Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah
legislasi pembentukan hukum syari’at islam, asas tasyri’ dalam al – Quran,
penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan fuqaha dalam generasi
pertama. Tumbuhnya embrio golongan politik dan pengaruhnya atas
perkembangan hukum islam masa berikutnya. Sehingga munculah istilah – istilah
fiqh dan tokoh – tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa
pasca kemajuan dan reaktualisasi hukum islam di dunia Islam.

Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui
urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqh
islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang
definisi syari’at, fiqh, periodisasi perkembangan hukum islam, sumber – sumber
hukum islam serta madzhab – madzhab fiqh. Namun dalam pembahasan makalah
ini akan lebih di fokuskan terhadap pembahasan periodisasi perkembangan hukum
islam setelah mengalami kemajuan dan kemunduran.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi hukum islam pada masa perkembanganya..?
2. Apa maksud dari hukum dan syari’ah.?
3. Bagaimana hukum pada masa periode taqlid.?

C. Tujuan
1. Dapat memberikan kepamahan tentang kondisi sejarah hukum islam
2. Mengetahui definisi hukum dan syari’ah dalam islam
3. Memahami penerapan hukum pada masa taqlid

BAB II

1
Tarikh syar’i 2012 hal.10

1
PEMBAHASAN

A. Kondisi Hukum Islam Dan Perkembangannya


Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi
tahapan perkembangan syari’at islam. Diantara mereka ada yang
menjadikan pembagian syari’at islam sama seperti perkembangan manusia
dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak –
kanak, dewasa dan zaman tua. Demikian juga halnya dengan syari’at islam
dalam perkembangan dan perjalananya. Ada juga yang menjadikan
pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri – ciri utama yang
juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka yang
menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan
syari’at islam. Sebagian mengatakan 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang
6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan tujuh 2. Pendapat yang lebih
tepat dari pembagian ini, yaitu pendapat yang mengatakan ada 4 fase
sebagai berikut :

1.Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup


Rasulullah saw, sehingga dapat kita istilahkan sebagai fase penurunandan
kedatangan wahyu.
2.Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan
tabi’in sampai zaman pertengahan abad IV H.
3.Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad IV sampai abad
XII H.
4.Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad XII sampai sekarang.
Namun sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam secara
singkat dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu :

1.Periode pertama, Masa Nabi Muhammad saw

2.Periode kedua, Masa Khulafa al Rasyidin

2
H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembahruan dalam Islam

2
3.Periode ketiga, Masa Perkembangan dan Pembukuan

4.Periode keempat, Masa Kemunduran

5.Periode kelima, Masa Pembaharuan dan Kebangkitan3


B. Definisi Hukum Islam

Jika berbicara tentang hukum, maka sepintas akan terlintas dalam pikiran kita
sebuah peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur segala tingkah laku
manusia, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
atau memang peraturan itu sengaja dibuat dan ditegakkan oleh penguasa. Hukum
dalam konsepsi Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam
konsepsi perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat4. Di
samping itu ada konsepsi hukum lain, diantaranya adalah hukum Islam. Dasar dan
kerangka hukumnya ditentukan oleh Allah, yang tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, manusia
dengan alam sekitarnya5. Ada dua pandangan mengenai hukum Islam, yaitu
pandangan keabadian dan pandangan keberubahan6. Pertama, pandangan
keabadian sebagaimana yang dipegangi oleh sejumlah besar Islamisis seperti C.S.
Hurgronje dan Josep Schacht, serta oleh kebanyakan juris muslim lain yang hadits
oriented (tradisionalis). Mereka berpendapat bahwa dalam konsep dan
perkembangannya serta metodologinya, hukum Islam bersifat abadi. Mereka
mempertahankan pendapat bahwa hukum Islam mencari landasannya pada wahyu
Tuhan melalui Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan
hadits. 7Sehingga hukum bersifat statis, final dan tidak menerima perubahan

3
Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami, op. cit., hlm. 101
4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, edisi VI, cet. X, 2002, hlm. 38
5
Ibid, hlm. 38-39
6
Ibid, hlm. 46
7
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah (Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam),
Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 45

3
Kedua, pandangan keberubahan yang berpendapat bahwa hukum Islam memiliki
ciri yang dinamis, fleksibel dapat berubah dan dalam kenyataannya juga hukum
selalu berubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Yang menekankan
aktivitas ijtihad.6 Di dalam al-Qur'an dan Sunnah, istilah al-Hukm al-Islamy tidak
pernah kita jumpai. Istilah yang sering dipergunakan adalah al-Fiqh alIslamy atau
al-Syari’at al-Islamiyyah. 7 Untuk itu pemahaman terhadap istilah syari’ah dan
fiqh akan sangat membantu untuk memahami pengertian hukum Islam secara
utuh.

4
- Syariah

Secara harfiah, kata syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air yang
digunakan untuk minum,8 yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim.
Menurut ulama ushul fiqh, syari’ah adalah ketetapan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat, baik berupa
tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat dan penghalang) 8. Al-Qur'an
menggunakan kata syir’ah dan syari’ah, 10 dalam arti din (agama), dengan
pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia, atau dalam arti jalan
yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia 9. Fazlur Rahman
mengemukakan bahwa syari’ah erat hubungannya dengan ad-diin, bahkan kadang
keduanya dapat saling dipertukarkan. addiin menurutnya berarti kepatuhan dan
ketaatan. Sedangkan syari’ah merupakan penentu jalan dan subyeknya sendiri
adalah Tuhan, maka addiin adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan
subyeknya adalah manusia. Dalam al-Qur'an disebutkan: “Tuhan telah
menetapkan jalan yang harus kamu ikuti” dan juga “Lalu apakah mereka
mempunyai Tuhan-tuhan lain yang telah menetapkan jalan yang harus mereka
ikuti. Kalau kita kembalikan pada asal rujukannya yaitu Tuhan dan kepada
manusia, maka syari’ah dan ad-diin adalah identik selama menyangkut jalan
tersebut dan apa yang terkandung di dalamnya. Sementara Abu Hanifah
membedakan antara ad-diin dan syari’ah. Ad-diin menurutnya tidak pernah
berubah sementara syari’ah selalu mengalami perubahan sesuai perjalanan
sejarah.

Yang dimaksud dengan ad-diin adalah pokok-pokok iman, seperti


kepercayaan pada keesaan Allah, iman pada Rasul-rasul, percaya hari akhir dan
lain-lain, sedangkan syari’ah merupakan kewajiban-kewajiban yang harus
dijalankan As-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat mendefinisikan syari’ah
sebagai aturan-aturan bagi orang mukallaf, baik mengenai perbuatan, ucapan
maupun keyakinan mereka10. Manouchehr Paydar, dalam Legitimasi Negara

8
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, cet. XII, 1978, hlm. 96
9
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, terj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad
Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994, hlm. 7
10
Abi Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syari’ah, jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th., hlm. 61

5
Islam, mendefinisikan syari’ah sebagai seperangkat hukum-hukum suci untuk
mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya serta mempersiapkan diri
mereka dalam menghadapi hari akhir kelak.

C. Penerapan Hukum Pada Masa Taqlid

( Permulaan Abad Empat Sampai Runtuhnya Kota Bagdad), Periode taqlid


atau era kemunduran ini terjadi setelah masa keemasan. Era ini ditandai dengan
munculnya iklim penjelasan permasalahan yang telah dikaji sebelumnya tanpa
memberikan pemikiran baru, merumuskan kembali metode para pendiri madzhab
dan mencapai puncaknya pada pembelaan fanatik terhadap pendapat para imam
madzhab11. Faktor lain yang menyebabkan hukum Islam mengalami kemandekan
adalah perselisihan teologis yang mengakar pada fanatisme madzhab. Kondisi ini
diperburuk oleh situasi politik yang tidak stabil yang membuat para ulama sibuk
dalam urusan negara dan melakukan urusan fiqh. Selain itu juga disebabkan
adanya perang salib di bawah arahan Gereja Katolik Romawi, dan serbuan tentara
Barbar di bawah kepemimpinan Holago Khan dari Tartar Periode ini terjadi pada
pertengahan abad IV H, bersamaan dengan saat beberapa persoalan yang
dihadapi, politik, intelektual, moral dan sosial yang mempengaruhi prinsip-prinsip
kebangkitan mereka dan menghalangi aktivitas mereka dalam berijtihad.12

Pada periode ini aktivitas yang dilakukan para ahli hukum Islam adalah,
penta’lilan hukum-hukum (penelitian terhadap illat-illat hukum), Pentarjihan
pendapat-pendapat yang bertentangan dalam madzhab dan Dukungan terhadap
madzhab tertentu yang dianut (fanatisme madzhab).13

11
Syafiq Mahmadah Hanafi dan Fatma Amilia, “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid” dalam
Ainurrofiq, (ed.), Madzhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2002, hlm. 82
12
Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami, op. cit., hlm. 101
13
Muhammad Ali Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, op. cit., hlm. 167-170

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya hukum diyakini oleh masyarakat sebagai suatu norma atau
aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Ini dimaksudkan, ketentuan hukum harus
mampu menangkap aspirasi masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang. Di
samping itu, ia juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial
masyarakat di masa depan. Karena hukum bukan sekedar norma statis yang
mengutamakan kepastian dan ketertiban, tetapi merupakan norma-norma yang
mampu mendinamisir pemikiran dengan kata lain, hukum harus berfungsi sebagai
alat kontrol sosial. Hal ini dapat terwujud apabila ada suatu fungsi yang dinamis
dalam sistem hukum, dan dapat disebut dengan ijtihad. Dari hal-hal di atas maka
tampak bahwa antara upaya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dengan
fenomena hukum yang terus berkembang dan berubah memiliki hubungan yang
sangat erat. Sehingga aktivitas ijtihad dapat dilakukan karena dipengaruhi oleh
perubahan sosial agar tercapai kemaslahatan umat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Al Farizi, Mudrik. “Ijtihad, Taqlid dan Talfiq,” al-Mabsut; Jurnal Studi Islam dan
Sosial, Vol. 8, No. 2, (2014).

Al-Subki, Tajuddin, Jam'ul jawami'. Beirut: Dar al-Fikr. 2000.

Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Raddu ‘Ala man Akhlada ila al-ardi wa Jahila ‘An al-
Ijtihada fi Kulli ‘Asrin Fardun, Bairut: Dar al-Fikri, 1983.

Arief, Abd. Salam. “Ijtihad dan Dinamika Hukum Islam”, In Right; Jurnal Agama
dan Hak Azazi Manusia, Vol. 7, No. 1, November (2017).

Arsjad, Rasyida. “Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Perspektif Empat


Madzhab”, Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, Volume 1, Nomor 1, Juni (2015).

Bahar, Muchlis. Metode ijtihad Yusuf al-Qaradhawi dalam Masalah-Masalah


Kontemporer, Jakarta: Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2001.

Harisudin, M.N. “Ijtihad dan Taqlid Dalam Pandangan K.H. Abd. Muchith
muzadi”, Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 2 September (2011).

Idami, Zahratul. “Ijtihad dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan


Ketatanegaraan dalam Sejarah Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 55, Th.
XIII, Desember, (2011).

Anda mungkin juga menyukai