Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Dalam kehidupan manusia, tidak akan pernah lepas yang namanya ikatan hukum.
Baik hukum yang bersumber dari Tuhan, ataupun hukum yang dibuat oleh manusia
yang meliputi hukum adat, negara, dan lain sebagainya. Dan hukum itu akan tetap
mengikat selama hayat masih di kandung badan dan sebelum dunia ini hancur-lebur
pada hari kiamat.
Ketika kita berbicara tentang hukum, tentunya juga kita akan berbicara bagaimana
implikasinya. Yang jelas, hukum diciptakan adalah untuk membuat suasana damai, dan
untuk mencegah adanya tindakan-tindakan yang tidak mengindahkan nilai entah itu
nilai etika-estetika, nilai secara logika, ataupun nilai secara faham teologis (agama).
Dalam perkembangannya, sejarah Hukum Islam tidak bisa kita pungkiri lagi pasang
surutnya. Mulai dari hukum islam pada masa rosul hingga mencapai masa keemasan
dan munculah pergeseran yang mengakibatkan kemunduran hukum islam. Dalam
sejarahnya Hukum Islam Mulai Bangkit kembali ke-eksistensiannya yaitu yang akan
kita bahas di pembahasan makalah ini.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Pemikiran Hukum Islam pada masa kebangkitan ?
2. Bagaimana keberadaan Majallat Al-Ahkam Al-Adliyah dalam perkembangan
hukum islam ?
3. Siapa sajakah tokoh-tokoh kebangkitan kembali fiqih Islam ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Hukum Islam pada masa kebangkitan

1
Fase ini dimulai dari akhir abad ke 13 hijriah sampai pada hari ini. Setelah
mengalami kelesuan dan kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran islam bangkit
kembali. Kebangkitan kembali pemikiran islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap
taqlid yang telah membawa kemunduran hukum islam. Oleh karena itu munculah
gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali
kepada Al-quran dan sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf
(salafiyah) yaitu gerakan yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran islam di zaman
salaf (permulaan), generasi awal dahulu.2

Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid diatas, sesungguhnya pada periode


kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad,
untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat.
Pada abad ke-14 telah muncul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara
baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyyah
(1263-1328) dan muridnya bernama Ibnu Qayyim Al-jauziah (1292-1356).

Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua
aspek, pertama pembahasan fiqh Islam, kedua kodifikasi hukum Islam. Berikut
penjelasannya:

1
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri: sejarah legislasi hukum islam, (Jakarta: AMZAH, 2009),
hlm. 131.
2
Mohammad Daud Ali, hukum islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum islam di Indonesia, Ed. 6,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 197.

2
a. Pembahasan Fiqih Islam
Bermulanya zaman ini pada akhir tahun ketiga belas Hijirah ketika zaman
pemerintahan kerajaan Turki usmani. Pada ketika itu, kerajaan Turki usmani telah
menggunakan fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta dan
amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam menjalankan
proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan
merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih
Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqih Islam bisa
mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama, menjahui metode yang
rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam
dan terfokus. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam
pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai
berikut:
a) Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-
pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu
mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazhab
tertentu dalam ber taqlid dan qadha, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti
mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka
mambatasi kurikulum Al Azhar hanya dengan mazhab Syiah.
b) Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik. Pada zaman ini, kajian
fiqih sudah beralih pada kajian kitab kitab fiqih klasik yang tidak memuat rumus
dan kejumudan.
c) Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi. Pada masa ini para
peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih komparasi. Metode ini memiliki kelebihan,
yakni dapat memunculkan teori teori umum dalam fiqih Islam dan teori baru
seperti teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak
proposional serta yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam

3
muktamar internasional tentang perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre
tahun 1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948,
para penelis menyatakan, Fiqih Islam memiliki nilai perundang undangan yang
tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang
undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih
mampu dari perundang undangan lain dalam memenuhi kebutuhan umat
manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji serta
diambil produk hukumnya.
d) Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqih.
Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada zaman ini adalah didirikannya beberapa
lembaga kajian diberbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa insiklopedi fiqh.
Beberapa contoh kreativitas di bidang ini :
Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M.
lembaga ini mencakup bidang Al-Quran dan Sunnah, kajian fiqih, khazanah
Islam, dan kajian social.
Kantor Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir.
Ini bertugas menyebarkan buku buku warisan ulama terdahulu, dan karya
ilmiah pakar ilmu fiqih dan ilmu lain.
Ensiklopedi fiqih di Kuwait, yang bertujuan agar Negara Kuwait mempunyai
saham dalam kemajuan fiqih bersama Negara lain. Lembaga ini berhasil
menyusun kajian fiqih secara tematik.
Ensiklopedi fiqih di Mesir, dibawah kordinasi Kantor Pusat Urusan Agama.
Dalam ensiklopedi ini para penulis membubuhkan pendapat fuqaha secara
amanah dan terperinci serta tidak terbatas pada empat madzhab tanpa ada rasa
fanatik. 3

3
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.Cit., hlm. 131-134.

4
b. Kodifikasi Hukum Fiqih
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab
dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada setiap masalah akan dirujuk kepada
materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan
perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh
memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk
menghindari keputusan yang kontradiktif.
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang
sitematik. Ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca. 4

Menurut seorang orientalis inggris moderat, W. Montgomery bahwa beberapa


bagian dari fiqih telah disusun dalam bentuk undang undang sejak dari masa Nabi
Saw masih hidup. Undang undang yang merupakan UUD Islam tersebut, oleh ibnu
Hisyam diberi nama dengan Kitabun Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa
inggris dengan nama The Constitution of Medina, pada tahun 1956 oleh Montgomery
sendiri dan pada tahun 1961 di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal
Abidin Ahmad, dengan nama Piagam Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran
Ibnu Muqaffa, khalifah Abu jafar alMansur meminta agar Imam Malik bersedia
mengumpulkan bahasan Fiqih dalam satu madzhab untuk dijadikan sebagai undang
undang yang berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya Imam Malik menyusun kitab
almuwattha.

4
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.Cit., hlm. 134-135.

5
Usaha kearah pengkodifikasian ini, kemudian dilanjutkan oleh ulama india pada
masa Sultan Muhammad Alimgher, kemudian terbentuklah sebuah kitab yang
diberikan nama alfatawa al Hindiyah.

B. Keberadaan Majallat Al-Ahkam Al-Adliyah dalam perkembangan hukum


islam
Majallat al-Ahkam al-Adliyyah merupakan kitab undang-undang hukum perdata
Islam pertama yang dikodifikasi pada tahun 1293 H/ 1876 M oleh pemerintah Turki
Usmani. Kemunculannya disebabkan banyaknya undang-undang hasil adopsi dari
Barat yang berlaku di Kerajaan Turki Usmani saat itu. Kekosongan hukum dalam
bidang perdata membuat para ulama berinisiatif untuk mengkodifikasikan hukum
perdata Islam dari madzhab Hanafi dan beberapa pendapat madzhab lainnya yang
dianggap lebih sesuai dengan kebutuhan saat itu.

Proses Penyusunan Majallat Al-Ahkam Al-Adliyah

Gerakan modernisasi di dunia Islam dimulai pada abad ke 19 M. Berbagai program


reformasi dilakukan untuk menandingi Barat, khususnya di kerajaan Turki Usmani
dimulai pertama kali oleh Sultan Mahmud II (1808-1839 M). Upaya modernisasi awal
ini tidak meluas sampai seluruh bidang kehidupan kaum muslimin, tetapi hanya
terbatas pada lembaga birokrasi militer negara. Reformasi ini diprakarsai, dirumuskan
dan dilakukan oleh elit penguasa yang merupakan respon terhadap ancaman eksternal
yaitu ekspansionisme Eropa bukan karena tekanan internal dari masyarakatnya sendiri
yang menghendaki perubahan.[3]Pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud
II inilah yang selanjutnya menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan di
kerajaan Turki Usmani pada abad ke 19 dan 20 selanjutnya.

Namun jauh sebelum itu penting untuk diperhatikan bahwa dalam bidang hukum
telah terjadi proses legislasi besar-besaran di kerajaan Turki Usmani, yaitu pada masa

6
pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M) yang merupakan masa
puncak kejayaan Turki Usmani. Legislasi pada masa ini berupa penghimpunan fatwa-
fatwa dan yurisprudensi yang telah diputuskan dan diberi nama
dengan qanun atauqanun namah. Karena pada masa ini hukum yang dipakai dalam
masyarakat bukan hanya fiqih, melainkan keputusan khalifah atau sultan yang
diberikan terhadap sengketa yang terjadi di masyarakat. Di samping itu ada juga
keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat majlis legislatif selaku pemegang al-
Sulthan al-Tasyriiyah yang disetujui oleh khalifah. Bentuk hukum yang pertama
disebut Idarah Saniyyah dan yang kedua di sebut Qanun. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa penguasa kerajaan Turki Usmani memiliki dua kekuasaan sekaligus, politik dan
agama. Sultan adalah gelar kekuasaan politik sedangkan khalifah adalah gelar
kekuasaan agama.

Namun setelah Sultan Sulaiman I wafat tidak ada lagi penggantinya yang memiliki
kapasitas penguasa politik dan agama. Kemampuan politik penguasa berikutnya tidak
diiringi dengan kemampuan di bidang agama, begitupula sebaliknya. Oleh karena itu
dalam pemerintahan, mereka dibantu oleh Sadrazam (Sadr al-Azham) untuk urusan
kenegaraan dan Syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Syaikh al-Islam
merupakan al-Sulthat al-Tasyriiyah dalam kerajaan Turki Usmani saat itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan Usmani semakin lemah dan selalu


mengalami kekalahan dari bangsa Eropa yang semakin kuat. Satu persatu daerah
kekuasaannya seperti Serbia, Montenegro dan Hungaria lepas dan kembali ke tangan
Eropa Timur. Di samping itu sultan-sultan Usmani sendiri memerintah dengan sikap
absolut dan otoriter. Keadaan kerajaan Usmani saat itu digambarkan oleh sebagian
penulis sebagai orang sakit dari Eropa.

Untuk mengatasi keadaan ini, sebagian intelektual Turki Usmani yang dipelopori
antara lain Rifat Pasya (1807-1856 M), Fuad Pasya (1815-1868 M) dan Ali Pasya
(1815-1871 M) yang sebagai para pemukatan zhimat maengadakan

7
pembaharuan dalam bidang hukum dan perundang-undangan. Mereka berpandangan
bahwa Kerajaan Usmani mundur disebabkan karena pemerintahan yang absolut dan
tidak adanya peraturan dan undang-undang yang dapat mengatur dan menjamin
kehidupan sosial. Oleh sebab itu upaya penyelamatan Turki Usmani dari kehancuran
adalah dengan menciptakan peraturan perundang-undangan. Dan karena peradaban
Barat lebih maju dan teratur, maka penciptaan undang-undang haruslah mengacu pada
undang-undang barat. Pada periode mereka inilah (1839-1880 M) diciptakan berbagai
undang-undang baru dan membuka peluang bagi masuknya pengaruh asing dalam
undang-undang usmani.

Atas usaha dan pengaruh dari kelompok ini, pada tahun 1839 lahirlah Hatt-I Syerif
Gulhane (Piagam Gulhane) pada masa pemerintahan Sultan Abdul Majid (1839-1861
M). Piagam ini bertujuan untuk menjamin hak seluruh lapisan masyarakat demi
ketentraman hidup, harta dan kehormatan seluruh warga negara. Selanjutnya tahun
1856 lahir pula Hatt-I Humayyun Piagam Humayyun) yang selain memperkuat Piagam
Gulhane juga memberikan hak yang sama kepada warga negara non muslim (kristen
Eropa) dengan penduduk Usmani Muslim. Piagam Humayyun ini lahir karena desakan
dari negara-negara Eropa (barat) yang berhasil mengalahkan Turki Usmani dalam
beberapa pertempuran.

Berdasarkan kedua piagam ini, berturut-turut lahirkah undang-undang lainnya yang


banyak dipengaruhi oleh hukum-hukum barat terutama Perancis dan Italia. Code
Napoleon yang berhasil dikodifikasi pada abad ke 19 ini banyak memberikan pengaruh
bagi kerajaan Usmani, antara lain dalam hal-hal berikut :

1. Undang-undang Perdagangan.

Pada tahun 1850 pemerintah Usmani menyusun undang-undang hukum dagang untuk
memenuhi kebutuhan perdagangan moderen. Dalam penyusunan ini mereka
mengadopsi dari Code Napoleon dengan sedikit penyederhanaan. Tahun 1860
dikeluarkan pula peraturan-peraturan perdagangan secara khusus, antara lain tentang

8
penukuran uang, peraturan tentang bursa, makelar, peraturan tentang pailit, jaminan
(borg) dan peraturan tentang saham.

2. Undang-undang Pertanahan.

Pada tahun 1858 dikelurkan undang-undang pertanahan Amiriyya yang tanahnya


dikuasai negara dan hak pengelolaannya bagi perseorangan. Undang-undang ini
diambil dari undang-undang Jerman dan undang-undang Swiss. Undang-undang ini
menyalahi ketentuan syariat tentang pemindahan yang sama antara suami dan istri dan
antara laki-laki dan perempuan.

3. Undang-undang Hukum Pidana

Pada tahun 1840 dikeluarkan undang-undang hukum pidana yang bersumber dari
syariat dan adat setempat. Kemudian pada tahun 1858 dikeluarkan hukum baru
pengganti hukum diatas yang diambil dari kitab undang-undang hukum pidana
perancis.

4. Undang-undang Perdagangan laut.

Pada tahun 1863 dikeluarkan undang-undang perdagangan laut yang diadopsi dari
undang-undang Perancis, Belanda dan Portugis.

5. Undang-undang Hukum Acara

Pada tahun 1861 dikeluarkan hukum acara perdagangan yang diambil dari KUH
Perancis dengan perubahan dan penyederhanaan. Pada tahun 1879 dikeluarkan pula
KUH Acara Pidana yang pada dasarnya juga diadopsi dari hukum Perancis dengan
beberapa perubahan.

6. Undang-undang Lain.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut diatas, dikeluarkan pula peraturan


perundang-undangan lainnya mengenai hukum sipil yang bermacam-macam.
Diantaranya peraturan mengenai administrasi negara, tata usaha, kepolisian, lembaga

9
pemasyarakatan, kepegawaian dan lain-lain. Semua perundang-undnagan ini
terkumpul dalam himpunan undang-undang yang dinamakan dustur yang
dikumpulkan pada tahun 1871.[7] Semua peraturan perundang-undangan yang baru ini
diterapkan pada peradilan yang bernama Mizonia yang beada dibawah kewenangan
kementrian Kehakiman. Hal ini setahap demi setahap mengeser kedudukan hukum
agama yang berada dibawah kekuasaan Syaikh Al-Islam

Kandungan Majallat al-Ahkam al-Adliyyah

Pada dasarnya penyusunan Kitab Undang-undang hukum perdata Majallat al-


Ahkam oleh komiteJamiyyah al-Majallah bertujuan untuk mempermudah dalam
proses pengambilan keputusan yang tidak mengandung unsur-unsur perbedaan dan
perselisihan. Dengan kata lain kodifikasi hukum perdata Islam ini bertujuan agar
terciptanya unifikasi atau keseragaman dalam proses pengambilan keputusan dengan
cara mengambil pendapat yang dianggap paling baik dalam madzhab Hanafi dan
beberapa pendapat dari Madzhab lainnya bila dianggap lebih sesuai dengan kebutuhan
saat itu.

Majallat al-Ahkam al-Adliyyah terdiri dari sebuah Muqaddimah dan 16 kitab, yang
diuraikan dalam 1851 pasal yang disusun dengan sistematika kitab hukum modern.
Bagian mukaddimah ini terdiri dari 100 pasal. Pasal I menjelaskan tentang definisi dan
pembagian ilmu hukum (fiqih), sumber hukum dan selebihnya 99 pasal lainnya
menguraikan tentang kaedah-kaedah umum yang bersumber dari kitab al-Asybah wa
al-Nazhair karya Ibnu Najim.

Dari keenam belas kitab tersebut hanya memuat masalah-masalah yang berkaitan
dengan keperdataan, seperti (1) al-Buyu (jual beli), (2) al-Ijarah (sewa menyewa),
(3) al-Kafalah (tanggungan/jaminan), (4) al-Hibah, (5) al-Hiwalah (pengalihan
hutang), (6) al-Rahn (borg, gadai), (7) al-Amanah (penitipan barang), (8) al-Ghasb wa
al-Itlaf (merampas dan merusak harta orang lain), (9) al-Hijru, al-ikrah wa al-

10
Syufah (pengampuan, paksaan dan ketetanggaan), (10) al-Sulh wa al-
Ibra (perdamaian dan pembebasan), (11) al-Syirkah (perkongsian), (12) al-
Wakalah (perwakilan), (13) al-Iqrar (pengakuan), (14)al-Dawa (gugatan), (15) al-
Bayyinah wa al-tahlif (pembuktian dan sumpah) dan (16) al-Qadha (peradilan).

Di sini tampak jelas bahwa Majallat al-Ahkam al-Adliyyah hanya memuat


peraturan keperdataan dalam bidang muamalat saja dan sebagian kecil tentang hukum
peradilan. Bidang fiqih lainnya seperti jinayat, warisan, wasiat dan wakaf tidak diatur
dalam undang-undang tersebut karena telah lebih dahulu dibuat dengan mengadopsi
hukum Eropa. Majallat al-Ahkam al-Adliyyah ini tidak hanya diterapkan dalam
wilayah Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga untuk beberapa negara Islam yang berda
di bawah kekuasaan Turki, seperti Yordania, Libanon, Suriah. 5

C. Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam


Selain Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-
1356). Lahir beberapa tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk
membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya Muhammad
Abduh, Syeikh Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali
Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari
Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-
Pakistan, ada Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad
Ali Jinnah. 6

5
PMI, Keberadaan Majallat Al-Ahkam Al-adliyah dalam perkembangan hukum islam, diakses dari
http:// pmi.uinsu .ac.id /berita/read /132/keberadaan-majallat-al-ahkam-al-adliyah-dalam-
perkembangan-hukum-islam.html, pada tanggal 01 november 2017, pukul 5:31.

6
Knowledge is free, makalah periode kebangkitan kembali hukum islam, diakses dari
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/11/makalah-periode-kebangkitan-kembali.html, pada
tanggal 01 november 2017, pukul 5:35.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fase ini dimulai dari akhir abad ke 13 hijriah sampai pada hari ini. Setelah
mengalami kemunduran, pemikiran islam bangkit kembali. Kebangkitan kembali
pemikiran islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa
kemunduran hukum islam. Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat di lihat dari
dua aspek, pertama pembahasan fiqh islam pada zaman ini yaitu memberikan perhatian
khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah
diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain, Pada
zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab kitab fiqih klasik yang tidak
memuat rumus dan kejumudan, serta adanya pendirian lembaga kajian ilmiah dan
menerbitkan ensiklopedia fiqih. Kemudian yang kedua kodifikasi hukum Islam,
Kodifikasi merupakakan upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab
dalam bentuk butiran bernomor. Oleh karena itu muncullah Majallat al-Ahkam al-
Adliyyah yaitu merupakan kitab undang-undang hukum perdata Islam pertama yang
dikodifikasi pada tahun 1293 H/ 1876 M oleh pemerintah Turki Usmani. Pada dasarnya
penyusunan Kitab Undang-undang hukum perdata Majallat al-Ahkam bertujuan untuk
mempermudah dalam proses pengambilan keputusan yang tidak mengandung unsur-
unsur perbedaan dan perselisihan

B. Saran
Kami menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sama halnya dengan
makalah ini yang masih jauh dengan kebenaran dan masih dekat dengan kesalahan,
untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman,
agar kami bisa memperbaiki kesalahan kami di kemudian hari. Dan semoga apa yang
kami tulis dalam makalah ini memberikan manfaat dan menambah wawasan terhadap
kita semua.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri: sejarah legislasi hukum islam, (Jakarta:
AMZAH, 2009).

Mohammad Daud Ali, hukum islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum islam di
Indonesia, Ed. 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).

PMI, Keberadaan Majallat Al-Ahkam Al-adliyah dalam perkembangan hukum islam,


diakses dari http:// pmi.uinsu .ac.id /berita/read /132/keberadaan-majallat-al-ahkam-
al-adliyah-dalam-perkembangan-hukum-islam.html.

Knowledge is free, makalah periode kebangkitan kembali hukum islam, diakses dari
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/11/makalah-periode-kebangkitan-
kembali.html.

13

Anda mungkin juga menyukai