Anda di halaman 1dari 13

STUDI HUKUM ISLAM DAN SIGNIFIKANSI

PENDEKATAN NORMATIF DAN EMPIRIS

Makalah Tugas Mata Kuliah Studi Hukum Islam Internasional


Pascasarjana Doktoral Hukum Keluarga Islam
UIN Datokarama Palu

Oleh:
MOH. RIZAL
NIM.03210122008

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Prof. Dr. Rusli, S.Ag, M.Soc.Sc
Dr. H Sidik, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA DOKTORAL (S3)


HUKUM KELUARGA ISLAM ( HKI )
UIN DATOKARAMA PALU
2023
1

PENDAHULUAN

Hukum Islam merupakan instrumen yang mengatur kehidupan sehari-hari


orang yang memeluk agama Islam. Instrumen yang bersumber dari rujukan utama
dalam agama Islam ini, yaitu Al Qur’an, kemudian menjadi dasar dan pijakan bagi
pemeluk agama Islam untuk melakukan hal-hal agar tidak bertentangan dengan
norma dan hukum dalam Islam.
Sebagai pondasi dan rujukan utama dalam melakukan aktivitas, maka
seorang muslim tidak bisa melepaskan diri dari adanya aturan yang mengatur,
membatasi dan menjadi pedoman, karena itulah, keharusan seorang musim untuk
mengetahui hukum Islam, melalui bimbingan para ulama menjadi salah satu hal yang
tidak boleh ia abaikan.
Masalah kemudian muncul, karena ternyata, tidak semua muslim
mengetahui dan memahami hukum Islam, bahkan terkait hal yang menjadi
urusannya setiap hari. Hal ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri, karena apakah
seseorang itu mengetahui atau tidak bagaimana penerapan dan batasan yang diatur
oleh hukum Islam, hukum Islam tetap berlaku dan memberikan dampak baginya
sebagai seorang muslim.
Setiap muslim seharusnya memiliki pemahaman yang baik tentang hukum
Islam, karena statusnya sebagai seorang muslim tidak bisa terlepas dari hukum Islam,
baik dalam perkara ibadah maupun hal-hal yang terkait pergaulannya dengan orang
lain (muamalah). Kondisi inilah, yang mengharuskan dia untuk memiliki
pemahaman yang baik terkait hukum Islam, agar dalam melaksanakan kegiatannya,
tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan oleh agama.
Memahami hukum Islam bukanlah hal yang mudah, karena kompleksnya
permasalahan yang ada terkait dengan hukum Islam. Demikian juga dengan
berkembangnya pendapat dan khilafiyah para ulama, semakin memperkaya
khazanah pemikiran dalam praktek dan perkembangan hukum Islam.
Hukum Islam yang bersumber dari ALQuran sebagian besar sifat dan
penegasan hukumnya masih bersifat umum. Karena itulah ada hadits nabi yang
kemudian menjelaskan teknis dari maksud ayat hukum atau suatu perintah dan
1

larangan yang termaktub dalam Al Quran. Namun, penjelasan hadits yang


mendetailkan maksud dan perintah hukum yang terkandung dalam ALQuran
tersebut, tidak serta merta bernilai implementatif pada tataran praktek. Karena,
ternyata pada penerapannya, ada sebagian praktek hukum Islam yang berbeda karena
kondisi, waktu dan situasi tempat yang tidak sama.
Penerapan hukum Islam yang berbeda karena kondisi tempat, waktu dan
situasi ini, tidak bermaksud mengubah atau mengingkari ketetapan nash yang
mengatur hukum Islam tersebut, tetapi penerapannya yang kemudian disesuaikan
dengan situasi yang terjadi pada saat itu.
Tuntutan bagi seorang muslim untuk memahami hukum Islam, dapat
dilakukan dengan beberapa metode atau pendekatan. Pendekatan-pendekatan
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dapat digunakan secara
bersamaan untuk meningkatkan pemahaman yang komprehensif terhadap hukum
Islam dan perkembangannya. Pendekatan yang populer dan sering dilakukan adalah
pendekatan normatif, yaitu mendalami hukum Islam sebagai sebuah norma yang
berasal dari Tuhan. Pendekatan lain yang sering digunakan adalah pendekatan
empiris, yaitu mencoba memahami hukum Islam dari sudut pandang implementasi
dan praktek yang ada dan berkembang pada suatu komunitas.
Dari uraian tersebut di atas, maka diuraikan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut: (1) Bagaimana konsepsi hukum Islam; (2) Bagaimana bangunan
filosofis hukum Islam; (3) Bagaimana pengertian pendekatan normatif dan
pendekatan empiris dalam hukum Islam.

PEMBAHASAN

Definisi Hukum Islam

Secara umum, definisi hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Al
Quran dan hadits. Secara etimologi, hukum Islam berasal dari dua suku kata yang
berbeda, yaitu kata hukum dan kata Islam. Kata hukum diartikan dengan (1)
peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; (2) undang-undang,
peraturan, dsb untuk mengukur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah,
ketentuan) mengenai peristiwa tertentu; (4) keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau vonis.1 Hukum dapat dipahami sebagai

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III Cet. 1: 2002) 410
2

norma atau peraturan yang disepakati mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dan
ditegakkan oleh penguasa.2
Adapun pengertian kata Islam, selain makna sebagaimana dalam hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Umar r.a, ketika Rasulullah SAW sedang duduk bersama
para sahabatnya dan didatangi oleh malaikat Jibril, maka definisi Islam juga kita
kutip dari Mahmud Syaltut, Islam adalah agama yang diamanatkan kepada Nabi
Muhammad SAW, untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya, juga
mendakwakannya kepada umat manusia serta mengajak mereka untuk
memeluknya.3
Kedua definisi kata tersebut, jika digabung maka kata hukum Islam memiliki
makna yang lebih lengkap. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan
terdapat dalam agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabinya
Muhammad SAW. Hukum Islam diturunkan bersamaan dengan agama Islam itu
untuk mengatur kehidupan orang-orang yang beragama Islam, baik yang terkait
dengan ibadah maupun tingkah laku mereka dalam berinteraksi dengan manusia
lainnya.

Sumber-Sumber Hukum Islam

Sebagai sebuah instrumen hukum, tentunya hukum Islam memiliki sumber yang
merupakan muara dari mana hukum tersebut berasal. Para ulama sepakat, bahwa
sumber hukum Islam adalah:
AlQuran
Sumber hukum pertama dan utama dalam tata urutan hukum Islam adalah Al
Quran. Al Quran adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada nabi terakhir
Muhammad SAW. Kitab ini diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril selama
rentang waktu 22 tahun. Pada rentang waktu turun tersebut, dilakukan secara
bertahap sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Tempat turunnya wahyu dalam Al
Quran dibagi dalam dua fase, yaitu fase Makiyah dan fase Madaniyah. Fase makiyah
adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika nabi Muhammad SAW masih menetap di

2 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Peradilan Agama dan Masalahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet II, 1996) 38
3 Mahmud Syaltut, Al Islam, Aqidah wa Syariah, (KairoL Dar el Kalam, Cet. III, 1966) 9
3

kota Makkah, sedangkan fase Madaniyah, adalah ayat-ayat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW setelah hijrah ke Madinah.
Al Hadits
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist. Hadits adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku,
diamnya beliau. Di dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang menjelaskan
hal-hal yang pada Al Quran masih bersifat umum, baik hukum, maupun hal yang
terkait dengan ibadah, serta segala aturan yang teksnya masih bersifat umum dalam
Alquran.
Ijma/Ijtihad
Secara etimologis, kata Ijtihad berasal dari kata bahasa Arab ijtihad Kata
Jahdun dan juhdon , yang berarti thaqah (tenaga, kuasa, dan daya). Sedang ijtihad
merupakan isim masdar dari ijtahada, memiliki arti mengerahkan kemampuan dan
upaya untuk menyelesaikan suatu perkara. Kata ijtihad hanya digunakan untuk
sesuatu yang berat dan sulit.4
Penambahan dua huruf pada kata jahada, yakni alif di awal dan ta antara jim
dan ha mengandung enam maksud dan satu di antaranya adalah untuk menunjukkan
mubalaghah yakni dalam pengertian 'sangat'. 5 Makna ijtihad di sini hampir identik
dengan makna jihad, hanya saja kata jihad lebih berkonotasi fisik, sementara ijtihad
menggunakan akal (ra’yu).
Ijtihad dapat dilakukan terhadap masalah-masalah yang belum ditemukan
ketentuan hukumnya dalam Alquran dan sunah. Dengan demikian, secara sederhana
dapat diketahui bahwa lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang ketentuan
hukumnya tidak dijelaskan Alquran dan sunah dan masalah-masalah yang dijelaskan
oleh Alquran dan sunah dengan petunjuk yang tidak pasti (zhanniy) 6
Para ulama sepakat, bahwa tidak semua masalah dapat dialkukan ijtihad
atasnya. Adapun yang dapat dimasuki ijtihad adalah:
a. Masalah-masalah yang belum ditegaskan hukumnya dalam nash. Perkembangan
iptek dan lajunya zaman memungkinkan munculnya masalah-masalah baru yang
ketentuannya belum ditegaskan dalam nas. Masalah-masalah inilah yang

4
Wahbah Al-Zuhaili , Ushulal-Fiqh al-lslami. (Dimasyqi: Dar al-Fikrli ai-Thiba'ah wa al-Tauzi' wa
at-Nasyr. Juz I dan II. Cet. I 1986) 1037.
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II. (Jakarta:Logos. Cet. I.1999) 224
6 Op. Cit. 1054.
4

menjadi lapangan ijtihad untuk ditemukan ketentuan hukumnya, seperti masalah


bank, bayi tabung, keluarga berencana, dan lain sebagainya.
a. Masalah-masalah yang ditunjuk oleh nas yang zhanniy (belum pasti maksud
hukumnya), baik dari segi keberadaannya (wurud) maupun dari segi
penunjukannya terhadap hukum (dalalah). Nas Alquran semuanya qath'iy (pasti)
dari segi wurudnya, tetapi tidak semuanya qath'iy (ada yang zhanniy) dari segi
dalalahnya. Sedang nas sunah atau hadis dari segi wurud-nya ada yang qath'iy
dan ada yang zhanniy, begitu juga dari segi dalalahnya. Masalah-masalah yang
ditunjuk oleh nas yang zhanniy Itulah yang menjadi lapangan ijtihad. Sedang
masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang qath’iy tidak boleh dijadikan
lapangan Ijtihad.
b. Masalah-masalah baru yang belum diijmakkan. Masalah-masalah baru yang
sudah diijmakkan tidak boleh dijadikan sasaran kegiatan ijtihad, karena
keputusan ijmak tidak bisa dibatalkan. Karena itu, sebelum melakukan ijtihad
terhadap masalah-masalah tersebut, seorang mujtahid harus meneliti dulu apakah
sudah ada ijmak tentang hal Itu atau belum. Jika sudah ada ijmaknya, maka tidak
boleh lagi dilakukan ijtihad, dan jika tidak ada ijmaknya barulah dilakukan
ijtihad.
c. Masalah-masalah yang diketahui illat hukumnya. Hanya masalah-masalah yang
diketahui illat (alasan) hukumnya saja yang dapat dijadikan lapangan ijtihad,
seperti dalam masalah muamalah. Masalah-masalah yang tidak diketahui illat
hukumnya tidak boleh dijadikan sasaran ijtihad, seperti ketentuan-ketentuan
dalam beribadah atau hukum-hukum tertentu yang tidak dapat diketahui illatnya
seperti haramnya daging babi yang tidak disebutkan illatnya dalam Alquran atau
sunah.
Bangunan Filosofis Hukum Islam
Membahas filosofis hukum Islam, maka tentu akan membahas juga hal-hal
yang berkaitan dengan filsafat itu. Penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna
kata filosofis atau filsafat. Filsafat menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang
dalam bahasa arab dipakai kata filsafat dan filosof. Kata filsafat merupakan serapan
dari bahasa Arab, yaitu falsafah, kata falsafah juga merupakan asal kata dari bahasa
Yunani yaitu philosophia. Kata philosophia berasal dari dua kata, yaitu phila dan
sophia, phila berarti persahabatan atau cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan
atau pengetahuan. Dalam kamus bahasa Indonesia, filsafat diartikan sebagai
5

pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas,


hukum-hukum dan sebagainya terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta
atau kebenaran akan adanya sesuatu. 7
Filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal
dalam rangka mencari kebenaran inti, hikmah, atau hakikat mengenai segala sesuatu
yang ada.8 Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia
merupakan filsafat khusus dan objeknya adalah hukum Islam. Maka filsafat hukum
Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis
sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.9
Filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat
dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam. Filsafat hukum Islam
merupakan anak sulung dari filsafat Islam. Dengan kata lain filsafat hukum Islam
adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang
menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan
untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai
dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk
kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum Islam akan
benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam. Filsafat Hukum Islam adalah
kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal-muasal hukum Islam dan
prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum Islam bagi kehidupan
masyarakat yang melaksanakannya. 10
Menggunakan filsafat hukum Islam untuk mengamati, mengkritisi hukum
Islam yang diterapkan pada suatu tempat dan waktu, tentu bukan hal yang mudah
untuk dilakukan. Selain membutuhkan pemahaman tentang situasi dimana hukum
Islam sedang diterapkan, tentu harus mengerti juga konsep dan illat kenapa hukum
Islam diterapkan.
Penggunaan filsafat sebagai instrumen kritik membangun terhadap hukum
Islam, tentu tidak ditemukan dalam khazanah perkembangan hukum Islam itu

7
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke 21 (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
280
8
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Jilid 1, dalam Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, cet ke 21
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014) 42
9 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997) 14
10 Hasbi Ash-Shidieqi, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) 34.
6

sendiri, karena istilah filsafat, tidak berkaitan langsung dengan dunia Islam, apalagi
hukum Islam itu sendiri.
Kata falsafah sendiri dalam bahasa Arab diserap dari bahasa Yunani, sama
halnya dengan kata filsafat dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, padanan
katanya menurut para ahli adalah kata hikmah. Sehingga kebanyakan penulis Arab
menempatkan kata hikmah di tempat kata falsafah, menempatkan kata hakim di
tempat kata filosof, dan sebaliknya.
Kata hikmah secara umum dipahami sebagai pengetahuan tentang berbagai
akibat yang timbul dari sebuah perbuatan. Hikmah juga diartikan mengklarifikasi
kebenaran dengan ilmu pengetahuan dan akal. Kata hikmah disebut 20 kali pada 19
ayat dalam 12 surat di dalam Al Qur’an.11
Filsafat hukum Islam sebagaimana filsafat lainnya menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Filsafat hukum Islam itu
mempunyai dua tugas yaitu12:
1. Tugas Kritis, yaitu mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah
mapan di dalam hukum Islam.
2. Tugas Konstruktif, yaitu mempersatukan cabang-cabang hukum Islam dalam
kesatuan sistem hukum Islam sehingga Nampak bahwa antara satu cabang
hukum Islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum Islam: dan
lain-lain.
Hukum Islam menempati urutan terpenting dalam agama Islam setelah tauhid
itu sendiri. Karena hukum Islam akan menentukan arah pemeluknya, terkait
penerapan tauhid dalam kehidupan sehari-hari, karena itu, kritik sebagaimana pada
angka satu di atas, adalah kritik ke arah rekonstruksi epistemologi hukum Islam itu.
Dengan kritik sebagai upaya untuk rekonstruksi epistemologi hukum Islam,
maka konstruksi hukum Islam, karena perubahan situasi, kondisi dan waktu dalam
penerapannya, akan diterima oleh umat Islam.
Pendekatan filsafat digunakan untuk memahami hukum Islam secara
komprehensif, agar hikmah dari penerapan hukum Islam terhadap para pemeluk
agama Islam dapat dipahami secara mendalam, hukum Islam menjadi hidup, karena
hikmah diterapkannya dapat dipahami dengan adanya instrumen filsafat tersebut.

11Hairul Umamah, Penafsiran Al-Hikmah Dalam Al-Qur’an, Skripsi, https://digilib.uin-


suka.ac.id/id/eprint/23223/ , diakses pada tanggal 19 Maret 2023
12 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung : Pusat Penerbit Universitas LPPM, 1995) 15.
7

Di kalangan para orientalis, Schacht misalnya, ia menempatkan hukum Islam


sebagai konklusi dari keseluruhan pemikiran Islam dan entitas Islam itu sendiri. Ia
berpendapat, bahwa seseorang tidak mungkin dapat memahami Islam secara
komprehensif tanpa memahami relung-relung hukum Islam itu sendiri. 13
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan epistemologi mendasar yang perlu
dikaji ulang. Pertama, hukum Islam (baca: fiqh) dianggap sebagai hukum universal
dan abadi bagi umat Islam. Hukum Islam (fiqh) dipahami sebagai sabda suci yang
a-historis dan sudah tersaji dalam bentuk jadi. Kedua, hukum Islam yang dianggap
abadi dan telah tercipta pada zaman azali tersebut, diposisikan secara vis a vis
dengan hukum sekuler modern yang dipandang non Ilahi. Kekeliruan cara pandang
terhadap hukum Islam ini secara et officio berimplikasi pada ushul fiqh sebagai
metodologi hukum Islam (al-Ahkam al-Asasiyyah). Apakah tidak mungkin
metodologi hukum Islam itu diperkaya dengan teori-teori sosial (antropologi,
sosiologi, dan sejarah) yang notabene tidak dalam aksara Arab, dari sinilah upaya
ke arah rekonstruksi epistemologi hukum Islam bermula. 14
Hukum Islam dengan semua sumbernya, tidak hanya perlu dipahami secara
harfiah, tetapi dengan adanya filsafat ini, dapat dipahami secara ma’nawiyah.
Sehingga pendekatan filosofi/filsafat menjadi sangat penting terutama untuk
memahami makna yang terkandung dalam teks ayat-ayat Al Quran dan hadits yang
dianggap sebagai ayat hukum.
Melalui bangunan filosofi hukum Islam inilah, seseorang tidak akan terjebak
pada penerapan Islam yang bersifat formalistik, yaitu menerapkan hukum tanpa
memiliki makna yang mendalam. Penerapan hukum hanya kulit tanpa pemaknaan.

Pendekatan Normatif Dalam Mempelajari Hukum Islam


Untuk mengenal, mempelajari dan memperdalam hukum Islam, dapat
dilakukan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan adalah pendekatan normatif. Norma hukum Islam adalah perangkat aturan
yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh umat Islam 15. Makna ditaati dalam

13 Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Low (London: Oxford University Press, 1971) 1
14
Arifin Sahaka, “Kritik Terhadap Hukum Islam (Ke arah Rekonstruksi Epistemologi)” Jurnal Al
Bayyinah, Vol. 1 No. 1 (2017) https://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/albayyinah/article/view/19/16, diakses
tanggal 19 Maret 2023
15 Misbahul Munir, Dkk, Studi Hukum Islam, (Surabaya, IAIN Sa Press, 2011), 12
8

pengertian ini adalah, bahwa hukum Islam memiliki sifat mengikat bagi para
pemeluknya.
Pendekatan normatif ini adalah upaya untuk memahami konteks bahwa
hukum Islam itu berasal dari Allah swt, yang diturunkan kepada nabinya Muhammad
saw. Dalam konsep normatif hukum Islam ini, kita dapat melihat bahwa hukum
Islam yang diturunkan melalui nabinya, memiliki tujuan untuk kepentingan
kemaslahatan umat manusia. Hukum itu adalah perintah Allah, karenanya, konsep
hukum yang telah turun dan kemudian termaktub dalam ALQuran mutlak dijalani
dan menjadi kewajiban bagi orang Islam untuk melaksanakannya. Karena itulah,
penerapan hukum ini masuk dalam ranah ta’abbudi, yaitu ranah di mana segala
sesuatu yang turun dari Allah kepada umatnya menjadi kategori sakral, tanpa
pertanyaan.
Berbagai pijakan hukum normatif lain, yang biasa dilakukan dan dijadikan
pijakan oleh para ulama` namun di kalangan sebagian ulama saja dan masih menuai
kontroversi atau debatable. Diantaranya adalah istihsan, maslahah mursalah, dan
adat istiadat. Studi Islam normatif adalah pendekatan atau paradigma yang bertitik
tumpu kepada literatur-literatur yang sudah paten dan disepakati oleh para ulama
terdahulu yaitu pendekatan hukum kepada Al-Quran, Al-Hadits, Ijma’ dan qiyas.
Keempat dari komponen ini telah diformulasikan dan diabadikan melalui kitab-kitab
para ulama’ terdahulu. Salah satu hasil ijma’ dan analogi para ulama’ telah
dikumpulkan pula dan sampai saat ini tetap menjadi rujukan utama di dalam
menggali dan menyimpulkan sebuah kasus hukum yang sifatnya dinamis.
Pada pendekatan normatif, norma-norma hukum Islam yang secara tekstual
berada dalam kitab suci, kemudian menjadi objek tersebut menjadi rujukan dalam
penerapan hukum Islam sehari-hari bagi pemeluknya.

Pendekatan Empiris Dalam Mempelajari Hukum Islam


Pemahaman pendekatan empiris adalah melihat sejauh mana penerapan
hukum Islam hidup dan berkembang di masyarakat. Untuk melakukan hal ini, maka
pemahaman mendalam tentang history masyarakat atau sejauh mana tingkat
pemahaman mereka terhadap konsep hukum Islam, tentu akan berpengaruh pula
pada penerapannya.
Melihat dan mengenal hukum Islam, tentu bukan saja dari teks yang
menjelaskan tentang hukum Islam itu, tetapi dapat juga dilakukan dengan melakukan
9

pendekatan empiris, yaitu dengan melakukan pengamatan pada praktek hukum yang
berlaku pada masyarakat.
Hukum Islam yang ada dan berlaku secara empirik di masyarakat Indonesia,
dapat kita bagi menjadi dua, yaitu yang pertama berlaku secara formal dan masuk
dalam tata hukum negara kita dan yang kedua berlaku, diakui dan hidup di
masyarakat dan telah menjadi praktek secara turun temurun. Hukum Islam yang
berlaku secara normatif, ini yang menyangkut praktik keagamaan individu seperti
salat, puasa dan ibadah individu lainnya.16
Pada masa awal kedatangan Islam disebut juga masa nasional lokal murni
yakni ketika ajaran Syafi’i disebarkan oleh saudagar muslim Arab, Persia, Gujarat
dan Malabar. Hukum Islam di masa ini sebagai the living law, hukum yang hidup di
masyarakat dan sekaligus menjadi law in action, hukum yang tampak dalam aktivitas
dan tingkah laku masyarakat. Pada masa ini, kerajaan yang berlatar belakang Hindu,
Budha berubah menjadi kerajaan Islam seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan
Ampel. Islam pada masa ini telah menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan bibit
normatif hukum Islam dalam budaya nasional.
Pada fase ini berlaku prinsip: (1) Syara bersendi adat; (2) Adat bersendi syara
dan syara bersendi adat (paham keseimbangan); dan (3) Adat bersendi syara, syara
bersendi kitabullah.17 Praktek seperti ini, secara empirik hampir terdapat pada semua
daerah.
Namun praktek hukum Islam yang hidup dan berkembang di masyarakat ini,
tidak semua dimaknai sebagai ajaran Islam yang murni. Karena pendekatan para dai
dan ulama yang melakukan dakwah pada waktu itu, belum dapat membuat
masyarakat untuk benar-benar menerima Islam sebagai ajaran hidup selain sebagai
agama yang kadang simbol semata. Karena itulah, beberapa budaya lokal pada suku
tertentu, masih bernuansa adat namun telah diberi muatan keagamaan, atau dengan
kata lain dapat pula dikatakan, praktek ajaran agama yang masih memiliki unsur
budaya atau adat istiadat.
Islam datang pertama kali di Indonesia harus dihadapkan pada sistem hukum
setempat yang berakar pada adat. Sulitnya mendapatkan keseragaman hukum pada
tataran persepsi karena kondisi pluralitas masyarakat dari segi budaya. Pemahaman

16
Dedi Ismatullah, Sejarah sosial hukum Islam (Cet.I;Bandung:CV.Pustaka Setia,2011) 360
17
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta, Gama Media, 2001) 72
10

masyarakat Indonesia terhadap agama yang masih rendah, sebab mayoritas umat
Islam dalam memeluk Islam masih bersifat tradisi atau turun temurun sehingga ada
istilah Islam abangan atau Islam KTP.
Pada tataran Islam seperti ini, walaupun teori Receptie tidak secara jelas
diterima, namun prakteknya masih ada, yaitu penerapan hukum Islam akan diterima
oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan hukum adat yang telah mereka
anut turun temurun sejak lama.
Paradigma berfikir umat Islam yang statis menganggap bahwa pintu ijtihad
telah tertutup karena kitab-kitab fikih ulama mazhab sudah final sehingga
menyebabkan hukum Islam sulit menerima perubahan.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan singkat, bahwa Hukum Islam
merupakan aturan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT yang terdapat dalam
nash-nash, baik AlQuran, Hadits, maupun penjabaran para ulama atas hukum yang
belum terdapat ketetapannya. Menerapkan adanya bangunan filosofi hukum Islam,
perlu dilakukan, karena dengan demikian, maka hukum Islam itu menjadi dinamis
sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, perubahan ini dibutuhkan agar
penerapan hukum Islam tidak menjadi kaku dan tekstual, karena nabi sendiri
mengizinkan hal tersebut terjadi untuk penerapan hukum Islam yang maksimal.
Untuk memahami hukum Islam, maka diperlukan pendekatan, diantaranya
adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif adalah
pendekatan yang berupaya memahami hukum Islam itu secara murni, tekstual,
terlepas dari penafsiran ataupun interpretasi yang muncul karena pemahaman yang
berbeda atas suatu teks atau nash. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang
dilakukan dengan melihat dan mempelajari hukum yang berkembang dan hidup di
masyarakat, juga perlu dilakukan, karena hukum Islam itu, walaupun hukum positif
belum mengakomodir maksimal hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, namun
ternyata hukum Islam itu hidup dan berkembang di masyarakat.
11

DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III Cet. 1.

Ali , Muhammad Daud, (1996) Hukum Islam, Peradilan Agama dan Masalahnya,
Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet II.

Al-Zuhaili, Wahbah, (1986) Ushulal-Fiqh al-lslami. Dimasyqi: Dar al-Fikrli ai-


Thiba'ah wa al-Tauzi' wa at-Nasyr. Juz I dan II. Cet. I

Arifin Sahaka, “Kritik Terhadap Hukum Islam (Ke arah Rekonstruksi


Epistemologi)” Jurnal Al Bayyinah, Vol. 1 No. 1 (2017) https://jurnal.iain-
bone.ac.id/index.php/albayyinah/article/view/19/16, diakses tanggal 19
Maret 2023

Ash-Shidieqi, Hasbi, (1993) Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Djamil, Faturrahman, (1997) Filsafat Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu

Gazalba, Sidi, (2014) Sistematika Filsafat Jilid 1, dalam Abuddin Nata, Metodologi
Study Islam, cet ke 21 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Ismatullah, Dedi, (2011) Sejarah sosial hukum Islam, Bandung:CV.Pustaka Setia,


Cet.I.

Munir, Misbahul, Dkk, (2011) Studi Hukum Islam, Surabaya, IAIN Sa Press

Poerwadarminta, (1991) W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka, Cet. ke 21

Praja, Juhaya S. (1995) , Filsafat Hukum Islam, Bandung : Pusat Penerbit


Universitas LPPM.

Rofiq, Ahmad, (2001) Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gama


Media, 2001

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Low (London: Oxford University Press,


1971)

Syaltut, Mahmud, (1966) Al Islam, Aqidah wa Syariah, KairoL Dar el Kalam, Cet.
III

Syarifuddin, Amir, (1999) Ushul Fiqh II. Jakarta:Logos. Cet. I.

Umamah, Hairul, Penafsiran Al-Hikmah Dalam Al-Qur’an, Skripsi,


https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/23223/ , diakses pada tanggal 19 Maret
2023

Anda mungkin juga menyukai