Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
Islam sejak awal diturunkan telah mengalami pertentangan hebat dari para kaum
Quraisy waktu itu. Banyak hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nenek moyang
kaum Quraisy yang dianggap menyimpang oleh Islam. Hak manusia, kepercayaan,
ekonomi, muamalah. Semuanya diterapkan dengan aturan baru sesuai dengan ajaran
Islam. Seiring dengan berlalunya waktu, lambat laun Islam menjadi mayoritas dan telah
merubah tatanan kehidupan masyarakat Mekkah dan Madinah serta daerah lain waktu
itu. Pada awal turunnya sampai wafatnya Rasulullah semua hukum masih bersumber
dari Allah (Al-Qur’an) dan Rasulullah (Hadist). Segala permasalahan selalu dibawa
kepada Rasulullah untuk diselesaikan.
Sepeninggalan Rasulullah mulai dirasakan oleh kaum muslimin, tempat untuk
bertanya segala permasalah telah wafat, maka salah satu cara yang dilakukan adalah
dibukanya pintu ijtihad, dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Hadis)
sebagai landasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Tabi’in
Kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa, Tabi’in adalah orang yang bertemu
sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Setelah masa kholifah ke empat berakhir,
fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in. Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa
yang dipenuhi permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakain luas,
kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks.
2.2. Sumber - Sumber Hukum Masa Tabi’in
Dalam melakukan ijtiihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis
sebelumnya oleh para sahabat, meliputi :
1.      Al - Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara umum.
Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam al - Qur’an tidak bersifat rinci, pada dasarnya
ketentuan al - Qur’an merupakan kaidah - kaidah umum.
2.      Sunnah intinya adalah ajaran - ajaran Nabi SAW yang disampaikan lewat ucapannya,
tindakannya, atau persetujuannya. 
3.      Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama (ahli hukum yang melakukan penemuan
hukum syarak).  Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada
hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4.      Qiyas merupakan perluasan ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks al -
Qur’an dan Sunnah sehingga mencakup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam
teks kedua sumber pokok itu berdasarkan persamaan. Untuk sahnya dilakukan qiyas,
harus terpenuhinya empat rukun qiyas:
a)      Adanya kasus pokok, yaitu kasus yang disebutkan di dalam al - Qur’an atau hadist.
b)       Adanya ketentuan hukum kasus pokok
c)      Adanya kasus cabang, yaitu kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya
d)     Adanya ’illat bersama, yaitu alasan hukum yang sama antara kedua kasus
bersangkutan.
5.      Disamping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat.
Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, jika mereka menemukan
padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin,
mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam
ijtihad.
Setelah masa khalifah berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang
pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Sampai tahun 132 H / 750 M, dan
selebihnya dipegang oleh Bani Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah ini menjadi
perhatian kepada ilmu pengetahuan memuncak. Periode ini, merupakan periode
keemasan bagi pembentukan hukum (fiqih) Islam, yang kemudian berkembang dan
menghasilkan kekayaan hukum (fiqih) Islam.
2.3.  Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Hukum Islam
Hukum Islam pada zaman tabiin (periode tabiin)terjadi setelah masa khalifah empat
(Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman) berakhir. Setelah fase Khulafaur Rasyidin
berakhir,muncullah fase tabiin atau zaman tabiin yang pemerintahannya dipimpin oleh bani
Umayyah kala itu. Pemerintahan ini didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang
sebelumnya menjadi gubernur Damaskus.

Pada fase ini, perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran
politik yang secara emplisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Adapun faktor-faktor
yang mendorong perkembangan hukum Islam pada masa tabiin adalah sebagai berikut:

1. Perluasan Wilayah

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi (perluasan wilayah) dunia Islam dilakukan
sejak zaman khalifah. Langkah awal yang dilakukan Muawiyah dalam rangka menjalankan
pemerintahan memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah
kemudian melakukan ekspansi ke barat sehingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair,
Maroko sampai kepada Samudra Atlantik.

Penaklukkan Spanyol dilakukan pada Al-Walid bin Abdul-Malik (khalifah dari Bani Umayah
yang berkuasa pada tahun 705–715), banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak
pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan
berdasarkan ajaran Islam karena agama hanif (tauhid) merupakan petunjuk bagi manusia.
Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam karena
semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim.
Dan semakin banyaknya penduduk akan semakin banyak pula persoalan yang harus
diselesaikan.

2. Perbedaan Penggunaan Ra’yu

Ra'yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari
permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam Al-Qur’an dan
sunah. Karena semakin luasnya wilayah Muslim, maka persoalan yang mereka hadapi di
daerah masing-masing berbeda, hingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.

Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang
ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat
tersebut. Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian
muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadis (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu.
Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan
Madrasah al-Madinah, sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-
Iraq dan Madrasah al-Kufah.

Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz
dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadis-hadis
Rasulullah Saw., di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan
pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad.
Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak
menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadis-hadis
Rasulullah Saw. yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka
hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas & kuantitas, dibandingkan yang
dihadapi Madrasah al-Hijaz.

Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen (tunggal),
sedang ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk (bervariasi). Oleh
sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa (politikus Ahli fiqih), tidak mengherankan jika
ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.

2.4. Sumber-sumber Hukum Islam Pada Masa Tabiin.

Secara umum, tabiin mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh
sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan di antaranya
mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam
As-Sunah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah, mereka kembali kepada
pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber hukum Islam pada masa
tabiin antara lain:

 Mencari ketentuan dalam Al-Qur’an.


 Apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam Al-Qur’an, mereka mencarinya dalam
As-Sunah.
 Apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, mereka merujuk pada pendapat
sahabat.
 Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.

Dengan demikian sumber hukum Islam pada periode ini adalah; Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma’
dan pendapat para sahabat serta ijtihad.

2.5. Pengaruh Ahli Hadis Dan Ahli Ra’yu Terhadap Hukum Islam Masa Tabi’in

Pada masa tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits
(madrasah al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan
yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam
malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti.
Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran Maikiyah, Syafi’iyah,
Hanbaliyah, dan Hanafiyah.

Adapun ahli ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua
aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat
yang sama, semakin memotivasi perkembangan hukum Islam.

Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Di


sisi lain, munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam
terdapat kebebasan berpikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat di
antara mereka.

Pengaruh Golongan Politik Terhadap Perkembangan Hukum Islam Masa Tabi’in

Perpecahan kaum muslimin dalam politik sebagaimana dalam gambaran politik,


memicu adanya kelompok-kelompok fanatisme baru, di antaranya yaitu kelompok Khawarij
dan syi’ah. Pendukung Ali (Syi’ah) mempunyai kecenderungan kepada Ali dan keluarganya
dan setiap orang yang ada pada partainya. Ia selalu menghindari perpecahan atas musuh-
musuh dan orang-orang yang memeranginya.

Sedangkan Khawarij selalu cenderung kepada Abu Bakar, Umar dan orang yang
mengikutinya, dan mereka melepaskan diri dari Utsman, Ali, Mu’awiyah, serta orang yang
mengikuti mereka. Pendukung Mu’awiyah atau jumhur Islam lari dari dua golongan itu dan
tidak menempatkan timbangan untuk mereka.

Terpisahnya ulama-ulama muslimin dalam negara-negara besar Islam disebabkan


karena para sahabat-sahabat pindah dari Madinah ke tempat-tempat tinggal baru pada
negara-negara besar. Dan dikalangan mereka lahirlah sekumpulan Tabi’in besar yang
bersekutu dengan mereka dalam berfatwa dan para sahabat mengakui mereka dalam hak
persekutuan pada kedudukannya.

Tetapi, syiar-syiar riwayat hadis dan periwayatan hadis lama-kelamaan akhirnya


hilang, sahabat-sahabat yang masih ada setelah Khulafaur Rasyidin, menjadi tempat
pemberhentian dalam bepergian dari negara-negara besar untuk minta fatwa dan belajar.

Oleh sebab itu, hadis-hadis tidak terkumpul dalam satu negeri, bahkan tidak dalam
satu buku karena shabat yang berfatwa telah terpisah-pisah pada negara-negara besar,
penduduk setiap negara meriwayatkan dari sahabat yang tinggal di wilayahnya sendiri,
maka pada setiap negara mempunyai hadis yang tidak ada pada negeri lain. Akhirnya,
mulai munculnya dusta pada hadis Rasulullah Saw. sebagaimana yang ditakutkan oleh Abu
Bakar dan Umar.

Ada beberapa pihak yang sudah berani lancang dan macam –macam, sebagiannya
ada orang yang membuat-buat redaksi hadis (HOAX) atas baginda Nabi yang sebenarnya
sama sekali tidak pernah diucapkan oleh beliau. Seperti oleh orang-orang Zindik misalnya,
serta orang-orang yang tidak mengharapkan kehormatan agama.

Dan pada saat itu yang paling marak adalah pembodohan hadis seperti melebih-
lebihkan ibadah. Orang-orang bodoh yang membuat stigma sendiri mengenai suatu ibadah,
keutamaan-keutamaan dan khasiat ibadah, yang pada hakikatnya Rasulullah tidak pernah
mengucapkan hal demikian. Dan yang demikian ini nyata adanya, bahkan redaksinya
masih ada sampai sekarang. Di sinilah peran ulama ahli hadis diperlukan. Kemudian
muncullah ilmu rijalul hadis, yaitu ilmu khusus yang menelaah tentang periwayatan hadis,
menelaah apakah hadis tersebut autentik dari Rasulullah atau tidak.
Pada masa ini, tercatat dalam sejarah pemikiran hukum Islam. lahirnya mazhab -
mazhab dalam hukum Islam :
1.   Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an - Nu’man bin Tsabit, berasal dari keturunan
Persia, lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia belajar ilmu kalam dan hukum Islam di
bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar pemikirannya, berpijak pada
kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu Hanifah) bencana paling besar
menimpa manusia adalah pembatasan dan perampasan terhadap kemerdekaan.
Seluruh hukum dan pendapatnya senantiasa berpijak pada pendirian bahwa
kemerdekaan wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembelaan terhadap
kemerdekaan, lebih ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya. Contohnya,
usia nikah bagi wanita ditinjau dari segi haknya. Ia berpendapat bahwa resiko yang
diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya, lebih ringan bencananya
daripada ia dipaksa untuk menikah dengan laki - laki yang tidak dikehendakinya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa hak individu tidak boleh dihalangi hak orang lain.
Sehingga seseorang dapat menghormati kemerdekaan orang lain dan
mempertahankan kemerdekaannya sendiri dengan cara tidak merusak atau melanggar
kemaslahatan atau kemerdekaan orang lain.    
2.   Mazhab Maliki
Perintisnya adalah Malik bin Anas al - Asybahi al - ’Arabi, berasal dari Yaman, lahir
di Madinah tahun 93 H (713 M). Ia terkenal dengan teori kemaslahatan dan
menjadikannya sebagai pertimbangan menetapkan hukum serta sebagai dasar
pengambilan hukum sehubungan dengan masalah yang tidak ada nas al - Qur’an dan
Sunnah yang menunjukkan boleh atau melarang. Dalam menetapkan hukum ia sering
menggunakan konsep tentang sesuatu yang menjadi perantara, yakni sesuatu yang
mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan sesuatu yang mendatangkan hal yang
haram adalah haram. Contohnya, Penjualan dengan cara kredit yang dapat
menghilangkan harga asli yang dibayar dengan cara kontan adalah merupakan
perantara terjadinya riba. Karena itu, penjualan secara kredit hukumnya haram dan
penguasa wajib melarangnya. Sebab, penjualan secara kredit itu mestinya harus
menjadi perantara kemudahan, bukan merupakan perantara pemaksaan untuk
melakukan riba dan merupakan pendorong untuk memberikan harga yang lebih besar.
Syari’at, menurut Imam Malik berdiri atas dasar pertimbangan menarik manfaat dan
menjauhkan dari sesuatu yang merupakan jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu,
setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat akibatnya.
3.   Mazhab Syafi’i
Perintisnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi’i asy - Syafi’i, berasal dari keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H (767 M).
Imam Syafi’i membangun struktur hukum Islam berlandaskan empat prinsip dasar
hukum yang disusun secara sistematif, yaitu: al - Qur’an, Sunnah, qiyas, Ijma’.
Menurutnya, konsepsi hukum Islam pada hakikatnya terletak pada ide bahwa hukum
esesinya adalah religius dan berjalin berkelindan secara religius. Kekuatan hukum islam
melebihi kekuatan hukum - hukum ciptaan manusia. Karena memiliki dasar dan sumber
abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan maknanya terhimpun dalam al - Qur’an dan
maknanya saja tetapi lafalnya dari Nabi Muhammad yang terhimpun dalam hadist.
Sedangkan qiyas dalam hukum Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya berfungsi
sebagai metode penalaran yang bersifat analogis, yakni pengambilan kesimpulan dari
suatu proses hingga sebuah kasus yang dapat dimasukkan dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan proses tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang
disebut ’illah. Metode Qiyas dalam pandangan Syafi’i, menurut Abdul Wahhab
Khallaf bahwa dapat diterapkan jika nas telah memberi petunjuk hukum mengenai
suatu kejadian dan ’illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara - cara yang telah
ditentukan untuk mengetahui ’illat hukum, kemudian ’illat di dalam nash sama seperti
’illat yang ada pada waktu kejadian, maka kejadian itu harus disamakan dengan
kejadian yang ada nash-nya pada ’illat yang seperti ’illat hukum dalam suatu kejadian.
Contoh, dalam al - Qur’an Surat Al - Maidah ayat 90 terdapat larangan minum khamar.
Mengapa dilarang? Dan bagaimana minuman keras yang dibuat dari bahan lainnya,
seperti beras ketan hitam, ketela, dan lain sebagainya?. Dalam hal ini perlu diteliti illat
hukumnya (sebab larangan minuman keras itu), ialah karena memabukkan, dan dapat
merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat pada semua
minuman keras. Karena itu, dengan metode qiyas, sejenis minuman keras
diharamkan.   
4.   Mazhab Hambali
      Perintisnya adalah Imam Abu ’Abdillah Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad pada
tahun 164 H (855 M). Ia menetapkan hukum berdasarkan bunyi nash yang terdapat
dalam al - Qur’an , Sunnah dan pendapat atsar para sahabat kemudian qiyas. Ia tidak
menggunakan qiyas kecuali jika tidak menemukan nash dalam al - Qur’an, Sunnah atau
pendapat ulama salaf. Ia sangat ketat dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah
dan hudud (sanksi pidana) yang jenis kadarnya ditentukan Allah dan Nabi Muhammad,
yang merupakan tiang agama, karena ia melihat berbagai kegiatan bid’ah yang
mewarnai kehidupan umat manusia, padahal perbuatan itu keluar dari batasan agama.
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Pada masa ini, tercatat dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Lahirnya mazhab
– mazhab dalam hukum Islam :
4. Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an – Nu’man bin Tsabit, berasal dari keturunan
Persia, lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia belajar ilmu kalam dan hukum Islam di
bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar pemikirannya, berpijak pada
kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu Hanifah) bencana paling besar
menimpa manusia adalah pembatasan dan perampasan terhadap kemerdekaan.
Seluruh hukum dan pendapatnya senantiasa berpijak pada pendirian bahwa
kemerdekaan wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembelaan terhadap
kemerdekaan, lebih ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya. Contohnya,
usia nikah bagi wanita ditinjau dari segi haknya. Ia berpendapat bahwa resiko yang
diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya, lebih ringan bencananya
daripada ia dipaksa untuk menikah dengan laki – laki yang tidak dikehendakinya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa hak individu tidak boleh dihalangi hak orang lain.
Sehingga seseorang dapat menghormati kemerdekaan orang lain dan
mempertahankan kemerdekaannya sendiri dengan cara tidak merusak atau melanggar
kemaslahatan atau kemerdekaan orang lain.    
2.   Mazhab Maliki
Perintisnya adalah Malik bin Anas al – Asybahi al – ’Arabi, berasal dari Yaman, lahir
di Madinah tahun 93 H (713 M). Ia terkenal dengan teori kemaslahatan dan
menjadikannya sebagai pertimbangan menetapkan hukum serta sebagai dasar
pengambilan hukum sehubungan dengan masalah yang tidak ada nas al – Qur’an dan
Sunnah yang menunjukkan boleh atau melarang. Dalam menetapkan hukum ia sering
menggunakan konsep tentang sesuatu yang menjadi perantara, yakni sesuatu yang
mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan sesuatu yang mendatangkan hal yang
haram adalah haram. Contohnya, Penjualan dengan cara kredit yang dapat
menghilangkan harga asli yang dibayar dengan cara kontan adalah merupakan
perantara terjadinya riba. Karena itu, penjualan secara kredit hukumnya haram dan
penguasa wajib melarangnya. Sebab, penjualan secara kredit itu mestinya harus
menjadi perantara kemudahan, bukan merupakan perantara pemaksaan untuk
melakukan riba dan merupakan pendorong untuk memberikan harga yang lebih besar.
Syari’at, menurut Imam Malik berdiri atas dasar pertimbangan menarik manfaat dan
menjauhkan dari sesuatu yang merupakan jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu,
setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat akibatnya.
3.   Mazhab Syafi’i
Perintisnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi’i asy – Syafi’i, berasal dari keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H (767 M).
Imam Syafi’i membangun struktur hukum Islam berlandaskan empat prinsip dasar
hukum yang disusun secara sistematif, yaitu: al – Qur’an, Sunnah, qiyas, Ijma’.
Menurutnya, konsepsi hukum Islam pada hakikatnya terletak pada ide bahwa hukum
esesinya adalah religius dan berjalin berkelindan secara religius. Kekuatan hukum islam
melebihi kekuatan hukum – hukum ciptaan manusia. Karena memiliki dasar dan
sumber abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan maknanya terhimpun dalam al –
Qur’an dan maknanya saja tetapi lafalnya dari Nabi Muhammad yang terhimpun dalam
hadist.
Sedangkan qiyas dalam hukum Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya berfungsi
sebagai metode penalaran yang bersifat analogis, yakni pengambilan kesimpulan dari
suatu proses hingga sebuah kasus yang dapat dimasukkan dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan proses tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang
disebut ’illah. Metode Qiyas dalam pandangan Syafi’i, menurut Abdul Wahhab
Khallaf bahwa dapat diterapkan jika nas telah memberi petunjuk hukum mengenai
suatu kejadian dan ’illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara – cara yang telah
ditentukan untuk mengetahui ’illat hukum, kemudian ’illat di dalam nash sama seperti
’illat yang ada pada waktu kejadian, maka kejadian itu harus disamakan dengan
kejadian yang ada nash-nya pada ’illat yang seperti ’illat hukum dalam suatu kejadian.
Contoh, dalam al – Qur’an Surat Al – Maidah ayat 90 terdapat larangan minum khamar.
Mengapa dilarang? Dan bagaimana minuman keras yang dibuat dari bahan lainnya,
seperti beras ketan hitam, ketela, dan lain sebagainya?. Dalam hal ini perlu diteliti illat
hukumnya (sebab larangan minuman keras itu), ialah karena memabukkan, dan dapat
merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat pada semua
minuman keras. Karena itu, dengan metode qiyas, sejenis minuman keras
diharamkan.   
4.   Mazhab Hambali
      Perintisnya adalah Imam Abu ’Abdillah Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad pada
tahun 164 H (855 M). Ia menetapkan hukum berdasarkan bunyi nash yang terdapat
dalam al – Qur’an , Sunnah dan pendapat atsar para sahabat kemudian qiyas. Ia tidak
menggunakan qiyas kecuali jika tidak menemukan nash dalam al – Qur’an, Sunnah
atau pendapat ulama salaf. Ia sangat ketat dalam segala hal yang berkaitan dengan
ibadah dan hudud (sanksi pidana) yang jenis kadarnya ditentukan Allah dan Nabi
Muhammad, yang merupakan tiang agama, karena ia melihat berbagai kegiatan bid’ah
yang mewarnai kehidupan umat manusia, padahal perbuatan itu keluar dari batasan
agama.
DAFTAR PUSTAKA

 Khallaf, Abdul Wahhab. 1995. Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum


Islam. 
 Mun’im A. Sirry.1996.Sejarah Fiqih Islam.Risalah Gusti.Surabaya.1995
 Prof. Muhammad Daud Ali.1990.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum
Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia.Rajawali pers.2001
 Prof. Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab.2008.Hukum Islam
Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia.Kreasi Total Media.2008

Anda mungkin juga menyukai