Anda di halaman 1dari 12

TALFIQ ANTARMADZHAB DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM

Abdul Mufid
STAI Khozinatul Ulum Blora Jawa Tengah
E-mail : Ovied2012@gmail.com

Abstrak
Selama ini masalah bermadzhad dan talfiq masih belum jelas statusnya; apakah ada talfiq
(dalam diskursus hukum Islam) ataukah tidak. Sebagian kalangan menganggap talfiq
bagi orang yang mengambil pendapat dari banyak ulama dalam satu masalah kemudian
meramunya. Ada pula kalangan lain yang mengatakan hal itu tidak dianggap talfiq. Lalu
pertanyaannya; bagaimana sebenarnya masalah bermadzhab dalam fiqh dan talfiq ini?
Apakah ia benar-benar ada dalam hukum Islam? Tulisan ini mengupas tentang hukum
bermadzhab dan talfiq antarmadzhab. Pembahasan ini penting untuk memperjelas status
hukum bermadzhab dan talfiq dalam hukum Islam, sehingga tidak membingungkan
masyarakat. Selain itu masyarakat akan mempunyai pegangan yang jelas dalam
bermadzhab dan bertalfiq. Kajian ini berdasarkan kajian kepustakaan dengan pendekatan
ushul fiqh. Berdasarkan kajian penulis, dapat disimpulkan bahwa orang yang
mempunyai kemampuan berijtihad untuk menememukan hukum tidak diperkenankan
bermadzhab atau mengikuti mujtahid tertentu pada tataran produk, pada tataran Fiqh
atau bertaqlid. Bermadzhab pada tataran produk diperbolehkan, bahkan diharuskan hanya
terbatas untuk orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk melaksanakan ijtihad.
Mengenai talf(q, hal ini perbolehkan apabila dalam situsi dan kondisi tertentu yang
menuntut seseorang untuk menggabungkan dua madzhab atau pendapat ulama atau
lebih. Talfiq diperbolehkan dengan bersyarat.

Kata kunci : Bermadzhab, talfiq, fiqh dan hukum

Abstract
Following doctrine (madzhab) and talfiq have been unclear status; whether there is a
talfiq (in the discourse of Islamic law) or not. Some consider that talfiq is for people who
take the opinion of many scholars in one issue and then assemble them. There are also
some others who say that it is not considered as talfiq. Then the question is how exactly
the problem of following madzhab in fiqh and talfiq? Does it really exist in Islamic law?
This paper is peeling on the law of following madzhab and talfiq inter madzhab. This
discussion is important to clarify the legal status of bermadzhab and talfiq in Islamic law,
so that it does not confuse the public. Besides, communities will have a clear position in
following madzhab and doin gtalfiq. The review was based on the study of librarianship
with the approach of the Usul fiqh. Based on studies of the author, it can be concluded
that the person who has the ijtihad ability to discover law is not allowed to follow certain
landscape product of mujtahid, in Fiqh or taqlid. following madzhab in products is
allowed, even required but limited to people who do not have the capacity to carry out
ijtihad. Regarding talfiq, it is allowed in certain circumstances and situations which sue
someone for two madzhabs or ulama‟s opinions or more. Talfiq is allowed with
conditional.

Keywords : following madzhab, talfiq, fiqh and law


Pendahuluan
Islam diturunkan Allah swt untuk umat manusia yang mempunyai
tujuan utama mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia memuat ketetapan-

1
ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun
suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Ali, 2000: 41).
Ketentuan-ketentuan itu selanjutnya disebut dengan syari‟ah (Islamic law)1, yang
memuat 3 (tiga) hal, yaitu al-aħkâm al-i‟tiqâdiyyah2, al-aħkâm al-wujdâniyyah3, dan
al-aħkâm al-„amaliyyah4 (Khalil, tt: 9).
Hasil pemahaman tentang al-aħkâm al-„amaliyyah disusun secara sistematis
dalam kitab-kitab fikih dan disebut hukum fikih. Sebagai hukum yang
diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan konkrit, hukum fikih mungkin
berubah dari masa ke masa dan mungkin juga berbeda dari satu tempat ke
tempat lain. Ini sesuai dengan ketentuan yang disebut dengan kaidah fiqhiyah
yang berbunyi:
5
‫ال ينكر تغري األحكام بتغري الزمان واملكان‬
Seiring dengan perkembangan zaman dan penyebaran Islam ke
berbagai wilayah, maka hal tersebut berpengaruh terhadap interpretasi teks.
Interpretasi ayat dan hadis berkembang sesuai dengan konteks sosio-kultural
masyarakat dan perkembangan waktu. Hal ini berimplikasi juga pada metode
penemuan hukum dari teks yang kemudian dirumuskan dalam bentuk fiqh.
Masing-masing ulama dari suatu daerah mempunyai metode dan karakteristik
dalam berijtihad dalam menemukan hukum. Metode ijtihad dengan produk
fiqhnya inilah yang memunculkan istilah madzhab fiqh.
Fiqh Imam madzhab berarti suatu aturan furu‟ yang merupakan hasil
ijtihad oleh imam madzhab. Madzhab yang paling “menghegemoni” dalam
khazanah hukum Islam adalah empat madzhab, Imam Malik, Imam Hanafi,
Imam Sya>fi‟i> dan Imam Hanbali. Masing-masing imam madzhab mempunyai
karakteristik dan metode yang berbeda dalam melakukan ijtihad, sehingga juga
berpengaruh pada perbedaan produk ijtihadnya yang bersifat furu‟.6 Jadi, fiqh
madzhab pada tataran furu‟ merupakan suatu produk pemikiran, bukan metode.
Islam pada dasarnya tidak mengenal ajaran bermadzhab. Namun
demikian, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, dalam menjalankan syariat
Islam, khususnya pada tataran fiqh, umat Islam secara tidak terorganisir telah
mengikuti pendapat tokoh tertentu. Tradisi ini telah ada sejak masa sahabat. Hal
ini bisa dilihat dengan munculnya istilah madzhab „Aisyah, Ra., madzhab
Abdullah bin „Umar, madzhab Abdullah bin Mas‟ud dan seterusnya. Sementara
pada masa tabi‟in muncul tujuh madzhab ulama Madinah yang sangat Mashur,
yaitu Sa‟i>d bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, al-Qa>sim bin Muh}ammad,
Khorijah bin Zaid, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Haris} bin Hisya>m,

1
Secara etimologis, syari’ah berarti jalan yang lurus. Sedangkan secara terminologis ia berarti
hukum-hukum Allah yang ditujukan kepada hambanya melalui perantara Rasul-Nya (Khalil, tt: 8).
2
Al-ahkâm al-i’tiqâdiyyah yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan keyakinan seperti
iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Hari akhir, dll. Semua ini dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid.
3
Al-ahkâm al-wujdâniyyah adalah yang berhubungan dengan akhlak, seperi zuhud, sabar, ridha, dll.
yang dibahas dalam ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu akhlaq atau ilmu tasawuf.
4
Al-ahkâm al-‘amaliyyah adalah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang, seperti shalat,
puasa, jual beli, zakat, dll yang menjadi objek bahasan ilmu fikih.
5
Ahmad Musthafa al-Zarqa, Syarh al-Qawâid al-Fiqhiyah, (CD al-Maktabah al-Sya>milah al-
Is}da>r al-S}a>ni>, 2005), II/129.
6
Realitas sosial menjadi salah satu faktor perbedaan metode dan corak ijtihad ulama madzhab dan
hasilnya. Imam Syafi’i misalnya, pada mulanya ketika berada di Hijaz dan Irak telah mengeluarkan hasil
ijtihad beliau yang sering disebutnya dengan qaul qadi>m. Qaul qadi>m ini dipengaruhi oleh kondisi sosial
budaya negeri Hijaz dan Irak. Kemudian ketika beliau hijrah ke Mesir, beliau mendapati bahwa realitas sosial
budaya masyarakat Mesir berbeda dengan Hijaz dan Irak, karena Mesir dipengaruhi Budaya Eropa dan
Romawi. Sehingga beliau mengeluarkan istihad baru yang biasa disebut qaul jadi>d.

2
Sulaima>n bin Yasa>r, dan Ubaidillah bin Abdullah bin „Utbah bin Mas‟u>d.
Selain itu, juga ada madzhab Na>fi‟ Maula Abdullah bin Umar. Sementara di
Kufah muncul madzhab „Alqomah bin Mas‟ud, Ibrahim al-Nakha‟i, Syaikh
Hammad bin Abi Sulaiman, Syaikh Abu Hanifah. Sementara dari Bashrah
muncul madzhab Hasan al-Bashri. Madzhab lain yang muncul pada masa tabi‟in
antara lain madzhab „Ikrimah Maula Ibni „Abba>s, „Atha>‟ bin Abi Riba>h, T}aus
bin Kisan, Muh}ammad bin Siri>n, Masru>q bin al-A‟raj, „Alqamah al-Nakha‟i,
al-Syu‟ba, Syuraih, Sa‟i>d bin Jubair, Makhu>l al-Dimasyqi>, dan Abu Idris al-
Haulani.7
Tekad dan keyakinan seseorang untuk berpegang pada satu madzhab
tertentu tidak jarang tidak dapat dipertahankan secara konsisten karena kondisi
dan situasi tertentu. Seorang yang berpegang pada madzhab fiqh Syafi‟î suatu
saat karena alas an tertentu, atau bahkan dengan tanpa ada alasan
mencampurnya dengan ajaran madzhab Malikî, Hanafî atau Hanbalî. Ada pula
seseorang yang tidak berpegang pada madzhab tertentu, akan tetapi
menggunakan pendapat fiqh dari berbagai madzhab. Tindakan semacam ini
dalam khazanah ushul fiqh disebut dengan talfîq. Hal ini nampaknya menjadi
trend akahir-akhir ini di mana fanatisme bermadzhab telah mulai memudar
seiring dengan perkembangan zaman.
Lalu bagaimana status hukum talfiq dalam kajian hukum Islam?
Bagaimana landasan hukum talfiq? Tulisan ini membahas mengenai status
hukum dan syarat-syarat talfîq. Pembahasan dalam tulisan ini berdasarkan
kajian kepustakaan yang dianalisa secara deskriptif. Penulis juga menjelaskan
tentang bermadzhab dalam fiqh, hal ini sebagai titik tolak untuk berangkat
dalam membahas tentang talfiq.

Pembahasan
A. Bermadzhab dalam Fiqh
1. Konsep Dasar Bermadzhab
Kata madzhab berasal dari suku kata ‫ ذهة‬yang berarti pergi. Madzhab
adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut
sehingga bermakna:
‫الطريق ومكان الذهاب وزماوه‬
“Jalan atau tempat untuk berjalan, atau waktu untuk berjalan”.
Ahmad ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologi dari
madzhab adalah:8
‫محل الذهاب كالطريق المحسىسة‬
“Tempat untuk pergi seperti jalanan secara fisik”. Sedangkan menurut
istilah, madzhab adalah kumpulan hukum yang berisi masalah-masalah hukum.9
Sedangkan menurut az-Zarqani:10
‫ما ذهة إليه إمام مه األئمة فى األحكام اإلجتهادية‬
“Pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam dalam masalah yang
terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah”.
Menurut Sjechul Hadi Permono, anggapan madzhab sebagai rujukan
yang kaku, dan dijadikannya sebagai upaya pengidentitasan kelompok atau
golongan adalah amat keliru. Hal ini membawa kepada ta‟ashshub madzhab

7
Wah}bah al-Zuḥaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), I /27.
8
Ash-Shawi, Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Syarh ash-Shaghir li ad-Dardiri, jilid 1, h. 16.
9
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I, h. 28.
10
Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani ‘ala Syarh al-Qani, h. 133.

3
(fanatik faham dan fanatik golongan), serta membangkitkan asumsi
ketidakmungkinan untuk melakukan tajdid dan ijtihad dalam bidang fikih.11
Kata madzhab mempunyai dua arti:
a. Qaul (pendapat), yakni produk hukum seorang ahli
b. Manhaj (metode), yakni turuq al-istinbat, prosedur penetapan hukum dari
seorang mujtahid.
Sejarah menunjukkan bahwa para ulama pengarang kitab pada
umumnya bermadzhab dengan arti yang kedua (manhaj). Buktinya mereka
banyak menelorkan qaul (pendapat) yang tidak ditawarkan oleh imam-imam
madzhabnya, dan banyak aqwal (pendapat-pendapat) dari para imam dalam satu
madzhab yang saling silang pendapat. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka
hanya memakai manhajnya saja, tidak memakai qaul (produk hukum)-nya.
Tegasnya mereka hanya memakai ushul dan qawa‟id fiqhiyyah-nya saja, tidak
memakai fiqhnya. Bermadzhab dengan arti mengikuti manhaj justru merupakan
suatu aturan berpikir yang metodologis dan sistematis untuk mencapai suatu
kebenaran ilmiah. Hal itu karena sesuai dengan metode ilmiah. Tanpa itu
sesuatu yang dihasilkan tidak dapat dimasukkan dalam kategori kebenaran
ilmiah, karena tidak melalui metode ilmiah.12
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara/jalan tersebut
menjadi ciri khasnya. Maka makan, minum dan tidur bukan merupakan
madzhab bagi seseorang atau sekelompok orang. Menurut para ulama dan ahli
yang dinamakan madzhab adalah manhaj (metode) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya
menjadikan madzhab sebagai pedoman yang jelas batasanbatasannya, bagian-
bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.13
Berdasarkan pemaparan di atas, maka bermadzhab dalam fiqh dapat
diartikan sebagai tindakan seseorang untuk mengikuti pendapat ulama tertentu
dalam bidang fiqh atau furû‟. Dalam hal ini orang tersebut mengetahui dasar
pemikiran dan argument pendapat ulama yang diikuti tersebut. Bermadzhab
dengan tanpa mengetahui dasar-dasar atau argumentasi suatu putusan hukum
imam madzhab tersebut disebut taqlid. Berkaitan dengan bermadzhab atau
taqlid kepada ulama atau mujtahid tertentu memang tidak diatur dalam nas}s}
Sa‟i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i> dalam kitabnya “al-La Madzhabiyyah: Akht}aru
Bid‟atin Tuhaddidu al-Syari>‟ah al-Isla>miyah menyatakan bahwa tidak ada nas}s}
yang mengatur tentang taqlid. Namun demikian, taqlid disyariatkan dan
ditetapkan. Selain itu, bagi orang yang bertaqlid berhak dan boleh untuk
mengikuti madzhab tertentu.14

2. Asal-usul Bermadzhab
Pada periode Rasulullah tidak terjadi perbedaan pendapat dalam
memberikan keputusan hukum terhadap suatu peristiwa sebab standar
perundang-undangan masih satu. Pada masa ini seluruh jawaban untuk setiap
persoalan umat diserahkan kepada Rasul. Pada masa ini juga terjadi keputusan-

11
Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi,
2002, Surabaya: Demak Press, h. 32.
12
Ibid.
13
Dikutip oleh Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 5.
14
Ramad}a>n al-Bu>t}i>, al-Madzhabiyyah: Akht}aru Bid’atin Tuhaddidu al-Syari’ah al
Isla>miyyah, (Damaskus: Da>r al-Fa>ra>bi>, 2005), h. 95.

4
keputusan hukum yang bersifat ijtihadī yang dikeluarkan oleh para sahabat,
namun semuanya dikembalikan kepada Rasul untuk disahkan atau dikoreksi.
Akan tetapi, pada periode sahabat, setelah munculnya pemuka-pemuka
perundang-undangan di antara mereka, mulai timbullah perbedaan pendapat di
kalangan mereka, sehingga dalam menetapkan hukum terhadap satu kejadian
terdapat beberapa fatwa. Perbedaan pendapat ini terjadi sebab cara memahami
maksud masing-masing teks berbeda-beda akibat perbedaan tingkat kecerdasan
dan segi-segi tinjauannya, dan dalam soal sunnah. Kadang-kadang sebagian dari
mereka berpegang kepada sunnah dan yang lain tidak berpegang kepadanya,
sebab kepentingan-kepentingan yang harus dikeluarkan hukumnya pun
berbeda-beda ukurannya, akibat perbedaan lingkungan. pemuka-pemuka
perundangan itu sendiri. Fakta-fakta inilah yang menimbulkan perselisihan
pemberian fatwa dan ketentuan hukum walaupun mereka sependirian dalam
menetapkan sumber-sumber perundang-undangan dan urutan kembali mereka
kepadanya, serta dalam hal prinsip-prinsip hukum yang umum. Dengan kata
lain, mereka hanya berbeda dalam soal furū„ (cabang hukum) saja bukan dalam
usus (pokok-pokok perundang-undangan) dan jenis-jenisnya.15
Pada abad kedua Hijriyah ketika kekuasaan perundang-undangan
berpindah ke tangan angkatan para imam mujtahid, maka arena perbedaan
pendapat di kalangan para pemuka-pemuka perundang-undangan semakin
meluas, dan sebab-sebab perbedaan mereka pun tidak hanya terbatas pada tiga
sebab yang menjadi pokok perbedaan pendapat di kalangan sahabat, bahkan
sampai pada sebab-sebab yang berhubungan dengan sumber-sumber hukum,
bertentangan hukum dan prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan untuk
memahami nash. Dengan demikian, perselisihan mereka tidak hanya terbatas
kepada fatwa-fatwa dan furū‟ (cabang-cabang) hukum saja, melainkan sudah
terjadi pada usus (dasar-dasar) perundang-undangan dan garisnya. Hal ini
menyebabkan setiap golongan dari mereka mempunyai suatu aliran hukum
tertentu yang terbentuk dari hukum cabang yang mereka ambil (istinbat) dari
garis perundang-undangan yang khusus.16
Perbedaan pendapat tentang garis perundang-undangan di kalangan
para imam mujtahid itu bersumber pada perbedaan mereka mengenai tiga
persoalan yakni:
a. Perbedaan tentang penetapan sebagian sumber-sumber perundang-
undangan.
b. Perbedaan tentang pertentangan pengambilan hukum dari perundang-
undangan.
c. Perbedaan tentang sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan
dalam memahami nash-nash.17
Perbedaan ini terus bertambah tajam sehingga masing-masing ulama
yang diakui keilmuannya memiliki metode-metode istinbat sendiri serta
keputusan-keputusan hukumnya yang berdiri sendiri. Dengan demikian,
akhirnya timbul madzhab-madzhab dalam bidang fikih.
Jumlah madzhab fikih pada awalnya banyak sekali yang dimulai dengan
bermunculannya banyak tokoh fikih dari kalangan sahabat dan tabi‟in, seperti
„Aishah, „Abdullah bin Umar, Ibn Mas‟ud, Urwah bin Zubair, Abu Bakr bin

15
Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung: CV Pustaka Setia,
h. 79-80.
16
Ibid.
17
Ibid.

5
Hisyam, Ibrahim al-Nakha‟i, Hasan al-Bas lainnya. Awal abad kedua hijriah
sampai separuh abad keempat adalah abad keemasan bagi dunia ijtihad. Pada
masa itu muncul tiga belas mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti.
Mereka adalah: Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah,
Hasan al-Basri di Bashrah, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsaury di Kufah, al-
Auza‟iy di Syam, asy-Syafi‟i dan al-Laits bin Sa‟ad di Mesir. Kebanyakan dari
mereka sekarang hanya ada dalam keterangan-keterangan berbagai kitab karena
pengikutnya tidak ada.18

3. Hukum Bermadzhab
Sebagian ulama mengatakan bahwa komitmen dengan satu madzhab
tertentu dan imam tertentu hukumnya harus. Karena ia yakin bahwa pendapat
itu benar sehingga ia harus komitmen dengan keyakinannya. Sebagian besar
ulama yang lain berpendapat bahwa tidak harus komitmen dengan satu imam
tertentu dalam semua masalah dan hukum. Namun ia boleh bertaklid dengan
imam mujtahid tertentu yang ia kehendaki.
Jika berkomitmen dengan satu madzhab tertentu, maka ia tidak wajib
terus menerus mengikuti mereka dalam setiap masalah. Ia boleh berpindah dan
memilih dari madzhab satu ke madzhab yang lain. Sebab ia hanya wajib
mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Sementara Allah dan
Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk mengikuti salah satu dari ulama.
Allah hanya memerintahkan untuk mengikuti mereka secara umum tanpa
mengkhususkan satu dari yang lain.
Ulama Ushuliyyu>n berbeda pendapat mengenai hukum mengikuti salah
satau Madzhab dalam fiqh (bermadzhab). Secara singkat pendapat mereka dapat
dibagi menjadi tiga pendapat berikut:
Pertama, Sebagian Ulama memewajibkan umat Islam untuk mengikuti
madzhab tertentu, karena adanya keyakinan bahwa madzhab tertentu adalah
benar, maka wajib mengikuti kebenaran yang diyakini.
Kedua, Mayoritas Ulama ushuliyyun tidak mewajibkan mengikuti atau
taqlid madzhab tertentu dalam menentukan hukum suatu permasalahan, tetapi
diperbolehkan mengikuti ulama siapapun yang mereka kehendaki. Apabila
seseorang mengkikuti madzhab imam tertentu, seperti Abu Hanifah, Sya>fi‟i>
dan lainnya, maka tidak wajib untuk terus mengikuti pendapat mereka, tapi
diperbolehkan untuk berpindah madzhab dalam permasalahan tertentu. Alasan
pendapat kedua ini, karena tidak ada kewajiban selain yang diwajibkan Allah
dan Rasul-Nya, sementara Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan kepada umat
Islam untuk bermadzhab. Allah hanya memerintahkan umat Islam untuk
mengikuti ulama dan menanykan kepada mereka mengenai hal-hal yang tidak
diketahui.19 Pendapat yang menyatakan kewajiban mengikuti madzhab tertentu
malah akan menyulitkan seseorang padahal madzhab adalah keutamaan dan
rahmat untuk umat. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang ra>jih di
kalangan ulama.
Ketiga, Al-Amidi> dan Kamal bin al-Hamma>m, apabila seseorang dalam
memutuskan suatu permasalah atau mengamalkan sesuatu mengikuti madzhab
tertentu, maka tidak diperbolehkan baginya untuk berpindah madzhab dalam

18
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I, h. 28.
19
Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-
laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada Mengetahui (QS. Al-Anbiya’ : 7).

6
permasalahan tersebut. Ulama lain yang berpendapat demikian adalah al-
Manshur Billah, Syaikh al-H}asan bin Muh}ammad, dan Syaikh Ah}mad bin
Muh}ammad.20
Bermadzhab pada tataran furu‟ atau taqlid itu relevan hanya bagi orang
yang tidak mempunyai kapasitas atau tidak memenuhi syarat mujtahid. Bagi
orang semacam ini boleh, bahkan harus mengikuti ulama yang sudah
mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Sementara itu, bagi orang yang
mempunyai ilmu dan kapasitas untuk melakukan ijtihad maka dia tidak boleh
taqlid. Artinya dia harus mendayagunakan segala ilmu dan kemampuannya
untuk menggali dan menemukan hukum. Atau setidaknya ketika dia mengikuti
pendapat seorang ulama atau mujtahid, maka dia harus mengetahui dalil dan
argument ulama tersebut mengenai suatu permasalahan. Apabila mempunyai
kemampuan untuk berijtihad, namun tidak dapat menemukan kaidah atau
metode ijtihad, maka alangkah baiknya dia mengikuti metode madzhab tertentu,
atau dengan kata lain bermadzhab secara metodologis (manhaji>).

B. Hukum Talfîq Antar Madzhab Fiqh


1. Definisi Talfîq
Secara etimologi, kata talfiq (‫ ) ا َّتل ْل ِف ُقي‬berasal dari kata ( َ‫ ) ُق َ ِّ ُقي – َل ْل ِف يق ًا –اَ َّتي‬yang
berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Seperti dalam ungkapan ‫ََ ََ ا ْل ُقي‬
‫ َّتال ْل ِف‬bermakna saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain),
satu dengan yang lain, lalu menjahitnya. Dan pembahasan talfiq yang akan
dibahas di sini ialah sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama
ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada para imam
madzhab. Sehingga istilah talfiq antar madzhab dapat kita fahami secara
etimologi sebagai penggabungan dua madzhab atau lebih.
Terminologi talfiq hanya ditemukan dari ulama dan kitab-kitab yang
sudah agak jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqh. Dan itupun ternyata
para ulama agak berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfiq baina al-
madzahib ini. Syaikh Muhammad Sa‟id Albani dalam kitab „Umdatu at-Tahqiq fi at-
Taqlid wa at-Talfiq mendefinisikan talfiq dengan:
‫إلل قن بك ة ال ي ل بهق مجلهد‬
“Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid”
Sebagian ulama yang lain sering mendefinisikan talfiq dengan tatabbu‟ ar-
rukhash:
‫للبع ارخص عن اه ى‬
“Mencari keringanan karena hawa nafsu”.
Maksud dari mencari keringanan adalah keringanan hukum atau fatwa
dari sekian banyak pendapat para ulama. Dengan demikian orang yang talfiq
akan dapat dengan mudah menjalankan ibadah dengan aturan fiqh dari berbagai
madzhab atau pendapat ulama.
Talfiq antarmadzhab dalam Ensiklopedi Fiqh Kuwait diaartikan sebagai
berikut:
‫متوضئ‬ ّ : ‫ ومثالو‬، ‫كل واحد منهما مبفرده‬
ّ ‫صحة الفعل من مذىبني معا بعد احلكم ببطالنو على‬
ّ ‫املراد بالتّلفيق بني املذاىب أخذ‬
‫ وباطل خبروج ال ّدم من غري‬، ‫الشافعيّة‬
ّ ‫ فإ ّن ىذا الوضوء باطل باللّمس عند‬، ‫السبيلني‬
ّ ‫ملس امرأة أجنبيّة بال حائل وخرج منو جناسة كدم من غري‬

20
Ibnu Wazi>r, al-Raud} al-Basi>m, (CD al-Maktabah al-Sya>milah al-Is}da>r al-S}a>ni>,
2005), II/243.

7
‫ فإذا صلّى هبذا‬، ‫ وال ينتقض أيضا باللّمس عند احلنفيّة‬، ‫الشافعيّة‬
ّ ‫السبيلني عند‬
ّ ‫ وال ينتقض خبروج تلك النّجاسة من غري‬، ‫السبيلني عند احلنفيّة‬
ّ
21
‫صحة صالتو مل ّفقة من املذىبني معا‬
ّ ّ ‫ن‬‫فإ‬ ، ‫الوضوء‬
Pendefinisian ini memang tidak terlalu salah. Namun sebenarnya
mencari keringanan dengan motivasi dorongan hawa nafsu hanyalah salah satu
bentuk atau sebagian dari talfiq. Karena boleh jadi seorang mujtahid mencari
keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil yang sekiranya
meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu harus karena
hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi lain yang bisa diterima secara syariah dalam
hal talfiq ini. Definisi yang agaknya bisa dijadikan pegangan adalah:
‫الي د امرك من مذهب ن فأكلر فى عبقدة أ معقم ة حدة‬
“Taklid yang dibentuk dari dua madzhab atau lebih menjadi satu bentuk ibadah
atau muamalah”.22
Berdasarkan
2. Kontroversi Ulama tentang Hukum Talfîq Antarmadzhab
Ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama, melarang
(mengharamkan) talfiq secara mutlak dan tanpa syarat. Pendapat kedua,
membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga, talfiq ada yang dilarang dan ada
yang diperbolehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma‟ kaum muslimin atas
keharaman talfiq. Ulama Syafi‟iyyah mengatakan bahwa hal itu menjadi suatu
ketetapan. Ibnu Hajar mengatakan, “Pendapat yang membolehkan talfiq adalah
menyalahi ijma‟.”
a. Pendapat yang Melarang
Umumnya para ulama mengharamkan talfiq antar madzhab secara tegas
dan tanpa syarat. Di antara mereka antara lain:
1) Abdul Ghani an-Nabulsi dalam karyanya Khulashah at-Tahqiq fi
Bayan al-Hukmi at-Taqlid wa at-Talfiq
2) As-Saffarini (Muhammad bin Ahmad bin Salim al-Hanbali) dalam
karyanya at-Tahqiq fi Buthlan at-Talfiq
3) Al-„Alawi asy-Syanqithi dalam karyanya Maraqi ash-Shu‟ud dan
Nasyr al-Bunud „ala Maraqi ash-Shu‟ud
4) Al-Muthi‟i dalam karyanya Sullam al-Wushul li Syarh Nihayah as-
Sul
5) Syaikh Muhammad Amin asy-Syanqithi dalam karyanya Syarh
Maraqi ash-Shu‟ud
6) Al-Hasykafi dalam karyanya ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-
Abshar. Ia mengklaim adanya ijma‟ dalam larangan talfiq.23
Argumentasi ulama yang melarang talfîq antara lain: pertama,
Mencegah kehancuran. Andaikata talfiq dibenarkan, maka sangat dikhawatirkan
terjadi kerusakan yang besar dalam tubuh syariat Islam dan hancurnya berbagai
madzhab ulama yang telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad, ilmu
dan sepenuh kemampuan. Sebab talfiq –menurut mereka- tidak lain pada
hakikatnya adalah semacam kanibalisasi madzhab-madzhab yang sudah paten,
sehingga kalau madzhab-madzhab itu di-oplos ulang, maka dengan sendirinya
semua madzhab itu akan hancur lebur.

21
Kementerian Wakaf dan Keislaman Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (CD al-
Maktabah al-Sya>milah al-Is}da>r al-S}a>ni>, 2005), II/4821.
22
Ghazi bin Mursyid bin Khalaf al-Atibi, At-Talfiq Baina al-Madzahib wa ‘Alaqatuhu bi Taisir al-
Fatwa, h. 10.
23
Al-Hasykafi al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, (CD al-Maktabah al-Sya>milah al-
Is}da>r al-S}a>ni>, 2005), I/80.

8
Kedua, kaidah kebenaran hanya satu. Ada sebuah kaidah yang diikuti
mereka, yaitu kebenaran di sisi Allah itu hanya ada satu. Kebenaran tidak
mungkin ada dua, tiga, atau empat. Sedangkan prinsip talfiq justru bertentangan
dengan kaidah di atas. Sebab dalam pandangan talfiq, semua mujtahid itu benar,
padahal pendapat mereka jelas berbeda satu sama lain.
Ketiga, tidak ada dalil yang membolehkan. Menurut pendapat ini, tidak
ada satu pun dalil dalam syariat Islam yang menghalalkan talfiq antar madzhab.
Bahkan tidak pernah ada contoh dari para ulama salaf sebelumnya yang pernah
melakukan talfiq antar madzhab. Adapun bila kita temukan ada sebagian ulama
salaf yang sekilas seperti melakukan talfiq, sebenarnya itu hanya terbatas pada
kesan saja. Namun hakikatnya mereka tidak melakukan talfiq.
Keempat, larangan ihdats qaul tsalits (menciptakan pendapat ketiga).
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang
ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama
terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut
mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan
(menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Seperti 'iddah wanita hamil yang
suaminya meninggal dunia. Masalah ini ada dua pendapat. Pertama, sampai
melahirkan. Kedua, masa yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah. Dalam
hal ini tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa
bulan saja.

b. Pendapat yang Memperbolehkan


Bagi ulama yang mendukung pendapat ini antara lain para ulama
Maghrib dari kalangan Malikiyah, seperti ad-Dasuqi dalam karyanya Hasyiyah
ad-Dasuqi „ala asy-Syarh al-Kabir. Argument ulama yang memperbolehkan mtalfîq
antara lain: pertama, haraj dan masyaqqah. Mengharamkan talfiq antar madzhab
adalah sebuah tindakan yang amat bersifat haraj (memberatkan) dan masyaqqah
(menyulitkan), khususnya orang-orang awam dengan ilmu-ilmu agama versi
madzhab tertentu.
Hal itu mengingat bahwa amat jarang ulama di masa sekarang ini yang
mengajarkan ilmu fikih lewat jalur khusus satu madzhab saja, selain juga tidak
semua ulama terikat pada satu madzhab tertentu. Barangkali pada kurun waktu
tertentu dan di daerah tertentu pengajaran ilmu agama memang disampaikan
lewat para ulama yang secara khusus mendapatkan pendidikan ilmu fikih lewat
satu madzhab secara ekslusif dan tidak sedikitpun mendapat pandangan dari
madzhab yang selain apa yang telah diajarkan gurunya.
Kedua, tidak ada dalil yang mengharuskan berpegang pada satu
madzhab. Menurut pendapat ini, bahwa tidak ada satupun hadits yang secara
tegas mengharuskan seseorang untuk berguru kepada satu orang saja, atau
berkomitmen kepada satu madzhab saja.
Ketiga, pendiri madzhab tidak mengharamkan talfiq. Inilah hujjah yang
paling kuat. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk
bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid
kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang
lain.
Di kalangan para shahabat Nabi saw terdapat para shahabat yang
ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian
menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka
bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu

9
Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat
mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama. Namun tidak
seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan
bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya
tidak boleh bertanya kepada orang lain. Imam madzhab yang empat itu pun
demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah
bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya. Maka dari
mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam al-Qur`an,
sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?
Alasan tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa talfiq itu boleh
dilakukan. Karena yang membolehkannya justru Nabi Muhammad saw sendiri
secara langsung. Maka kalau Nabi saja membolehkan, lalu mengapa harus ada
larangan? Nabi saw melalui Aisyah disebutkan: Nabi tidak pernah diberi dua
pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa
dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal
tersebut “.
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing
dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk
dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih
ringan.
Salah satu dasar tegaknya syariat Islam adalah memberi kemudahan,
tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan
sabda Nabi Muhammad saw: “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan
tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
Di antara para ulama yang mendukung talfiq adalah al-Izz Ibnu
Abdissalam yang menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil
rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu
yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi
yusrun) serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan.
Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan
selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi
terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya. Demikian juga
dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-
Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal
tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan
gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar„iyat.

c. Pendapat ketiga: Bersikap Moderat


Menurut ulama yang berpendapat ketiga ini, harus diakui bahwa ada
sebagian bentuk talfiq yang hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan.
Namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa dari sebagian bentuk talfiq itu ada
yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Argumentasi pendapat ketiga ini antara
lain:
Pertama, pada dasarnya talfiq yang dibolehkan itu bukanlah talfiq,
melainkan lebih mengarah pada tarjih. Kedua, talfiq boleh dilakukan jika tidak
semata-mata menuruti hawa nafsu. Ketiga, tidak ada dalil yang secara tegas
melarang talfiq. Keempat, Islam menganjurkan agar mengambil hal-hal yang
mudah dalam agama (tentunya tidak bercampur hawa nafsu).

10
Menurut Wahbah, kebolehan bertalfiq ini dibatasi dengan tiga syarat,
yaitu menghindari hal-hal berikut:
1) Mencari yang teringan saja dengan sengaja tanpa ada darurat atau
uzur. Ini dilarang untuk menutup pintu kerusakan dengan
lepasnya taklif.
2) Talfiq yang dilakukan berakibat pada pembatalan hukum hakim,
sedangkan hukum seorang hakim mengakhiri perkara.
3) Talfiq yang mengharuskan rujuk dari apa yang telah dilakukannya
secara bertaklid atau dari perkara yang telah disepakati ulama
yang pasti ada pada kasus yang ditaklidinya, seperti dalam kasus-
kasus mu‟āmalah, hudūd, pembagian harta rampasan dan pajak dan
pernikahan. Dalam hal-hal tersebut dilarang talfiq karena menjaga
maslahah.24

Simpulan
Orang yang mempunyai kemampuan berijtihad untuk menememukan
hukum tidak diperkenankan bermadzhab atau mengikuti mujtahid tertentu pada
tataran produk, pada tataran Fiqh atau bertaqlid. Bermadzhab pada tataran
produk diperbolehkan, bahkan diharuskan hanya terbatas untuk orang yang
tidak mempunyai kapasitas untuk melaksanakan ijtihad. Orang yang
mempunyai ilmu, kemampuan dan kapasitas untuk mendayagunakan ilmunya
untuk berusaha menemukan hukum. Apabila dia tidak mempunyai metode yang
kuat dan mapan untuk menemukan hukum, maka dia sebaikanya mengikuti
metode ulama atau mujtahid yang telah mempunyai metode yang mapan.
Agama Islam memang tidak mengehndaki kesulitann dan tidak
menyulitkan, namun demikian tidak boleh juga mempermainkan atau
menggampangkan agama (tasahul). Oleh karena itu, talfiq dengan maksud dan
niat menggampangkan agama sebaiknya dihindari. Talfiq diperbolehkan apabila
dalam situsi dan kondisi tertentu yang menuntut seseorang untuk
menggabungkan dua madzhab atau pendapat ulama atau lebih. Talfiq
diperbolehkan dengan bersyarat.

Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa al-Zarqa, Syarh al-Qawâid al-Fiqhiyah, (CD al-Maktabah al-
Sya>milah al-Is}da>r al-S}a>ni>, 2005), II/129.
Wah}bah al-Zuḥaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr,
2005), I /27.
Ash-Shawi, Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Syarh ash-Shaghir li ad-Dardiri, jilid 1
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, 1989, Beirut: Dār al-Fikr,
I,
Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani ‘ala Syarh al-Qani.
Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan
Era Globalisasi, 2002, Surabaya: Demak Press.
Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012).
Ramad}a>n al-Bu>t}i>, al-Madzhabiyyah: Akht}aru Bid’atin Tuhaddidu al-
Syari’ah al Isla>miyyah, (Damaskus: Da>r al-Fa>ra>bi>, 2005).
Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung:
CV Pustaka Setia.

24
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1986, Beirut: Dar al-Fikr, h. 1148-1153.

11
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, 1989, Beirut: Dār al-Fikr,
I.
Ibnu Wazi>r, al-Raud} al-Basi>m, (CD al-Maktabah al-Sya>milah al-Is}da>r
al-S}a>ni>, 2005), II/243.
Kementerian Wakaf dan Keislaman Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-
Kuwaitiyah, (CD al-Maktabah al-Sya>milah al-Is}da>r al-S}a>ni>, 2005), II/4821.
Ghazi bin Mursyid bin Khalaf al-Atibi, At-Talfiq Baina al-Madzahib wa
‘Alaqatuhu bi Taisir al-Fatwa.
Al-Hasykafi al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, (CD al-Maktabah
al-Sya>milah al-Is}da>r al-S}a>ni>, 2005), I/80.
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1986, Beirut: Dar al-Fikr.

12

Anda mungkin juga menyukai