Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Tarikh tasyri Islam seperti dikemukakan Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas
keadaan hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan
periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan
tentang segala aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa
lampau, baik masa nabi, sahabat maupun tabi’in.
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan
khazanah hukum Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi
perundang-undangan Hukum Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan
semangat yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh
masyarakat atau disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan periode pembukuan karena usaha atau gerakan untuk membukukan serta
menulis terhadap Hukum Islam ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat
dibukukan pada kesempatan itu adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat , tabi’in ,
as-Sunnah serta berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an dan lainnya.
Disini akan dibahas Faktor  perkembangan-perkembangan hukum Islam yang
semakin pesat.

B.     Rumusan Masalah


a.    Apa yang di maksud dengan tarikh tasyri` ?
b.      Bagaiamana faktor – faktor penyebab perkembangan tasyri' pada masa
khalifaurrasyidin?
c.      Faktor apakah yang mendorong perkembangan tasyri' ?
d.       Apasajakah sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in?
e.       Apa faktor perkembangan tasyri` sesudah tabi`i hingga Sekarang ?
f. Bagaimana Kondisi hukum islam pada masa khulafaurrasyidin ?

C.    Tujuan Permasalahan


a.       Untuk mengetahui pengertian Tarikh tasyri`.
b.       Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab perkembangan tasyri' pada masa
khalifaurrasyidin.
c.      Untuk mengetahui faktor yang mendorong perkembangan Tasyri`.
d.       Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in.
e.       Untuk mengetahui  faktor perkembangan tasyri` sesudah tabi`i hingga Sekarang.
f. Untuk mengetahui kondisi hukum islam pada masa khulafaurrasyidin

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian tarikh tasyri’


Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan, dan tahun. Lebih
popular dan sederhana diartikan sebagai sejarah, riwayat atau kitab.
Sedangkan tasyri’ menurut bahasa ialah kata yang diambil dari kata syariat, yang antara
lain maknanya ialah jalan yang lurus atau tempat yang didatangi oleh manusia-manusia
dan binatang-binatang untuk meminum air. Kemudian menurut istilah ialah pembentukan
dan penetapan perundang-undangan yang mengatur perbuatan orang mukalaf dan hal-hal
yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Dengan demikian, dengan sederhana tarikh tasyri’ diartikan sebagai sejarah terbentuknya
perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam.
Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul
dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri’ul
Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual maupun
kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri’ul
Wad’iyah).

Al-Khulafa'u al-Rasyidun memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan
mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari'at
yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga
kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari'at Islam khususnya fiqh berhadapan dengan
berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan
dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
B. Faktor – Faktor Penyebab Perkembangan Tasyri' Pada Masa Khalifaurrasyidin

Fase ini adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan
syari'at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan
masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan
sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Khulafa'ur Rasyiduun dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al
Qur'an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan
langsung merujuk kepada al-qur'an dan As-Sunnah. Adakalannya mereka menemukan
nash dalam al-Qur'an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak
menemukan dalam dua sumber pokok syari'at Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini
mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan
moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur'an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-
persoalan baru.Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya
orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk
Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sini
muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-
orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha' untuk yang kesekian kalinnya
berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk
disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping
belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.

C.    Faktor Yang Mempengruhi Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Tabi`In


Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau
sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah
menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya,
yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; Khowarij sebagai
penentang Ali, Syi’ah sebagai pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur).
Munculnya kelompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses
perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran
politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya
suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan
Khawarij dan Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga
masa keemasan Islam yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan
keilmuan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1.      Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran
politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini
timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing
kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri.

2.      Perluasan Wilayah


Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode
khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan
wilayah yang sangat pesat dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah
ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk
mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring
banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.

3.      Perbedaan Penggunaan Ra’yu


Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan
riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran
ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan  ra’yu dibandingkan dengan
Hadits, dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong
perkembangan hukum Islam.

4.      Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan


Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-
hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham
betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-
keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5.      Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam
Maliki, Imam Syafi’I dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran
yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam
masyarakat.
6.      Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-
permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin
negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan
terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak
menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam
menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.

Sebagaimana pada periode Sahabat- D.     Sumber-Sumber Tasyri Pada Zaman Tabi’in
sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-
sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,yakni: Al-Qur’an,As-
Sunnah,Al-Ijma’, dan Al-Qiyas
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka
memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash
itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni;
penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat
Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki system
atau bentuk penulisannya serta pemberian baris dan harokat.

Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih
memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu
menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-qur’an. Dan
dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama
kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H.
Ia menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin
Hazm[6]:
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian
tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya)
ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan)
Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka
berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan
memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-
sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.
Pada zaman Nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan
kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman
dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah
kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang
seharusnya berfungsi sebagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih,
sejak zaman muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-
kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk
menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam
banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat
Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu
dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.

Secara umum tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan


oleh sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan
diantaranya mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka
mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh,
mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah,
ijmak sahabat, dan ijtihad.
E.      Faktor perkembangan tasyri` sesudah Tabi`in hingga Sekarang
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-
permasalahan baru yang terjadi yang belum ada pada masa sebelumnya,Karena
perkembangan zaman yang begitu pesat tekhnologi dan elektronika semakin canggih
sehingga banyak Masalah baru yang timbul di dalam masysrakat maka ulama-ulama
harus mengijtihadkan tentang permasalahan tersebut.
F. Kondisi hukum islam pada masa khulafaurrasyidin
1. Kondisi hukum Islam pada masa Abu Bakar

Pada awal kekhalifahan sahabat Abu Bakar as Shidiq, ia memegang kekuasaan tasyri
mengenai problem yang belum ada ketetapan hukumnya menurut nash dalam suatu
lembaga tasyri yang dibentuk dan di hadiri oleh para sahabat. Abu Bakar dikenal sebagai
orang yang jujur dan disegani, ia merupakan salah satu sahabat yang paling dekat dengan
Rasulullah SAW, karena kedeketannya dengan Rasul itulah, ia mempunyai pengertian
yang dalam tentang jiwa keislaman di banding dengan sahabat yang lain.

Di ceritakan dalam riwayat yang dikemukan al Baghawi dalam kitabnya “Masahih as-
Sunnah”, ia menuturkan “Abu Bakar, kalau dihadapkan suatu kasus perselisihan
kepadanya, maka beliau mencari ketetapan hukumnya dalam al Qur’an. Kalau beliau
mendapat ketetapan hukumnya dalam al Qur’an, maka beliau memutuskan perkara
meraka dengan ketetapan menurut al Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam al Qur’an beliau
menetapkan ketetapan hukumnya menurut ketetapan Rasulullah SAW dalam sunnah,
kemudian jika mendapat kesulitan beliau berkonsultasi dengan sesame sahabat, kemudian
berkata “telah dihadapkan kepadaku suatu permasalahan, apakah di antara kalian ada
yang mengetahui bahwa nabi telah menetapkan hukumnya perihal masalah seperti
ini?.Adakalanya sekelompok sahabat berkumpul dan menyebutkan bahwa nabi SAW
pernah menetapkan hukumnya.

Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan, mula-mula dicarinya wahyu dalam
wahyu tuhan. Kemudian dalam dunah nabi, kemudian abu baker bertanya kepada sahabat
nabi yang dikumpulkan dalam majlis. Majlis ini melakukan ijtihad lalutimbullah
consensus bersama yang disebut ijma.

2. Kondisi hukum Islam pada masa Umar Bin Khatab

Selanjutnya pada masa khalifah sahabat Umar bin Khatab, beliau juga banyak melahirkan
keputusan atau ketetapan-ketetapan hukum mengenai permasalahan yang muncul pada
zamannya. Pemerintahan Umar bin Khattab berlangsung selama sepuluh tahun (634-644
M). Umar merupakan sahabat yang mempunyai karakter pemberani dan tegas dalam
menentukan persoalan. Beberapa keputusan dan ketetapan hukum yang terjadi pada
zaman Umar bin Khattab di antaranya mengenai talak tiga yang di ucapkan sekaligus di
suatu tempat pada suatu ketika, di anggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk sebagai
suami istri, kecuali salah satu pihak (istri), kawin terlebih dahulu dengan orang lain.

Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan para wanita karena di
zamannya banyak pria yang dengan mudajh menjatuhkan talak tiga sekaligus kepada
istrinya untuk dapat dicerai dan kawin dengan yang lainnya. Hal ini pada zaman sahabat
Abu Bakar sebagai khalifah di anggap sebagai talak satu.Umar menetapkan garis hukum
demikian, untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada
dalam tangannya.

Dalam masalah zakat, al Qur’an menegaskan bahwa golongan yang berhak menerima
zakat salah satunya adalah para muallaf (orang yang baru masuk Islam).Maka pada masa
Umar, para muallaf tidak lagi di beri zakat, dengan alasan pemberian zakat pada muallaf
diberikan karena mereka memerlukan perhatian dan bantuan dari ummat Islam yang kuat
dalam memeluk Islam. Umar bin khattab menganggap bahwa pada zamannya, Islam telah
kuat kedudukannya dalam msyarakat, dan para muallaf pada zamannya telah cukup kuat
untuk mempertahankan keimanannya.

Dalam hal hukum potong tangan yang dijelaskan al Qur’an surah al Maidah. 38, bagi
orang yang mencuri di ancam hukuman potongan tangan. Pada masa Umar, teerjadi
kelaparan dalam masyarakat semenanjung Arabia, maka dalam keadaan masyarakat yan
ditimpa kelaparan tersebut, ancaman terhadap pencuri yan disebutkan dalam al Qur’an
tidak diberlakukan pada zaman kepemimpinan khalifah Umar. Berdasarkan pertimbangan
keadaan (darurat) dan kemaslahatan masyarakat.

Kemudian dalam al Qur’an surah al Maidah.5,terdapat ketentuan yang membolehkan pria


Muslim menikahi wanita ahli kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).Akan tetapi khalifah
Umar melarang perkawinan yang demikian, untuk melindungi wanita Muslim dan
keamanan rahasia Negara (Mohammad Daud Ali. 175, 2009).

3. Kondisi hukum Islam pada masa Utsman Bin Affan

Selanjutnya masuk ke dalam masa ke khalifahan Utsman bin Affan yang berlangsung dari
tahun 644-656 M, produk hukum yang dibangunnya dapat juga dilihat dari jasa-jasa
besarnya yang paling penting yaitu tindakannya telah membuat al Qur’an standar
(kodifikasi al Qur’an). Standarisasi al Qur’an dilakukannya karena pada masa
pemerintahannya, wilayah Islam telah sangat luas dan di diami oleh berbagai suku
dengan bahasa dan dialek yang berbeda.

Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan
tentang ayat-ayat al Qur’an yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara
mengungkapkan itu, menimbulkan perbedaan arti, saat berita ini sampai kepada Usman,
ia lalu membentuk penitia yang di ketuai Zaid bin Tsabit untuk menyalin al Qur’an yang
telah dihimpun pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah (janda nabi
Muhammad SAW).Panitia tersebut bekerja secara disiplin, menyalurkan naskan al
Qur’an ke dalam Mushaf untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan al Qur’an
di wilayah kekuasan Islam pada waktu itu.
4. Kondisi hukum Islam pada masa Ali Bin Abi Thalib

Pada zaman ke khalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib (656-662 M), Ali tidak banyak
mengambangkan hukum Islam, dikarenakan Negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-
bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara
yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar
yakni, kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah dan Syi’ah.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya
partai politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah
Islam juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengruh besar terhadap
penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an.
Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang selalu menyertai
sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa ini pula mulai timbul
pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara pemuka tasyri’ yang disebabkan
oleh  perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda,
perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para
pemuka tasyri’ yang berlainan(tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan ra’yu
yang berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedaan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan al-
ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah pemikirannya
terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah. Jumhur
pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan dari makalah kami yang berjudul “Fakto-Faktor
Perkembangan tasyri' semoga bermanfaat bagi kita semua. Dalam penyusunan makalah
ini, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik
sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.


Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki
Putra.Semarang.
Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad
Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.  Bandung:
Rosda.
ROIBIN. 2007. TASYRI’ DALAM LINTAS SEJARAH.
HTTP://EL-GHAZALI.BLOGSPOT.COM. DIAKSES: 17-04-2009,

Anda mungkin juga menyukai