mendapatkan izin dari suami dan
haram jika tidak ada izin. As- Syaih Muhammad Nawawi, Mirqotu shuuduttashdiiq hal 79.
Maktabah Al- Haromain.
Wudlu
Wudlu menurut etimologi : membasuh sebagian anggota tubuh, di ambil dari
kata wadlooah yang mempunya arti kebagusan dan keindahan, sedangkan menurut
terminologi : membasuh anggota tubuh secara tertentu besertaan niat dan dilakukan dengan
cara yang tertentu.
Dalam bahsa arab kata wudlu juga bisa di baca wadlu dengan berbedanya
arti, wudlu berarti nama pekerjaan seperti arti diatas, wadlu berati sebuah nama air yang di
sediakan untuk berwudlu. Para ulama- ulama salaf (terdahulu) menerangkan wudlu pada
awal inti pembahasan karena adanya keutamaan dalam berwudlu, sesuai hadis Nabi :
) ( :
Yang artinya : seorang hamba tidak akan menyempurnakan wudlu kecuali diampuni
dosa- dosanya yang sudah terlewati dan yang akan datang.
Dan beliau Nabi berkata :
) (
Yang artinya : shalat adalah sebaik- baiknya perkara, dan tidak ada yang menjaga
kesempurnaan wudlu kecuali seorang mumin.
Dan beliau Nabi juga berkata :
Yang artinya : barang siapa menyempurnakan wudlu maka keluarlah semua
kesalahannya dari tubuhnya hingga keluar dari kuku- kukunya.
Tentang perkara yang mewajibkan berwudlu di kalangan para ulama berbeda
pendapat antara hadats dan melaksanakan shalat, menurut pendapat yang kuat, yang
mewajibkan wudlu adalah hadats sedangkan menjalankan shalat hanya sebuah syarat untuk
segera melaksanakan wudlu.
a. Menghadap kiblat.
b. Melakukan wudlu dengan cara duduk.
c. Tidak mengibaskan air wudlu.
d. Tidak berlebihan dalam menuangkan air.
e. Tidak berbicara ketika wudlu masih berlangsung.
f. Memposisikan tempat air seperti bak di sisi kanan[21] dan ketika tempat airnya
seperti kendi maka di posisikan di kiri.[22]
g. Tidak menamparkan air kewajah.
h. Duduk di tempat yang terhindar dari percikan air.
i. Tidak meminta bantuan orang lain ketika menuangkan air, kecuali dalm keadaan
udzur (darurat)[23]
j. Tidak mengelap air wudlu kecuali orang dalam keadaan darurat (hajat).
k. Tidak mengulang- ulang lebih dari tiga kali.
l. Air wudlu tidak kurang dari satu mud (kurang lebih 6 ons )
m. Mertakan niat sampai akhir wudlu[24]
Dan disunnahkan berwudlu ketika bangun tidur, membaca al- quran, menghadiri
majelis ilmu dan dzikir dan ketika ziarah qubur, serta ketika melanggengkan kesucian.
[1]Mempunyai arti seperti keterangan diatas, dan bertempat di hati, di hukumi wajib,
bertujuan untuk membedakan ibadah dari pengadatan (kebiasaan), dan disyaratkan orang
yang berniat harus islam, tamyiz, mengetahui apa yang diniati, dan tidak adanya
ketergantungan, dan waktunya niat di awal ibadah kecuali puasa. Al- Syaikh Muhammad
Amin Al- Kurdi, Tanwirul Qulub,hlm127. Maktabah Darul Fikr.
[2] Dalam permasalahan niat ini, para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang
keberadaan niat sebagai kewajiban wudlu, setelah adanya kesepakatan bahwa niat suatu
syarat (fardlu) dalam ibadah, berdasarkan firman allah :
[3]Rambut yang tumbuh dibatas wajah kesemuanya ada duapuluh, dengan urutan :
1,2 hajibaan yaitu rambut yang tumbuh diatas kedua mata. 3,4 adzaraan yaitu rambut yang
tumbuhnya mengiringi telinga diantara pelipis dan godek. 5,6,7,8 ahdab yaitu rambut yang
tumbuh di pelupuk mata. 9,10 aridoon yaitu rambut yang tumbuh sejajar dengan telinga dan
menurun hingga kejanggut. 11,12 khadan yaitu rambut yang tumbuh di pipi.13 syaarib yaitu
rambut yang tumbuh di bibir atas (kumis). 14,15 sibaalan yaitu rambut yang tumbuh di kiri
kanan syaarib (kumis). 16 anfaqah yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah.
17,18 nafkataan yaitu rambut yang tumbuh di kiri kanan anfaqah. 19 lihyah yaitu rambut
jenggot. 20 gomam yaitu rambut yang tumbuh di kening. Hasan bin ahmad bin muhammad
bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 84. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[4] Para ulama mujtahid sepakat bahwa kedua tangan termasuk anggota wudlu yang
wajib dibasuh, akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah kedua siku termasuk atau tidak.
Mayoritas ulama, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii mengungkapkan bahwa
kedua siku termasuk anggota yang wajib terbasuh, dan Imam At- Thabari, sebagian ahli
dhahir, dan sebagian murid Imam Malik berpendapat bahwa kedua siku tidak termasuk
anggota yang wajib dibasuh. Perbedaan ini disebabkan berbedanya tinjauan huruf ilaa yang
ada pada ayat wudlu ilaal maraafiqi (al- maidaah ayat 6) yang di gramatika arap mempunyai
banyak mana. Pendapat yang mengakatan siku termasuk anggota mengarahkan huruf ilaa
tersebut pada mana maa (besertaan), sedangkan yang tidak memasukkan kedua siku
memanai huruf ilaa trsebut dengan mana goyah (batas akhir). Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi,
Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,8 juz1, Maktabah Al- Hidayah.
[5]Sesuai dengan qaidah fiqih :
sesuatu yang menjadi penentu wajib hukumnya juga wajib Hasan bin ahmad bin
muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 85. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[6]Pada permasalahan ini ulama sepakat bahwa mengusap kepala bagian dari fardlu
wudlu akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang batasan (ukuran) yang diusap.
Imam Malik berpendapat bahwa wajib mengusap keseluruhan dari kepala. Sedangkan Imam
Syafii, sebagian murid Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wajibnya
mengusap hanya pada sebagian kepala, untuk pendapat ini sebagian murid Imam Malik ada
dua pendapat tentang batasan sebagian kepala, pendapat pertama mengungangkapkan
pengusapannya harus mencapai sepertiga kepala, pendapat kedua mengharuskan mengusap
mencapai dua pertiga kepala, dan Imam Abu Hanifah membatasi dengan minimal mencapai
seperempat kepala, dan Imam Syafii tidak membatasi sehingga mengusap satu rambut
kepala dianggap cukup. Perbedaan ini disebabkan berbeda- bedanya tinjauan tentang huruf
ba yang berada pada ayat wudlu biruusikum (al- maidaah ayat 6) yang pada gramatika arab
mempunyai banyak ma'na. Pendapat yang mewajibkan mengusap secara keseluruhan
memandang bahwa huruf ba di ayat tersebut huruf zaidah (tambahan) yang hanya berfaidah
memperkuat mana, dan pendapat yang hanya mewajibkan mengusap sebagian memandang
bahwa huruf ba di ayat tersebut huruf mubaidoh (pembagi) yang mempunyai mana
sebagian. Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,8-9
juz1, Maktabah Al- Hidayah.
[7]Syarat ini hanya berlaku untuk rambut, sedangkan untuk kulit walaupun kulit kepala
tersebut memanjang sampai keluar dari batas kepala tetap dihukumi sah bila hanya
membasuh kulit tersebut . As- Syaih Muhammad Nawawi Al- Jawi, Mirqotu shuuduttashdiiq
hal 20. Maktabah Al- Haromain.
[8] Batasan rambut kepala, rambut depan dikatakan keluar ketika panjangnya sampai
menutupi wajah, rambut samping dikatakan keluar ketika panjangnya sampai kepundak,
rambut belakang dikatakan keluar ketika panjangnya sampai ketengkuk. As- Syaih
Muhammad Nawawi Al- Jawi Tsamarul yaniati fi Riyadlil Badiiah hlm,21, Maktabah Nurul
Huda Surabaya.
[9]Pada permasalahan ini para ulama sepakat bahwa kaki bagian dari anggot wudlu
akan tetapi para ulama berbeda pendapat pada cara penyuciannya, sebagian berpendapat
penyucian kaki wajib dengan cara dibasuh, ini pendapat jumhurul ulama (mayoritas ulama),
dan ada yang berpendapat penyuciannya dengan cara diusap, dan ulam yang lainnya
berpendapat boleh dengan cara di basuh ataupun di usap. Perbedaan pendapat ini terjadi
karena adanya dua pembacaan yang sangat masyhur pada ayat wudlu ( al- maidah ayat 6)
pembacaan pertama membaca wa arjulakum (terbaca nasab dlm bahasa nahwunya)
menimbulkan hukum wajib dengan cara membasuh karena mengikut (athaf dlm bahasa
nahwunya) pada lafad aidiyakum, dan pembacaan kedua membaca wa arjulikum (terbaca jer
dlm bahasa nahwunya) menimbulkan hukum wajib dengan cara mengusap karena mengikut
(athaf dlm bahasa nahwunya) pada lafadz biruusikum. Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi,
Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,10 juz1, Maktabah Al- Hidayah
[10] Sesuai dengan qaidah fiqih :
sesuatu yang menjadi penentu wajib hukumnya juga wajib Hasan bin ahmad bin
muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 85. Maktabah darul ulumilislamiyyah
[11]Pada permasalahan tartib para ulama mujtahid berbeda pendapat, sebagian
mereka ada yang berpendapat bahwa tartib dalam wudlu hukumnya sunah, pendapat ini di
ungkapkan oleh ulama era akhir dari golongan madzhab maliki, dan pendapat ini juga di
pakai Imam Abu Hanifah, At- Tsauri dan Dawud, sedangkan sebagian lain berpendapat
bahwa tartib hukumnya wajib pendapat ini diungkapkan oleh Imam Syafii , Ahmad dan Imam
Abuubaid. Perbedaan pendapat ini timbul disebabkan oleh dua perkara yang pertama sebab
berbedanya tinjauan wawu athaf yang ada pada ayat enam surat al- maidah, apakah
menunjukkan faidah tartib atau muthlaqnya berkumpul, dan yang kedua sebab berbedanya
tinjauan peraktek nabi, apakah menimbulkan hukum wajib atau sunah.
Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin
Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,12 juz1,
Maktabah Al- Hidayah.
[12]Fardlu ini wajib dilakukan pada setiap wudlu kecuali wudlu dengan cara menyelam
kedalam air walaupun sebentar besertaan niat wudlu, menurut pendapat yang kuat dari Imam
An- Nawawi tidak wajib tertib dikarenakan dengan menyelam sudah terjadi tartib yang tidak
bisa terlihat mata, sedangkan menurut Imam Rofii ketika menyelam wajib berhenti didalam air
dalam waktu kira- kira cukup untuk tartib.
Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 85.
Maktabah darul ulumil islamiyyah.
[13]Para ulama berbeda pendapat tentang peletakan bersiwak antara sebagai awal
kesunahan wudlu atau tidak. Menurut mayoritas Ashhab Syafii dan Imam An- Nawawi
bersiwak bukanlah awal dari sunah wudlu melainkan bismilah dan berniat sebagai awal sunah
wudlu, dan menurut golongan ulamamutaqoddimin, Imam Gozali, Al- Mawardi, Al- Qofal, Al-
Faqih Bafadlol Al- Hadlromi dengan mewajibkan berniat siwak untuk kesunahan wudlu. Dan
menurt pendapat yang dibuat pegagang ( mutamad) bersiwak berada setelah membasuh
kedua telapak tangan, sebelum madlmadloh, praktek ini seperti yang diungkapkan mayoritas
ashhab Syafii dan An- Nawawi yang mana praktek ini tidak diharuskan disertai niat bersiwak
untuk sunnah wudlu. Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al- Haitami, Minhajul Qowim hlm11-12.
Maktabah Al- Hidayah. Zainuddin bin Abdul Aziz Al- Malibari, Fathul Muin Hamisy Tarsyihul
Mustafidin hlm 19. Maktabah Al- Haromain. Muhammad bin Sulaiman Al- Kurdi, Al- Hawasyi
Al- Madaniyyah hlm71-72 juz1. Maktabah Al- Haromain.
[14]Ketika dilakukan dengan cara menyelamkan kedua telapak tangan keair yang
kurang dari dua qulah mempunyai tiga perincian hukum. Hukum pertama tidak di makruhkan
(mubah) ketika diyakini kedua telapak tangan suci, hukum kedua makruh ketika kesucian
kedua telapak tangan diragukan, hukum yang terahir haram ketika diyakini kedua telapak
tangan najis. Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 86.
Maktabah darul ulumil ilamiyyah
[15]Para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan madlmadloh dan istinsyaq
hingga ada tiga pendapat. Pendapat pertama mengungkapkan bahwa keduanya sebagai
sunah wudlu, pendapat ini diungkapkan oleh Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Abu
Hanifah. Pendapat kedua menyatakan bahwa keduanya sebagai fardlu wudlu, pendapat ini
diungkapkan oleh Ibnu Abi Laili, dan ashabnya (murid) dawud. Pendapat terakhir menyatakan
bahwa istinsyaq termasuk fardlu wudlu dan madlmadloh termasuk sunah wudlu, pendapat ini
dipakai oleh Abu tsaur Abu Ubaidah dan ulama ali dhahir. Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi,
Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,7 juz1, Maktabah Al- Hidayah.
[16]Parau ulama berbada pendapat tentang mengusap kedua telinga apakah fardlu
atau sunah, dan apakah harus menggunakan air baru untuk mngusapnya atau tidak.
Sebagian ulama mengatakan bahwa mengusap kedua telinga hukumnya fardlu dan harus
dengan air yang baru (belum mustamal), pendapat ini diungkapkan oleh murid- murid Imam
Malik dikarenakan dalam faham madzhab Imam Malik kedua telinga termasuk bagian dari
kepala, dan pendapat ini juga digunakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid- muridnya
besertaan tidak mewajibkan menggunakan air baru. Sedangkan Imam Syafii berpendapat
bahwa mengusap kedua telinga hukumnya sunah, dan ini juga di pakai oleh sebagian murid
Imam Malik.
Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin
Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,10 juz1,
Maktabah Al- Hidayah.
[17]Peraktek ini menurut Ar- Ramli, sedangkan menurut Ibnu Hajar secara muthlaq
baik dilakukan sendiri maupun dibantu orang lain membasuh kedua tangan dan kaki dimulai
dari jari- jari. . Hasan bin ahmad bin muhammad bin salim al kaf Al-taqriratussadidatu hal 89.
Maktabah darul ulumil islamiyyah
[18] Para ulama berbeda pendapat menyikapi apakah mualah termasuk kewajiban
dalam wudlu apa tidak. Imam Malik berpendapat bahwa mualah wajib dilakukan bagi orang
yang ingat dan mampu melaksanakannya, dan bagi yang lupa dan bagi yang ingat tapi tidak
mampu maka tidak wajib. Sedangkan pendapat lain menya takan bahwa mualah bukan
termasuk kewajiban melainkan hanya kesunahan, pendapat ini di ungkapkan oleh Imam
Syafii dan Imam Abu Hanifah. Perbedaan ini di timbulkan oleh berbedanya tinjauan huruf
wawu yang ada di ayat wudlu (al- Maidah ayat 6).
Al- Imam Al- Qodhi Abulwalid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin
Rusydi Al- Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hlm,12 juz1,
Maktabah Al- Hidayah.