Anda di halaman 1dari 22

EKSISTENSI MAZHAB FIQIH PADA ZAMAN KONTEMPORER

SEKARANG

Zakirun Pohan
Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdur Rauf (STAISAR) Aceh Singkil
Email: zakirunpohan1919@gmail.com

Abstrak
Ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat Islam yaitu fanatik
dalam bermazhab dan fanatik anti mazhab. Sikap dan kondisi seperti ini telah
menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin.
Bahkan tidak jarang perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dapat menyulut
terjadinya pertengkaran dan pertumpahan darah di antara sesama Muslim.
Pada titik inilah persoalan mazhab dalam syari’at Islam itu menjadi penting
untuk ditelisik lebih lanjut. Sejarah muncul mazhab fiqih terjadi dalam lima
periode: Periode pertumbuhan (Abad ke 0-1 H) yaitu pada masa rasulullah,
pada masa shahabat dan pada masa tabiin. Periode pembentukan (Abad ke 2-3
H ) yaitu Mazhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik, Mazhab Imam
Syafii, Mazhab Imam Ahmad dan Mazhab lainnya. Periode keemasan (Abad ke
3-9 H). Periode kemunduran (Abad ke 10 – 13 H ). Dan periode kebangkitan
(Abad ke 14 – Sekarang). Ternyata bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu
hukumnya wajib menurut ulama ushul fikih. Dan mengajak masyarakat untuk
meninggalkan mazhab atas alasan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
adalah suatu usaha yang sia-sia. Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah
disiplin ilmu (manhaj) untuk kita memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
sebab itu, eksistensi bermadzhab pada era kontemporer masih diperlukan guna
menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kata Kunci: Mazhab, Fiqih, Kontemporer

15
A. Pendahuluan
Paling tidak ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat
Islam yaitu fanatik dalam bermazhab dan fanatik anti mazhab. Orang yang
fanatik dalam bermazhab memandang bahwa hanya mazhab yang dianutnya
yang benar, sedangkan mazhab yang lain adalah salah. Atau seseorang tetap
berpegang pada mazhabnya walaupun dia mengetahui bahwa dalil yang
dipakai mazhabnya lemah, sedangkan dalil yang dipakai oleh mazhab yang
lain lebih shahîh. Atau ada yang berpandangan bahwa talfiq (berpindah
mazhab) hukumnya haram. Di samping itu kelompok ini sangat
mengkultuskan imam panutannya sampai pada level melecehkan imam
lainnya.
Golongan anti mazhab berpendapat bahwa taqlid kepada mazhab
hukumnya haram. Mereka berpandangan bahwa taqlid kepada mazhabnya
sama artinya meninggalkan al-Quran dan Sunnah. Mereka menyerukan agar
semua kaum muslimin langsung merujuk kepada al-Quran dan Sunnah dalam
mengambil hukum syari’at walaupun mereka tidak memilih perangkat-
perangkat ilmu atau bahkan tidak memperhatikan persyaratan ijtihad yang
harus mereka lalui untuk sampai kepada derajat mujtahid. Sehingga seringkali
hukum-hukum yang mereka simpulkan terasa aneh bagi kaum awam. Mereka
berani menentang pendapat para imam dan mengemukakan pendapat yang
betul-betul baru. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa keempat
mazhab yang sudah dikenal umat Islam sejak lama adalah suatu bid’ah yang
diada-adakan dalam agama Islam, dan mazhab-mazhab empat itu menurut
mereka sama sekali bukan bagian dari agama Islam. Sebagian mereka juga ada
yang mengatakan bahwa kitab-kitab keempat mazhab itu sebagai al-Kutub Al-
Mushaddi’ah (kitab-kitab yang membawa kepada kehancuran).1
Sikap dan kondisi seperti ini telah menimbulkan perselisihan dan
perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin. Bahkan tidak jarang perbedaan

1 M.Said Ramadhan al-Buthi, Alamadzhâbiah Akhthuru Bid’atin Tuhaddidu al-Syari’ah al-


Islamiyah, diterjemahkan oleh Gazira Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h.15.

16
dalam masalah furu’ (cabang) dapat menyulut terjadinya pertengkaran dan
pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Pada titik inilah persoalan
mazhab dalam syari’at Islam itu menjadi penting untuk ditelisik lebih lanjut.
Mayoritas umat Islam di dunia ini masih tetap berpegang teguh kepada
fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dalam urusan
furu’iyyah. Sebagian umat Islam juga ada yang menganut selain mazhab empat
tersebut, seperti mazhab Dzahiri dan mazhab Syi’ah. Namun terdapat pula
umat Islam yang melepaskan dirinya dari mazhab-mazhab itu, dalam
pengertian yang lain mereka tidak mengikuti salah satu mazhab yang empat
atau yang lainnya. Akan tetapi mereka menjalankan pendapat mereka sendiri.
Tentunya hal tersebut di atas membuat bingung umat Islam yang telah lama
berpegang teguh pada pendapat-pendapat imam madzhab mereka. Tentunya
menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimanakah sesungguhnya madzhab dalam
bangunan syari’at Islam.
B. Pembahasan
a. Pengertian Mazhab Fiqih
Menurut bahasa, mazhab berasal dari lafaz masdar (kata sifat) dan isim
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba”
yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:2
1. Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran
(paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran dan hadits.
2. Menurut K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam istilah islam berarti
pendapat, paham atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang digelari
Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam
syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.

2 Huzaimah Tahido Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab. 1997. Ciputat: Logos


Wacana Ilmu. Hal.71

17
3. Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat
seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah
ataupun lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
1. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang
imam mujtahid dalam menetapkan hukum atau peristiwa berdasarkan Al-
quran dan Hadis.
2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang
hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan Hadis.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh
Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum
Islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya
menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum
Islam.
Adapun pengertian mazhab menurut para ulama fiqih yang perlu kita
ketahui. Menurut ulama fiqih mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus
yang dijalan oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih
lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu
furu’3. Masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad adalah yang termasuk
istilah dzanni atau prasangka, bukan hal yang qath’i atau pasti.
Itulah penjelasan mengenai pengertian mazhab yang pada intinya
memiliki makna yang sama. Lahirnya mazhab ini tidak bisa terlepas dari
perkembangan hukum-hukum Islam sebelumnya yaitu pada masa Rasulullah
dan sahabat. Bila pada masa Nabi sumber fiqih adalah Al-Quran, maka pada
masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan Ijtihad
sebagai sumber penerapan fiqih. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqih
dengan menggunakan Sunnah dan Ijtihad ini sudah begitu berkembang dan

3 http://id.m.wikipedia.org/wiki/mazhab

18
meluas4. Yang kemudian kita mengenal mazhab-mazhab fiqih. Mazhab dalam
fiqih ada beberapa macam, hal ini dikarenalan adanya perbedaan pendapat
dalam berijtihad seorang ulama.

b. Sejarah Muncul Mazhab Fiqih


Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :
1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash
2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits
3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash
4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-
adillah)
5. Perbedaan Tentang Qiyas
6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum
7. Perbedaan dalam Pemahaman ‘illat Hukum
8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh5
1) Periode Pertumbuhan (Abad ke 0-1 H)
1) Madzhab Pada Masa Rasulullah
Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman
Rosulullah SAW, Madzhab pada zaman Rasulullah adalah sebatas Ijtihad
(pendapat) para sahabat dalam memahami agama, karena pada zaman itu
sumber hukum islam adalah hanya al-Quran dan Hadits, sehingga ketika para
sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-masing; maka mereka
langsung melaporkan masalah tersebut kepada Rasulullah.6
Pertama:

4 Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 1. 1997. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. Hal.29
5 Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, ( Kairo : Dar al Fikr al- Islamiy, 1997) hal 65
6 Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung : Grafika Intermedia,2014), hal

24

19
ِ
ُ‫فحضرت الصالة‬ ِ
،ٌ‫ وليس معهما ماء‬،‫رجالن يف سفر‬ ‫خرج‬: ‫عن أيب سعيد اخلدري رضي هللا عنه قال‬

‫ مث أتيا‬،‫ ومل يُعِد اآلخر‬،‫أحدمها الصالة والوضوء‬


ُ ‫ فأعاد‬،‫ مث وجدا املاء يف الوقت‬،‫ فصلَّيا‬،‫عيدا طيِبًا‬
ً ‫ص‬ َ ‫فتيمما‬
َّ

ُّ ‫ (أصبت‬:‫ فقال للذي مل يُعِد‬،‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فذكرا ذلك له‬
،)‫ وأجزأَتْك صالتك‬،‫السنة‬

ِ ‫مرت‬
‫ني)؛ رواه أبو داود والنسائي‬ َّ ‫األجر‬
ُ ‫ (لك‬:‫وقال لآلخر‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada 2 Sahabat dalam perjalanan, ketika waktu
shalat tiba dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan Tayammum.
Keduanya pun shalat. Setelah itu mereka menemukan air saat waktu shalat belum
habis.” “Satu dari mereka mengulang shalat dengan berwudhu’. Sahabat yang lain
tidak mengulang shalatnya (cukup dengan Tayammum tadi)” Setelah mereka datang
kepada Rasulullah SAW dan bercerita kejadian itu maka Nabi bersabda kepada Sahabat
yang shalat 1 kali saja: “Kamu sudah sesuai Sunnah. Cukup shalatmu itu”. Dan
kepada Sahabat yang shalat 2x (dengan Tayammum dan Wudhu’) Nabi bersabda:
“Kamu dapat 2 pahala”.7
Kedua: Rasulullah SAW bersabda :

(‫صَر إَِّال ِيف بَِِن قَُريْظَةَ ( رواه البخاري‬


ْ ‫َح ٌد الْ َع‬ َّ َ ِ‫صل‬
َ ‫ني أ‬ َ ُ‫ال ي‬
“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah”
Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasulullah
SAW tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak
shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.” Sementara yang lain
bersikukuh tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena mereka
memandang bahwa Rasulullah SAW tidak bermaksud menyuruh para
shahabat R.A menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya. Kemudian dua

7 Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Bairut : Maktabah al-Isyriyyah) Cetakan kedua, Jilid 2
hal 54

20
sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasulullah SAW ini dilaporkan
kepada Nabi. Rasulullah SAW tidak mencela salah satunya.8
Pada periode ini, Madzhab hanyalah sebuah pendapat atau ijtihad para
sahabat dalam memahami sebuah kasus, lalu sahabat melaporkan kepada
Rasul akan kasus tersebut, sehingga Rasulullah SAW langsung memutuskan
kasus tersebut apakah salah satu yang benar atau keduanya benar.9
Madzhab secara sistematis belum terbentuk, hanya berbentuk pendapat-
pendapat para sahabat dan ijtihad-ijtihadnya yang kemudian disampaikan
kepada Rasulullah.
2) Madzhab Pada Masa Shahabat
Mahzab fiqih itu sejak zaman sahabat mulai tumbuh seiring dengan
meninggalnya Rasulullah SAW; karena ketika di zaman Rasulullah para
sahabat menemukan sebuah masalah, akan tetapi setelah wafatnya Rasulullah,
para sahabat masing-masing memiliki pendapatnya. Misalnya pendapat Aisyah
ra, pendapat Ibn Mas’ud ra, pendapat Ibn Umar. Masing-masing memiliki
kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah,
sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat
Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena
masing-masing sudah melakukan ijtihad.10
Para sahabat melihat Rasulullah Saw mengerjakan suatu tindakan,
sebagian sahabat menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan
sebagian yang lain menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa).
Contohnya, para sahabat melihat Nabi SAW melakukan lari-lari kecil saat
thawaf. Oleh karena itu, mayoritas mereka berpendapat hal tersebut adalah
sunnah dalam tawaf. Sedangkan Ibnu Abbas, mengintepretasikan tindakan
beliau sebagai kebetulan karena ada motivasi yang muncul.11

8 Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhori, (Bairut :


Maktabah al-Isyriyyah ) Cetakan kedua, Jilid 2, hal 124
9 Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996) hal 98
10 Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, ( Bandung : Pustaka al-Iman, 2009 ) hal 34
11 Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka

Lentera Iman, 2013), hal 47

21
Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang
menyaksikannya. Sebagian sahabat berpendapat bahwa beliau mengerjakan
ibadah haji secara tamattu’, sementara sebagian sahabat yang lain
menganggapnya mengerjakan ibadah haji secara qiran. Sebagian sahabat lain
menyangka beliau mengerjakan ibadah haji secara ifrad.12
3) Madzhab Pada Masa Tabiin
Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh
orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad,
Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk
juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-
Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru al-Imam Abu Hanifah.
Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri dan Imam Sufyan asl-Sauri.
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah
Maula Ibn Abbas dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad
ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i,
Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul al-Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.
Dalam kasus iddah wanita hamil karena berzina, Para ulama di kalangan
Tabiin berbeda pendapat :
a. Imam Sufyan al-Sauri dan sebagain tabiin berpendapat bahwa tidak ada
iddah bagi wanita hamil karena berzina. Karena iddah untuk menjaga
nasab, sedangkan pezina tidak menjaga nasab.
b. Imam Hasan basri, Ibrahim Al-Nakha’i dan sebagian tabiin lainnya
berpendapat bahwa wanita hamil karena berzina tetap ada iddahnya,
karena iddah itu karena Istibra’ (membersihkan Rahim).13

12 Ahmad Ridho, Hukum Islam dalam Sorotan, ( Jakarta : Pustakan Bina karya Utama,
2015) hal 24
13 Imam An Nawawi, Majmu ala Syarhil muhazzab, ( Damaskus : Maktabah al-Iman,

1996) Juz XVII, hal 34

22
b) Periode Pembentukan (Abad ke 2-3 H )
1) Mazhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi,
mempunyai nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-
Kufi. lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa
khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama
Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil beliau dikenal
dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab
Hanafi.14
Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin
Abu Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi
Rabah (W. : (114 H/ 732 M) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M)
maula serta pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M])
maula dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga
pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal
‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]),
Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-
Hasan. Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal :
Anas bin Malik (10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704
M]) di kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota
Madinah serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah (W 110
H/729 M) di kota Makkah.
Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan
Al-Shaibani, guru Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu,
pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam,
bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.15

14 Muniroh Mukhtar, Madzhab dan Sejarahnya, ( Pustaka Mghfiroh: 2008) hal. 57


15 Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang
Pelajar: 2013), hal. 47

23
2) Madzhab Imam Malik
Malik bin Anas bin Malik, Imam Maliki di lahirkan di Madinah al-
Munawwarah. sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat
perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqaha meriwayatkan
bahwa Imam Malik dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain
berpendapat bahwa Imam Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan Imam al-
Dzahabi meriwayatkan Imam Malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al
Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun,
selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan
Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari
Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi
az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling
akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya
ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang
sebaya seperti al-Auza’i, Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, al-Laits bin Sa’ad,
Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy
Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri,
Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir,
Abdullah bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul
Mubarak, Al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahab, Ibnu Qasim, Al-
Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al
Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Al-
Aubairi, dan lain-lain.16

16 Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka


Lentera Iman, 2013), hal. 85

24
3) Mazhab Imam Syafii
Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-
Syafi’i. Ia wafat pada 767 masehi 158 H. Selama hidup Beliau pernah tinggal di
Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah
konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i
mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya
Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.17
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih
berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah
dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para
ulama fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid al-Zanji yang
waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin
Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr al-
Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang
lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa
tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para ulama fiqih sebagaimana
tersebut di atas.
Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9
malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin
Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau
yang paling terkenal antara lain adalah Imam Ahmad Bin Hanbal.18

17 Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996) hal. 104
18 Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang
Pelajar:2013) , Hal. 67

25
4) Mazhab Imam Ahmad
Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal asy-Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan
Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad
menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-
masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan
lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di
lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad
memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk
menjadi seorang yang besar pula.
Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad
bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin
Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah,
Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.
Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal Keponakannya, Hambal bin Ishaq.19
5) Mazhab lainnya
Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2
sampai dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atha, Madzhab Ibnu sirin,
Madzhab Zhahiriyyah yang di pelopori Imam Daud az-zhahiri, Madzhab As
ya’bi, Mazhab Imam an-Nakha’i; akan tetapi madzhab-madzhab tersebut tidak
begitu berkembang seiring berjalannya zaman dari masa ke masa.20
Contoh:
1. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil atau wanita menyusui
apakah wajib puasa atau tidak ? Jika tidak wajib, apakah mengqadha
puasanya ataun membayar fidyah.

19 M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh al-


Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997), hal. 146.
20 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997),

hal. 85

26
a. Imam Syafii berpendapat bahwa Wanita Hamil dan Menyusui boleh
tidak berpuasa akan tetapi keduanya wajib membayar qadha dan
membayar fidyah.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Wanita hamil dan Menyusui
boleh tidak berpuasa, akan tetapi keduanya hanya wajib membayar
qodho saja
c. Imam Malik berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tdak
berpuasa, akan tetapi keduanya hanya membayar fidyah
d. Imam Ahmad berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh
tidak berpuasa, akan tetapi wanita hamil wajib mengqodho puasa
sedangkan wanita menyusui wajib membayar Fidyah
e. Sebagian ulama lain seperti Imam Daud dari kalangan mazhab
zhohiriyyah berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib
berpuasa.21
Para ulama berbeda pendapat karena tidak ada Nash yang sharih yang
menjelaskan hal tersebut, sehingga mereka mengqiyaskan dengan orang yang
sakit atau orang yang tidak mampu sama sekali berpuasa.
3. Periode Keemasan (Abad ke 3-9 H )
Pada periode ini muncullah ulama-ulama besar yang menisbatkan diri
ke madzhab tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam An-
Nawawi, Imam a-Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al haistami
dan lain-lain. Dari Kalangan Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf, Imam As
syaibani, Imam al Maruzi dan lain lain. Dari kalangan Hanabilah seperti Imam
Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah, Ibnu Rojab dan lain lain. Dari kalangan
Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam Syahnun, Imam Ibnu Rusyd dan
lain lain.22

21 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, ( Damaskus : Dar an Nasr al Ilmiyyah, 1997), Bab
Syiyam, Hal. 178
22 Mahmud Sholah, Hukum Islam dan Perkembangannya, ( Jakarta: Pustaka Iman

jama,2004) hal. 95

27
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah
banyak kitab yang membahasnya, masing masing menguatkan prndapat Imam
mazhabnya, walau tak jarang ada sebagian ulama yang berbeda dengan imam
mazhabnya.
4. Periode Kemunduran ( Abad ke 10 – 13 H )
Pada periode ini, Madzhab mengalami kemunduran karena faktor
penjajahan di dunia islam, dan tidak kuatnya kekuasaan muslim pada saat itu
di bawah kepemimpinan daulah usmaniyyah pada periode akhir.
5. Periode Kebangkitan ( Abad ke 14 – Sekarang )
Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai
dengan munculnya para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti
Syekh Wahbah Zuhaili, Syekh Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf
al Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah dan lain lain, ada yang masih mengukuti dan
selaras dengan metodologi para Imam madzhab yang empat, adapula yang
mulai berusaha keluar dari metodologi para ulama terdahulu karena
pertimbangan zaman.23
c. Urgensi Mazhab Fiqih Dalam Islam
Kaum muslimin sepakat bahwa sumber hukum syari’at Islam adalah al-
Quràn dan as-sunnah yang wajib diikuti dan diamalkan isi dan kandungannya.
Seluruh umat Islam diwajibkan untuk mengambil hukum-hukum Allah itu
langsung dari kedua sumbernya itu. Tapi dalam kenyataannya tidak semua
orang Islam mampu untuk melakukan istinbath hukum langsung dari kedua
sumber tersebut.
Para ulama sepakat bahwa orang yang mampu mengistinbathkan
hukum secara langsung dari sumbernya wajib berpegang teguh dan
mengamalkan apa yang dihasilkan dari ijtihadnya. Sebagaimana ditandaskan
oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa sebagai berikut: Para ulama
ushul telah sepakat bahwa apabila seseorang telah melakukan ijtihad dan telah

23 Muhammad Fairuz Abadi, Sejarah Perkembangan Mazhab dalam Sorotan, ( Bandung :


Pustaka al-Inabah, 2013), hal. 46

28
mendapatkan simpulan hukum, maka dia tidak boleh mengikuti pendapat
mujtahid lain yang menyalahi ijtihadnya, dan tidak boleh beramal dengan hasil
analisa yang lain serta meninggalkan hasil analisa atau pemikirannya sendiri.24
Demikian pula Ibn al-Humam seorang ahli ushul dari madzhab Hanafi,
dalam kitabnya menyatakan sebagai berikut: Secara ittifaq para ahli ushul
berkata seorang mujtahid yang telah usai berijtihad dalam suatu masalah
hukum dilarang untuk bertaklid dalam hukum itu.25 Akan tetapi karena
mereka tidak sama dalam memiliki ilmu pengetahuan, hingga tidak mungkin
bagi mereka yang tidak mampu dapat mengistinbâthkan hukum secara
langsung dari sumbernya. Maka dalam status mereka yang terakhir ini para
ulama berselisih pendapat menjadi dua golongan: Pertama, segolongan ulama
ushul berpendapat bahwa bermadzhab itu haram. Semua umat Islam harus
mengikuti apa yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di antara ulama
yang berpendapat demikian adalah Syeikh Khajandi, Syeikh Nashirudin
Albani, Ibnu Hazm dari golongan Syi’ah. Kedua, Jumhur ulama Ushul
berpendapat bahwa bermadzhab bagi orang awam itu boleh hukumnya,
bahkan bagi orang awam murni bermazhab itu wajib.
A. Hassan menyatakan bahwa bermadzhab sama maknanya dan
maksudnya dengan bertaklid. Dua-duanya dilarang oleh Allah, Rasul, Sahabat,
bahkan oleh Imam-imam yang ditaklidi.26 Selanjutnya beliau mengatakan:
keluar dari madzhab itu bukan haram, tetapi wajib. Masuk suatu madzhab itu
bukan wajib tapi haram.27 Dalam kaitannya dengan ini Ibnu Hazm mengatakan
bahwa seorang muslim tidak diperkenankan mengikuti mujtahid baik yang
masih hidup atau yang telah meninggal, dan setiap orang wajib berijtihad
sesuai dengan kemampuannya….28

24 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfâ, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah Al-Kubra,


1937), hal. 121.
25 Ibnul Humam, Al-Tahrîr Fî Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Musthafâ al-Bâb al Halâbi

Wa Awladuh, tt), hal. 535.


26 A.Hassan, Risalah Al-Madzhab, (Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980), hal. 12.
27 A.Hassan, Risalah Al-Madzhab…, hal. 23.
28 Ibnu Hazm, Al- Muhallâ, (Beirut: Majtabah Tijariyah, 1965), hal. 66.

29
Sedangkan golongan yang membolehkan taklid atau ittiba’ mengatakan
bahwa orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad,
bila terjadi suatu masalah hukum maka baginya ada dua kemungkinan.
Pertama, dia tidak terkena kewajiban apa-apa sama sekali, tentunya hal ini
menyalahi ijma’. Kedua, dia terkena kewajiban melakukan ibadah, kalau
demikian berarti dia harus meneliti dalil-dalil yang menetapkan suatu hukum
atau dia harus taklid.29
Dalam kaitan dengan masalah di atas ulama ushul tampaknya sepakat
tentang bolehnya mengikuti pendapat dan fatwa para imam madzhab. Mereka
hanya mempersoalkan apakah kebolehan bermadzhab itu dalam arti taklîd
ataukah dalam arti ittiba’. Mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa umat
Islam yang belum mencapai tingkatan mujtahid wajib bermadzhab. Bagi
mereka tidak ada perbedaan antara istilah taklîd dan ittiba’, kedua-duanya
sama berarti bermadzhab. Ibnu Subki mengatakan bahwa selain mujtahid
mutlak, baik dia masuk ke dalam kategori awam atau lainnya, wajib bertaklid
kepada mujtahid hal ini berdasarkan surat An-Nahl: 43.30 Al-Amidi semakin
menegaskan bahwa orang awam dan orang yang tidak memiliki keahlian
berijtihad, walaupun dapat menghasilkan sebagian ilmu yang mu’tabar dalam
berijtihad, dia wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan berpegang pada
fatwa-fatwanya, demikian menurut ahli tahkik dari ulama ushul. 31 Sedangkan
Syeikh Khudary Beik mengatakan bahwa wajib atas orang awam meminta
fatwa dan mengikuti para ulama.32
Dari pernyataan-pernyataan para ahli ushul ternyata kewajiban
bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu hukumnya wajib, apakah dia
awam murni atau awam biasa yang belum sampai pada derajat mujtahid
mutlak, meskipun dia mampu untuk berijtihad dalam sebagian masalah. Hal

29 Al-Amidi, Al-Ihkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, (Cairo: Muassat al-Halabi Wa Syurakauh,


1955), h. 198.
30 Ibnu Subki, Jam’u al-Jawâmi’, (Surabaya: Syarikah Maktabah Said bin Nabhan wa

Auladuh, 1965), h. 393.


31 Al-Âmidi, Ihkâm, hal. 197.
32 Khudlary Beik, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Tijariyah al Kubra, 1962), h. 382.

30
ini dilandaskan atas pendapat bahwa berijtihad itu dapat dan boleh berlaku
dalam sebagian masalah fiqhiyyah saja.
Pada uraian berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil yang membolehkan
bermazhab bagi orang awam berdasarkan al-Quràn, As-Sunnah, Ijma’:
a) Nash al-Quràn.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al-Nahl : 43 yang artinya
“bertanyalah kalian kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui. (Qs. An-
Nahl :43).Para ulama sepakat bahwa ayat di atas adalah perintah kepada orang
yang tidak mengerti hukum dan dalilnya agar bertanya kepada orang yang
lebih mengerti. Ayat ini merupakan dasar pertama untuk mewajibkan orang
awam agar taklid kepada imam-imam madzhab.
b) Ijma Ulama
Dalam hal ini Al Amudi mengatakan bahwa orang-orang awam pada
zaman sahabat dan tabi’in sebelum timbulnya golongan yang menentang,
selalu meminta fatwa kepada mujtahid dan mengikutinya dalam urusan
syari’at. Para alim ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tanpa menyebutkan dalil dan tak ada seorangpun yang
mengingkari hal ini, maka berarti mereka telah ijma’ atau sepakat bahwa orang
awam itu boleh ikut kepada mujtahid secara mutlak.33 Demikianlah penjelasan
tentang kebolehan seseorang mengikuti suatu madzhab tertentu sebagai
pegangan dalam menjalankan syari’at Islam.
d. Bahaya Bebas Mazhab
Mutakhir ini wujud fenomena di kalangan muda-mudi yang ghairah
untuk beramal hanya melalui pembacaan terus daripada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Setiap hukum yang diketengahkan oleh kitab-kitab fiqh mazhab akan
dipersoalkan dalil dan sumbernya. Fenomena ini membuatkan para ilmuan
agama terpaksa memberi dua pendekatan jawapan. Sama ada menjawab
berpandukan kitab fiqh mazhab atau terus membentangkan dalilnya daripada
al-Qur’an dan al-Sunnah serta sumber-sumber hukum yang lain.

33 Al-Âmidi, Ihkâm, hal. 198

31
Di sini timbul persoalan, adakah golongan ini benar-benar ingin
mengetahui dalil iaitu bagi memperkuatkan kefahamannya terhadap hukum?
Atau, adakah mereka sudah mulai meragui fiqh berlandaskan mazhab dan
hanya mau memahami hukum terus daripada sumbernya yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Sekilas pandang, ia suatu perkembangan yang baik, kerana umat ingin
belajar mengetahui dalil. Atau lebih tepat ingin terus belajar melalui al-Qur’an
dan al-Sunnah. Memangnya tidak dapat diragukan bahwa kita diwajibkan
berpegang kepada kedua-duanya. Namun apa akan terjadi jika seseorang
awam diberikan suatu manhaj yang tidak tahu digunakan. Manhaj tersebut
ialah belajar secara ‘langsung’ daripada al-Qur’an dan al-Sunnah!
Sebagai seorang awam yang tidak mendalami agama secara rinci, tidak
mendalami nas-nas syara‘ secara halus, bahkan tidak bertemu nas-nas syara‘
melainkan hanya dalam jumlah yang amat terbatas. Wajarkah orang seumpama
ini mengatakan, itu tidak menepati al-Sunnah. Itu tiada dalam al-Qur’an. Itu
hanya rekaan tradisi masyarakat Melayu. Itu hanya adat semata-mata. Itu
bid’ah! Dan pelbagai lagi telaahan yang mungkin akan dibuat kerana
berpandukan manhaj yang diajar oleh gurunya.
Bukankah suasana seperti ini boleh membawa mereka terjebak ke dalam
pendustaan di atas nama Allah dan Rasul-Nya. Mungkin banyak nas-nas syara‘
yang boleh di-istidlal terhadap sesuatu hukum syara‘, tetapi disebabkan
kejahilannya tentang nas tersebut atau ketidakupayaannya dalam berijtihad
dan memahami nas maka dia menafikan kewujudan sesuatu hukum.
Oleh itu mengajak masyarakat untuk meninggalkan mazhab atas alasan
kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu usaha yang sia-sia.
Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu (manhaj) untuk kita
memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Di Malaysia, kita berpegang kepada
mazhab Syafi’i khususnya dalam bab ibadat dan munakahat atau disebut juga
fardhu ’ain. Namun dalam bidang-bidang lain seperti mu’amalat, jinayat,
kehakiman dan perundangan serta isu-isu kontemporari, jelas menunjukkan

32
kerajaan dan umat Islam tidak terikat hanya kepada mazhab Syafi’i. Oleh itu
tuduhan bahawa umat Islam di Malaysia mewajibkan berpegang kepada satu
mazhab dalam kesemua masalah adalah sesuatu yang keterlaluan.
Berpegang kepada mazhab Syafi’i dalam bab fardhu ’ain sepertimana
yang diamalkan sekarang bukanlah bermakna kita menolak pandangan
mazhab-mazhab lain. Pendirian ini dipegang hanyalah berdasarkan
ketidakmampuan seseorang untuk beramal dalam ibadatnya. Sememangnya
hukum asal berpegang kepada mazhab itu tidak wajib, namun bagi selain
mujtahid, beramal dengan fatwa mujtahid (mazhab) adalah wajib
memandangkan tiada lagi jalan lain untuk mengetahui hukum syara‘
melainkan dengan mengikuti mazhab.
Dalam hal yang sama, seseorang awam itu juga tidak mampu untuk
melakukan tarjih iaitu menilai pendapat atau dalil yang terkuat antara mazhab.
Ketidakmampuan itu memerlukannya untuk berpegang kepada mazhab yang
dianutinya sahaja. Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buti menegaskan
seseorang yang mampu membuat tarjih di antara mazhab-mazhab itu,
bermakna dia adalah seorang mujtahid dan keilmuannya sudah tentulah
mengatasi keilmuan para mujtahid mazhab-mazhab terdahulu.
Kesimpulannya, hanya dengan penguasaan disiplin ilmu yang tinggi
sahaja, seseorang mampu untuk membuat pemilihan mana yang paling sahih
dan paling benar antara mazhab-mazhab tersebut. Sekaligus perkara ini sudah
tentu mustahil berlaku kepada golongan awam.

C. Kesimpulan
Mazhab fiqih terjadi dalam lima periode: Periode pertumbuhan (Abad
ke 0-1 H) yaitu pada masa rasulullah, pada masa shahabat dan pada masa
tabiin. Periode pembentukan (Abad ke 2-3 H ) yaitu Mazhab Imam Abu
Hanifah, Madzhab Imam Malik, Mazhab Imam Syafii, Mazhab Imam Ahmad
dan Mazhab lainnya. Periode keemasan (Abad ke 3-9 H ). Periode kemunduran
(Abad ke 10 – 13 H ). Dan periode kebangkitan (Abad ke 14 – Sekarang ).

33
Ternyata bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu hukumnya wajib
menurut ulama ushul fikih. Dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan
mazhab atas alasan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu
usaha yang sia-sia. Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu
(manhaj) untuk kita memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu,
eksistensi bermadzhab pada era kontemporer masih diperlukan guna
menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah.

34
DAFTAR PUSTAKA
A.Hassan, Risalah Al-Madzhab, (Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980)

Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang


Pelajar: 2013)

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Bairut: Maktabah al-Isyriyyah).

Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfâ, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah Al-


Kubra, 1937)

Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, (Damaskus: Dar al Hijroh, 1996)

Ahmad Ridho, Hukum Islam dalam Sorotan, (Jakarta: Pustakan Bina karya
Utama, 2015)

Al-Amidi, Al-Ihkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, (Cairo: Muassat al-Halabi Wa


Syurakauh, 1955)

Al-Âmidi, Ihkâm

Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhori, (Bairut:


Maktabah al-Isyriyyah )

Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, (Kairo: Dar al Fikr al- Islamiy, 1997)

Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 1. 1997. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung: Grafika Intermedia, 2014)

Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Pustaka al-Iman, 2009 )

http://id.m.wikipedia.org/wiki/mazhab

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,


1997)

35
Ibnu Hazm, Al- Muhallâ, (Beirut: Majtabah Tijariyah, 1965)

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Damaskus: Dar an Nasr al Ilmiyyah, 1997), Bab
Syiyam

Ibnu Subki, Jam’u al-Jawâmi’, (Surabaya: Syarikah Maktabah Said bin Nabhan
wa Auladuh, 1965)

Ibnul Humam, Al-Tahrîr Fî Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Musthafâ al-Bâb al


Halâbi Wa Awladuh, tt)

Imam An Nawawi, Majmu ala Syarhil muhazzab, (Damaskus: Maktabah al-Iman,


1996) Juz XVII.

Khudlary Beik, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Tijariyah al Kubra, 1962)

M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh


al-Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997)

M. Said Ramadhan al-Buthi, Alamadzhâbiah Akhthuru Bid’atin Tuhaddidu al-


Syari’ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Gazira Abdi Ummah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001).

Mahmud Sholah, Hukum Islam dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Iman


jama, 2004)

Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, (Jakarta: Pustaka


Lentera Iman, 2013).

Muhammad Fairuz Abadi, Sejarah Perkembangan Mazhab dalam Sorotan,


(Bandung: Pustaka al-Inabah, 2013)

Muniroh Mukhtar, Madzhab dan Sejarahnya, (Pustaka Mghfiroh: 2008) hal. 57

36

Anda mungkin juga menyukai