Anda di halaman 1dari 19

Perkembangan Pemikiran

Hukum Islam
Dipublikasi pada 6 April 2014 oleh Jurnal Tahkim

Perkembangan Pemikiran Hukum Islam

Abd. Khalik Latuconsina*


Pendahuluan
Syariat Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis adalah bersifat konstan, tidak dipengaruhi
oleh dimensi ruang dan waktu. Namun interpretasi umat Islam terhadap syariat Islam dapat
berubah, sesuai dengan perubahan kondisi sosio historis, mobilitas sosial dan kemajuan zaman.
[1]
Interpretasi terhadap syariat  memang sangat perlu mengingat titah Allah  yang terdapat dalam
Alquran yang bernilai hukum, dan sunnah Nabi saw sangat terbatas jumlahnya, sedangkan yang
akan diatur dengan jumlah yang terbatas itu sangat luas cakupannya, yaitu segala sesuatu yang
harus diperbuat oleh seseorang dalam kehidupannya di dunia, serta persiapannya untuk di
akherat kelak, baik dalam hubungan vertikal dengan Allah maupun dalam hubungan horisontal
dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.[2]
Kegiatan menginterpretasikan syariat pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan doktrin
syariat yang transenden  ke dalam keten-tuan hukum yang dapat diaplikasikan manusia dalam
kehidupan profan. Ketentuan hukum yang digali dan dirumuskan dari syariat itu biasa dikenal
dengan hukum Islam, atau fiqhdalam istilah ulama klasik.
Dengan demikian, syariat sebagai jalan lurus yang dapat menuntun manusia dalam mengarungi
lalu lintas kehidupan, baru akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata oleh manusia
umumnya dan umat Islam khususnya, setelah dirumuskan melalui penafsiran ulama atau
mujtahid. Hal ini bukan saja menyangkut problem sosial yang tidak disinggung dalam Alquran
dan hadis, tetapi juga yang menyangkut ayat Alquran dan hadis yang mengandung nilai hukum.
Dalam konteks inilah pemikiran dalam hukum Islam mengalami dinamika dan perkembangan
selama 14 abad sejak diturunkan ke alam dunia.

Jelasnya, bahwa karena hukum Islam bertujuan untuk mengatur kepentingan manusia untuk
memperoleh kemaslahatan hidupnya, maka pemikiran dalam hukum Islam senantiasa
berkembang dan berjalan sesuai dengan situasi, kondisi dan gerak laju perkembangan umat
Islam. Dalam hal itu perlu diketahui, bahwa dinamika perkembangan pemikiran dalam hukum
Islam tidak saja mengalami kemajuan dalam setiap periodenya, namun pada waktu tertentu
mengalami stagnasi dan degradasi.[3] Dengan kata lain, perkembangan pemikiran dalam hukum
Islam mengalami pasang surut dalam masing-masing periode perkembangannya.  
Selaras uraian di atas, para pakar telah memberikan periodesasi perkembangan pemikiran
dalam hukum Islam, sesuai dengan babakan sejarah (historical background) yang dialami oleh
hukum Islam. Periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam yang dikaji para pakar
tersebut erat kaitannya dengan kepentingan ilmiah.
Periodesasi Perkembangan Pemikiran  Hukum Islam
Istilah  periodesasi mempunyai kata dasar, periode dan mendapat imbuhan sasi. Kata “periode”
berarti “kurun waktu; ling-karan waktu (masa).” Sedangkan “periodesasi,” berarti “pembagian
menurut zamannya, penzamanan, pembabakan.”[4]
Dalam memahami perkembangan hukum Islam dikenal  ilmu sejarah sosial hukum Islam yang
mempelajari sejarah kehidupan suatu masyarakat yang ada hubungannya dengan proses
kelahiran dan perkembangan hukum Islam. Melalui ilmu ini, tujuan dan motivasi lahirnya produk-
produk hukum Islam dapat diketahui. kajian ini berguna membantu para pemikir hukum Islam
dalam mengembangkan hukum Islam dan penerapan produk-produknya sesuai dengan
kehidupan masyarakat.[5]
Pembahasan tentang penentuan periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam
dianggap penting, karena pemikiran dalam hukum Islam pada hakekatnya mengalami dinamika
perkembangan. Perkembangan  pemikiran dalam hukum Islam itu sendiri dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa periode. Namun para ahli berbeda pendapat dalam penentuan
periodesasinya.[6]
Muhammad Ali al-Sayis, membagi periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam
menjadi enam periode, yaitu:

a. Hukum Islam zaman Rasul

b. Hukum Islam zaman Khulafa

c. Hukum Islam zaman Pasca Khulafa hingga awal abad 2 H

d. Hukum Islam zaman  awal  abad 2 H hingga pertengahan abad 4 H.

e. Hukum Islam zaman pertengahan abad 4H hingga Bagdad hancur

f. Hukum Islam sejak zaman kehancuran Bagdad hingga kini.[7]


Muhammad Khudari Bek, menetapkan periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam
menjadi enam periode juga, tetapi dengan kategorisasi yang berbeda. Menurutnya, periodesasi
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam, adalah:

a. Hukum Islam zaman Rasul

1. Hukum Islam zaman sahabat besar


c. Hukum Islam zaman sahabat kecil

d. Hukum Islam zaman fikih menjadi ilmu yang mandiri

e. Hukum Islam zaman perdebatan untuk membela imam masing-masing

f. Hukum Islam zaman taklid.[8]


Perlu dikemukakan bahwa Khudari Bek merupakan pakar dunia Timur yang merintis sejarah
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam yang menjelaskan pertumbuhan dan
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam dengan mengaitkan sejarah kehidupan sosial
yang mempengaruhinya.[9]
Pembagian yang lebih sederhana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Ia menetapkan,
bahwa periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam, adalah:

a. Hukum Islam zaman Rasul

b. Hukum Islam zaman sahabat

c. Hukum Islam zaman imam pendiri mazhab

d. Hukum Islam zaman statis.[10]


Mustafa Sa’id al-Khinn, berpendapat bahwa periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum
Islam, adalah:

a. Hukum Islam zaman Rasul

b. Hukum Islam zaman sahabat

c. Hukum Islam zaman tabi’in

d. Hukum Islam zaman taklid

e. Hukum Islam zaman sekarang.[11]


Pendapat Mustafa Sa’id al-Khinn ini hampir senada dengan pendapat Umar Sulaiman al-Asyqar
yang membagi periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam atas:

a. Hukum Islam zaman Rasul

b. Hukum Islam zaman sahabat

c. Hukum Islam zaman tabi’in

d. Hukum Islam zaman pendiri mazhab

e. Hukum Islam zaman statis

1. Hukum Islam zaman sekarang.[12]


Dari kalangan ulama Indonesia, T.M. Hasbi Ash Shiddieqy menganggap hukum Islam tumbuh
berangsur-angsur hingga mencapai puncak perkembangannya.  Menurutnya  periodesasi
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam atas:

a. Hukum Islam zaman pertumbuhan

b. Hukum Islam zaman sahabat dan tabi’in

c. Hukum Islam zaman kesempurnaan


d. Hukum Islam zaman kemunduruan

e. Hukum Islam zaman kebangkitan.[13]


Subhi Mahmasani, pakar sejarah dan filsafat hukum Islam dari Iran, membagi perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam atas lima periode, yaitu:

a. Hukum Islam zaman Nabi saw

b. Hukum Islam zaman Khulafa Rasyidin dan Umawiyun

c. Hukum Islam zaman keemasan Abbasiah

d. Hukum Islam zaman kemunduruan dan taklid

e. Hukum Islam zaman kebangkitan.[14]


Periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam yang dikemukakan oleh para ahli
tersebut pada hakekatnya memiliki kesamaan secara substansial, yaitu sama-sama bertolak dari
zaman Rasul sebagai periode pertumbuhan awal pemikiran dalam hukum Islam. Begitu pula
pada zaman, walau pun dengan sedikit perbedaan. Ada yang menggunakan zaman sahabat,
ada juga yang menggunakann zaman Khulāfā Rāsyidūn. Namun untuk perkembangan
selanjutnya ternyata para ahli mempunyai pendapat yang berbeda.
Perlu dikemukakan pula, pendapat Jaih Mubarok mengenai periodesasi perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam. Menurutnya, karena hukum Islam mempunyai kaitan dengan
kekuasaan (politik), maka yang lebih mudah dipahami adalah periodesasi perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam yang didasarkan pada kekuasaan politik. Karena itu, periodesasi
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam, adalah:

a. Hukum Islam zaman Rasul (610-632 M)

b. Hukum Islam zaman Khulafa  (632-661 M)

c. Hukum Islam zaman Dinasti Umayyah (661-750 M)

d. Hukum Islam zaman Dinasti Abbasiah (750-1258 M)

e. Hukum Islam zaman Tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Turki Umani di Turki  sejak Orchan
(1326-1359 M) hingga Bayazid II (1481-1521 M); Dinasti  Safawi di Persia sejak Ishaq Qajar
(1925M); dan Dinasti Mughal di India sejak Zahiruddin Babur (1482-1530 M) hingga dikuasai
Inggris

f. Hukum Islam pasca penjajahan negara-negara Islam berdiri sendiri berdasarkan negara
kebangsaan/nation states (1924- sekarang).[15]
Sedangkan Muhammad Daud Ali, seorang pakar hukum Islam di Indonesia menetapkan
periodesasi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam hukum Islam, adalah:

a. Hukum Islam masa Nabi (610-632 M)


b. Hukum Islam masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)

c. Hukum Islam masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan(abad 7-10 M)

d. Hukum Islam masa kelesuan pemikiran (abad 10-19 M)

e. Hukum Islam masa kebangkitan kembali (abad 19 M-sekarang).[16]


Dari berbagai pendapat tentang priodesasi perkembangan pemikiran hukum Islam di atas,
tampaknya priodesasi yang dikemu-kakan oleh Mohammad Daud Ali, merupakan kompromi dari
semua pendapat itu, karena telah mengakomidir semua pendapat ahli.

1. Periode Nabi saw.


Karena perkembangan pemikiran dalam hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada
syariat sebagai kehendak Tuhan yang transenden, namun juga didasarkan pada realitas sosial,
[17] maka  perlu dipahami ciri-ciri utama tatanan bangsa Arab pra Islam, sebagai berikut:
(1) menganut paham kesukuan;

(2) memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas; faktor
keturunan lebih penting daripada kemampuan;

(3) mengenal hierarki sosial yang kuat

(4) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.[18]


Jelasnya, bahwa agama Islam sebagai induk hukum Islam, muncul di semenanjung Arabiah, di
satu daerah yang tandus dan panas. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia
yang individualistis. Perjuangan mereka memperoleh air dan padang rumput menjadi sumber
penyebab konflik di antara mereka. Karena itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun
berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.[19]
Hingga menjelang Muhammad saw diangkat menjadi Rasulullah saw, bangsa Arab pra Islam
percaya kepada Allah sebagai pencipta, namun ditransformasikan dengan menjadikan berhala,
pepohonan, binatang dan jin sebagai sekutu Allah (syirik).Walau pun begitu ada sebagian kecil
bangsa Arab yang masih mempertahankan akidah monoteism seperti yang diajarkan nabi
Ibrahim as. Dari kalangan minoritas inilah, Muhammad saw dilahirkan dan dibesarkan.

Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai
bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya
adalah:

(1) Istibda, yaitu seorang suami meminta kepada isterinya agar berhubungan biologis dengan
lelaki yang dipandang mulia atau mempunyai kelebihan tertentu. Tujuannya agar memperoleh
anak yang berasal dari orang terhormat/mempunyai keunggulan tertentu.
(2) Poliandri, yaitu beberapa lelaki bergaul dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan
melahirkan, ia memanggil dan memberitahu lelaki yang pernah menggaulinya, bahwa ia telah
memperoleh anak dari hasil hubungannnya dengan mereka. Lalu ia menunjuk salah seorang
dari mereka sebagai bapak anak itu.
(3) Maqtu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia.
(4) Badal, yaitu tukar menukar isteri tanpa bercerai terlebih dahulu  dengan tujuan untuk
memuaskan hubungan seks dan terhindar dari kebosanan
(5) Sigar, yaitu seorang wali menikahi anak atau saudara perempuannya dengan seorang laki-
laki tanpa mahar.[20]
Hukum Arab pra Islam bersumber dari adat istiadat. Dalam bidang muamalah, dibolehkan
transaksi barter, jual beli, kerjasama pertanian, dan riba, serta jual beli spekulatif. Di antara
hukum keluarga yang berlaku adalah dibolehkannya berpoligami dengan perempuan tanpa
batas, serta anak kecil dan perempuan tidak berhak menerima harta warisan.

Setelah Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah, maka mulailah fase baru dalam kehidupan
bangsa Arab. Hukum Islam yang berkembang pada zaman Nabi saw melalui dua fase, aitu fase
Mekkah dan fase Madinah. Pada fase Mekkah dititikberatkan pada perbaikan akidah. Perbaikan
akidah diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan sebelumnya seperti
kebiasaan berperang (membunuh), zina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Juga
diharapkan dapat ditegakkan keadilan, kebaikan dan saling menolong dalam kebaikan dan
takwa serta menghindari saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Pada fase Madinah muncul hukum kemasyarakatan yang mencakup muamalat, jihad, jinayat,
mawaris, wasiat, talak, sumpah dan peradilan.[21] Dengan demikian berdasarkan wahyu yang
diterimanya, Nabi saw menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam
masyarakat Islam pada masa itu,[22]termasuk meluruskan praktek-praktek hukum yang
menyimpang selama pra Islam. Dalam konteks ini Nabi saw melarang riba, dan sistem jual beli
spekulatif. Begitu juga sistem kewarisan diperbaiki dengan memberikan hak kepada anak kecil
dan perempuan. Poligami tetap diperbolehkan tetapi terbatas empat orang isteri saja dengan
syarat suami harus adil kepada para isterinya. Sedangkan perkawinan pra Islam dilarang.
Kebiasaan berjudi, meminum minuman keras, mengundi nasib dilarang. Kesemuanya
didasarkan kepada wahyu. Dengan demikian hukum Islam yang berasal dari Alquran
mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat Arab pra Islam seperti hukum poligami,
syarat-syarat penerimaan harta warisan, sanksi potong tangan bagi pencuri.[23]
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa hukum Islam yang berkembang pada zaman Nabi
saw adalah hukum yang ditentukan langsung oleh Alquran dan hadis, sehingga ia termasuk
hukum ilahiah,[24] dan bukan dihasilkan ijtihad para ulama. Karena dalam banyak kasus, Nabi
saw menunggu wahyu untuk menjawab masalah hukum yang ditanyakan umatnya. Kalau pun
Nabi saw berijtihad, maka itupun dalam koridor dan tuntunan wahyu, sesuai firman Allah dalam
al-Najm (53): 3-4. Walau pun begitu di samping Alquran dan sunnah, ijtihad telah dikembangkan
sebagai upaya merumuskan hukum Islam. Karena di zaman Nabi saw, sahabat yang diutus
menjadi hakim telah melakukan ijtihad, seperti Ali bin Abi Talib dan Muaz bin Jabbal sebagai
hakim di Yaman, dan Huzaifah al-Yamani yang diutus oleh Nabi saw untuk menyelesaikan
sengketa dinding antara tetangga yang masing-masing mengaku bahwa dinding itu miliknya.[25]
Di antara ijtihad sahabat yang dilakukan pada zaman Nabi saw adalah:
a. Suatu hari sahabat Nabi saw berkunjung ke Bani Quraizah. Kepada mereka, Nabi saw
bersabda: Lāyu¡alliyanna ahadukum al-‘a¡ra illā fī Banī Quraizah: ‘janganlah sekali-kali kamu
melak-sanakan salat asar kecuali di bani Quraizah.” Sebelum sampai ke Bani Quraizah, waktu
asar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan salat asar di perjalanan.
Berdasar-kan ijtihadnya, perintah itu adalah supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat
sehingga bisa sampai di bani Quraizah sebelum waktu salat asar habis. Sebagian sahabat lagi
berpegang pada makna tersurat sabda Nabi saw itu sehingga mereka salat di Bani Quraizah
pada malam hari. Setelah berita itu sampai ke Nabi saw, beliau membenarkan kedua tindakan
sahabat itu.
b. Dua orang sahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu salat tiba, mereka tidak mendapat air
untuk berwudu. Keduanya bertayamum dan salat. Setelah selesai salat, mereka mendapat-kan
air. Seorang sahabat berwudu dan salat kembali, sedangkan sahabat yang satunya lagi tidak.
Kemudian keduanya melapor-kan hal itu kepada Nabi saw. Kepada yang tidak berwudu dan
tidak mengulang salatnya, Nabi saw bersabda: asabta al-sunnah; ‘engkau mengerjakan
pekerjaan sesuai sunnah’. Sedangkan kepada sahabat yang wudu dan mengulangi salat, Nabi
saw bersabda: laka al-ajr marratain, ‘engkau mendapat pahala dua kali.’[26]
Jadi, pada periode Nabi saw hukum Islam bersumber langsung dari Alquran dan sunnah Nabi
saw. Ijtihad sahabat  yang terjadi waktu itu mempunyai nilai sunnah taqririah, sebab mendapat
penetapan dari Nabi saw, baik berupa pembenaran mau pun berupa koreksi pembetulan
terhadap apa yang dilakukan sahabat itu.[27]
Dengan demikian, embrio pemikiran dalam hukum Islam telah muncul pada zaman Nabi saw.
Pemikiran dalam hukum Islam baru berkembang pesat pada periode sahabat dan tabi’in. Karena
problem hukum (sosial kemasyarakatan) yang terjadi pasca wafatnya Nabi saw lebih komplek
dibandingkan dengan yang terjadi di zaman Nabi saw, serta di zaman itu wahyu telah berhenti
dan Nabi saw pun sebagai musyarri’ telah tiada.
2. Periode Sahabat
Dengan wafatnya Nabi saw, berhentilah wahyu yang turun selama  22 tahun 2 bulan 22 hari
yang diterima Nabi saw. Demikian juga sunnahnya. Yang menjadi perhatian para sahabat saat
itu adalah persoalan pengganti Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala
negara. Untuk itu para sahabat bermusyawarah untuk menen-tukan siapa yang layak
menggantikan kedudukan Nabi saw tersebut. Dalam hal ini para sahabat ternyata mengalami
perbedaan pendapat, baik antara muhajirin dan ansar mau pun antara muhajirin sendiri.
Problem tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan dikede-pankannya  pengerahan potensi
pemikiran para sahabat dengan meng-acu kepada peristiwa menjelang Nabi saw wafat, yaitu
Abu Bakar al-Siddiq pernah ditunjuk oleh Nabi saw menggantikannya sebagai imam dalam salat
berjamaah. Kedudukan Abu Bakar sebagai imam salat menggantikan Nabi saw itu direntangkan
kepada persoalan kepe-mimpinan umat. Sehingga akhirnya mereka sepakat untuk memilih dan
mengangkat (membaiat) Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah.

Proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah itu dapat dipahami sebagai sebuah proses
pemikiran dalam hukum Islam. Karena dalam kasus itu mereka menerapkan metode analogi
atau qiyas yaitu menyamakan posisi Abu Bakar sebagai imam dalam salat menggantikan nabi
saw dengan posisi pimpinan masyarakat dan kepala negara, karena memiliki
kesamaan illat hukum, imam adalah pemimipin, atau orang yang diikuti.
Di masa kepeimpinannya, Abu Bakar melakukan beberapa pemikiran dalam
(mengistinbatkan)hukum Islam terhadap problem yang dihadapinya, antara lain:
a. Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Jika ada, ia putus-kan berdasarkan ketetapan yang
ada dalam Alquran.

b.Jika tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari keten-tuan hukum dalam sunnah, jika
ada ia putuskan berdasarkan ketetapan dalam sunnah itu

c. Jika tidak menemukannya dalam sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Nabi saw
pernah memutuskan persoalan yang sama di zamannya. Jika ada yang tahu, ia memutuskan
masalah itu berdasarkan keterangan sahabat setelah memenuhi beberapa syarat.

d. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar
sahabat dan bermusyawarah untuk memutuskan masalah itu. Jika ada kesepakatan di antara
mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.[28]
Jadi, khalifah Abu Bakar tidak memutuskan sendiri problem hukum yang dihadapinya. Abu Bakar
juga mengambil tindakan memerangi orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat, dan
dilakukannya usaha pengumpulan ayat-ayat Alquran atas saran Umar bin Khattab. Yang jelas,
bahwa khalifah Abu Bakar telah meletaklan dasar-dasar pengembangan pemikiran hukum Islam.

Umar bin Khattab yang menggantikan Abu Bakar melakukan hal yang sama dengan Abu Bakar
dalam memecahkan suatu masalah hukum Islam. Namun demikian  kesepakatan (ijma) yang
bisa diadakan di masa Abu Bakar, telah  menjadi sulit dilakukan di masa Umar. Karena para
sahabat telah mulai terpisah tempat di daerah-daerah yang jatuh di bawah kekuasaan Islam,
baik di Mesir, Suria, Irak mau pun Persia. Tetapi karena sahabat mempunyai wibawa besar,
ijtihad mereka bisa diterima umat dengan mudah.[29]
Umar pun melakukan beberapa langkah yang mendorong pemikiran dalam hukum Islam, antara
lain:

(1) melanjutkan usaha Abu Bakar dalam menyiarkan Islam.

(2) menetapkan tahun Islam yang kemudian dikenal tahun hijriah berdasarkan peredaran bulan
Qamariah.

(3) menetapkan salat tarawih dalam bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat

(4) sikap toleran terhadap umat non Islam.[30]


Di samping itu banyak tindakan Umar dalam masalah hukum melalui ijtihadnya, di antaranya:

(1) Talak tiga yang diucapkan sekaligus di suatu tempat dan disuatu waktu, dianggap sebagai
talak yang tidak bisa rujuk sebagai suami isteri, kecuali bekas isteri telah menikah dengan laki-
laki lain terlebih dahulu kemudian cerai. Tujuannya untuk  melindungi kepentingan isteri (wanita)
dari penyalahgunaan hak talak dari suami.
(2) Muallaf tidak diberi bagian dari zakat, walau pun muallaf termasuk salah satu golongan yang
mendapat zakat yang disebutkan oleh Alquran. Pertimbangannya adalah karena Islam telah kuat
sehingga tidak perlu diberikan keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh masyarakat
Islam.

(3) Orang yang mencuri dalam musim kelaparan tidak dikenakan hukuman potong tangan, walau
pun QS. Al- Maidah: ayat 38 mengancam hukuman potong tangan bagi pencuri. Ijtihad Umar
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan darurat.

(4)  Walaun Alquran membolehkan laki-laki muslim boleh menikahi wanita kitabiah, namun Umar
melarangnya, untuk melindungi kedudukan wanita Islam dan keamanan (rahasia) negara.[31]  
Setelah Umar wafat, posisinya digantikan oleh Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Di
antara pemikiran hukum Islam yang digagas Usman bin Affan, adalah bahwa isteri yang dicerai
suaminya yang sedang sakit yang kemudian suaminya meninggal dunia karena sakitnya itu,
mendapatkan harta warisan, baik isteri itu dalam masa iddah mau pun tidak.[32] Usman juga
menetapkan azan dua kali dalam salat Jumat, yakni sekali saat masuk waktu salat jumat dan
sekali saat khatib duduk di atas mimbar. Dengan alasan, umat Islam saat itu telah banyak. Di
masanya pula mushaf Alquran standar dicetak yang diberlakukan kepada seluruh penjuru dunia
Islam, agar terdapat keseragaman dalam pembacaan Alquran.[33]
Ali bin Abi Talib, pengganti Usman, sebagai khalifah keempat tidak terlalu banyak mencurahkan
perhatiannya kepada pengem-bangan pemikiran dalam hukum Islam karena negara dalam
kondisi tidak stabil sehingga perhatiannya terfokus untuk mengamankan negara. Namun
demikian Ali telah memberikan sumbangan dalam pengembangan pemikiran dalam hukum
Islam, di antaranya:

(1) sanksi peminum khamar adalah 80 kali cambuk karena tinda-kannya meminum khamar
dianalogikan dengan penuduh zina. Walaupun Alquran tidak menjelaskan hukuman peminum
khamar. Alasannya, bahwa jika minum khamar, orang akan mabuk, orang mabuk akan menuduh
dan sanksi bagi penuduh adalah 80 kali cambukan.[34]
(2) seseorang menikah dengan seorang wanita. Saat ia bermaksud melakukan perjalanan tanpa
membawa isterinya, keluarga isterinya mengancam bahwa isterinya telah jatuh talak  jika tidak
dapat mengirimkan nafkah maksimal dalam satu bulan. Setelah waktu yang ditentukan telah
berakhir, isteri belum mendapat kiriman. Hal itu diadukan kepada Ali. Ali menolaknya,
maksudnya bahwa sumpah atau akad talak yang disertai dengan syarat adalah tidak sah.[35]
Di samping keempat khalifah tersebut banyak juga sahabat yang menaruh perhatian dalam
pengembangan pemikiran dalam hukum Islam. Di antaranya Ibn Mas’ud yang berpendapat
bahwa masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, adalah sampai
melahirkan. Karena menganggap ketentuan hukum dalam QS al-Baqarah (2) : 234 mencakup
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil atau pun tidak. Karena bersifat
umum maka dapat ditakhsiskan oleh ketentuan hukum dalam QS. Al-Talaq ayat 4.
Begitu pula tentang masa iddah wanita yang ditalak suaminya yang ditentukan QS al-Baqarah
(2) : 228 selama tiga kali qurū’.  Dalam hal ini Khulafa Rasyidin, Abu Musa al-Asy’ari dan
Ubaidah bin Samit berpendapat bahwa qurū’ pada ayat itu berarti haid. Sehingga mereka
menetapkan masa iddahnya tiga kali haid. Sedangkan Aisah dan Zaid bin Sabit
berpendapat qurū’ itu berarti suci. Sehingga mereka menetapkan masa iddahnya tiga kali suci.
[36]
Dengan demikian pada zaman Khulafā’ Rasyidun telah terjadi pengembangan pemikiran dalam
hukum Islam dalam tataran yang hampir sama dengan yang terjadi di zaman Nabi saw.
3. Periode Tabi‘in
Setelah masa khalifah yang empat berakhir, periode selanjutnya adalah zaman tabi‘in dalam
pemerintahan bani Umayyah, yang dirintis oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang sebelumnya
menjadi gubernur Damaskus.
Pada periode ini perkembangan pemikiran dalam hukum Islam ditandai dengan munculnya
beberapa aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum.  Di antara
faktor-faktor yang mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam, adalah:

1. Perluasan wilayah
Sejarah mencatat bahwa ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman khalifah. Langkah awal
yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu
kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah kemudian melaku-kan ekspansi ke Barat
sehingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai Samudera Atlantik.
Penak-lukan ke Spanyol dilakukan pada zaman pemerintahan Walid bin Abd. Malik.

Pada zaman Abu Bakar dan Umar, sehabat dicegah keluar dari Madinah agar tidak
menyebarkan hadis secara sembarangan dan dapat bermusyawarah dalam menghadapi
persoalan hukum yang penting. Tetapi pada zaman Usman, sahabat dibolehkan keluar dari
Madinah.[37] Sehingga Usman kesulitan mengumpulkan sahabat untuk menyelesaikan masalah-
masalah penting. Demikian pula setelah zaman Usman.
Dengan semakin luasnya wilayah yang dikuasai pemerintah Islam, berarti banyak juga persoalan
yang dihadapi oleh umat Islam, yang membutuhkan penyelesaian berdasarkan Islam. Dengan
demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam.

1. Perbedaan penggunaan ra’yu


Pada zaman tabi’in, fuqaha berkembang menjadi dua aliran, yakni aliran hadis (madrasah al-
hadis ataumadrasah al-Madinah), dan aliran ra’yu (madrasah al-ra’yi atau madrasah al-
Kufah). Munculnya dua aliran pemikiran dalam hukum Islam itu semakin mendorong
perkembangan khtilāf,  dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam. Ini membuktikan, bahwa dalam Islam telah ada kebebasan
berpikir dan masing-masing saling menghargai. 
Dalam mengembangkan pemikiran dalam hukum Islam, langkah-langkah yang dilakukan,
adalah:
(1) mencari ketentuannya dalam Alquran

(2) apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam Alquran, mereka mencarinya dalam  sunnah

(3) apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat
sahabat

(4) apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.[38]


Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum Islam pada periode tabi’in, adalah
(1) Alquran, (2) sunnah,  (3) ijma dan pendapat sahabat, (4) ijtihad.
Pada periode tabi’in ini berkembang pemikiran hukum Islam Khawari, Syiah dan Jumhur. Ketiga
aliran ini pada awalnya merupakan aliran politik, karena sumber perbedaan pendapat di antara
mereka berkaitan dengan masalah kepemimpinan umat Islam. Dalam perjalanannya, Khawarij
berubah menjadi aliran kalam, sedangkan Syiah memperkuat eksistensinya dalam aliran politik.
Ada pun jumhur tetap setia mendukung pemerintahan Quraisy.
Di antara pemikiran hukum Islam yang dikembangkan Khawarij, adalah:

(1) pemimpin umat Islam tidak harus keturunan Quraisy.

(2) menolak dan tidak mau melaksanakan tambahan sanksi bagi pelaku zina  yang terdapat
hadis (hukuman pengasingan bagi yang belum nikah dan rajam bagi yang sudah nikah)

(3) sekte al-Maimuniyyah menghalalkan menikahi cucu perempuan, yang diharamkan Alquran
adalah, anak; cucu tidak diharamkan.

(4) menikah dengan wanita yang tidak masuk sekte Khawarij tidaklah sah (sebab mereka
dianggap kafir)

(5) menurut sekte Ibadiyah, jika terjadi perang antar kelompok Khawarij dan umat Islam non
Khawarij, yang boleh dijadikan ganimah hanyalah senjata dan kuda, yang lainnya tidak halal
dijadikan ganimah.[39]
Di antara pemikiran hukum Islam yang dikembangkan Syiah, adalah:

(1) nikah mut’ah, yaitu seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan sejumlah upah,
dan dalam waktu tertentu, adalah sah.
(2)  laki-laki muslim tidak halal menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, sebab surat al-
Maidah ayat 5 telah dinasakh oleh surat al-Mumtahanah ayat 10.
(3)  menolak pembagian harta warisan dengan menggunakan konsep ‘aul.
(4) Nabi Muhammad saw dapat mewariskan harta kepada ahli warisnya

(5) setelah kalimat hayya ‘ala al-falah, saat azan adalah hayya ‘ala khair al-‘amal.
Sedangkan  pemikiran dalam hukum Islam yang dikembangkan jumhur ulama, di antaranya:

(1) menolak keabsahan nikah mut’ah. Nikah  mut’ah haram dilakukan.


(2) menggunakan konsep ‘aul  dalam pembagian harta warisan.
(3) Nabi Muhammad saw tidak dapat mewariskan harta warisan
(4) jumlah wanita yang boleh dipoligami terbatas hanya empat orang saja.[40]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendapat Khawarij dan Syiah cenderung berbeda
dengan jumhur ulama. Namun demikian kesemuanya telah memberikan kontribusi terhadap
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam.

4. Periode Dinasti Abbasiah


Setelah kuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam dilanjutkan oleh dinasti
Abbasiah. Periode ini dikenal sebagai zaman keemasan dalam sejarah pemikiran hukum Islam,
atau fase fikih menjadi ilmu yang mandiri atau fase kesempurnaan.[41]
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam pada periode ini,
adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan di dunia Islam itu disebabkan oleh:

1. Banyaknya mawali  yang masuk Islam. Mereka dimanfaatkan untuk menterjemahkan buku-


buku Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk filsafat karya Aristoteles, Plato dan Galen.[42]
2. Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan.

3. Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Alquran dengan dua cara; dicatat (dikumpulkan
dalam satu mushaf), dan dihafal. Pelestarian Alquran melalui hafalam dilakukan dengan
mengembangkan cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak bacaan Alquran (qira’at).
Adanya perbedaan qira’at (bacaan( tentunya akan mengakibatkan munculnya perbedaan dalam
mengistinbatkan hukum Islam.[43]
Pada zaman Abbasiah ini pemikiran dalam hukum Islam berkembang pesat, yang melahirkan
beberapa mazhab yang masih eksis hingga sekarang, di antaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah
dan Hanabilah yang dikemukakan secara ringkas dalam uraian selanjutnya.

Mazhab Hanafiah dirintis oleh imam Abu Hanifah. Di antara hasil pemikiran hukum Islam yang
dikembangkan Abu Hanifah, adalah:

(1) benda wakaf masih tetap milik wāqif. Kedudukan wakaf dipandang sama


dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Karena itu benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan
dihibahkan oleh wakif  kepada orang lain, kecuali wakaf untuk mesjid, wakaf yang ditetapkan
berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas, bahwa
wakaf itu terus dilanjutkan meski pun wāqif telah meninggal.
(2) wanita boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara
perdata, bukan perkara pidana. Karena wanita tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya
boleh menjadi saksi perkara perdata.

(3) salat gerhana (matahari dan bulan) dilakukan dua rakaat seperti salat ‘Id, tidak dilakukan dua
kali ruku dalam satu rakaat.[44]
Mazhab Malikiah dirintis oleh imam Malik bin Anas. Di antara pemikiran hukum Islam yang
dikembangkan oleh imam Malik, adalah:

(1) kesucian mustahadah.
Menurut imam Malik, wanita yang mengalami istihadah diwajibkan satu kali mandi, kesuciannya
setelah itu cukup dengan berwudu, berdasarkan amal ulama Madinah.
(2) berjimak dengan wanita mustahadah.
Laki-laki diharamkan berjima dengan isterinya yang sedang haid dan nifas.  Tetapi boleh berjima
dengan isterinya yang sedang istihadah.
(3) qamat salat, dilakukan satu kali satu kali.

(4) bacaan salat di belakang imam, makmum disunatkan membaca bacaan salat saat bacaan
salat imam tidak terdengar.

(5) takbir zawa’id dalam salat hari raya idul fitri dan idul adha, adalah 6 kali takbir, selain tabiratul
ihram pada rakaat pertama, sedangkan pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir
bangkit dari sujud.[45]
Mazhab Syafi’iah  dirintis oleh Imam Syafi’i. Hasil pemikiran Imam Syafi’i berkembang dalam dua
model; qaul al-qadīm dan qaul al-jadīd, di antaranya:
No Topik Qaul qadim Qaul jadid

1 Tertib dalam salat Orang yang wudunya tidak tertib Orang yg wudunya tidak tertib,
karena lupa adalah sah meskipun lupa, adalah tidak sah

2 Berturut-turut Berturut-turut dalam memba-suh Berturut-turut dalam membasuh anggota


dalam wudu anggota badan yang wajib dibasuh badan yang wajib dibasuh dalam
dalam berwudu adalah wajib berwudu adalah sunat

3 Menyentuh dubur Menyentuh dubur tidak Menyentuh dubur membatalkan wudu


membatalkan wudu

4 Tayamum dengan Seseorang dibolehkan tayamum Seseorang tidak dibolehkan tayamum


pasir dengan pasir dengan pasir

5 Keutamaan salat Salat isya lebih utama dilaksanakan Salat isya lebih utama dilaksanakan
isya dengan segera dengan  diakhirkan

6 Hukum umrah Ibadah umrah adalah sunnah Ibadah umrah adalah wajib

Selain itu imam Syafi’i juga mengembangkan pemikiran hukum Islam di antaranya:

(1) masalah imamah termasuk masalah agama, karena itu mendirikan imamah merupakan
kewajiban agama. Pemimpin umat Islam harus beragama Islam, dan dari kalangan Quraisy serta
orang-orang non muslim terlindungi.

(2) wanita tidak boleh menjadi hakim secara mutlak.[46]


Mazhab Hanabilah dirintis oleh imam Ahmad bin Hanbal.  Di antara hasil pemikiran hukum Islam
yang dikembangkan imam Ahmad, adalah:
(1) Pencuri yang dapat dipotong tangannya, harus mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan bukan
pemilik walau pun syubhat. Nisab harta yang dicuri minimal ¼ dinar atau 3 dirham

(2) khalifah harus dari kalangan Quraisy. Ketaatan kepada khalifah adalah mutlak.[47]
Dengan demikian dapat diungkapkan, bahwa pemikiran dalam hukum Islam mencapai kemajuan
pesat di zaman dinasti Abbasiah, ditandai oleh: (1) lahirnya para ahli hukum Islam serta (2)
munculnya berbagai teori hukum Islam yang masih dianut hingga sekarang.[48] Jadi pada
periode ini pemikiran hukum Islam terkristali-sasi oleh para imam mazhab, Hanafi, Malik, Syafi’i,
dan Hanbali.  Jika masa-masa sebelumnya metodologi formulasi hukum Islam belum jelas, maka
pada masa imam mazhab, telah diformulasikan secara jelas.[49] Di samping itu di zaman ini
dihasilkan pula berbagai kitab hadis mu’tabar yang dikenal dengankutub al-sittah. Dengan
demikian perkembangan pemikiran dalam hukum Islam mencapai kejayaannya di zaman dinasti
Abbasiah.
5. Periode Taklid
Sejak permulaan abad 4 H atau abad 10-11 M, perkembangan pemikiran dalam hukum Islam
mengalami stagnasi, yang terjadi di penghujung masa pemerintahan dinasti Abbasiah. Karena
para mujtahid telah terfokus mempelajari  hasil pemikiran para mujtahid sebelumnya, bahkan
pintu ijtihad dinyatakan tertutup. Kemunduran pemikiran dalam hukum Islam mengalami
kemunduran pada periode ini disebabkan oleh:

1. Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru.

2. Ketidakstabilan politik ikut mempengaruhi ketidakstabilan berpikir.

3. Pecahnya kesatuan negara/pemerintahan turut mempenga-ruhi merosotnya kewibawaan


pengendalian perkembangan hu-kum, sehingga muncul orang-orang yang tidak layak  berijtihad,
namun berani mengeluarkan fatwa.

4. Timbul gejala kelesuan berpikir di mana-mana, sehingga para ahli tak mampu lagi
menghadapi perkembangan keadaan dengan menggunakan akal pikiran yang meredeka dan
bertanggung jawab.[50]
Pada periode ini muncul ketidakharmonisan di kalangan umat Islam yang diwarnai dengan sikap
saling menyalahkan pendapat ulama lain sehingga sebagian besar waktu dan pikiran terkuras
sia-sia untuk mempertahankan pendapat mazhabnya masing-masing. Pada periode ini muncul
Ibn Hazm al-Zahiri, Abu Hamid al-Gazali, Ibn Taimiah.

6. Periode Kebangkitan Kembali


Setelah mengalami  kelesuan, kemunduran beberapa abad, pemikiran hukum Islam bangkit
kembali sebagai reaksi terhadap sikap taklid, melalui gerakan salafiah yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf, geenrasi awal Islam dulu.
Sebenarnya sejak periode taklid telah muncul ulama yang ingin  tetap berijtihad, untuk
menampung dan mengatasi yang berkembang di masanya, yakni Ibn Taimiah, dan muridnya Ibn
Qayyim al-Jauziah. Pola pikir mereka dilanjutkan pada bad 17 M oleh Muhammad abn Wahab
yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempengaruhi gerakan Paderi di Minangkabau
(Indonesia).  Usaha itu dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin al-Afgani, khususnya dalam
lapangan politik.[51]  Dia menggerakkan kebang-kitan umat Islam yang umumnya terjajah oleh
negara lain, agar berusaha melenyapkan penjajahan di muka bumi.
Cita-cita Jamaluddin al-Afgani mempengaruhi Muhammad Abduh yang kemudian
mengembangkan pembaharuan pemikiran, di antaranya: (1) membersihkan Islam dari pengaruh-
pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam, (2) mengadakan pembaharuan dalam
sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan tinggi, (3) merumuskan dan menyatakan
kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern, (4) mempertahankan Islam dari pengaruh
barat, dan (5) membebaskan negeri-negeri  yang penduduknya beragama Islam dari belenggu
penjajah.

Dalam pemikiran hukum Islam, Abduh tidak terikat pada satu mazhab yang ada. Ia berani
mengambil keputusan-keputusan hukum Islam secara bebas dari pendapat yang ada, dengan
penuh tanggung jawab. Menurutnya kemiskinan dan kebodohan merupakan sumber kelemahan
umat dan masyarakat Islam. Dalam kebodohan ini termasuk juga kebodohan memahami ajarn
dan hukum Islam. Menurutnya, poligami yang tidak bertanggung jawab merupakan bencana bagi
masyarakat.[52]
Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini berlanjut hingga sekrang dengan  metodologis
baru. Dalam konteks ini Fazlur Rahman mengajukan  formulasi baru mengenai ijtihad – sebagai
bentuk pemikiran dalam hukum Islam. Fazlur Rahman mendefini-sikan ijtihad dalam sebuah
konsep yang sekaligus mengandung implikasi metodelogis, metodis, dan fungsional.

Ijtihad berarti upaya memahami suatu teks atau preseden (sunnah) di masa lampau yang
mengandung suatu aturan, dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas atau
membatasi atau pun memodifikasikannya dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga
suatu situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan suatu solusi baru.[53]
Implikasi metodologis yang terdapat dalam definisi  di atas adalah bahwa teks Alquran dan
preseden (sunnah) dapat dipahami untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip, dan bahwa
prinsip-prinsip tersebut dapat dirumuskan menjadi aturan yang baru.

Implikasi metodis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa kerja ijtihad meliputi pemahaman
teks dan preseden (sunnah) dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi
baru yang sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkadang di
dalam teks atau sunnah.

Sedang implikasi fungsional dalam definisi itu, adalah bahwa konsep metodologis dan
perumusan metodis tersebut difungsikan untuk upaya pembaharuan hukum Islam upaya
menjawab tantangan situasi baru.[54]
Dengan demikian pada periode kebangkitan kembali pemikiran hukum Islam, selain berorientasi
kepada gerakan kepada kembali kepada Alquran dan sunnah, juga  berkaitan dengan
reinterpretasi terhadap nilai hukum yang terkandung dalam teks Alquran dan sunnah.
Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

     1. Ijtihad merupakan konsep atau metode dalam pemikiran hukum Islam. Pemikiran dalam
hukum Islam pada dasarnya merupakan usaha optimal dalam mengistinbatkan hukum Islam.

     2. Penentuan periodesasi pemikiran dalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ahli.

     3.  Embrio pemikiran dalam hukum Islam secara historis telah muncul sejak periode Nabi
Muhammad saw.

      4. Pemikiran dalam hukum Islam mencapai puncak kejayaannya pada periode pemerintahan
dinasti Abbasiah.

Daftar PUSTAKA
 

Abu Zahrah, Muhammad. Muhadarat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, Bayrut: Jam’iyyat al-


Dirasat al-Islamiyyah, [t.th.].
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di 
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina
Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Tarikh al-Fiqh al-Islamī, Amman: Dar al-Nafa’is, 1991.


Bek, Khudari. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamī,  Surabaya: Muhammad Nabhan, [t.th.].
Coulson, Noel J. The History of Islamic Law. Diterjemahkan oleh Hamid Ahmad dengan
judul Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, Cet. I; Jakarta: P3M, 1987.
Dahlan, Abdul Azis [et al.].  Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, Cet. I; Jakarta: Ichtiar baru van
Hoeve, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Efrinaldi. “Reaktualisasi Hukum Islam Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur
Rahman.” DalamMimbar Hukum, No. 50 Thn XII, Januari-Pebruari 2001.
Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Hitti, Philip K. Dunia Arab, Bandung: Sumur Bandung, 1970.
Khallaf, Abdul Wahab. Maşādir al-Tasyri’ al-Islamī fīmā La Naşşa fih, Kuwait: Dar al-Qalam, [t.th.]
Al-Khin, Mustafa Sa’id. Dirasah Tarkhiyyah li al-Fiqh wa Uşũlih wa al-Ittijihat al-Latī Zaharat
Fīhimā,Damaskus: [t.tp.], 1984).
Madjid, Nurcholish (ed.). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
——-. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Islam,
Jakarta: Paramadina, 1995.

Mahmassani, Subhi.  Falsafat al-Tasyri’ fi al-Islam, Bayrut: Dar al’Ilm li al-Malayin, 1961.


Mas’adi, Ghufron A. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaha-ruan Hukum
Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Cet. II; Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000.
Musa, Muhammad Kamil. Al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-islami, Bayrut: Mu’assasah al-Risalah,
1989.
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 2000.
——-. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI Press, 1986.
——-. Islam dan Mistisisme, Cet. I; Jakarta: UI Press, 1973.
Al-Qattan, Manna’.  Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tārikhan wa Minhājan, Bayrut: Dar al-
Ma’arif, 1989.
Rasjidi, H.M. Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang.
Rofiq, Ahmad. “Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia.” Dalam H. Noor Ahmad,
dkk. Epistemologi Syara Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Cet. I; Yogyakarta: Walisongo
Press  bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2000. 
al-Sayyis,Muhammad Ali . Tarikh al-Fiqh al-Islamī, Bayrut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1990.
Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990.
——-. Meretas Kebekuan Ijtihad: isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Cet. I;
Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Usman, Suparman Usman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
* Dosen pada Jurusan Syariah STAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister (M.Si.) dari Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar dan sedang menempuh pendidikan
S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Saat ini menduduki jabatan sebagai Pembantu Ketua III
STAIN Ambon.
[1] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya,
1990), h. 18.
[2] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 5.
[3] Efrinaldi, “Reaktualisasi Hukum Islam Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur
Rahman,” dalamMimbar Hukum, No. 50 Thn XII, Januari-Pebruari 2001, h. 93.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III;
Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 672.
[5] Abdul Azis Dahlan [et al.],  Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996), h. 579.
[6] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Cet. II; Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 12.
[7] Muhammad Ali al-Sayyis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmī (Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1990), h.
11.
[8] Khudari Bek, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmī (Surabaya: Muhammad Nabhan, [t.th.]), h. 4-5.
[9] Abdul Azis dahlan [et al.], loc. cit.
[10] Abdul Wahab Khallaf, Maşādir al-Tasyī’ al-Islāmī fīmā La Naşşa fīh (Kuwait: Dar al-Qalam,
[t.th.]), h. 2. Bandingkan dengan Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II
(Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986), h. 10.
[11] Mustafa Sa’id al-Khinn, Dirāsat al-Tārikhiyyat li al-Fiqh wa Uşũlih wa al-Ittijihadāt al-
Latī«aharat Fīhimā(Damaskus: [t.tp.], 1984), h. 13-14.
[12] Umar Sulaiman al-Asyqar, Tārīkh al-Fiqh al-Islamī (Amman: Dar al-Nafa’is, 1991), h. 40.
[13] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-imam Madzhab dalam Membina
Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 31-32.
[14] Subhi Mahmassani, Falsafat al-Tasyrī’ fi al-Islāmī(Bayrut: Dar al’Ilm li al-Malayin, 1961), h.
32-37.
[15] Jaih Mubarok, op. cit., h. 5.
[16] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di 
Indonesia (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 139. Periodesasi ini diikuti
Suparman Usman. Lihat Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 89.
[17] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, diterjemahkan oleh Hamid Ahmad dengan
judul Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah (Cet. I; Jakarta: P3M, 1987), h. vii.
[18] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 28.
[19] Philip K. Hitti, Dunia Arab (Bandung: Sumur Bandung, 1970), h. 13-16.
[20] Jaih Mubarok, op. cit., h. 20-21.
[21] Ibid., h. 22-23.
[22] Harun Nasution,  op. cit., h. 10.
[23] Jaih Mubarok,  op. cit., h. 26-28.
[24] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet. VI; Bandung: Mizan, 2000),
h.  196.
[25] Abdul Wahab Khallaf,  op. cit., h. 4.
[26] Jaih Mubarok, op. cit., h.  33-34.
[27] Suparman Usman,  op. cit., h. 89.
[28] Jaih Murabok, op. cit., h. 39
[29] Harun Nasution, Islam Ditinjau…, h. 11.
[30] Mohammad Daud Ali,  op. cit., h. 158
[31] Ibid., h. 160
[32] Jaih Mubarok, op. cit., h. 48.
[33] Mohammad Daud Ali, op. cit.,  h. 163.
[34] Subhi Mahmassani, op. cit., h. 165.
[35] Jaih Mubarok, op. cit., h. 49.
[36] Ibid., h. 50.
[37] Muhammad Kamil Musa, Al-Madkhal ilī al-Tasyrī’ al-Islāmī(Bayrut: Mu’assasah al-Risalah,
1989), h. 
[38] Umar Sulaiman al-Asyqar, op. cit., h. 81.
[39] Jaih Mubarok, op. cit., h. 59-60.
[40] Ibid., h. 63-64.
[41] Khudari Bek,  op. cit., h. 4-5. Lihat pula T.M. Hasbi Ash Shiddieqy,  op. cit., h. 31-32.
[42] Harun Nasution, Islam dan Mistisisme (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1973), h. 11-12.
[43] Muhammad Kamil Musa,  op. cit., h. 136. Lihat pula Manna’ al-Qattan,  Al-Tasyrī’ wa al-Fiqh
fi al-Islām: Tārikhan wa Manhājan   (Bayrut: Dar al-Ma’arif, 1989),  h. 180
[44] Jaih Mubarok, op. cit., h. 75-76.
[45] Ibid., h. 82-84.
[46] Ibid., h. 108-114.
[47] Muhammad Abu Zahrah, Muhā«arat fi Tārīkh al-Mazāhib al-Fiqhiyyah, (Bayrut: Jam’iyyat al-
Dirasat al-Islamiyyah, [t.th.]), h.347-348.
[48]  Mohammad Daud Ali,  op. cit., h. 165.
[49] Ahmad Rofiq, “Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia,” dalam H. Noor Ahmad,
dkk., Epistemologi Syara Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Walisongo
Press, bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2000), h. 103. 
[50] A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 174-175.
[51] H.M. Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), h. 20.
[52] Mohammad Daud Ali,  op. cit., h. 181-182.
[53] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 148.
[54] Ibid., h. 149.

Anda mungkin juga menyukai