PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat
dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam
dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya
menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, ikhtilaf para ulama,
dan mazhab-mazhab dalam fiqih,dikhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang
berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
B. Rumusan Masalah
2. bagaimana ikhtilaf para ulama, yaitu madzhab hanafi, maliki, syafi'I, dan mazhab
hanbali?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mazhab
Secara bahasa, mazhab artinya tempat berpergian. Menurut istilah fiqh, mazhab
memiliki dua makna. Pertama,mazhab berarti jalan pikiran atau metode yang
digunakan seorang mujtahid (orang yang berijtihad/ulama) dalam menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian. Kedua, mazhab juga berarti pendapat atau fatwa seorang
mujtahid atau mufti (ulama yang memberi fatwa) dalam memutuskan hukum suatu
peristiwa.[1] Istilah mazhab tidak hanya digunakan dalam bidang fiqh, tetapi juga
dalam aqidah. Bahkan sekarang metode berfikir dalam bidang ilmu social pun sering
disebut mazhab. Dengan demikian, mazhab fiqh adalah kitab-kitab yang memuat
berbagai metode pengambilan hukum Islam terhadap kasus-kasus yang bersifat amali
(praktis), baik yang sudah jelas hukumnya dalam Al-Qur'an dan Hadits, maupun yang
belum jelas hukumnya.
B. Definisi Ikhtilaf/Khilafiyah
C. Tempat-tempat terjadinya Khilafiyah
Karena sumber-sumber hukum (islam) pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW
adalah al-Qur'an, al-sunnah, dan ijtihad sahabat (termasuk : Qiyas, Ra'yu, dan Ijma'
sahabat), dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum IslamAbbas
Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu:
a. Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur'an dan adanya upaya mereka
untuk mencegah perentangan itu.
e. Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-
Qur'an yang memiliki dua aspek pengertian.
a. Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan
yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra'yunya.
b. Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi'liyah), namun sebagian mereka
menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian
yang lain hanya mubah.
c. Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
3. Ijtihad
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra'yu ini tidak
bias dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka berbagai hal termasuk
ra'yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal,
kepribadian, keluarga, dan lingkungannya.
b. Hadist-hadist Nabi saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni
wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni dalalah
(petunjuknya masih bersifat dugaan).
c. Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur'an dan as-
Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti
hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.[3]
Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa,
namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika
mereka salah, akan mendapatkan satu pahala. Tentu saja ini hanya boleh dilakukan
oleh mereka yang berkompeten dan capable untuk itu.
2. Perbedaan waktu, tempat dan kasus yang dihadapi juga salah satu paktor terjadinya
ikhtilaf dalam mengeluarkan hukum. Tidak semua kasus yang dihadapi oleh para
ulama, didapatkan nash hukumnya. Sehingga satu-satunya jalan, mereka harus
berijtihad. Ketika berijtihad para ulama menggunakan metodologi yang belum tentu
sama antara yang satu dengan yang lain. Sehingga menimbulkan hukum yang
berbeda-beda pula.
3. Riwayat. Para Ulama tidak sederajad dalam menerima Hadits Rasullah SAW
disebabkan jumlah shahabat yang mereka temui tidak sama.Sementara para shahabat
juga tidak sederajad dalam mendengar hadits dari Nabi. Ada shahabat yang hanya
mendengar satu hadits saja dan ada sampai puluhan, ratusan dan bahkan ribuan
hadits. Sehingga ada hadits yang sampai kepada sebahagian ulama dan tidak sampai
kepada sebahagian yang lain.
Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah abu Hanifah An-Nukman bin
Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan
dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit,
yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan
Tsabit ini muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.[5]
Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin
Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh
menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan
menghafal Al-Qur'an. Selain memperdalam Al-Qur'an, beliau juga aktif mempelajari
ilmu fiqh.Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik,
Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau
juga mendalami ilmu hadits.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu.
Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang
pada masa itu, yakni Human bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.
Setelah wafat gurunya, Imam Hnifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu
di Kufah.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam
ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu', dansangat teguh memegang ajaran
agama.Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau
pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur.
Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir
hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau
dimakamkan di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 h/1066 M, didirikanlah sebuah
sekolah yang diberi nama Jami' Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang
cukup banyak. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf,
Abdullah bin Mubarrak, Waki' bin Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain.
Sedang di antara kitab-kitab Imam Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits,
dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu
Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:
2) Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.
4) Al-Qiyas
5) Al-Istihsan
6) Al-'Urf
Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan
masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah
ini sering dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya,
mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz.
Masyarakat daerah ini masih dalam suasana kehidupan sederhana seperti keadaan
pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqahah hijaz cukup mengandalkan al-
Quran, Sunnah, dan Ijma' para sahabat. Oleh karena itu mereka tidak merasa perlu
untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.
Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam hanafi dalam memutuskan hukum lebih
dominan menggunakan ijtihad dan akal yang berbeda dengan Imam-Imam Ahlul
Hadis, yang adakalanya tidak menerima ijtihad. Inidikarnakan masyarakat di iraq
telah mengenal kemajuan peradaban dan jauh dari jauh kota sumber hadis.
4) Hasan bin Ziyad Al-Lu'lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari ( wafat pada tahun 204 H).
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah
menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh,
sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan
maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya,
antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan
an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
Imam Malik bin Anas, pendiri mazahab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93
H. baliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri
majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-
Qur'an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendir yang mendorong Imam Malik untuk
senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada
waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping
juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat. Setelah mencapai tingkatan yang tinggi
dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena merasa memiliki
kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau tak lupa
untuk terlebih dahulu menenliti hadis-hadis Rasulullah saw, dan bermusyawarah
dengan ulam lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah.
Diriwayatkan bahwa beliau memiliki tujuh puluh orang yang bisa diajak
bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau
mendengar 31 hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya. Dan ketika diminta
kepadanya untuk mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya. Imam
Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya, terlabih lagi karena pada
masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya
karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah
kiranya yang member kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu
pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata: "Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah
dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu". Beliau juga menasehatkan untuk
menghindari keraguan, ketika beliau berkata: "sebaik-baik pekerjaan adalah yang
jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka
kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu".
Tak pelak Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam
ilmu hadits dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang
ilmu tersebut. Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa', yang
merupakan kitab hadis dan fiqh.
Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki
tersebar luas dan dianut di banyak bagian diseluruh penjuru dunia.
Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak
menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun
sistematika imam Malik. Sebagaimana qadhi'iyyad dalam kitabnya Al-
Mudharrak,sebagai berikut: "sesungguhnya manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia
mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah nash-nya ia mengambil
As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa
sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd adz-dzara'i,
al-'urf, dan al-'adat".
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal
sebagai daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti
hadits daripada fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih
bernuansa kampung dan sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan
As-Sunnah serta Ijma' sahabat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan
keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio karena
Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan Mekkah. Atas hal ini wajarlah kalau
Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan kurang menggunakan rasio
di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya masyarakat.
Imam Syafi'i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi'i adalah: Muhammad bin
Idris Asy-Syafi'i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H,
bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.[7]
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak
menjadikan beliau rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat
mempelajari hadits dari ulama-ulam hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Pada
usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur'an.
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Mekkah mempelajari Ilmu Fiqh dari
Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian
pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih
ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan
beberapa tempat lain.
Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan
mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang
kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi'i
memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan
banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.
Tak lama setelah itu Imam Syafi'i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan
jamah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah mazhab Syafi'i
menjadi tersebar luas ke seluruh dunia.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Negara Mesir. Beliau mengajar di Mesjid Amru
bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amaliqubra, Kitab Risalah, Ushul Al-fiqh,
dan memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam penyusunan
kitab Ushul Fiqh, Imam Syafi'i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori
penulisan dalam bidang tersebut.[8]
Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi'i wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat
kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih di baca orang, dan makam
beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai di ziarahi orang. Sedang murid-murid
beliau yang terkenal diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam,
Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya'kub Yusuf bin yahya Al-
Buwaiti dan lain sebagainya.
Pola pikir imam Asy-Syafi'i secara garis besar dapat di lihat dari kitab Al-Umyang
menguraikan sebagai berikut: " ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama
adalah Al-Quran dan As-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma' ketika
tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan ketiga sahabat Nabi ( fatwa sahabi )
dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka, keempat
ikhtilaf sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan
As-Sunnah karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesungguhnya
mengambil ilmu dari yang teratas.[9]
Faktor Pluralisme Pikiran : Imam As-Syafi'i lahir dan hidup sangat jauh berbeda
dengan imam sebelumnya. Pada masa Imam Syafi'i hidup, sudah banyak ahli fiqih,
baik sebagai murid Imam abu Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup.
Akumulasi berbagai pemikiran fiqh fuqaha, baik dari Mekkah, Madinah, Irak, syam,
dan Mesir menjadikan asy-syafi'i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai
aliran pemikiran fiqih.
Faktor Geografis: faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat
Asy-Syafi'i lahir. Mesir adalah daerah kaya dengan warisan budaya Yunani, Persia,
Rumawi dan Arab. Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikan
pengaruh besar terhadap pola pikir Imam Asy-syafi'i. Hal ini terlihat dari
kitabnya Ilmu Mantiq yang di pengaruhi aliran Aristoteles.
Faktor Sosial Dan Budaya: faktor ini ikut mempengaruhi pola pikir Imam Syafi'i
dengan Qaul Qadhim dan Qaum Jadid. Qaul qadhim di bangun di Irak tahun 195 H.
Di mana masa itu Imam Syafi'i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan Al-Amin.
Setelah tinggal di Irak Asy-Syafi'i melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan
kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir ia bertemu dan berguru kepada ulama Mesir
yang pada umumnya adalah rekan Imam Malik. Karena perjalanan intelektualnya
tersebut, Imam Syafi'i mengubah beberapa pendapatnya yang di sebut dengan Qaul
Jadid. Dengan demikian Qaul qadhim adalah pendapat Imam Syafi'i yang bercorak
ra'yi sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Kitab-kitab Imam Syafi'i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didektekan kepada
muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut:
2) Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah
kitabnya.
3) Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang
dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
4) Al-Imla'
5) Al-Amaliy.
9) Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi'i tentang hadist-hadist Nabi SAW).
Daerah-daerah yang yang menganut mazhab Syafi'i adalah Libia, Mesir, Indonesia,
Philipina, Malysia, Somalia, Arabia selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak,
Hijaz, Paistan, India, Sunni-Rusia, Yaman, jazirah Indo China.
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H
(780M).
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya
meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan
pribadi yang mulia sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula
beliau telah menunjukkan minaat yang besar kepada ilmju pengetahuan, kebetulan
pada saat itu Baghdad nerupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai
dengan belajar menghagfal Al-Quran, kemudian belajar Bahasa Arab, Hadits, sejarah
para Nabi dan sahabat sertathabi'in.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kalinya, disanalah
beliau bertemu dengan Imam Syafi'i. beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan
Mesir.
Imam Aahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada
tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal
beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang
memiliki banyak penganut.
Cara Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan hukum-
hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam menjawab atau
menjelaskan hukumnya.Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban : "Saya tidak
tau atau belum tau atau belum saya periksa", kalau memang belum jelas benar tentang
perkara yang ditanyakan kepada beliau. Adapun dasar-dasar hukum Imam Hambali
adalah :
1) Al-Qur'an dan Hadist, yakni apabila beliau medapatkan Nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat
sahabat yang menyalahinya.
2) Ahmad Ibnu Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilihi pendapat sahabat
yang tidak menyalahinya (Ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
3) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibnu Hanbal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan As-sunnah.
4) Ahmad Ibnu Hanbal menggunakan Hadist Mursal dan Dhaif apabila tidak ada
aksar, qaul sahabat atau ijma' yang menyalahinya.
5) Apabila tidak ada dalam Nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat Masyhur, Hadist
Mursal dan Dhaif, Ahmad Ibnu Hanbal menganalogikan (menggunakan Qiyas) dan
Qiyas bagi nya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[10]
Pesat nya perkembangan zaman tidak membuat Imam Hambali berpikir rasional,
bahkan hasil rumusannya lebih ketat dan kaku dibandingkan Imam Maliki yang
tradisional. Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan Imam Hambali berpikir
seperti itu.
Faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa ini, aliran syiah, khawarij, qadariah dan
murjiah, semua aliran ini telah banyak keluar atau menyimpang dari ajaran islam
yang sebenarnya.
Faktor politik dan budaya. Ahmad Ibnul Hanbal, hidup pada periode pertengahan
kekhalifahan Abbasyiah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode
ini sering kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal
kedudukan putra mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudara
nya. Saat itu aliran Mu'tazilah berkembang, bahkan menjadi mazhab resmi Negara
pada masa pemerintahan Almakmun, Almu'tasim, dan Alwatsiq.
Inilah faktor yang menyebabkan Imam Hanbali mengajak kepada masyarakat untuk
berpegang teguh kepada Hadist dan Sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam Asyafi'I
yang melawan ijtihat rasional pada saat itu dengan memadukan hadist dan rasio.
Sebaliknya, Imam Hanbali justru berpendapat bahwa ijtihat itu sendiri harus dilawan
dengan kembali berpegang teguh kepada hadist dan Sunnah.
Kitab-kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik,ia
juga`seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan
direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup
sesudahnya.
6) Kitab al-Tarikh
Setiap sesuatu hikmah dan tujuannya yang hendak dicapai atau diraih. Begitu pula
lahirnya ilmu perbandingan Mazhab, ia tidak bisa terlepas dari tujuan atau maksud
yang hendak disampaikan. Setidaknya ada dua tujuan yang hendak dicapai dalam
mempelajari perbandingan Mazhab yaitu tujuan secara praktis dan tujuan secara
akademis.
Tujuan secara praktis, adalah tujuan yang bisa dirasakan baik oleh muqarrin (pelaku
perbandingan) atau masyarakat secara umum.
4. Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari
berbagai pendapat imam Mazhab.
5. Dapat meneteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk
mengetahui cara-cara para Imam dalam menentukan hukum.[11]
Adapun tujuan secara akademik, sebagai tujuan yang syarat dengan unsur-unsur
ilmiah, yaitu sebagai berikut:
2. Untuk mengetahui pendapat, konsep teori dasar, akidah, kaidah, metode, teknis
ataupun pendekatan yang digunakan oleh tiap-tiap imam Mazhab Fiqih dalam
menggali hukum islam dan menetapkan hukumnya.
3. Untuk mengetahui betapa luasnya pemahaman ilmu fiqih dan betapa kayanya
khazanah hukum islam yang diwariskan oleh para imam Mazhab hamper tidak bias
dihindari baik langsung ataupun tidak langsung sebagai konsep perbandingan
Mazhab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu masalah
atau tentang kaidah-kaidahistinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah:
mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-
kaidah istinbath-nya.
Proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam
mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat
dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga
memudahkan tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat.
Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut
mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik.
Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya
berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan
itu hanya terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau
pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-
Quran dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum
tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta:
Logos, 1996).
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit
Amzah, 2005).
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta:
[1]
Imam Muhammad Abu Zahrah,Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta:
[2]
2005), hal. 30
Syeikh Mahmoud Syaltout dan Syeikh M. Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab,
[4]
184
[10]
M. Ali Hasan, "Perbandingan Mazhab". . . , hal. 230
[11]
Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab. . ., hal. 30